Analisa Kantor Perwakilan Perusahaan Perdagangan Asing Terkait dengan Kebijakan Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi serta Peran Serikat Buruh Sejahtera Indonesia

Share :

Oleh: Ari Wahyudi Hertanto, S.H., M.H.

Pendahuluan

Indonesia merupakan negara yang ada dan keberadaannya diperoleh melalui perjalanan sejarah yang cukup panjang dan dengan segala perjuangannya berhasil memperoleh pengakuan dunia internasional dengan asas negara nusantara (wawasan nusantara) dalam penentuan wilayah negara yang meliputi seluruh daratan, pulau dan laut sekelilingnya. Tidak dipungkiri bahwa kemajemukan masyarakatnya dan potensi yang dimiliki oleh bangsa Indonesia, baik dalam bentuk sumber daya manusia maupun sumber daya alam serta potensi-potensi lainnya yang masih belum digali merupakan aset yang sangat bernilai tinggi dan sangat strategis tetapi masih belum dioptimalkan.

Dengan turut memperhatikan faktor-faktor sebagaimana yang telah diuraikan di atas, maka Indonesia merupakan salah satu negara yang dijadikan incaran para investor asing sebagai lokasi penanaman modal dan usaha. Komponen-komponen yang turut menjadi daya tarik bagi investor asing adalah selain sumber kekayaan alam yang tersedia dan banyak tersedianya sumber daya manusia yang secara spesifik lagi adalah dengan turut memperhatikan tingkat populasi masyarakat Indonesia. Tingginya tingkat populasi masyarakat tersebut mengakibatkan harga tenaga kerja Indonesia relatif murah dan bersaing dengan tenaga kerja negara-negara mancanegara lainnya seperti salah satunya Cina. Namun, perlu kiranya untuk diperhatikan bahwa tidak jarang komitmen dari segelintir tenaga kerja Indonesia dipandang merugikan para pengusaha, dimana terdapat kelompok-kelompok pekerja yang berbuat nakal terhadap pemberi kerja mereka, yang notabene adalah para investor asing.

Oleh karena peran serta negara-negara asing dalam proses pembangunan negara Republik Indonesia secara tidak langsung dipandang sebagai suatu hal yang penting dan signifikan, dimana secara tegas-tegas ketergantungan Indonesia terhadap adanya peran investor asing (baca multinational corporation) dimaksud, yang kemudian diimplementasikan dalam berbagai bentuk kerjasama, bantuan dan alih teknologi serta berbagai pendayagunaan tenaga asing lainnya, dimana secara umum dikatakan masih sangat dibutuhkan. Sebagaimana yang telah kita ketahui bersama bahwa dalam kondisi perekonomian dipenghujung tahun 2003 ini merupakan suatu kondisi yang hampir dapat dikatakan mustahil untuk dilakukannya pemulihan perekonomian bangsa Indonesia tanpa didukung keberadaan investor asing. Salah satu alternatif lainnya yang dimiliki oleh Indonesia adalah dengan mengajukan permohonan terhadap institusi perbankan ataupun moneter internasional untuk bersedia memberikan kucuran dana pinjaman dan bantuan atau dalam bentuk finansial guna menunjang perekonomian negara, tetapi tidak jarang pada prakteknya harus dibayar mahal oleh negara yang tidak semata-mata berupa pengembalian pinjaman pokok berikut bunga serta ikutan lainnya, melainkan juga dengan kondisi-kondisi dan prasyarat-prasyarat lainnya, yang harus dipenuhi oleh pemerintah yang bertindak untuk dan atas nama bangsa dan negara sebagai kompensasi pemberian pinjaman atau dana bantuan dimaksud.

Sejak tahun 1997, kebijakan publik pemerintah di bidang ketenagakerjaan belum dapat mendorong situasi yang kondusif bagi investor asing maupun domestik. Hal ini tercermin dari jumlah investor yang terus menurun. Nilai persetujuan PMA turun dari US$ 33,8 milyar pada tahun 1997 menjadi US$ 9,7 milyar pada tahun 2002. Menurut BKPM, realisasi investasi PMA tahun 1995 sebesar 13,7%; tahun 1997 sebesar 5,5% dan pada tahun 2002 diperkirakan tidak lebih dari 5,0%.[1] Seiring dengan tingkat stabilitas perekonomian nasional yang sangat dipengaruhi oleh faktor sosial politik lainnya, terlebih dengan akan dilaksanakannya pemilihan umum 2004 yang menjadikan kondisi politik yang tidak stabil memberikan imbas kepada gairah perekonomian nasional.

Penurunan realisasi investasi PMA yang sangat tajam tersebut tentunya disebabkan oleh banyak faktor yang menjadi dasar pertimbangan investor. Hasil survey yang dilakukan oleh Japan Bank for International Cooperation (JBIC) tahun 2000 lalu menunjukkan bahw dari 791 perusahaan Jepang yang melakukan investasinya di luar Jepang, menyatakan bahwa “local labor difficulties (labor and management relationship, etc.)” bukan merupakan faktor yang secara negatif menanamkan modalnya ke luar negeri. Hanya 22,6% dari responden yang menyatakan bahwa masalah hubungan ketenagakerjaan mempengaruhi keputusan mereka. Sedangkan 88,7% responden, menyatakan bahwa faktor utama yang memiliki penaruh negatif terhadap putusan mereka adalah “local government and social conditions”. Selanjutnya 69,9% responden menyatakan bahwa “local (intra regional) curancy stability” merupakan faktor yang mempengaruhi keputusan mereka sebelum menanamkan modal mereka di luar Jepang. Meskipun masalah ketenagakerjaan bukanlah satu-satunya faktor yang mempengaruhi keputusan calon investor, namun masalah ketenagakerjaan harus tetap diwaspadai.[2]

Salah satu upaya pemerintah dalam menunjukkan kesungguhannya menangani masalah ketenagakerjaan adalah dengan mengesahkan undang-Undang No.13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (“UU No.13/2003”) yang harapannya dapat memberikan jaminan kepastian hukum. Meskipun demikian dilansir oleh beberapa kalangan akademisi, praktisi hukum maupun pengusaha yang menilai undang-undang tersebut secara internal pasal-pasalnya masih inkonsisten. Kedepannya menimbulkan suatu ketidakpastian dalam efektifitas undang-undang tersebut, yang sudah barang tentu akan berimbas pada sektor investasi asing. Namun demikian, dalam kesempatan ini penulis membatasi penulisan hanya pada lingkup permasalahan ketenagakerjaan pada sektor kantor perwakilan perdagangan asing dengan merujuk pada ketentuan yang mengatur seputar aspek ketenagakerjaan dimaksud serta dengan memperhatikan peran serta dan kontribusi Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (“SBSI”).

Tulisan ini disusun dengan dilatarbelakangi oleh suatu dasar pemikiran agar dapat dibuat pemetaan secara lebih mendalam tentang aspek-aspek yang berhubungan langsung dengan proyeksi dan kepentingan investor asing, terutama dalam hal ini penulis berkeinginan untuk secara khusus meninjau bentuk-bentuk kegiatan yang dilakukan oleh para pelaku bisnis mancanegara, yang lebih ditekankan pada perwakilan perdagangan asing dikaitkan dengan lingkup perundang-undangan dan peraturan-peraturan baik yang bersifat administratif maupun teknis mengatur bidang tersebut.

Sebelum dikaji secara lebih mendalam lagi, secara umum kantor klasifikasi perwakilan asing di Indonesia dibedakan berdasarkan jenis, maksud dan tujuan dari didirikannya, yang dibedakan berdasarkan 3 (tiga) kategori umum, yaitu sebagai berikut:

  1. Kantor perwakilan asing yang didirikan dan tunduk pada ketentuan Badan Koordinasi Penanaman Modal (“BKPM”), yang tunduk pada ketentuan Ketua BKPM melalui Surat Keputusan BKPM No.38/SK/1999 tentang Pedoman dan Tata Cara Permohonan Penanaman Modal yang Didirikan Dalam Rangka Penanaman Modal Dalam Negeri dan Penanaman Modal Asing di Indonesia, yang dikeluarkan pada beserta seluruh ketentuan peraturan pelaksanaannya.
  2. Kantor perwakilan asing dibidang jasa konstruksi, sebagaimana yang telah kita ketahui bersama bahwa lingkup bidangnya sangat spesifik, sehingga khusus untuk pendirian kantor perwakilan dibidang jasa konstruksi tunduk pada ketentuan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No.50/PRT/PRT/1991.
  3. Kantor perwakilan perusahaan perdagangan asing yang berada di bawah pengaturan Departemen Perindustrian dan Perdagangan Republik Indonesia sebagaimana yang dituangkan dalam Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan No.402/MPP/Kep/11/1997 tentang Ketentuan Perizinan usaha Perwakilan Perusahaan Perdagangan Asing.

Dari ketiga uraian singkat tersebut diatas, maka dalam rangka penyusunan tulisan ini akan lebih ditekankan pada kantor perwakilan perusahaan perdagangan asing sebagaimana yang dijelaskan pada butir 3 tersebut di atas. Namun, penulis menilai perlu untuk dilakukannya penjabaran secara umum tentang ketiga bentuk kantor perwakilan sebagaimana tersebut di atas sebagai bahan perbandingan dari lingkup kerja dan batasan-batasan kewenangan yang diberikan oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia.

