Apakah Ahli Waris Harus Menanggung Utang dari Pewaris?

Share :

Pertanyaan:

D-Lead yth.,

Apakah Ahli Waris harus menanggung seluruh utang dari Pewaris? Bagaimana KUHPerdata mengatur mengenai hal ini?

(Pertanyaan dari Jecelline Setiawan)

Jawaban:

Keadaan harta warisan dapat menggambarkan suatu harta kekayaan yang berupa pasiva yang lebih besar dari aktiva, sehingga ahli waris harus memikul pasiva atau utang pewaris tersebut dengan harta pribadinya. Prinsip pewarisan dalam KUHPer ialah keseluruhan aktiva dan pasiva pewaris beralih kepada ahli waris. Keadaan demikian yang menyebabkan ahli waris harus menentukan sikap, dengan terbukanya suatu warisan. Ada kemungkinan harta peninggalan lebih banyak pasiva yang harus dipikul oleh ahli waris, dan hal ini akan sangat membebani ahli waris. Atas dasar hal tersebut undang-undang memberikan perlindungan kepada ahli waris dengan memberikan kesempatan untuk berpikir akan menerima atau menolak warisan, atau menerima warisan dengan syarat pencatatan boedel.

KUHPer di dalam Bab XV Buku II mengatur tentang Hak Memikir dan Hak Istimewa untuk mengadakan pendaftaran harta peninggalan. Pada hakekatnya, dengan terbukanya warisan ahli waris mempunyai kesempatan untuk berpikir, sebelum mengambil sikap terhadap terbukanya warisan tersebut, berkaitan dengan harta warisan yang ditinggalkan. Pasal 1023 KUHPer menentukan bahwa: Semua orang yang memperoleh hak atas suatu warisan, dan ingin menyelidiki keadaan harta warisan agar supaya mereka dapat mempertimbangkan, apakah akan bermanfaat bagi mereka, untuk menerima warisan itu secara murni, atau dengan hak istimewa untuk mengadakan pendaftaran harta peninggalan, atau pula untuk menolaknya mempunyai hak untuk memikir, dan tentang itu mereka harus melakukan suatu pernyataan di kepaniteraan Pengadilan Negeri, yang di dalam wilayahnya telah jatuh meluang warisan tersebut; pernyataan mana akan dibukukan dalam suatu register yang disediakan untuk itu.
Di tempat-tempat yang oleh lautan terpisah dari perhubungan langsung dengan tempat kedudukan Pengadilan Negeri, pernyataan itu dapat dilakukan dihadapan Kepala Pemerintahan Daerah, pejabat mana akan mengadakan catatan tentang itu dan memberitahukannya kepada Pengadilan Negeri, yang selanjutnya akan menyelenggarakan pembukuannya. Ditempat-tempat yang termaksud dalam penutup Pasal 1023 KUHPerdata, Kepala Pemerintah Daerah mempunyai kekuasaan yang sama, yang oleh pasal yang lalu diberikan kepada hakim, dan dari pejabat itu diminta izin, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1026 KUHPerdata.
Berdasarkan ketentuan tersebut, maka ahli waris mempunyai kesempatan berpikir untuk selanjutnya menentukan sikap : Apakah akan menerima warisan tersebut secara murni, dengan konsekuensi ahli waris harus menerima keseluruhan aktiva dan pasiva yang ada, artinya menanggung utang pewaris dengan keseluruhan hartanya (harta pribadi ahli waris);
Menerima dengan hak istimewa untuk mengadakan pendaftaran harta peninggalan atau menerima secara benificiair (met voorecht van boedel beschrijving), dengan konsekuensi ahli waris hanya menanggung utang sebesar harta yang ditinggalkan atau aktiva yang ada, tidak dengan harta pribadinya;
Terkait menolak warisan, Pasal 1024 KUHPerdata menentukan bahwa :

Kepada ahli waris yang bersangkutan diberikan jangka waktu selama 4 bulan, terhitung mulai hari tanggal pernyataan yang diperbuat tersebut, untuk menyuruh mengadakan pendaftaran tentang harta peninggalannya dan untuk memikir. Namun demikian, Pengadilan Negeri berkuasa, apabila waris tersebut dituntut dimuka hakim, memperpanjang tentang waktu tersebut di atas, atas dasar alasan yang mendesak.
Selanjutnya sikap tersebut dapat kita simpulkan dari perumusan Pasal 1029 KUHPerdata, yang menentukan bahwa : Setelah lewatnya tenggang waktu yang ditetapkan dalam Pasal 1024 KUHPer, si waris dapat dipaksa untuk menolak warisannya, atau menerimanya, secara murni atau dengan hak istimewa untuk mengadakan pendaftaran harta peninggalan.
Dalam hal yang terakhir harus dibuat satu pernyataan, secara yang sama seperti yang ditetapkan dalam Pasal 1023 KUHPer. Hak ahli waris tersebut dijamin oleh undang-undang, dalam arti bahwa selama masa berpikir, ahli waris tidak boleh dipaksa untuk nenentukan sikapnya. Hal ini dapat kita simpulkan dari Pasal 1025 KUHPer yang menentukan bahwa : Selama tenggang waktu tersebut di atas, ahli waris yang sedang memikir, tidak dapat dipaksa untuk berlaku sebagai ahli waris. Tiada suatu penghukuman oleh hakim dapat diperoleh terhadap ahli waris tersebut, sedangkan pelaksanaan putusan-putusan yang telah diucapkan untuk kekalahan si meninggal ditangguhkan.

Demikian jawaban dari kami, semoga dapat membantu.

Sumber: Darmabrata, Wahyono. Hukum Perdata: Asas-asas Hukum Waris. Jakarta: Rizkita, 2012.

Scroll to Top
Open chat
1
Selamat datang di D-LEAD ada yang bisa kami bantu ?