Perkawinan Beda Agama dan Permasalahannya

Share :

Bagaimana Perkawinanan Beda Agama dalam perspektif Hukum?

Kami berencana melangsungkan perkawinan, tetapi alasan klasik yang kami hadapi adalah kami adalah pasangan yang berbeda keyakinan. Begitu banyak orang yang memberikan masukan kepada kami tentang bagaimana cara yang dapat kami lakukan dalam mengatasi kendala prosedur perkawinan kami. Dari sekian banyak pendapat yang masuk justru tidak memberikan jawaban malahan membuat saya semakin pusing.

Mohon bantuannya pengasuh rubrik hukum untuk dapat menjelaskan tentang perkawinan beda agama ini. Saya juga bingung apa bedanya antara kawin beda agama dengan kawin campur. Apa justru tidak ada bedanya sama sekali.

Salam,

David 

Jawab:

Sebelum masuk pada pertanyaan Bung David ada baiknya kami uraikan di bawah ini beberapa hal yang merupakan perkembangan yang terjadi dalam masyarakat dengan diberlakukannya Undang-Undang No.1 tahun 1974 tentang Perkawinan, yang perlu kiranya mendapatkan perhatian. Perkembangan yang terjadi merupakan suatu proses di dalam penerapan Undang-Undang Perkawinan, Undang-Undang No.1 Tahun 1974 yang perlu mendapatkan pemikiran lebih lanjut mengenai apa dan bagaimana hal tersebut harus diatur sebagai upaya penyempurnaan maupun bagi penerapan Undang-Undang Perkawinan, yang diharapkan akan dapat lebih menjamin terciptanya kepastian hukum. Hal mana terjadi dikarenakan peristiwa perkawinan antar mereka yang berbeda seperti yang Bung hadapi banyak terjadi.

Dalam hal ini perlu dikemukakan pendapat Prof. Hazairin, SH., yang menyatakan bahwa Undang-Undang Perkawinan, Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 merupakan hasil maksimal yang dapat dicapai di dalam pengaturan bidang hukum keluarga, yang oleh beliau secara tersirat dinyatakan, sebagai suatu hal yang patut dibanggakan karena berhasil mengatur suatu bidang hukum yang peka dalam bentuk pengaturan yang menunjukkan kesatuan dalam kebhinekaan dalam masyarakat Indonesia, dengan menyatakan bahwa Undang-Undang Perkawinan telah menciptakan suatu unifikasi dalam yang unik dalam di bidang hukum keluarga. Diakui pula bahwa Undang-Undang No.1 Tahun 1974 belum mengatur secara lengkap dan sempurna mengenai hal-hal yang berkaitan dengan perkawinan dan hal itu merupakan kewajiban para ahli hukum dan lembaga administrasi lainnya untuk menyempurnakannya dengan tetap memperhatikan hukum agama sebagai sendi utama undang-undang tersebut.

Undang-Undang No.1 Tahun 1974 belum memberikan upaya untuk memberikan solusi, bahkan belum mengemukakan pendapat peribadi tentang suatu hal dalam setiap perkembangan yang terjadi karena untuk itu masih perlu penelitian lebih lanjut. Khususnya dalam hal yang berkaitan dengan perkawinan yang dilangsungkan oleh mereka yang berbeda agama.

Konsepsi Perkawinan

  1. Landasan Hukum

Dalam kaitan dengan konsepsi perkawinan, yang dimaksudkan ialah pengaturan di dalam Pasal 2 Undang-Undang Perkawinan, yang menentukan bahwa perkawinan adalah sah jika dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu. Jadi dalam hal ini dapat disimpulkan bahwa undang-undang perkawinan menentukan bahwa sahnya perkawinan didasarkan pada hukum agama, berbeda dengan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang menentukan bahwa perkawinan hanya dapat dilihat dari segi perdatanya atau merupakan perkawinan perdata, seperti dapat kita simpulkan dalam Pasal 26 KUHPerdata.