Tulisan ini akan melakukan spesifikasi terbatas hanya pada lingkup pembahasan korelasi antara peraturan-peraturan yang berlaku dan mengatur tentang perwakilan perusahaan perdagangan asing dengan ketentuan-ketentuan yang mengatur mengenai masalah ketenagakerjaan serta peran Serikat Buruh Sejahtera Indonesia dalam upaya menyiasati agar dapat mendorong kantor perwakilan tersebut secara sedemikian rupa untuk merubah status perwakilannya dan menjalankan kegiatan usahanya di Indonesia.

Penyusunan tulisan ini dilakukan dengan alasan dikarenakan diindikasikan telah banyak terjadi pelanggaran ataupun pelampauan wewenang terhadap peraturan/ketentuan Departemen Tenaga Kerja Republik Indonesia yang mengatur tentang Tenaga Kerja Asing di Indonesia, yang salah satunya adalah ketentuan yang mensyaratkan wilayah kerja kantor perwakilan perdagangan diwajibkan berlokasi didaerah propinsi tingkat I. Namun pada kenyataannya sering pula dijumpai kantor perwakilan tersebut melakukan operasinya didaerah Kabupaten Tingkat II. Kendala-kendala tersebut timbul dan mengakibatkan sebagai salah satu pelanggaran tetapi bilamana ditelaah secara lebih mendalam lagi sebenarnya terdapat suatu benturan hukum yang secara teknis identik dengan inter governmental policy impact, atau dengan kata lain terjadi gesekan antar institusi kepemerintahan sehubungan dengan kebijakan yang telah dikeluarkan yang terjadi baik yang terkait secara langsung maupun tidak langsung berkenaan dengan kantor perwakilan dimaksud maupun dengan departemen dan instansi terkait yang berhubungan langsung dengan didirikannya perusahaan perwakilan dimaksud. Sehingga dan oleh karenanya diperlukan adanya suatu tatanan yang tidak semata-mata normatif dan proforma, melainkan perlu adanya suatu kebijakan tegas yang mencantumkan tidak semata-mata hak dan kewajiban tetapi juga meliputi sanksi baik administratif maupun pidana dengan melihat dari derajat pelanggaran yang terjadi, sehubungan dengan tata cara pendirian perwakilan perusahaan perdagangan di Indonesia.

Ide semacam ini tidak akan terwujud selama tidak dan/atau belum terbentuknya suatu sinergi kerja yang baik antara departemen dan instansi-instansi terkait. Alasan fundamental dari gagasan ini dikarenakan, karena kurangnya koordinasi dalam antara departemen dan instansi terkait berakibat timbulnya over lapping dalam pelimpahan wewenang maupun pembagian tugas, sebagaimana salah satunya dalam perumusan suatu kebijakan yang hanya dikeluarkan secara mandiri oleh salah satu departmen atau instansi yang tidak terlebih dahulu dikoordinasikan dan/atau dikonsultasikan dengan departemen atau instansi terkait lainnya. Oleh karenanya secara aktual akan terjadi gesekan kepentingan yang seharusnya merupakan tanggungjawab bersama dan hal yang tidak kalah pentingnya adalah akan terdapat pihak-pihak yang secara jelas mengalami kerugian akibat ketidak jelasan sistem yang dijalankan oleh masing-masing departemen dan instansi.

Pada lingkup pelaksanaannya terdapat beberapa kendala yang timbul dan perlu untuk mendapatkan solusi yang optimal guna mengatasi permasalahan yang timbul, antara lain yaitu:

  1. Esensi dari dilaksanakannya penulisan ini dilaksanakan sehubungan dengan terjadinya gesekan kepentingan dan kebijakan yang dipandang sebagai suatu hal yang kurang sehat dan menghambat dinamika dari efisiensi kerja yang dalam hal ini dikhususkan kepada inter departement policy antara Departemen Perindustrian dan Perdagangan Republik Indonesia dengan Departemen Tenaga Kerja Republik Indonesia.
  2. Kurangnya koordinasi atau aplikasi penerapan kebijakan/peraturan yang secara signifikan menunjukan perbedaan yang bersifat prinsipiil, secara umum bukanlah merupakan suatu hal baru. Tetapi justru diperlukan adanya suatu sistem-sistem dan pola-pola macam apa yang dapat diterima atau setidaknya dapat ditolerir oleh lembaga-lembaga yang mengeluarkan kebijakan, agar dapat terjadi suatu kesinambungan yang bersifat paralel dan sistematis serta mempermudah seluruh pihak yang berhubungan baik secara langsung ataupun tidak langsung, dan dengan berpedoman pada dasar pemikiran tentang bagaimana mengatasi timbul suatu permasalahan sehingga dapat terhindarkan penyelesaian permasalahan.
  3. Ketidakadaannya peraturan dalam tingkat perundang-undangan maupun peraturan perlaksanaan yang memperbaharui peraturan-peraturan yang berlaku dalam lingkup perwakilan perusahaan asing yang menurut hemat penulis telah memiliki rentang waktu yang sangat lama, tetapi belum terdapat tanda-tanda akan diberlakukannya baik dalam bentuk peraturan baru, perubahan, revisi maupun peraturan pelaksana dari peraturan-peraturan yang telah ada dan berlaku.
  4. Peran SBSI dalam menyikapi permasalahan tersebut di atas sebagai bagian daripada upaya konkrit SBSI dalam upaya membangun rakyat yang sejahtera.

Tulisan tentang perwakilan perusahaan perdagangan asing ini bersifat normatif yuridis dengan mengkaji lebih jauh efektifitas dan efisiensi berdasarkan ketentuan-ketentuan yang berlaku. Oleh karenanya secara umum tulisan ini disusun dan dibuat berdasarkan Kajian normatif dan yuridis ini akan dilakukan dengan penelusuran data-data yang diperoleh melalui penelitian kepustakaan, dan mencoba untuk menelusuri penulisan-penulisan maupun karya-karya ilmiah yang menunjang, yang kemudian antara hasil penelitian tersebut dibaurkan dengan kondisi faktual yang terjadi. Perumusan dari hasil penulisan ini akan dituangkan dalam beberapa poin sesuai dengan kronologis duduk permasalahan sampai dengan alternatif solusi yang ditawarkan serta akan ditambah dengan adalah poin tambahan yang menekankan pada hal-hal yang perlu diantisipasi sehubungan dengan koneksitas perundang-undangan dan peraturan-peraturan pemerintah lainnya seputar perwakilan perusahaan perdagangan asing. Sehingga pengaturan poin-poin dalam kerangka penyusunan ini masih terbuka peluang untuk dilakukan penyesuaian menurut kajian dan pembahan masalah.

Pembatasan terhadap tulisan ini akan dilakukan ekslusif terhadap ketentuan-ketentuan tentang perwakilan perusahaan perdagangan asing di Indonesia yang dikeluarkan oleh Departemen Perindustrian dan Perdagangan yang merujuk pada ketentuan di atasnya, yaitu undang-undang dan Keputusan Presiden Republik Indonesia. Pada kenyataannya permasalahan ini timbul dikarenakan adanya Keputusan Menteri Perindustrian yang berkaitan dengan masalah ketenagakerjaan pada perusahaan perwakilan dimaksud. Kualifikasi ini kami berikan berdasarkan pertimbangan bahwa agar tidak terjadi bias pokok pembahasan, mengingat begitu banyaknya peraturan-peraturan yang terintegrasi dengan tata cara pendirian, perizinan dan prosedur sehubungan dengan permasalahan ini, terlebih lagi dengan diberlakukanya ketentuan tentang otonomi daerah.

Sasaran penulisan ini adalah agar diketahui kendala yang terjadi yang menghambat perkembangan iklim usaha yang dapat mendorong arus investasi ke Indonesia. Tidak dapat dipungkiri bahwa bangsa Indonesia tidak dapat sepenuhnya mandiri tanpa keberadaan rekanan asing yang secara yang memiliki sumber teknologi dan dana yang dibutuhkan oleh negara Republik Indonesia. Oleh karenanya Keputusan Presiden Republik Indonesia No.90 tahun 2000 tertanggal 10 Juli 2000 tentang Kantor Perwakilan Perusahaan Asing (Keppres No.90/2000) bertujuan selain untuk membuka peluang perusahaan-perusahaan induk asing untuk melakukan evaluasi pasar yang terjadi di Indonesia, dengan harapan nantinya para investor asing tersebut akan menanamkan modal atau kembali menanamkan modalnya di Indonesia.

Tulisan ini diharapkan dapat memberikan pencerahan terhadap upaya pemecahan dan terobosan-terobosan aktual agar sistem dapat berjalan sesuai dengan yang diharapkan dan dengan turut meminimalisir terjadinya inter departement policy impact dan peran serta SBSI sebagai wujud komitmennya dalam upaya mensejahterakan kehidupan rakyat.

Pembahasan

  1. Umum.

Minat investor asing untuk menanamkan modalnya di Indonesia berdasarkan informasi yang penulis terima dari pejabat BKPM menurun secara drastis hingga 70% (tujuh puluh persen). Hal dimaksud sejalan dengan pendapat yang dilontarkan oleh Aburizal Bakrie dalam Surat Kabar Harian Kompas, yang menyatakan bahwa “tahun 2003 jangan harap investasi asing masuk ke negeri ini, jika kebijakan perdagangan tidak berpedoman terhadap kebijakan ketenagakerjaan, sehingga pengangguran tidak tidak akan pernah bisa diatasi.” Pendapat tersebut turut ditambahkan dengan kondisi yang didukung dengan data-data bahwa dengan hengkangnya para investor asing dari Indonesia mengakibatkan dampak pada tingkat pengangguran usia produktif di Indonesia pada dewasa ini adalah berkisar kurang lebih 40 juta orang sedangkan untuk setiap tahunnya tenaga kerja siap pakai ataupun lulusan berbagai macam lapisan pendidikan adalah berjumlah kurang lebih 2,5 juta orang. Oleh karenanya permasalahan ini harus dapat sesegera mungkin di atasi guna menimbulkan krisis perekonomian yang berkepanjangan dan dengan turut memperhatikan dampak yang ditimbulkan berskala nasional serta dapat mempengaruhi faktor keamanan dan ketertiban bangsa dan negara.

