Aspek Bisnis dan Hukum pada Perusahaan Multinasional

Share :

Aspek Bisnis dan Bentuk-Bentuk Hukum pada Multinational Enterprise Dalam Teori Kendali Perusahaan Prinsipal

Ari Wahyudi Hertanto, S.H., M.H.

Pembahasan tentang Multinational Enterprise (“MNE”) dalam penjabarannya terbagi dalam beberapa pokok pembahasan dimana salah satunya membahas tentang MNE yang ditinjau dari Aspek Bisnis dan Bentuk-Bentuk Hukum pada Multinational Enterprise Dalam Teori Kendali Perusahaan Prinsipal (Business and Legal Forms of Multinational Enterprise Towards a Theory of Control). Bagian ini secara umum membahas tentang kinerja maupun aktivitas konkrit dari bentuk-bentuk MNE yang dikenal sebagaimana telah dijabarkan dalam bagian dari bab-bab sebelumnya.

Aspek-aspek yang secara khusus ditinjau adalah:

  1. Bentuk-bentuk utama organisasi bisnis dan struktur kendali;
  2. Bentuk-bentuk hukum yang seringkali diterapkan oleh MNE; dan
  3. Hubungan antara organisasi bisnis dan struktur kendali dengan bentuk-bentuk hukum MNE.

Dua asumsi dasar yang dipergunakan adalah pertama bentuk bisnis tendensinya mengarah pada cerminan strategi pasar, yang secara spesifik adalah strategi dan struktur kontrol manajemennya; dan kedua berkenaan dengan efisiensi dan efektifitas biaya maupun hal lainnya bagi MNE dalam melaksanakan kegiatan bisnisnya. Dengan dipergunakannya asumsi tersebut menunjukan bahwa belum dapat dikatakan bahwa segala sesuatu yang dipaparkan dalam tulisan ini dapat mewakili secara keseluruhan dari praktek-praktek MNE yang terjadi dilapangan, khususnya bilamana dikaitkan dengan konteks keakuratan dan kesahihan dalam perolehan data, maupun aspek keterbukaan.

Deskripsi yang diangkat oleh tulisan ini dapat dikatakan terbatas dengan mengangkat isu-isu baik yang disajikan dalam suatu paparan penelitian yang sifatnya ideal menurut MNE dalam berbisnis, maupun mencoba untuk menarik suatu ide yang dilandasi oleh asumsi-asumsi tulisan tersebut di atas. Tulisan ini disajikan dalam rangkaberupaya untuk melihat dalam tatanan praktek-praktek bisnis yang terjadi di Indonesia, yaitu dengan mengangkat beberapa contoh dari kelompok pebisnis yang menurut hemat penulis termasuk dalam kategori kelompok pengusaha yang tergabung  dalam MNE. Artinya, agar dalam menganalisis tulisan tersebut menjadi tidak dibatasi oleh adanya kemungkinan kebijakan dari MNE dalam menyikapi pasar yang kondusif tetapi cara-cara pelaksanaan bisnisnya di lapangan tidak dilakukan dengan cara-cara yang konstruktif, melainkan murni berdasarkan orientasi bisnis. Salah satu contoh adalah praktek yang terjadi pada negara-negara berkembang dimana MNE dalam rangka memulai bisnisnya, yang sudah barang tentu melibatkan birokrasi, baik untuk perijinan maupun hal-hal lainnya, dimana dalam tulisan ini tidak diungkap tentang adanya praktek-praktek undertable money atau praktek sejenis lainnya. Padahal praktek-praktek tersebut berkembang subur dikebanyakan negara-negara berkembang.