Berdasarkan pola pengaturan tersebut di atas maka banyak pendapat yang dikemukakan berkaitan dengan prinsip yang tercantum di dalam ketentuan tersebut antara lain:

Hazairin menyatakan bahwa Undang-Undang Perkawinan telah menciptakan unifikasi hukum yang unik di bidang hukum keluarga. Hal ini didasarkan pada pemikiran bahwa di Indonesia diberlakukan satu undang-undang, yakni undang-undang perkawinan, namun undang-undang tersebut dengan memperhatikan hukum agama, mengingat sifat heterogen masyarakat Indonesia sehingga memberlakukan konsepsi perkawinan agama, yakni bahwa perkawinan adalah sah apabila dilangsungkan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaan mereka itu. Artinya memperhatikan apa yang ada dalam masyarakat dan mendasarkan sahnya perkawinan  menurut hukum agama dan kepercayaan mereka itu. Artinya memperhatikan apa yang ada dalam masyarakat dan mendasarkan sahnya perkawinan menurut hukum agama dan kepercayaan masing-masing. (Pasal 2 Undang-Undang Perkawinan).

Yahya Harahap menyatakan bahwa dengan diundangkannya Undang-Undang Perkawinan, Undang-Undang No. 1 Tahun 1974, maka dapat dikatakan telah terdapat suatu unifikasi hukum, hakekat yang timbul ialah faktor pilihan hukum.

Sedangkan M.M. Pasaribu menyatakan bahwa dengan diberlakukannya Undang-Undang Perkawinan maka di Indonesia telah berlaku suatu pluralisme baru di bidang hukum keluarga, pendapat ini didasarkan antara lain pada Pasal 2, 37, dan Pasal 66 Undang-Undang Perkawinan.

Sardjono dan R. Subekti, tidak memberikan pendapat yang spesifik mengenai apa yang terjadi setelah diberlakukannya Undang-Undang Perkawinan, namun dapat disimpulkan bahwa Undang-Undang Perkawinan bertujuan untuk menciptakan unifikasi di bidang hukum keluarga, mengantar terbentuknya unifikasi di bidang hukum keluarga di Indonesia.

Berdasarkan hal tersebut di atas kiranya perlu dikaji perkembangan dewasa ini bahwa dengan diberlakukannya Undang-Undang Perkawinan, Undang-Undang No. 1 Tahun 1974, ternyata di Indonesia kiranya dapat ditafsirkan bukan hanya terdapat pluralisme di bidang hukum, melainkan dapat disimpulkan bahwa Undang-Undag Perkawinan telah menciptkan prinsip multisistem di bidang hukum dalam pengaturan masyarakat, di bidang hukum keluarga. Artinya satu Undang-Undang, yaitu Undang-Undang Perkawinan yang berlaku untuk seluruh warga negara Indonesia, akan tetapi, di dalamnya telah menunjuk lebih dari satu sistem hukum yang  diberlakukan secara bersamaan, misalnya hukum agama, yang terdiri dari hukum agama Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha, seperti dapat disimpulkan dalam Pasal Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 dan hukum adat dan peraturan-peraturan yang lain, KUHPerdata, dan sebagainya. Sebagaimana disimpulkan Pasal 66 Undang-Undang Perkawinan.

Apa perlu diwaspadai dalam pola pengaturan demikian ialah kemungkinan terjadinya ketidakpastian hukum di dalam penerapan Undang-Undang Perkawinan tersebut. Tentunya hal ini perlu mendapatkan perhatian kita semua, dan perlu di kaji terlebih dahulu apakah pendapat demikian adalah benar.

Prof. Satjipto Rahardjo, SH., menyatakan bahwa pluralisme hukum tidak identik dengan terciptanya ketidakpastian hukum, sebagaimana telah dialami oleh Indonesia dengan dikelompokkannya masyarakat Indonesia menjadi berbagai golongan penduduk dan diberlakukannya bagi mereka berbagai sistem hukum yang berbeda. Keadaan demikian menurut Prof. Satjipto Rahardjo, SH., merupakan pluralisme hukum, akan tetapi tetap dapat menwujudkan adanya kepastian hukum. Hal tersebut berbeda dengan diberlakukannya satu undang-undang yang memberlakukan berbagai sistem hukum dalam kesatuan pengaturan (pola multisistem), yang menurut hemat kami justru akan dapat menimbulkan ketidakpastian hukum.

  1. Perkawinan antara Mereka yang mempunyai agama berbeda apakah merupakan perkawinan percampuran?

Berdasarkan Pasal 57 Undang-Undang Perkawinan, perkawinan campuran diartikan sebagai suatu perkawinan antara dua orang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, karena perbedaan kewarganegaraan, salah satu pihak berkewarganegaraan asing dan salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia. Dari ketentuan tersebut lazim disimpulkan bahwa perkawinan campuran di Indonesia diartikan hanyalah perkawinan antara mereka yang mempunyai kewarganegaraan yang berbeda, sedangkan perkawinan antara mereka yang berbeda agama bukan termasuk dalam perkawinan campuran, jika dilakukan oleh warga negara. Hal ini dalam perkembangannya banyak menimbulkan penafsiran dan masalah.