Kehadiran Tenaga Kerja Asing (TKA) pada perusahaan perdagangan asing tidak dapat dielakkan, karena disamping masih terbatasnya kemampuan, keahlian dan ketrampilan tenaga-tenaga kerja Indonesia dibidang perdagangan, juga berkaitan dengan penguasaan dan penerapan pengetahuan dan teknologi yang dimiliki pada kegiatan bidang usaha tertentu.[3]

Berkaitan dengan hal tersebut, maka kita sudah barang tentu dapat memahami sampai dengan saat ini negara kita sebagian besar masyarakatnya masih tergolong tradisional dan konvensional. Namun, dibalik kondisi yang serba terbatas ini Indonesia menyadari bahwa masyarakatnya memiliki potensial sebagai pasar dari produk-produk luar, selain menyikapi kebanyakan sifat masyarakat Indonesia yang sangat konsumtif. Menyikapi keadaan yang demikian ini perusahaan-perusahaan asing ingin melakukan ekspansi penjualan atas produk-produknya. Oleh karenanya tidak sedikit perusahaan-perusahaan asing yang melakukan kegiatan promosinya di Indonesia. Tetapi sebaliknya dikarenakan sifat masyarakatnya yang masih tergolong tradisional dan konvensional tersebut, maka produk-produk yang yang dihasilkan mulai dari kelompok masyarakat pengusaha kelas menengah ke bawah maupun pada kalangan industri kelas nasional pun turut menarik minat pangsa pasar asing. Tidak sedikit dari para pengusaha asing yang turut melakukan pemasaran terhadap produk lokal Indonesia dan bertindak sebagai perwakilan dagangnya di Indonesia yang antara lain berstatus sebagai Selling Agent, Manufacturing Agent, maupun Buying Agent.

Pemerintah Indonesia dalam menghadapi derasnya arus globalisasi dan teknologi, turut memberikan perhatian yang serius terhadap sektor perwakilan perusahaan asing, yaitu terbukti dengan dikeluarkannya Keppres No.90/2000. Secara tegas dalam Keppres No.90/2000 pada bagian menimbang tersebut disebutkan, bahwa untuk lebih menarik perusahaan asing untuk mendirikan kantor perwakilan di Indonesia, dipandang perlu untuk menyempurnakan kembali ketentuan pendirian kantor perwakilan perusahaan asing sebagaimana yang diatur dalam Keppres No.53 tahun 1983.[4]

Merujuk pada Keppres No.90/2000 tersebut di atas sebenarnya jelas, bahwa pemerintah tetap mengharapkan peran serta perusahaan-perusahaan asing. Namun, implementasi dari Keppres dimaksud masih merujuk pada ketentuan peraturan-peraturan terdahulu dan relatif sampai dengan saat belum terdapat perubahan.

Iklim investasi di Indonesia pada masa sekarang ini dipandang kurang mendukung bagi para investor asing dalam melakukan kegiatan penanaman modalnya, terkait dengan masalah sistem perundang-undangan dan peraturan-peraturan yang belum bahkan tidak dapat berjalan dengan semestinya. Sehingga timbul adanya animo negatif dari para investor yang dalam kapasitas bisnis mereka merasa dipersulit melalui birokrasi yang berbelit, sedangkan dilain sisi pemerintah tetap meminta para investor untuk tetap tidak beranjak dari Indonesia. Untuk menahan para pengusaha asing kali ini pemerintah harus melipat gandakan keseriusannya dikarenakan nasib bangsa dan negara merupakan taruhannya. Fakta yang telah terjadi adalah dengan hengkangnya beberapa raksasa industri seperti General Electric, Aiwa, Nike International dan Sony dari Indonesia.

  1. Beberapa Bentuk Kantor Perwakilan di Indonesia

Sebelum beranjak lebih jauh lagi, ada baiknya kita mengkaji dan memberikan sedikit bahan perbandingan secara lebih dalam mengenai beberapa kantor perwakilan asing yang eksistensinya diperkenankan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yaitu:

  1. Kantor perwakilan asing yang didirikan dan tunduk pada ketentuan Badan Koordinasi Penanaman Modal (“BKPM”), yang tunduk pada ketentuan Ketua BKPM melalui Surat Keputusan BKPM No.38/SK/1999 tentang Pedoman dan Tata Cara Permohonan Penanaman Modal yang Didirikan Dalam Rangka Penanaman Modal Dalam Negeri dan Penanaman Modal Asing di Indonesia (“SK-38”), yang dikeluarkan pada beserta seluruh ketentuan peraturan pelaksanaannya.

Merujuk pada ketentuan pada Bagian C SK-38, mengatur tentang kantor perwakilan wilayah perusahaan asing, dimana dalam pasal 11 SK-38 dinyatakan sebagai berikut:

(1)Pendirian Kantor Perwakilan Wilayah Perusahaan Asing (KPWPA) diluar bidang keuangan wajib memperoleh izin dari Meninves/Kepala BKPM;

(2)Permohonan izin sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diajukan 2 (dua) rangkap dengan menggunakan formulir KPWPA sebagaimana terdapat pada Lampiran 3, kepada Meninves/Kepala BKPM;

(3)Izin-izin pendirian KPWPA dikeluarkan oleh Meninves/Kepala BKPM, dan disampaikan kepada pemohon dalam bentuk Surat Izin dengan tembusan kepada instansi-instansi sebagai berikut:

(a) Menteri Keuangan;

  • Menteri Perindustrian dan Perdagangan;
  • Menteri Tenaga Kerja;
  • Kantor Perwakilan Republik Indonesia dinegara asal perusahaan asing;
  • Kedutaan/Perwakilan dari negara asal perusahaan asing di Jakarta;
  • Ketua Badan Koordinasi Penanaman Daerah yang bersangkutan.[5]

Berdasarkan isi dari pasal 11 tersebut di atas jelas bahwa klasifikasi kantor perwakilan sebagaimana yang dimaksud dalam butir ini adalah sebagai Kantor Perwakilan Wilayah Perusahaan Asing, dengan kata lain kantor perwakilan tersebut berkedudukan sebagai lembaga perwakilan asing yang ditunjuk oleh perusahaan induk/prinsipalnya dan bertugas untuk mengawasi jalannya perusahaan-perusahaan yang berada di bawah bendera yang sama dan bergerak dibidang bisnis dan industri, dan berada wilayah regional kantor perwakilan asing dimaksud yang didirikan diluar wilayah teritorial negara Republik Indonesia.

Kantor perwakilan untuk selanjutnya bertugas mengadakan pengawasan, koordinasi dan supervisi dengan perusahaan-perusahaan yang berada dalam lingkup tanggungjawabnya untuk kemudian dilaporkan kinerja dan produtivitasnya kepada perusahaan induk/prinsipal.

  1. Kantor perwakilan asing dibidang jasa konstruksi, sebagaimana yang telah kita ketahui bersama bahwa lingkup bidangnya sangat spesifik, sehingga khusus untuk maksud pendirian kantor perwakilan dibidang jasa konstruksi tunduk pada ketentuan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No.50/PRT/1991 tentang Perizinan Perwakilan dibidang Jasa Konstruksi (“Permen No.50/PRT/1991”).

Berhubung dengan dihapuskannya keberadaan Departemen Perkerjaan Umum, maka secara setiap pengurusan kantor perwakilan bidang jasa konstruksi dilakukan dibawah koordinasi Kantor Wilayah Pekerjaan Umum Bidang Jasa Konstruksi. Sebagaimana hasil riset lapangan penulis, dimana telah berhasil dperoleh konfirmasi tentang kemungkinan untuk dilakukannya perubahan terhadap Permen No.50/PRT/1991 rencananya akan dilakukan perubahan ataupun dikeluarkan peraturan perundang-undangan yang baru berikut peraturan pelaksanaannya yang semestinya sudah diberlakukan pada pertengahan tahun 2000.[6] Sehingga dan oleh karenanya Permen No.50/PRT/1991 dinyatakan masih tetap berlaku sampai dengan saat ini.

Kantor perwakilan bidang jasa konstruksi ini merupakan suatu bentuk perusahaan perwakilan dalam rangka kerjasama dengan perusahaan jasa konstruksi lokal atau bidang usaha lain yang memerlukan bantuan berupa dari perusahaan konstruksi asing, yang akhirnya dituangkan dalam suatu mekanisme joint venture agreement. Mekanisme kemitraan tersebut dibina antara pihak kontraktor asing dengan pihak pemerintah, yang dalam hal ini bekerjasama dengan pemerintah daerah setempat.

  1. Kantor perwakilan perusahaan perdagangan asing yang berada di bawah pengaturan Departemen Perindustrian dan Perdagangan Republik Indonesia sebagaimana yang dituangkan dalam Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan No.402/MPP/Kep/11/1997 tentang Ketentuan Perizinan usaha Perwakilan Perusahaan Perdagangan Asing (“Kepmen No.402/MPP/Kep/11/1997”).