Andil dari MNE dalam hal ini seharusnya berupaya untuk mengeluarkan dan mengkoordinasikan suatu kebijakan agar terhadap praktek-praktek tersebut tidak akan ada kata kerjasama ataupun toleransi, yaitu dengan berlandaskan pada prinsip-prinsip good corporate governance. Yang menarik adalah terbuka kemungkinan bahwa terhadap perusahaan-perusahaan holding mereka diterapkan prinsip good corporate governance secara konsekuen, tetapi tidak halnya apabila dalam praktek-praktek bisnisnya di luar negaranya.

Terhadap salah satu contoh praktek yang terjadi di atas memberikan suatu gambaran bahwa undertable money tersebut tujuannya diberikan agar tidak menghambat bisnis mereka yang diprediksikan akan meraup keuntungan yang signifikan. Jika dibandingkan dengan nilai uang dan pendidikan moril untuk kemajuan negara-negara berkembang, maka sudah jelas bahwa MNE tersebut turut melanggengkan kesempatan maraknya tindakan-tindakan illegal dimaksud. Meskipun demikian, sangat dipahami bahwa tidak semua MNE memiliki karakteristik seperti yang telah dipaparkan di atas.

  1. MNE sebagai Organisasi Bisnis Internasional

Karakteristik dari MNE adalah adanya modal dari perusahaan kelas dunia dan multilokasi yang dianggap strategis sebagai tempat bisnis di seluruh penjuru dunia. Aplikasi dari persebaran modal perusahaan multinasional tersebut ke lokasi-lokasi bisnis lazimnya dibentuk melalui pola pendirian anak-anak perusahaan. Seiring dengan terjadinya globalisasi yang berdampak pada semakin berkembangnya produk-produk dan sektor jasa yang baru, maka diperlukan pula terobosan-terobosan mutakhir dalam bidang bisnis internasional. Sehingga yang terjadi adalah terciptanya suatu reorganisasi dalam kerangka bisnis internasional, yang secara spesifik terjadi pada struktur kendali dan fungsi manajerial. Dalam tulisan ini diangkat tentang konsep divisionalisasi dalam melakukan kinerja bisnis internasional.

Kebutuhan untuk melakukan reorganisasi dalam tubuh MNE merupakan suatu urgensi tersendiri, dimana untuk melakukan perubahan tersebut diperlukan adanya restrukturisasi kerangka kinerja organisasi modern ke dalam suatu bentuk yang lebih aplikatif dan modern. Pola konservatif yang dipandang perlu untuk disesuaikan dengan perkembangan adalah hubungan antara perusahaan induk dengan anak-anak perusahaannya yang secara garis besar perusahaan induk akan bersikap lebih flesksibel dalam terhadap kinerja maupun kebijakan-kebijakan bisnis dari anak-anak perusahaannya terutama terhadap permasalahan domestik yang terjadi.

MNE sangat menyadari bahwa tidak semua aspek bisnis dapat diekploitasi di daerah asalnya, seperti halnya barang tambang, minyak dan gas bumi, sumber daya manusia, target pemasaran produk dan jasa dan lain sebagainya. Keterbatasan ruang lingkup untuk memperoleh keuntungan dan manfaat yang maksimal dalam bisnis yang dijalankannya memotivasi mereka untuk melakukan ekspansi usaha. Di era modern ini ekspansi sampai keluar batas suatu negera bukan merupakan suatu hal yang baru, tetapi bentuk-bentuk manajemen perusahaan dan pola kendalinya merupakan suatu perkara yang dinamikanya senantiasa perlu untuk disesuaikan dengan tuntutan dan kebutuhan.

Sementara itu MNE tidak hanya melakukan kegiatan usaha atau investasinya terbatas pada satu negara tujuan melainkan di banyak negara. Memperhatikan kompleksitas antara struktur perusahaan dengan luasnya jaringan yang ada menimbulkan berbagai macam permasalahan yang pemecahannya senantiasa diperlukan. Tidak tertutup kemungkinan permasalahan tidak melulu timbul dalam tatanan internal perusahaan tetapi juga terhadap para kompetitor usahanya yang juga selalu pembaharuan teknik-teknik bisnis mereka dalam merebut pangsa pasar.

