Apakah Yang Dimaksud Dengan Officium Nobile?

Share :

Pertanyaan:

D-Lead yth.,

Mengapa Advokat dikenal sebagai suatu officium nobile?

(Pertanyaan dari Yuliyani)

Jawaban:

Pembukaan Kode Etik Advokat Indonesia 2002 (selanjutnya KEAI) menyatakan bahwa advokat adalah suatu profesi terhormat (officium nobile). Kata ”nobile officium” mengandung arti adanya kewajiban yang mulia atau yang terpandang dalam melaksanakan pekerjaan mereka. Serupa dengan ungkapan yang kita kenal ”noblesse oblige”, yaitu kewajiban perilaku yang terhormat (honorable), murah hati (generous), dan bertanggung jawab (responsible) yang dimiliki oleh mereka yang ingin dimuliakan. Hal ini berarti bahwa seorang anggota profesi advokat, tidak saja harus berprilaku jujur dan bermoral tinggi, tetapi harus juga mendapat kepercayaan publik, bahwa advokat tersebut akan selalu berperilaku demikian.

Dengan memenuhi persyaratan yang ditentukan Pasal 2 dan 3 UU Advokat, maka seorang sarjana hukum dapat diangkat sebagai seorang advokat dan akan menjadi anggota organisasi advokat (admission to the bar). Dengan diangkatnya seseorang menjadi advokat, maka ia telah diberi suatu kewajiban mulia melaksanakan pekerjaan terhormat (nobile officium), dengan hak eksklusif:

(a) menyatakan dirinya pada publik bahwa ia seorang advokat,

(b) dengan begitu berhak memberikan nasihat hukum dan mewakili kliennya, dan

(c) menghadap di muka sidang pengadilan dalam proses perkara kliennya. 

Akan tetapi jangan dilupakan bahwa hak dan kewenangan istimewa ini juga menimbulkan kewajiban advokat kepada masyarakat, yaitu:

  1. menjaga agar mereka yang menjadi anggota profesi advokat selalu mempunyai kompetensi pengetahuan profesi untuk itu, dan mempunyai integritas melaksanakan profesi terhormat ini, serta,
  2. oleh karena itu bersedia menyingkirkan mereka yang terbukti tidak layak menjalankan profesi terhormat ini (to expose the abuses of which they know that certain of their brethren are quilty)

Kewajiban advokat kepada masyarakat tersebut di atas, dalam asas-asas etika (canons of ethics) American Bar Association (1954; selanjutnya ABA) termasuk dalam asas mengenai ”Menjunjung Kehormatan Profesi” (upholding the honor of the profession), di mana dikatakan (terjemahan bebas) bahwa advokat itu harus selalu berusaha menjunjung kehormatan dan menjaga wibawa profesi dan berusaha untuk tidak saja menyempurnakan hukum namun juga penyelenggaraan sistem peradilannya (the administration of justice).

Lebih lanjut lagi disebutkan olehnya Bagian dari kewajiban advokat kepada masyarakat, adalah telah memberi bantuan jasa hukum kepada mereka yang secara ekonomi tidak mampu (miskin). Dalam KEAI Pasal 3 dinyatakan bahwa seorang advokat ”tidak dapat menolak dengan alasan…kedudukan sosial” orang yang memerlukan jasa hukum tersebut dan juga di Pasal 4 kalimat: ”mengurus perkara cuma-cuma” telah tersirat kewajiban ini.

Dan asas ini dipertegas lagi dalam Pasal 7 KEAI alinea 8: ”…..kewajiban untuk memberikan bantuan hukum secara cuma-cuma (pro deo) bagi orang yang tidak mampu”. Asas etika ini dalam ABA dikenal sebagai ”Kewajiban Mewakili Orang Miskin” (duty to represent the indigent). Meskipun di Indonesia telah ada lembaga-lembaga yang membantu kelompok ekonomi lemah ini, khususnya dengan nama Lembaga Bantuan Hukum (LBH atau yang serupa) dan Biro Bantuan Hukum (BBH atau yang serupa), namun kewajiban advokat atau kantor advokat memberi jasa hukum kepada klien miskin, tetap harus diutamakan oleh profesi terhormat ini. Mengurus perkara ”cuma-cuma” tidak saja untuk perkara pidana (criminal legal aid) tetapi juga untuk perkara perdata (civil legal aid). Dengan adanya di indonesia lingkungan peradilan tata usaha negara, lingkungan peradilan agama, dan lingkungan peradilan militer, maka tentunya bantuan hukum ini harus juga mencakup perkara mempergunakan media massa untuk mencari publisitas. Tetapi contoh di atas untuk ”contempt of court” adalah berbeda. Kesimpulannya adalah bahwa KEAI belum mengatur kemungkinan adanya pelecehan terhadap pengadilan yang dilakukan seorang advokat dengan mempengaruhi pengadilan melalui media massa (obstruction of justice).

Dalam hal kewajiban advokat kepada pengadilan, ABA canon 22 menyatakan bahwa perilaku advokat di muka sidang pengadilan dan dengan para teman sejawatnya harus bercirikan ”keterbukaan” (candor, frankness) dan ”kejujuran” (fairness). Inti dari asas ini adalah melarang advokat berperilaku curang (mislead, deceive) terhadap (majelis) hakim dan advokat lawannya. Memang kewajiban advokat mempunyai dua sisi : dia berkewajiban untuk loyal (setia) pada kliennya, tetapi juga wajib beritikad baik dan terhormat dalam berhubungan dengan pengadilan. Yang pertama adalah ”the duty of fidelity” kepada kliennya dan ini belum ada dalam Pasal 4 KEAI tentang ”hubungan (advokat) dengan klien”. Kewajiban kepada pengadilan tersebut di atas adalah ”the duty of good faith” dan ”the duty of honorable dealing”. Menurut pendapat saya KEAI juga harus menyediakan suatu bab khusus tentang hubungan advokat dengan pengadilan. Bab baru ini harus berbeda dengan bab VI KEAI yang mengatur tentang “cara bertindak menangani perkara”.

Demikian jawaban dari kami, semoga dapat membantu.

Sumber: Hertanto, Ari Wahyudi. Kantor Hukum: Pendirian dan Manajemennya (Teori dan Praktik). Jakarta: Sinar Grafika, 2016.

 

Scroll to Top
Open chat
1
Selamat datang di D-LEAD ada yang bisa kami bantu ?