Secara umum hal-hal pokok yang diatur dalam Kepmen No.402/MPP/Kep/11/1997 tersebut, meliputi:

(1)Bidang usaha, dimana secara umum perwakilan perusahaan perdagangan asing hanya diperkenankan bergerak dalam bidang kegiatan promosi, penelitian pasar, dan pengawasan pembelian dan penjualan, kecuali untuk ekspor, serta masih dilarang bergerak dalam bidang perdagangan pada umumnya.

(2)Kedudukan perwakilan perusahaan perdagangan asing, kantor perwakilan perusahaan perdagangan asing di Indonesia berkedudukan sebagai agen perusahaan asing di luar negeri di Indonesia guna memasarkan produk barang-barang baik produk impor maupun produk ekspor Indonesia sesuai dengan amanat yang diberikan oleh prinsipal luar negerinya. Penekanan lebih lanjut diberikan bahwa perusahaan perdagangan asing di Indonesia bukan sebagai cabang perusahaan asing diluar negeri di Indonesia yang memiliki otoritas mutlak dari kantor pusat untuk melaksanakan kegiatan kantor pusatnya di Indonesia.

(3)Pengaturan pendirian perwakilan perusahaan perdagangan asing.

Secara umum dapat ditarik suatu perbandingan dari ketiga bentuk kantor perwakilan sebagaimana yang telah diuraikan di atas, yaitu sebagai berikut:

  1. Ketiga bentuk kantor perwakilan tersebut keberadaannya di Indonesia adalah berdasarkan penunjukkan dari kantor pusatnya yang berkedudukan diluar negeri;
  2. Khusus untuk kantor perwakilan sebagaimana yang diuraikan dalam butir (1) dan (3) oleh ketentuan peraturan perundangan yang berlaku secara tegas tidak diperkenankan untuk membuat atau melakukan transaksi dengan pihak ketiga lainnya, baik dalam bentuk kontrak, perjanjian, memorandum of understanding, yang dapat dianggap sebagai suatu transaksi yang menimbulkan hak dan kewajiban dari para pihak didalamnya;
  3. Terdapat permasalahan mengenai pengunaan tenaga kerja asing yang bertugas di kantor perwakilan.

Jelas bahwa terkait dengan penggunaan tenaga kerja asing pendatang ketiga bentuk kantor perwakilan tersebut memiliki permasalahan yang cukup mendasar. Oleh karenanya kembali kepada topik kajian tulisan ini, penulis akan melakukan penelahaan lebih jauh lagi terhadap hal-hal yang terjadi dalam lingkup perwakilan perusahaan perdagangan asing berdasarkan Kepmen No.402/MPP/Kep/11/1997 berkenaan dengan permasalahan seputar ketenagakerjaan.

  1. Benturan Kebijakan antar Departemen sehubungan dengan Kantor Perwakilan Perusahaan Perdagangan Asing.

Secara umum ketidaksesuaian pemahaman terhadap kebijakan yang dikeluarkan oleh masing-masing departemen adalah terkait dengan aspek kepentingan atau dasar dari dikeluarkannya kebijakan tertentu, yang dipandang secara eksklusif dari sisi salah satu departemen dan tidak dilakukan koordinasi terlebih dahulu. Kejadian semacam ini telah terjadi berulang kali dalam kaitannya tidak semata-mata pada kantor perwakilan saja, melainkan turut terjadi pada perusahaan-perusahaan penanaman modal asing yang telah berdiri dan menjalankan kegiatan usahanya. Kurangnya koordinasi ini menyebabkan terjadinya pelampauan wewenang dari departemen terkait dikarenakan pihaknya merasa berkepentingan dan menurutnya dalam kapasitasnya memiliki wewenang untuk memberlakukan suatu kebijakan.

Kekhawatiran yang cukup mendalam terhadap penerapan suatu kebijakan, selain tidak dilakukannya koordinasi terlebih dahulu dengan departemen-departemen lainnya yang terkait, disamping itu dalam penyusunan suatu kebijakan tidak dilakukan riset lapangan terlebih dahulu. Hal ini berbeda dengan mekanisme yang telah diterapkan dinegara-negara maju di dunia, dimana mereka mencoba untuk membuat suatu sistem yang diciptakan sedemikian efisien dan efektif. Penilaian efisien dan efektif tersebut seharusnya tidak hanya dilihat dari sudut pandang si pembuat kebijakan tetapi juga dengan turut memperhatikan keberlakuan dari kebijakan tersebut dilapangan.[7]

Kebijaksanaan Penggunaan tenaga kerja warga negara asing pendatang (TKWNAP), pada dasarnya bukanlah merupakan prioritas utama bagi Indonesia, sepanjang jabatan yang akan diduduki oleh tenaga kerja warga negara asing pendatang tersebut dapat diisi oleh tenaga kerja warga negara Indonesia.

Penggunaan tenaga kerja warga negara asing pendatang disektor perdagangan secara umum terdiri dari:

  • Tenaga kerja warga negara asing pendatang yang bekerja pada perusahaan nasional sebagai asisten ahli bidang tertentu. Segala hal yang berkaitan dengan gaji dan fasilitas, yang diperlukan oleh tenaga kerja warga negara asing pendatang tersebut dibiayai oleh perusahaan nasional bersangkutan;
  • Tenaga kerja warga negara asing pendatang yang bekerja pada perusahaan Penanaman Modal Asing (PMA) atau Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) baik sebagai pemilik/pengurus perusahaan , ataupun sebagai tenaga asisten ahli bidang tertentu. Segala hal yang berkaitan dengan gaji dan fasilitas yang diperlukan oleh tenaga kerja warga negara asing pendatang tersebut dibiayai sepenuhnya oleh investor bersangkutan;
  • Tenaga kerja warga negara asing pendatang yang bekerja pada kantor pusat dan cabang perwakilan perusahaan perdagangan asing baik sebagai kepala perwakilan maupun tenaga asisten ahli bidang tertentu. Segala hal yang berkaitan dengan gaji dan fasilitas yang diperlukan oleh tenaga kerja warga negara asing pendatang tersebut dibiayai sepenuhnya oleh kantor pusat perwakilan perusahaan perdagangan asing tersebut yang berkedudukan di luar negeri.[8]

Permasalahan-permasalahan yang timbul terkait dengan ketentuan ketenagakerjaan yang diberlakukan kepada warga negara asing pendatang. Presiden Republik Indonesia diimplementasikan melalui Keputusan Presiden No.75 tahun 1995 tentang Penggunaan Tenaga Kerja Warga negara Asing Pendatang tertanggal 9 Nopember 1995 (“Keppres No.75/1995”) dan dengan memperhatikan Keputusan Menteri Tenaga Kerja No.Kep-682/MEN/85 tentang Pelaksanaan Pembatasan Penggunaan Tenaga Kerja Warga negara Asing Pendatang di Sektor Perdagangan (“Kepmen No.Kep-682/MEN/85”).

Prinsip dasar dari diberlakukannya Keppres No.75/1995 dan Kepmen No.Kep-682/MEN/85 adalah guna memberikan kesempatan kepada tenaga kerja nasional memiliki peluang bekerja yang lebih besar dengan memberikan berbagai macam batasan-batasan, yaitu dengan adanya persyaratan-persyaratan dan kualifikasi-kualifikasi yang harus dipenuhi oleh tenaga kerja warga negara asing pendatang. Persyaratan dan kualifikasi yang dimaksudkan dalam hal ini adalah sebagaimana yang dijabarkan dalam Ketentuan-Ketentuan Pokok Perizinan Perwakilan Perusahaan Perdagangan Asing, yang diuraikan dalam Bab II Sub Bab 3 No.(3 ) sampai dengan (7), yaitu:

(3)       Perwakilan perusahaan perdagangan asing berkewajiban mempekerjakan 3 (tiga) orang tenaga kerja Warga negara Indonesia sebagai tenaga ahli dan atau administrasi setiap penggunaan 1 (satu) orang tenaga kerja asing dan tenaga kerja Indonesia dimaksud tidak termasuk untuk jabatan sopir, kurir, pesuruh kantor, petugas keamana (satpam), pembantu rumah tangga dan atau jabatan yang tidak berhubungan dengan kegiatan perwakilan perusahaan perdagangan asing yang diizinkan;

(4)       Setiap tenaga kerja asing yang bekerja pada kantor perwakilan perusahaan perdagangan asing harus minimal berlatar pendidikan S1 atau setara dengan S1 dan berpengalaman sekurang-kurangnya 3 (tiga) tahun dibidang tugas keahliannya.

Setara dengan S1 dimaksud, dikualifikasikan apabila:

  • Berijazah Diploma atau Politeknik (D3) dengan pengalaman kerja dibidang keahliannya minimal 5 tahun; atau
  • Berijazah SLTA dengan pengalaman kerja dibidang keahliannya 7 (tujuh) tahun; atau
  • Berijazah SLTA dengan pengalaman kerja dibidang keahliannya minimal 5 (lima) tahun serta memiliki ijazah pendidikan khusus/keahlian berupa kursus-kursus dan lain-lain sesuai dengan profesi dan keahlian yang dimilikinya.