Struktur yang perlu dibangun adalah struktur yang dapat menunjang operasional bisnis agar tetap dapat berjalan yang salah satunya adalah dengan memperbaiki sistem manajemen dan pola divisionalisasi perlu dikembangkan dalam suatu mekanisme komunikasi yang tujuan utamanya juga untuk meng-eliminasi segala kemungkinan yang timbul akibat miskomunikasi. MNE telah sebelumnya menyiasati bisnis mereka dengan pendekatan desentralisasi, dimana perusahaan yang jauh dari induk diberikan wewenang dalam batasan-batasan tertentu untuk memutuskan, menetapkan kebijakan, mengambil suatu langkah dan lain sebagainya, dalam merespon setiap permasalahan domestik.

Fenomena lain yang menarik menurut penulis terlepas dari divisionalisasi, pola kendali dan reorganisasi, yaitu lebih jauh lagi tulisan ini mengangkat sebuah istilah baru “heterarchy” yang merupakan gabungan konsep heterogen dan hierarkhi. Pola ini membongkar konsep keseragaman manajemen berbentuk piramida yang dianggap tidak sesuai dengan perkembangan. Tujuannya adalah agar kendala geografis tidak dijadikan sebagai penghambat kemajuan usaha dan dengan demikian bagian Riset dan Pengembangan tetap dapat terus berkarya tanpa harus melalui birokrasi kaku dengan perusahaan induk, tetapi MNE sangat menyadari bahwa dengan pola semacam itu mengakibatkan tidak hanya renggangnya antara perusahaan induk dengan perusahaan di lokasi lainnya tetapi juga dampak serupa juga dirasakan dalam konteks hubungan kepegawaian antara perusahaan induk dangan lokasi lainnya. Dan yang paling penting adalah peran pembuat keputusan tidak lagi merupakan suatu hal yang ekslusif yang terbatas hanya dimiliki oleh para pembuat keputusan senior yang harus ada di dalam perusahaan induk.

Pola pemberian wewenang tersebut memberikan suatu kelonggaran tetapi disatu sisi diikat dengan suatu aspek pertanggungjawaban atas suatu putusan atau kebijakan yang telah dikeluarkan oleh pihak-pihak yang telah diberikan otorisasi dimaksud. Tujuannya tidak lain agar dapat diambil suatu keputusan yang tepat dalam situasi dan kondisi yang mendesak ataupun darurat. Sikap ini diambil terutama terhadap sektor-sektor usaha yang dinilai potentisiil tetapi berada didaerah terpencil, seperti sektor minyak dan gas bumi dan sektor pertambangan.

Pola bisnis lain yang diterapkan sehubungan dengan penguasaan pasar, efektifitas dan efisiensi serta dominasi kendali mendorong MNE untuk melakukan manuver pemindahan lokasi usahanya mendekati ke sumber utama (tidak tanggung-tanggung yang dipindahkan adalah perusahaan induknya ke negara lain). Salah satu contoh konkrit yang dapat diberikan adalah industri mainan raksasa Bandai Ltd., yang mengalokasikan perusahaannya semula beroperasi secara keseluruhan di Jepang, baik perusahaan induk maupun manufaktur, kemudian dipindahkan ke Cina. Salah satu faktor utama yang mendorong dilakukannya pemindahan lokasi usaha tersebut adalah faktor tenaga kerja yang murah dengan kecepatan produksi yang beberapa kali lipat dari sebelumnya. Pada saat ini merupakan suatu peristiwa yang sangat langka untuk menemukan produk mainan Bandai yang labelnya masih tercatat buatan Jepang. Hal lainnya yang menarik para distributor melakukan negosiasi untuk dapat bertindak sebagai kepanjangan tangan Bandai secara langsung sebagai distributornya, tidak lagi berhungan langsung dengan pihak Bandai Jepang, tetapi perjanjian distributornya ditandatangani maupun aspek-aspek transaksi dan teknis lainnya ditangani langsung oleh pihak distributor dengan Bandai Cina.

