Pendahuluan
Kepastian hukum adalah terminologi yang selalu dikemukakan dalam segala bentuk permasalahan yang pastinya merupakan suatu hal (polemik) yang mendampingi setiap upaya penegakkan hukum. Apatisme masyarakat Indonesia yang sangat menyangsikan penegakkan hukum dan terciptanya suatu kepastian hukum sudah merupakan suatu titik nadir yang sangat memprihatikan. Namun, ada baiknya jikalau diperhatikan titik taut kepastian hukum dalam skala yang lebih makro, yaitu suatu kerangka sistem kerja sebuah organisasi negara dan perangkat hukum yang ada.
Indonesia sebagaimana ditegaskan dalam Amandemen Ketiga Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 1 ayat (3)-nya menetapkan, bahwa Indonesia adalah negara hukum. Konsekuensi negara hukum bagi Indonesia adalah sebuah konsekuensi yang bersifat yuridis, yaitu dikarenakan dalam sebuah tatanan masyarakat yang bersifat sangat majemuk dengan beragam kepentingan dan latar belakang, menjadikan penciptaan akan adanya penyeragaman tentang pemahaman konstruksi negara hukum menghadapi berbagai hambatan dan kesulitan yang signifikan. Kesulitan ini telah membumi tetapi terkadang tidak disadari oleh seluruh komunitas masyarakat Indonesia dikarenakan variabel-variabel kepentingan maupun tingkat kecerdasan masyarakat yang satu sama lain begitu beragam.
Tingkat kecerdasaan suatu bangsa memiliki arti penting dalam pembangunan hukum ataupun penciptaan proses demokratisasi hukum. Apakah keadaan bergejolak yang dialami oleh Indonesia ini merupakan sebuah harga yang harus dibayar dalam proses demokratisasi di segala bidang atau justru hal ini merupakan kesalahan dari kelompok-kelompok yang merupakan anggota dalam sebuah struktur organisasi kenegaraan.
Aparat penegak hukum merupakan salah satu unit dari berbagai alat perlengkapan negara dalam membangun dan mempertahankan dinamika perkembangan sebuah organisasi negara. Advokat, yang merupakan kajian penulis, adalah salah satu unit mikro pembangunan bidang hukum yang memiliki peran penting dalam penegakan dan pembelajaran hukum bagi masyarakat sebuah negara. Arti penting ini kerapkali dipahami dalam tatanan praktis hanya sebatas sebuah profesi hukum dan tidak memiliki makna yang sedemikian universal dalam sebuah organisasi kenegaraan.
Saat ini profesi advokat tengah terus membangun citra dan membenahi diri melalui Perhimpunan Advokat Indonesia (PERADI), termasuk pula seluruh anggota asosiasi yang tergabung dan secara bersama-sama membangun dan mendirikan PERADI. Tidak lain upaya ini untuk menepis anggapan masyarakat bahwa advokat merupakan profesi yang ekslusif dan semata-mata mengejar materi dibandingkan untuk menegakkan hukum dan keadilan. Upaya ini patut untuk dihargai dan terus dipacukembangkan agar advokat dalam kiprahnya tetap menancapkan nilai-nilai luhur dalam mengemban tugas selaku profesional dan tidak mengikuti kehendak dari bouwheer yang menghendaki penghalalan cara melalui rekayasa legitimasi hukum terhadap suatu kasus ataupun perkara. Sehingga yang kita tegakkan adalah ‘Kitab Undang-Undang Hukum Pidana’ dan bukan ‘Kasih Uang Habis Perkara.’
Sebagaimana dikatakan bahwa pengembanan profesi hukum pada semua bidang karya hukum (jadi pengembanan profesi hakim, advokat, jaksa, notaris dan polisi) harus selalu dilakukan dengan mengacu pada cita-cita hukum atau rechtsidee (ketertiban, preditktabilitas, kepastian hukum, kegunaan sosial dan keadilan) demi pengayoman bagi setiap manusia yang berakar dalam penghormatan atas martabat manusia (respect for human dignity). Hal ini mengimplikasikan bahwa pengembanan profesi hukum selalu dimaksudkan untuk secara bermartabat mewujudkan cita hukum ke dalam kenyataan. Hal ini mengimplikasikan juga bahwa pengembanan profesi hukum itu harus dilaksanakan dengan menghormati etika profesi hukum.
Advokat
Sebelum berbicara lebih jauh lagi perlu kiranya penulis memberikan sedikit ulasan tentang definisi dari terminologi advokat, yang kiranya dapat dijabarkan antara lain sebagai berikut:
- Kata advokat berasal dari bahasa latin advocare yang artinya adalah ‘membela’
- Definisi advokat menurut Undang-Undang No.18/2003 tentang Advokat ialah “orang yang berprofesi memberi jasa hukum, baik di dalam maupun di luar pengadilan yang memenuhi persyaratan, berdasarkan ketentuan undang-undang ini.”
- Dalam KUHAP, khususnya Pasal 1 butir 13 menyatakan bahwa “seorang penasehat hukum adalah seorang yang telah memenuhi syarat yang ditentukan oleh atau berdasarkan undang-undang untuk memberikan bantuan hukum.
- Advokat, pengacara dan penasehat hukum dalam praktek hukum di Indonesia adalah orang yang mewakili kliennya untuk melakukan tindakan hukum berdasarkan surat kuasa yang diberikan untuk pembelaan atau penuntutan pada acara persidangan di pengadilan atau beracara di pengadilan (litigator). Sedangkan konsultan hukum adalah orang yang bekerja di luar pengadilan yang bertindak memberikan nasehat-nasehat dan pendapat hukum terhadap suatu tindakan/perbuatan hukum yang akan dan yang telah dilakukan kliennya (non litigator).
Pengertian-pengertian yang diberikan terhadap istilah advokat ini di Indonesia terus berkembang secara cepat seiring dengan tuntutan demokrasi dan hak asasi manusia.
Pada prakteknya terbersit adanya pertentangan anggapan tentang terminologi ‘pengacara’, yaitu ada sekalangan praktisi yang beranggapan bahwa pengacara secara ekslusif adalah para pengacara praktek yang menangani kasus-kasus peradilan, atau yang lazim dikenal dengan istilah pengacara litigasi/litigator. Sedangkan, bagi mereka yang tidak termasuk dalam kelompok tersebut, maka terhadap mereka tidak dapat dikatakan masuk dalam kelompok pengacara, seperti halnya konsultan hukum. Tidak pelak tanggapan ini menimbulkan kontra bagi mereka yang tidak menerima adanya pembatasan pemahaman akan profesi pengacara yang jelas merugikan atau mendiskreditkan kepentingannya.
Dari beberapa pengertian sebagaimana disebutkan di atas dapatlah kita mengambil kesimpulan bahwa advokat sebagaimana diintrodusir oleh Undang-Undang No.18/2003 adalah merupakan pengertian dan istilah yang dianggap sangat lugas, demokratis dan aspiratif serta akomodatif.