(5)       Setiap tenaga kerja asing yang bekerja pada kantor perwakilan perusahaan perdagangan asing baik sebagai kepala perwakilan atau asisten kepala perwakilan harus memiliki izin kerja tenaga kerja asing dari Menteri Tenaga Kerja atau pejabat yang ditunjuk dan ijin tinggal (menetap) dari Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia dan perundang-undangan c.q. Direktorat Jenderal Imigrasi;

(6)       Kepala dan Asisten Kepala perwakilan perusahaan perdagangan asing baik warga negara asing maupun warga negara Indonesia dilarang merangkap jabatan pada perusahaan lain;

(7)       Masa berlaku Surat Izin Usaha perwakilan perusahaan perdagangan asing, disesuaikan dengan masa berlaku surat penunjukkan (Letter of Appointment) Kepala perwakilan (perseorangan) dan dapat diperpanjang dengan syarat telah memenuhi ketentuan yang berlaku antara lain:

  • Telah menerapkan rasio penggunaan tenaga kerja yaitu 3 : 1 (3 (tiga) tenaga kerja warga negara Indonesia berbanding 1 (satu) tenaga kerja warga negara Asing);
  • Memiliki Tanda Daftar Perusahaan sesuai dengan alamat, nama, perwakilan perusahaan perdagangan asing dan bidang kegiatan/status;
  • Memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak Badan Usaha Tetap Asing sesuai data perwakilan perusahaan perdagangan asing;
  • Kedudukan Kantor Perwakilan Perusahaan Perdagangan Asing di Ibukota Propinsi Daerah Tingkat I.

Apabila keempat hal tersebut di atas belum terpenuhi, maka Surat Izin Usaha Perwakilan Perusahaan perwakilan perusahaan perdagangan asing hanya dapat diberikan dengan masa berlaku 1 (satu) tahun.[9]

Kualifikasi-kualifikasi yang telah diuraikan merupakan persyaratan yang mutlak harus dipenuhi oleh setiap perusahaan asing yang akan menempatkan kantor perwakilan perusahaan perdagangan asingnya di Indonesia. Oleh karenanya jelas bahwa rambu-rambu antar departemen sebenarnya masih dipegang teguh. Namun, benturan kebijakan terjadi pada hal-hal yang bersifat kasuistis dan tidak secara umum.

Kasuistis sebagaimana dimaksud di atas adalah dengan timbulnya permasalahan baik yang terkait dengan masalah ketenagakerjaan maupun terhadap permasalahan lain yang bersifat teknis pada masing-masing kantor perwakilan perusahaan perdagangan asing yang telah melakukan kegiatannya di Indonesia. Hal-hal tersebut terjadi dikarenakan terjadinya perbedaan persepsi antara lembaga pembuat kebijakan dengan pihak kantor perwakilan perusahaan perdagangan asing. Perbedaan persepesi ini lazim terjadi dikarenakan perbedaan kepentingan dari masing-masing pihak.

Kantor perwakilan perusahaan perdagangan asing sudah barang tentu memandang dari sudut ekonomis, komersil, efisiensi dan pencapaian tujuan dari kantor pusat, sementara benturan kepentingan itu timbul dikarenakan adanya persyaratan yang harus dipenuhi oleh kantor perwakilan perusahaan perdagangan asing berdasarkan peraturan perundangan yang berlaku di Indonesia.

Tidak jarang dijumpai permasalahan mengenai kantor perwakilan perusahaan perdagangan asing, antara lain mencakup pendiriannya yang dilakukan didaerah tingkat II , penggunaan tenaga kerja asing yang tidak terdaftar sebagai staf yang terdaftar dalam daftar yang dimiliki baik oleh Departemen Tenaga Kerja maupun Departemen Perindustrian dan Perdagangan, serta permasalahan-permasalahan lainnya. Kejadian serupa memang tidak dapat dipungkiri, namun secara ketentuan peraturan dan perundang-undangan sebenarnya sudah jelas ditetapkan adanya batasan-batasan terhadap kantor perwakilan perusahaan perdagangan asing. Pelanggaran secara umum dapat dilakukan baik oleh pihak kantor perwakilan perusahaan perdagangan asing maupun oleh oknum instasi yang berwenang.

Kendala yang dihadapi dilapangan dalam rangka menyikapi segala permasalahan yang timbul memang diakui tidak dapat dilakukan secara efekif. Idealnya masing-masing departemen melakukan koordinasi inspeksi lapangan baik secara koordinasi ataupun mendadak dan melakukan feasibilties study terhadap kebenaran dokumen-dokumen yang dimiliki oleh kantor perwakilan perusahaan perdagangan asing dengan fakta dilapangan dan dibandingkan dengan dokumen-dokumen yang dimiliki oleh departemen-departemen terkait. Terhadap kantor perwakilan perusahaan perdagangan asing yang terbukti melakukan pelanggaran tersebut, maka secara serta merta akan dijatuhkan sanksi baik administrasi maupun pidana.

  1. Efektifitas keberlakuan Peraturan-Peraturan Kantor Perwakilan Perusahaan Perdagangan Asing terkait.

Keppres No.90/2000, Keppres No.75/1995 dan Kepmen No.Kep-682/MEN/85 secara umum keberlakuannya dipandang relevan dan sementara dianggap memenuhi kebutuhan minimal perwakilan perusahaan perdagangan asing. Kondisi ini dengan turut memperhatikan kebutuhan akan peraturan pelaksana dari ketentuan yang mengatur tentang perwakilan perusahaan perdagangan asing, baik dalam lingkup pendirian, ketenagakerjaan, perizinan dan lain sebagainya.

Dalam menyikapi situasi dan kondisi minimnya peraturan ataupun perundang-undangan yang mengatur tentang perwakilan perusahaan perdagangan asing, maka mekanisme dalam menghadapi permasalahan tersebut di atas adalah sebagai berikut:

  1. Penerapan asas lex specialis derogat legi generalis.

Negara Republik Indonesia tidak mentolerir adanya kekosongan hukum dalam bidang manapun. Oleh karenanya menyikapi keadaan ini, secara umum atau apabila telah dinyatakan baik secara eksplisit maupun implisit dalam peraturan tersebut, maka diberlakukan asas lex specialis derogat legi generalis. Maksud dari asas ini adalah apabila tidak terdapat ketentuan yang bersifat khusus mengatur, maka yang berlaku adalah ketentuan yang bersifat umum. Ketentuan umum sebagaimana dimaksud adalah ketentuan setingkat undang-undang atau peraturan teknis yang kedudukannya diatas ketentuan terkait.

Terhadap hal-hal yang tidak diatur, misalnya sehubungan dengan permasalahan ketenagakerjaan pada kantor perwakilan perusahaan perdagangan asing, maka terhadap permasalahan tersebut akan kembali merujuk pada ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan yang berlaku.

  1. Penerapan mekanisme rechtsvinding dan rechtsvorming.

Peraturan yang mengatur tentang keberadaan perwakilan perusahaan perdagangan asing belum tentu dapat mengakomodir seluruh kebutuhan dari para pihak yang berkepentingan, baik dari sisi pembuat kebijakan/perijinan terutama pihak asing. Kemungkinan ini terjadi dikarenakan ada 2 hal utama, yaitu:

  1. Tidak dipahami maksud dari dan ide dari peraturan tersebut, yaitu suatu keadaan dimana isi ketentuan tersebut tidak secara tegas-tegas menyebutkan tentang maksud maupun batasan-batasan, misalnya isi dari Pasal 7 Undang-Undang Dasar 1945, yaitu:

“Presiden dan Wakil Presiden Memegang jabatannya selama masa 5 (lima) tahun dan sesudahnya dapat dipilih kembali”[10]

Merujuk pada isi dari pasal 7 tersebut diatas, tidak dijelaskan secara pasti mengenai toleransi sampai dengan berapa kali pemilihan terhadap diri yang bersangkutan dan diperkenankan menurut Undang-Undang tersebut.

  1. Kekosongan hukum, kekosongan hukum disini tidak berarti sebagai suatu keadaan dimana tidak terdapat peraturan yang mengatur mengenai hal dimaksud. Namun, cakupannya belum secara terperinci dan mendalam.

Terhadap kedua hal tersebut diatas pemecahan yang lazim dilakukan adalah dengan dilakukannya:

  1. Interpretasi, yaitu memberikan penafsiran dan mencoba untuk memahami arti dan ide yang diberikan oleh pembuat undang-undang dan/atau peraturan secara gramatikal;
  2. Analogi, yaitu melakukan penafsiran lebih jauh mengenai maksud dari isi ketentuan dan melakukan pencocokan dengan keadaan yang terjadi dilapangan, misalnya sebagaimana isi dari Pasal 1576, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yang berbunyi:

“Dengan dijualnya barang yang disewa, sewa yang dibuat sebelumnya tidak diputuskan, kecuali bila diperjanjikan pada waktu menyewakan barang.”[11]

Analogi yang diberikan terhadap pasal tersebut di atas adalah terhadap barang yang statusnya disewakan, tidak dapat dilakukan pengalihan kepada pihak ketiga lainnya. Terminologi yang diberikan oleh para ahli hukum lainnya adalah dalam konteks ini adalah pasal 1576 tersebut dipersamakan dengan ide pengalihan. Sehingga dan oleh karenanya terhadap barang yang statusnya sedang disewakan tidak dapat dijual dan/atau dihibahkan dan/atau diwariskan dan tidak dapat dialihkan dalam bentuk apapun juga kepada pihak ketiga lainnya.

Kedua bentuk diatas pada akhirnya akan bermuara pada fase rechtsvinding dan rechtsvorming, yaitu fase dimana dilakukan penelusuran hukum dan pembentukan hukum guna menjawab dan memberikan solusi terhadap begitu minimalnya peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai perwakilan perusahaan perdagangan asing di Indonesia.