Menafsirkan perkawinan campuran hanya merupakan perkawinan yang dilangsungkan antara mereka yang berbeda kewarganegaraan. Penafsiran perkawinan campuran hanya meliputi pengertian antara mereka yang berbeda kewarganegaraan, selain bertentangan dengan jiwa yang terkandung dalam pengaturan undang-undang, yakni pasal 57 undang-undang perkawinan, juga terlalu sempit, karena tidak mencakup perkawinan yang dilakukan oleh warganegara, yang mungkin sekali mereka itu tunduk kepada sistem hukum yang berlainan.

Perbedaan kewarganegaraan merupakan salah satu yang menyebabkan adanya perkawinan campuran, artinya perbedaan kewarganegaraan tersebut memang dapat menimbulkan terjadinya perkawinan campuran, karena antara mereka yang melangsungkan perkawinan, yang berbeda kewarganegaraan tersebut tunduk pada hukum yang berlainan. Jadi, ukuran perkawinan campuran bukan terdapat pada perbedaan kewarganegaraannya, melainkan karena suami istri yang bersangkutan  yang akan melangsungkan perkawinan tunduk pada hukum yang berlainan, yang dapat disebabkan karena perbedaan kewarganegaraan. Perkawinan antara mereka yang berbeda kewarganegaraan, tetapi tunduk pada hukum yang sama bukanlah merupakan perkawinan campuran.

Ukuran perkawinan campuran bukanlah didasarkan pada kewarganegaraan yang berbeda, tetapi karena berlakunya hukum yang berbeda pada suami istri yang akan melangsungkan perkawinan tersbut (suami istri tunduk pada hukum yang berlaina), dan hal ini sebenarnya telah dinyatakan dengan tegas dalam Undang-Undang Perkawinan, Pasal 57, dalam mengartikan perkawinan campuran, bahwa di Indonesia perkawinan campuran, bahwa di Indonesia perkawinan campuran ialah perkawinan antara mereka yang tunduk pada sistem hukum yang berlainan. Kewarganegaraan merupakan salah satu faktor yang menyebabkan adanya sistem hukum yang berlainan, pada suami istri yang akan melangsungkan perkawinan sehingga meskipun kewarganegaraan berbeda, tetapi suami istri tersebut tunduk pada sistem hukum yang sama, maka dapat diartikan bahwa antara mereka tidak terjadi perkawinan campuran.

Dengan demikian dapat diartikan bahwa perkawinan antara mereka yang mempunyai kewarganegaraan sama, tetapi tunduk pada sistem hukum yang berlainan maka perkawinan mereka itu termasuk juga dalam perkawinan campuran, misalnya perkawinan antar mereka yang berbeda agama juga termasuk dalam perkawinan campuran.

Perkawinan campuran dalam Pasal 57 Undang-Undang Perkawinan pada dasarnya ditafsirkan perkawinan antar mereka yang tunduk pada sistem hukum yang berlainan, karena perbedaan kewarganegaraan. Artinya dititikberatkan pada adanya sistem hukum yang berlainan, sehingga kalau mereka yang menikah mempunyai kewarganegaraan  yang berbeda akan tetapi tunduk pada sistem hukum yang sama , bukan merupakan perkawinan campuran. Perbedaan kewarganegaran dapat disertai dengan perbedaan agama, tetapi dapat pula dilangsungkan oleh mereka yang mempunyai agama yang sama. Nurdin M Top menikah di Indonesia, dengan wanita Indonesia yang agamanya sama, berbeda warga negara, tetapi dari sisi perkawinannya tidak menjumpai masalah. Warga negara asing menikah dengan warga negara Indonesia, yang mempunyai perbedaan agama, akan menjumpai masalah, demikian juga sesama warga negara Indonesia yang berbeda agama, yang akan menikah, mereka mempunyai masalah pula. Masalahnya timbul bukan karena perbedaan kewarganegaraan semata-mata tetapi justru karena perbedaan agama, karena masyarakat ingin mematuhi ketentuan Pasal 2 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974.

Pertanyaan timbul, apakah perkawinan antara mereka yang mempunyai warga negara yang sama, identik dengan berlakunya hukum yang sama, apakah tidak mungkin bahwa mereka tunduk pada hukum yang berlainan? Bila masih terdapat keraguan, maka harus dipermasalahkan selanjutnya apa inti makna pengertian perkawinan campuran.