Kekosongan hukum ini seharusnya sesegera mungkin diantisipasi dengan dikeluarkannya peraturan-peraturan pelaksana dan bukan berarti dengan peraturan yang sudah ada dipandang telah cukup dan memadai, sehingga tidak dipandang perlu untuk dilaksanakan dan/atau menunda proses penyusunan peraturan-peraturan pelaksana dimaksud. Beberapa kalangan memiliki kecenderungan untuk menggunakan terminologi menunda proses perancangan peraturan pelaksana terkait. Namun, batasan-batasan tentang kualifikasi penundaan tersebut harus dapat secara tegas ditetapkan. Dengan turut menimbang fakta bahwa dengan terjadinya penundaan tersebut berakibat akan semakin jauh tertinggal antara policy maker dengan laju pertumbuhan dan kebutuhan, dalam hal ini khusus pada lingkup perwakilan perusahaan perdagangan asing seiring era globalisasi. Selayaknya pemerintah telah berdaya upaya untuk menunjang sektor ketenagakerjaan dengan diundangkannya UU No.13/2003

Disatu sisi dinyatakan bahwa kehadiran investor asing maupun tenaga kerja warga negara asing diperlukan guna mendorong produktivitas usaha, sekaligus diharapkan dapat pula memberikan nilai tambah bagi pembangunan bangsa, baik dalama rangka alih teknologi, peningkatan kemampuan maupun dalam rangka menciptakan kesempatan kerja bagi tenaga kerja warga negara Indonesia. Dengan adanya harapan adanya partisipasi asing tersebut sudah semestinya para policy maker memberikan tatanan dan sistem hukum yang jelas, yang dapat memberikan kepastian hukum secara khusus bagi lingkup maupun bidang yang digeluti oleh perwakilan perusahaan perdagangan asing tersebut.

Apabila dilihat secara makro, ketidakpastian hukum ini merupakan salah satu pemicu terjadinya situasi ketidak mantapan perekonomian yang tidak berjalan dengan baik dan cenderung terus menurun. Keadaan semacam ini apabila tetap dibiarkan berlanjut, maka akan turut mempengaruhi tingkat perekonomian rakyat. Karena dengan adanya penilaian-penilaian yang bersifat apriori terhadap Indonesia akan memberikan dampak yang signifikan pula kepada perekonomian nasional.

Komponen-komponen kepastian hukum, keamanan, stabilitas nasional dan sistem serta aparat hukum yang berjalan secara efektif , memang tidak dapat dilepaskan dengan perekonomian bangsa, baik secara internal maupun eksternal. Penggunaan terminologi eksternal tersebut terkait dengan animo dari negara-negara internasional untuk tetap berinvestasi di Indonesia.

Kesanggupan Indonesia untuk turut berkecimpung dalam kancah perekonomian internasional dengan berpartisipasi dalam penyelenggaraan GATT dan WTO serta perdagangan bebas, saat ini merupakan pertanyaan yang sederhana tetapi memberikan dampak yang luar biasa, yaitu apakah Indonesia masih mampu melaksanakan komitmen dimaksud dan apakah dunia luar masih menganggap bahwa Indonesia merupakan mitra sejajar? Keadaan ini dapat dikatakan bahwa Indonesia yang semula merupakan negara berkembang kini terperosok, dan bahkan ada sementara kalangan dunia internasional yang menilai bahwa Indonesia kini termasuk dalam kategori masyarakat dunia ketiga, yang notabene tidak diungkapkan secara eksplisit.

Oleh karenanya tugas berat memang merupakan kewajiban pemerintah untuk membenahi secara keseluruhan tetapi apabila tidak ditunjang oleh seluruh komponen masyarakat, maka usaha tersebut akan menjadi sia-sia dan dengan demikian akan tercipta restrukturisasi bangsa dalam membangun kembali negara agar tercipta kemakmuran bagi seluruh rakyatnya dan terutama adalah bertujuan untuk menjaga kelangsungan hidup negara kesatuan Republik Indonesia.

  1. Peran SBSI dalam Upaya Meningkatkan Gairah Investor Asing Untuk Menanamkan Modalnya di Indonesia.

Berdasarkan uraian yang telah terlebih dahulu dipaparkan di atas, maka sebenarnya dapat dikatakan bahwa pertumbuhan ekonomi nasional merupakan suatu hal yang sangat kompleks. Tidak tertutup kemungkinan akan timbul suatu pertanyaan apa relevansi masalah perwakilan perdagangan asing dengan SBSI, dan lain sebagainya. Hal mana dikarenakan permasalahan ini tidak luput dari peran serta bangsa dan negara, yang meliputi komponen pemerintah, perangkat hukum melalui peraturan perundang-undangannya, partisipasi masyarakat, bahkan cakupan trans-nasional dan lain sebagainya. menyatakan bahwa faktor utama yang memiliki penaruh negatif terhadap putusan mereka adalah “local government and social conditions”. Kembali dikatakan sebagaimana yang telah ditulis pada bagian awal yang mengutip 22,6% dari responden yang menyatakan bahwa masalah hubungan ketenagakerjaan mempengaruhi keputusan mereka. Sedangkan 88,7% responden, menyatakan bahwa faktor utama yang memiliki penaruh negatif terhadap putusan mereka adalah “local government and social conditions” dan 69,9% responden menyatakan bahwa “local (intra regional) curancy stability” merupakan faktor yang mempengaruhi keputusan mereka sebelum menanamkan modal mereka di luar Jepang. Meskipun masalah ketenagakerjaan bukanlah satu-satunya faktor yang mempengaruhi keputusan calon investor, namun masalah ketenagakerjaan harus tetap diwaspadai.

Peran SBSI dalam rangka upayanya untuk mensejahterakan para buruh perspektifnya perlu untuk di pertajam pada hal-hal yang tidak terbatas pada tuntutan buruh yang semata-mata dialamatkan kepada pihak pengusaha. Tetapi disamping itu perlu untuk diciptakan suatu kerangka pemikiran yang konstruktif bahwa apabila investor asing melarikan investasinya keluar dari Indonesia, justru hal tersebut akan berakibat buruh menjadi kehilangan pekerjaan, yang otomatis pada perolehan pendapat dan tingkat kesejahteraannya. Sebagaimana sudah 11 tahun SBSI berdiri, berbagai harapan buruh digantungkan di organisasi ini, berbagai tantangan silih berganti baik dari dalam maupun dari luar organisasi. Sebagaimanat turut diketahui bahwa dari dalam organisasi banyak pengurus dari pusat dan daerah mengundurkan diri karena berbagai tantangan pribadi, seperti; kebutuhan hidup, konsistensi, stress karena tekanan aparat, ancaman PHK, dan lalin-lain. Dari luar organisasi seperti yang sudah umum ketahui, bahwa banyak tuduhan –tuduhan labelling (perlambang, cap) yang diajukan ke SBSI, seperti; OTB (Organisasi Tanpa Bentuk), Kelompok Anti Kemapanan, PKI dan lain sebagainya.[12]

Sejalan dengan Deklarasi Pendirian Serikat Buruh Sejahtera Indonesia, yang dideklarasikan di Cipayung, Bogor, 25 April 1992, yang menyatakan:

  • Sesungguhnya setiap warga negara Indonesia mempunyai hak dan kewajiban yang sama didalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Buruh adalah bagian yang integral dari negara yang mempunyai hak dan kewajiban yang sama dengan warga negara lainnya.
  • Bahwa kebebasan berkumpul, berserikat dan mengeluarkan pendapat bagi setiap warga negara Indonesia sepenuhnya dijamin oleh Undang-Undang Dasar 1945.
  • Dalam rangka mewujudkan jiwa, semangat dan cita-cita Undang-Undang Dasar 1945 serta mensuskeskan Pembangunan Nasional, kami buruh dan aktivis perburuhan pada hari ini: Sabtu, tanggal 25 April 1992 dengan ini menyatakan secara bersama mendirikan Serikat Buruh Sejahtera Indonesia. Adapun tugas utamanya adalah meningkatkan kesejahteraan buruh melalui usaha-usaha penegakkan hukum dan keadilan berkaitan dengan Hubungan Perburuhan Pancasila.

Anggaran dasar SBSI pada pasal 8 mengatur tentang tujuan organisasi dengan latar belakang pendirian dan tujuannya adalah sebagai berikut:

  1. mewujudkan cita-cita proklamasi Kemerdekaan Negara Republik Indonesia melalui pembangunan nasional sebagai pengamalan Pancasila dalam mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur.
  2. menyalurkan dan memperjuangkan aspirasi buruh dengan hak seperti berunding secara kolektif untuk menyatakan pendirian, pendapat, hak untuk mengadakan perjanjian perburuhan, dan perlindungan hukum.
  3. menumbuhkan rasa kebersamaan buruh pada bidang pekerjaan serta mewujudkan rasa persaudaraan sesama buruh.
  4. mencapai kesejahteraan buruh dengan syarat dan kondisi kerja untuk mencapai kehidupan yang layak sesuai dengan dengan harkat dan martabat manusia.
  5. mensejahterakan buruh Indonesia pada sistem ketatanegaraan yang demokratis, berkepastian hukum, terjamin hak asasi manusia, berkeadilan sosial dan anti diskriminasi.

Selanjutnya mengenai usaha yang dilakukan oleh SBSI diatur dalam pasal 10 anggaran dasar SBSI, yaitu untuk mencapai tujuan, organisasi ini melakukan usaha:

  1. berperan mempengaruhi kebijaksanaan umum pada bidang perburuhan.
  2. mengupayakan penyadaran dan pembelaan hukum untuk mewujudkan keadilan dan kesejahteraan buruh.
  3. menyelenggarakan pendidikan perburuhan secara sistematis, berkesinambungan dan terpadu.
  4. memperjuangkan pembuatan peraturan kerja yang mencerminkan demokrasi, keadilam sosial, mempertinggi mutu pengetahuan keterampilan bidang pekerjaan dan kemampuan berorganisasi bagi buruh.
  5. membina hubungan kerjasama dengan serikat buruh nasional dan internasional.

Secara umum SBSI merupakan suatu wadah yang didasarkan pada partisipasi atau keanggotaan dari para buruh, tetapi semestinya tidak bersikap rigid yang hanya terbatas pada bagaimana mensejahterahkan anggotanya belaka. Melainkan juga dituntut peranannya untuk dapat aktif menciptakan suatu sinergi positif dengan pihak pengusaha yang notabene dalam penulisan ini adalah investor asing. Kasus hengkangnya Nike, Aiwa, Sony, General Electric dan contoh-contoh konkrit lainnya,semestinya dapat disikapi secara arif dan bijaksana. Konsep mensejahterakan buruh seharusnya tidak melulu dengan mengajukan peningkatan pendapatan dan insentif lainnya bagi buruh, tetapi hal penting lainnya yang perlu diperhatikan adalah bagaimana cara untuk menciptakan dinamika kerja yang kondusif dan konstruktif. Dengan kata lain bagaimana bila tuntutan buruh dipenuhi tetapi solusi akhirnya investor menarik investasinya di Indonesia, atau layaknya peristiwa penjualan saham PT Kaltim Prima Coal kepada PT Bumi Resources Tbk., yang mana para pekerjanya menuntut adanya bagian yang dihitung berdasarkan besaran prosentase dari hasil penjualan saham yang diterima oleh Rio Tinto Plc. Apabila pada prakteknya tuntutan para pekerjanya tersebut dipenuhi, maka akan menimbulkan preseden buruk bagi para investor asing yang menanamkan modalnya di Indonesia atau menjadikan prospektif investor mundur teratur dan tidak menjadikan Indonesia sebagai negara target investasinya. Seharusnya terhadap hal-hal semacam itu SBSI dapat memberikan suatu pemahaman dan wawasan yang merepresentasikan baik kepentingan buruh dengan memperhatikan aspek global dari suatu tuntutan buruh terhadap perekonomian nasional.

Sikap yang semestinya diambil oleh SBSI dalam menyiasati kantor perwakilan perdagangan asing adalah dengan memberikan suatu gambaran secara umum tetapi berdampak konkrit, dimana angka perkiraan yang telah diteliti oleh para investor Jepang, yaitu sebesar 22,6% tersebut di atas dapat diperkecil kembali atau bahkan dihilangkan. Upaya yang sedianya dapat dilakukan adalah dengan menunjukkan kepada masyarakat bisnis lokal dan internasional bahwa buruh Indonesia melalui wadahnya SBSI telah memiliki wawasan global (dalam tatanan regional maupun nasional) dan siap dengan semangat etos kerja yang kompetitif dan menjanjikan dalam menunjang kinerja perusahaan. Sementara itu dalam aspek hukum dan kemasyarakatan semestinya SBSI dapat menempatkan dirinya sebagai panutan bagi masyarakat umum dengan menunjukkan sumbangsih, prestasi kerja dan segala kemajuan yang telah berhasil dicapai, dan dilain pihak peran strategis SBSI dalam memberikan pengaruhnya bagi para pembuat kebijakan dan perannya juga dituntut dalam upaya implementasi kepastian hukum merupakan suatu hal yang tidak dapat dipandang secara sepele.

Sebagaimana diasumsikan bahwa alasan investor asing mendirikan kantor perwakilannya di Indonesia adalah tidak murni sebagai perwakilan, melainkan mereka tengah mempelajari bagaimana faktor sosial kemasyarakatan dan permasalahan-permasalahan yang mungkin terjadi bilamana mereka menanamkan modalnya di Indonesia, yang direalisasikan melalui pendirian perusahaan PMA. Keadaan ini seharusnya dapat dicermati secara bijaksana dan sedianya terhadap calon investor tersebut dapat diberikan pemahaman tentang keamanan, kenyamanan dan kepastian hukum bagi mereka-mereka yang menanamkan modalnya di Indonesia. Dilain pihak kehadiran TKWNAP perlu untuk disikapi secara bijaksana, yaitu dapat dijadikan sebagai alih teknologi, informasi, keahlian dan lain sebagainya.

Sudah seyogyanya apabila SBSI tidak melulu mengetengahkan kepentingan dirinya belaka dan bersikap terbuka dalam era globalisasi ini dengan melakukan upaya-upaya konkrit untuk mendukung gairah pertumbuhan ekonomi bangsa. Sementara itu apabila gairah berbisnis berhasil ditumbuhkan, maka kantor perwakilan perdagangan tersebut sudah barang tentu akan mengkonversikan status kegiatan usaha mereka menjadi perusahaan PMA, baik dalam bentuk wholesaler, keagenan, distributor atau bahkan dalam tatanan pasar modern (hypermarket), dan oleh karenanya akan menyerap begitu banyak tenaga kerja. Apabila secara gencar dikampanyekan, maka tidak tertutup kemungkinan daerah-daerah lainnya di Indonesia juga akan dijadikan target untuk mendirikan usahanya, yang oleh karenanya tidak terjadi konsentrasi usaha.

C.        Penutup.

  1. Gesekan kepentingan dan kebijakan yang terjadi pada umumnya bersifat kasuistis dan tidak secara umum. Karena gesekan-gesekan tersebut pada umumnya timbul akibat perbedaan kepentingan antara pihak pembuat kebijakan dengan kepentingan kantor perwakilan perusahaan perdagangan asing. Dilain pihak terbuka kemungkinan dikarenakan pihak kantor perwakilan perusahaan perdagangan asing kurang atau tidak memahami peraturan perundang-undangan ataupun peraturan-peraturan yang mengatur tentang keberadaan mereka secara keseluruhan yang meliputi, perizinan, pendirian, tenaga kerja, lokasi dan lain sebagainya. Akibat yang ditimbulkan adalah berupa pelanggaran ataupun perbedaan interpretasi terhadap ketentuan peraturan, yang salah satunya guna mengikuti pola pemikiran ekonomis dan komersil perusahaan prinsipal.
  2. Selain diperlukan peraturan-peraturan pelaksana yang mengatur lebih jauh lagi tentang perwakilan perusahaan perdagangan asing, diperlukan pula sumber daya manusia yang terpilih dan benar-benar memahami dan menguasai tentang perwakilan perusahaan perdagangan asing serta memiliki pengetahuan dan wawasan yang luas. Dengan demikian jajaran departemen terkait dapat saling mengisi kekurangan satu sama lain dan tetap dapat mengikuti perkembangan yang terjadi dalam perkenomian di era globalisasi ini. Masing-masing departemen terkait selalu berupaya semaksimal mungkin untuk secara berkesinambungan mengadakaan koordinasi atau menjaga konsistensi dari aplikasi penerapan kebijakan/peraturan yang secara signifikan yang bersifat prinsipiil. Dan dengan mengembangkan sistem-sistem dan pola-pola terobosan terus berupaya agar dapat terjadi suatu kesinambungan yang bersifat paralel dan sistematis serta mempermudah seluruh pihak yang berhubungan baik secara langsung ataupun tidak langsung, dan dengan berpedoman pada dasar pemikiran tentang bagaimana mengatasi timbul suatu permasalahan sehingga dapat terhindarkan dan terjadi penyelesaian permasalahan. Sikap dan mental yang disiplin akan waktu dan dekdikasi terhadap perkerjaan merupakan syarat utama agar tetap dapat mengikuti perkembangan dan perubahan yang terjadi, meskipun perubahan tersebut dilakukan secara radikal, tetapi proses penyesuaian diri dapat terkelola lebih baik apabila turut ditunjang dengan pemahaman dari dikeluarkannya suatu kebijakan. Harapannya adalah arus dinamika perubahan yang cepat dan pesat dapat dilakukan meskipun secara bertahap, dimana dengan demikian dapat dilakukan penyelesaian kasus perwakilan perusahaan perdagangan asing di Indonesia. Hengkangnya para investor asing untuk tidak melanjutkan investasinya di Indonesia, sekiranya sudah merupakan suatu pertanda tidak baik dan kewajiban bagi pemerintah untuk mengembalikan iklim perekonomian serta memberikan jaminan keamanan di segala baik terhadap investor asing maupun seluruh lapisan masyarakat negara Indonesia. Ketidak cekatan maupun adanya kecenderungan mementingkan kelompok atau golongan tertentu dari pihak pemerintah yang merupakan tumpuan harapan dari seluruh rakyat dan bangsa telah diketahui secara internasional dan dipandang sebagai salah satu pertimbangan maupun alasan para investor untuk meninggalkan investasinya di Indonesia, dikarenakan tidak ada itikad maupun kesungguhan pemerintah dalam memberikan kepastian hukum dalam melakukan kegiatan usaha di Indonesia. Semestinya pemerintah telah dapat memprediksi bahwa semakin terpuruknya iklim investasi asing di Indonesia juga akan memberikan imbas bagi para investor lokal untuk tidak mengembangkan aset, produksi, dan pasar mereka didalam negeri. Dampak menyeluruh yang akan ditimbulkan adalah dengan semakin membengkaknya jumlah pengangguran di Indonesia.
  3. Perangkat peraturan perundang-undangan maupun peraturan-peraturan lainnya perlu kiranya untuk dilakukan pembaharuan baik yang berupa perubahan, revisi, penambahan maupun pengaturan suatu ketentuan hukum investasi asing baru, yang mengatur tentang seluruh aspek yang berkaitan dengan investasi asing yang dalam hal ini dikhususkan pada kantor perwakilan perdagangan asing berserta seluruh instrumen penunjangnya. Sebagaimana yang telah kita ketahui bersama bahwa untuk perwakilan asing bidang perdagangan sampai dengan disusunnya tulisan ini belum terdapat suatu peraturan pelaksanaannya, sementara kebutuhan akan kepastian hukum dari pihak asing yang berkepentingan telah berlangsung lama. Keseriusan pemerintah dalam menangani hal ini tengah diuji mengingat pemilihan umum tahun 2004 telah semakin dekat, maka perumusan maupun pengesahan peraturan perundang-undangan demi kelangsungan investasi asing di Indonesia sangatlah kecil kemungkinannya. Sementara itu di lain pihak pada masa perekonomian Indonesia relatif stabil kantor perwakilan perdagangan asing ini merupakan pintu gerbang dari investor asing yang ingin melihat peluang usaha mereka di Indonesia, dan setelah melihat keadaan yang sesungguhnya barulah mereka memutuskan untuk memulai usahanya.
  4. SBSI semestinya dapat lebih sigap dalam mengambil langkah dan upaya-upaya konkrit dalam rangka untuk lebih mensejahterakan para anggotanya dan menciptakan suatu gebrakan positif yang tidak melulu berupa tuntutan tetapi kinerja konkrit dalam rangka merebut hati investor prospektif untuk kemudian mau menginvestasikan dananya dalam bentuk perusahaan PMA dalam skala regional maupun nasional. Hal mana dengan turut memperhatikan peran dan fungsi strategis yang dimiliki oleh SBSI yang belum sepenuhnya didaya gunakan secara optimal. Sehingga dengan demikian tidak hanya bagi mereka yang merupakan anggota SBSI saja yang merasakan manfaatnya, bahkan bagi para mereka pencari kerja juga akan merasakan imbasnya, dilain pihak hal tersebut akan menepis anggapan negatif masyarakat terhadap eksistensi SBSI dan mengangkat citra serta reputasi SBSI dalam jajaran motor pembangunan bangsa dan negara Indonesia, sebagaimana yang dicita-citakan. Yakin apabila segala upaya tersebut telah secara konsekwen dijalankan dan dilandaskan pada komitmen tujuan didirikannya SBSI, maka sudah barang tentu akan menimbulkan dampak yang luar biasa, yaitu berupa kebangkitan perekonomian nasional. Langkah-langkah strategis dalam menyikapi era globalisasi harus secara detail dipersiapkan, hal mana sebenarnya telah terakomodasi dalam prinsip-prinsip yang ada didalam tubuh SBSI itu sendiri.