Mengartikan perkawinan campuran semata-mata sebagai perkawinan antara mereka yang berbeda kewarganegaraan, menurut hemat kami terlalu sempit dan dipaksakan. Pembentukan undang-undang menutup kemungkinan terjadinya perkawinan campuran antara mereka yang tunduk pada sistem hukum yang berlainan, yang tidak disebabkan karena perbedaan kewarganegaraan, misalnya perbedaan agama. Apakah perkawinan antara mereka yang beda agama diartikan tunduk pada hukum yang sama. Penafsiran demikian justru bertentangan dengan hakekat makna yang terkandung dalam Pasal 2 Undang-Undang Perkawinan, bahwa perkawinan adalah  sah jika dilangsungkan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaan mereka itu.

Berbagai cara yang ditempuh Pasangan Yang berbeda agama

  1. Meminta Penetapan Pengadilan

Salah satu cara pasangan yang berbeda agama untuk melangsungkan perkawinan adalah dengan meminta penetapan pengadilan terlebih dahulu. Atas dasar hal tersebut pasangan  suami istri tersebut melangsungkan perkawinan di hadapan pegawai catatan sipil. Dalam perkembangannya perkawinan demikian tidak dapat dilaksanakan, karena adanya Keppres No. 12 Tahun 1983, yang secara gasir besar menentukan bahwa pegawai Catatan Sipil dilarang untuk melangsungkan perkawinan, melainkan hanya bertugas mencatat perkawinan.

  1. Perkawinan dilangsungkan menurut hukum masing-masing agama

Perkawinan demikian misalnya dilangsungkan terlebih dahulu menurut agama suami, kemudian sesudah itu perkawinan dilangsungkan menurut agama istri. Hal ini sesuai dengan pendapat Prof. Subekti, SH. yang menyatakan, bahwa jika ditafsirkan secara gramatikal kalimat menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu, sebenarnya dapat diartikan perkawinan sebagaimana sebagai dimaksud tersebut di atas.

  1. Suami istri yang akan melangsungkan perkawinan melakukan pilihan dalam perkawinan agama yang berbeda

Suami istri yang akan melangsungkan perkawinan melakukan pilihan dalam perkawinan agama yang berbeda, maka suami istri yang melangsungkan perkawinan sepakat terlebih dahulu, akan memilih tunduk pada hukum agama yang mana, dan berdasarkan hal tersebut, maka perkawinan tersebut dilangsungkan. Jika salah seorang suami atau istri bersedia merubah keyakinan yang dianutnya, maka tidak menjadi masalah, karena suami istri menjadi pemeluk agama yang sama.

  1. Suami istri melangsungkan perkawinan di Luar negeri

Pilihan yang banyak dilakukan ialah suami istri melanngsungkan perkawinan di luar negeri. Dengan memegang dasar pada ketentuan Pasal 56 Undang-Undang Perkawinan, di mana dalam waktu satu tahun setelah kembali ke Indonesia, suami istri tersebut harus mendaftarkan perkawinan yang telah dilangsungkan di luar negeri tersebut. Pendaftaran hanya semata-mata bersifat administratif, tidak mempengaruhi sah atau tidaknya perkawinan tersebut. Pendapat lain menyatakan bahwa Pasal 2 Undang-Undang Perkawinan, tidak dapat disimpangi dengan ketentuan Pasal 56, sehingga perkawinan antara mereka yang berbeda agama yang dilangsungkan di luar negeri tidak sah. Namun demikian, meskipun tidak sah, Catatan Sipil menerima pencatatan perkawinan yang dilangsungkan di luar negeri tersebut. Hal ini tidak berkaitan dengan aspek sah atau tidaknya perkawinan, namun hanya sebagai pelaporan, yang sifatnya menghargai lembaga yang pelangsungannya telah dilaksanakan di luar negeri.

Demikian kiranya dapat kami sampaikan semoga informasi ini dapat bermanfaat (DL–AWH, Sumber Pekawinan Beda Agama dan Permasalahannya, Prof. Wahyono Darmabrata, Seminar Sehari “Peran Kantor Catatan Sipil dalam Perkawinan Beda Agama Yang Dilaksanakan Di Dalam dan Luar Negeri”)

Scroll to Top
Open chat
1
Selamat datang di D-LEAD ada yang bisa kami bantu ?