DAFTAR PUSTAKA

Aloysius Uwiyono, Prof. Dr. S.H., M.H., Implikasi Undang-Undang Ketenagakerjaan No.13 tahun 2003 Terhadap Iklim Investasi, Jurnal Hukum Bisnis Voume 22 – No.5 – tahun 2003, hal 10.

Bagian Proyek Pembinaan Lembaga usaha Keagenan Direktorat Bina Usaha Perdagangan Direktorat Jenderal Perdaganan Dalam Negeri Departemen Perindustrian dan Perdagangan “Ketentuan dan Prosedur Pendirian Perwakilan Perusahaan Perdagangan Asing (Perwakilan Perusahaan Perdagangan Asing) di Indonesia”.

Departemen Perindustrian dan Perdagangan, Direktorat Jenderal Dalam Negeri, Direktorat Bina Usaha Dalam Negeri tahun 1998, “Himpunan Peraturan Mengenai Tenaga Kerja Warga Negara Asing Pendatang di Sektor Perdagangan – Buku 1”,

                        , Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan No.402/MPP/Kep/11/1997 tentang Ketentuan Perizinan usaha Perwakilan Perusahaan Perdagangan Asing

                         , Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan No.402/MPP/Kep/11/1997 tentang Ketentuan Perizinan usaha Perwakilan Perusahaan Perdagangan Asing

                         , Keputusan Presiden Republik Indonesia No.90 tahun 2000 tertanggal 10 Juli 2000 tentang Perizinan Perwakilan dibidang Jasa Konstruksi.

                         , Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No.50/PRT/PRT/1991 tentang Kantor Perwakilan Asing Dibidang Jasa Konstruksi.

Prof. R. Subekti, S.H., dan R. Tjitorsudibio terjemahan Burgerlijk Wetboek – Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

Serikat Buruh Sejahtera Indonesia Periode: 2000-2—4, Hasil-Hasil Kongres Nasional III SBSI, 25 April s/d 1 Mei 2000, Graha Garuda Tiara Hotel, Cileungsi, Bogor, Thema: Melalui SBSI Yang Kuat, Kita Bangun Rakyat Yang Sejahtera.

                         , Surat Keputusan BKPM No.38/SK/1999 tentang Pedoman dan Tata Cara Permohonan Penanaman Modal yang Didirikan Dalam Rangka Penanaman Modal Dalam Negeri dan Penanaman Modal Asing di Indonesia.

                         , Undang-Undang Dasar 1945.

[1] Prof. Dr. Aloysius Uwiyono, S.H., M.H., Implikasi Undang-Undang Ketenagakerjaan No.13 tahun 2003 Terhadap Iklim Investasi, Jurnal Hukum Bisnis Voume 22 – No.5 – tahun 2003, hal 10.

[2] Ibid, hal 10.

[3]  Bagian Proyek Pembinaan Lembaga usaha Keagenan Direktorat Bina Usaha Perdagangan Direktorat Jenderal Perdaganan Dalam Negeri Departemen Perindustrian dan Perdagangan “Ketentuan dan Prosedur Pendirian Perwakilan Perusahaan Perdagangan Asing (Perwakilan Perusahaan Perdagangan Asing) di Indonesia”, hal.1.

[4] Keputusan Presiden Republik Indonesia No.90 tahun 2000 tanggal 10 Juli 2000 tentang Kantor Perwakilan Perusahaan Asing, sub Menimbang butir (b)

[5] Surat Keputusan BKPM No.38/SK/1999 tentang Pedoman dan Tata Cara Permohonan Penanaman Modal yang Didirikan Dalam Rangka Penanaman Modal Dalam Negeri dan Penanaman Modal Asing di Indonesia Bagaian C, Pasal 11.

[6] Berdasarkan hasil riset lapangan dengan Ibu Sri Sumarni, pejabat Kantor Wilayah Daerah Khusus Ibukota Jakarta Pekerjaan Umum, Bidang Bina Jasa Konstruksi, Jl. Pemuda Kavling 52, Jakarta Timur.

[7] Pernyataan tersebut dikemukakan oleh Prof. Bob Seidman, salah seorang Profesor dibidang sosiologi hukum yang mengajar Legal Drafting pada Boston University, yang disampaikan dalam Workshop Legal Drafting yang diselenggarakan di Hotel Crowne Plaza pada tanggal 15 – 26 Januari 2001. Beliau turut menambahkan bahwa di Indonesia kualifikasi tentang harus atau kapan dikeluarkannya suatu peraturan perundang-undangan (termasuk didalamnya kebijakan departemen yang merupakan peraturan pelaksana), oleh undang-undang tidak disebutkan. Namun, terkait pada aspek-aspek yang bersifat teknis lainnya yang justru dipandang sebagai proses kelanjutan (sekunder) dijabarkan secara sedemikian terperinci. Oleh karenanya dari dikeluarkannya peraturan tentang perancangan peraturan perundang-undangan Republik Indonesia tersebut, dipandang suatu bukti begitu lemahnya para perancang peraturan perundang-undangan di Indonesia. Menurutnya dipandang perlu untuk dilakukan pola-pola yang lebih sistematis dalam pemberlakuan suatu peraturan perundang-undangan dan kebijakan, karena efektif atau tidaknya suatu peraturan perundang-undangan dan kebijakan akan dapat terlihat dari berlaku atau tidaknya suatu peraturan didalam masyarakat.

[8] Departemen Perindustrian dan Perdagangan, Direktorat Jenderal Dalam Negeri, Direktorat Bina Usaha Dalam Negeri tahun 1998, “Himpunan Peraturan Mengenai Tenaga Kerja Warga Negara Asing Pendatang di Sektor Perdagangan – Buku 1”, Bagian Kata Pengantar, hal.ii.

[9] Bagian Proyek Pembinaan Lembaga usaha Keagenan Direktorat Bina Usaha Perdagangan Direktorat Jenderal Perdaganan Dalam Negeri Departemen Perindustrian dan Perdagangan “Ketentuan dan Prosedur Pendirian Perwakilan Perusahaan Perdagangan Asing (Perwakilan Perusahaan Perdagangan Asing) di Indonesia”, hal.1.

[10] Undang-Undang Dasar 1954 Pasal 7.

[11] Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Pasal 1576.

[12] Serikat Buruh Sejahtera Indonesia Periode: 2000-2—4, Hasil-Hasil Kongres Nasional III SBSI, 25 April s/d 1 Mei 2000, Graha Garuda Tiara Hotel, Cileungsi, Bogor, Thema: Melalui SBSI Yang Kuat, Kita Bangun Rakyat Yang Sejahtera.

Scroll to Top
Open chat
1
Selamat datang di D-LEAD ada yang bisa kami bantu ?