Berkenaan dengan garis pembuatan keputusan oleh anak perusahaan atau afiliasi dari perusahaan induk di lokasi yang berbeda dapat diambil contoh Rio Tinto Plc., London, yang memiliki perusahaannya di Indonesia, yaitu PT Rio Tinto Indonesia (dahulu adalah pemilik dari PT Kaltim Prima Coal), dimana melalui kantor cabangnya tersebut perusahaan induk dapat mengetahui secara pasti tentang kondisi perekonomian yang terjadi di Indonesia. Sehingga berdasarkan hasil pemantauan kantor cabangnya di Indonesia, perusahaan induknya dapat sewaktu-waktu memutuskan untuk menarik, meningkatkan nilai maupun menahan investasinya di Indonesia.

Namun demikian yang menarik adalah terdapat suatu kebijakan pusat yang tidak dapat disimpangi oleh seluruh anak perusahaannya yang tersebar diseluruh penjuru dunia, yaitu dengan adanya suatu perangkat ketentuan yang dinamakan golden rules. Berdasarkan hasil pembicaraan dengan biro hukum PT Rio Tinto Indonesia, diketahui bahwa segala bentuk penyimpangan terhadap golden rules tersebut, maka secara serta merta akan diikuti dengan sanksi. Sanksi bagi para tenaga kerjanya adalah berlaku umum, sehingga apabila terdapat jajaran direksi, komisaris ataupun manajemen yang melakukan pelanggaran yang diatur dalam golden rules tersebut dapat seketika dikenakan sanksi yang sesuai, termasuk dan tidak terbatas terhadap sanksi dikeluarkan secara tidak hormat.

Golden rules ini secara prinsip muatannya sangat sarat dengan ide-ide good corporate governance dan terkait dengan isu-isu hak asasi manusia lainnya (seperti SARA dan gender), dimana tidak boleh dilakukan suatu perbuatan yang dianggap melanggar norma-norma hukum baik umum maupun khusus yang berlaku. Salah satu perbuatan sederhana adalah pemberian uang suap. Apabila tindakan penyuapan itu dilakukan, baik oleh pimpinan perusahaan atau oleh supir sekalipun, maka sanksi yang diberikan (apabila terbukti dan terdapat saksi-saksi) adalah pemutusan hubungan kerja tanpa melalui surat peringatan terlebih dahulu, tetapi sudah barang tentu melalui prosedur hukum yang berlaku. Kebijakan ini janganlah dilihat dari tindakan pemecatannya, tetapi hal ini merupakan suatu upaya sungguh-sungguh untuk membangun mentalitas pekerjanya, meningkatkan kualitas manajemen perusahaan dan menjalankan usaha secara bersih dan sehat. Keputusan ini diambil oleh pimpinan perusahaan setempat dan perusahaan induk telah terlebih dahulu diinformasikan terhadap kasus tersebut, tetapi tetap wewenang ada sepenuhnya pada anak perusahaan yang bersangkutan.

  1. Bentuk-bentuk Hukum Perusahaan Multinasional

Pada bagian ini ditekankan pada bentuk-bentuk hukum utama yang diambil oleh MNE agar tercipta keselarasan bisnis dengan dasar pembenaran menurut hukum bagi mereka untuk memulai usahanya, yang lazimnya adalah meminimalisir hambatan-hambatan yang timbul dikarenakan permasalahan hukum dan di lain pihak dapat tingkat fleksibilitas operasional yang tinggi yang diperkenankan oleh hukum negara setempat. Identifikasi yang dapat diberikan terbagi dalam 6 kelompok bentuk-bentuk hukum yang dikenal, yaitu:

  • Bentuk kontraktual

Bentuk ini merupakan bentuk yang paling umum yang seringkali dilakukan oleh MNE karena secara universal perjanjian merupakan suatu hal yang bersifat khusus dan manifestasinya adalah mereservasi hak dan kewajiban para pihak yang ada didalamnya. Sementara itu intervensi pemerintah tidak begitu signifikan didalamnya kecuali dalam hal yang mengatur kegiatan-kegiatan usaha yang ditimbulkan dari perjanjian-perjanjian tersebut dan membuat regulasi tertentu. Dengan kata lain bilamana dilihat dalam perspektif (khususnya sistem common law) terdapat perbedaan antara korporasi dan kontrak. Oleh karenanya diciptakan metode yang dapat menyerap kedua perbedaan tersebut menjadi satu frekuensi yang sama.

Pengecualian diberikan terhadap pemerintah, yaitu terhadap perjanjian sejenis dengan Production Sharing Contract atau Contract of Work, yang merupakan perjanjian di sektor migas dan pertambangan, dimana pemerintah dalam hal ini bertindak di satu sisi sebagai regulator dan di lain pihak sebagai pemain. Sehingga praktek yang terjadi adalah pertentangan antara konsep kesetaraan dalam perjanjian dengan kedudukannya sebagai regulator, tidak jarang menimbulkan konflik pada prakteknya. Salah satu contoh, yaitu Joint Operation Contract PT Karaha Bodas Company.

Menurut Gunther Teubner asosiasi tersebut dapat terjadi apabila dibangun suatu jaringan organisasi, yang melalui jalur kontraktual dapat dibedakan dalam penekanan distribusi atau produksi.

  1. Perjanjian distribusi, yaitu suatu mekanisme yang diperkenankan oleh hukum agar rantai persebarluasan produk tidak terputus dan hal yang mencirikan dari perjanjian ini adalah perusahaan induk tidak ingin memiliki komitmen atau melakukan ekspansi usahanya ditempat-tempat tujuan distribusi baik dalam bentuk investasi, pembukaan cabang ataupun anak perusahaan. Perjanjian distribusi ini tidak melulu ditekankan tentang ketentuan yang melulu tentang distribusi karena didalamnya turut mencakup hak kekayaan intelektual, merek, pengalihan pengetahuan, seperti halnya dalam perjanjian distribusi yang manifestasinya adalah franchise dagang.
  2. Perjanjian produksi, yaitu suatu perjanjian yang timbul dikarenakan adanya permintaan dari negara lain akan kebutuhan suatu produk. Sehingga dalam pelaksanaannya dibangun manufaktur produk yang berada di lokasi negara yang bersangkutan. Seperti halnya perjanjian distribusi, dimana dalam muatannya juga terdapat ketentuan tentang kerahasiaan terkait dengan hak kekayaan intelektual, teknologi yang dipatenkan dan sebagainya. Apabila disinggung tentang kompetisi yang sehat dimana dalam konstruksi ini masih terus diperdebatkan dikarenakan adanya kemungkinan pengambilalihan teknologi secara paksa atau diam-diam untuk kepentingan usaha pengusaha lokal yang bersangkutan, yang mengabaikan muatan perjanjian ataupun etika.

Lebih jauh dikatakan bahwa bentuk kontraktual yang paling maju adalah konsorsium internasional. Yang dalam definisi terbatasnya adalah untuk menciptakan satu wadah yang memiliki tujuan yang khusus dan terbatas. Lazim dikenal dengan bentuk perusahaan produksi terintegrasi internasional. Praktek yang terjadi dilapangan biasanya terjadi dengan pola-pola joint venture ataupun kemitraan, yang tujuannya adalah untuk mencapai kesuksesan bersama dalam produksi internasional.

Suatu hal yang menarik adalah perusahaan cat Jepang yang didirikan di Indonesia yang produsennya telah lama dikenal, yaitu Kansai (paint) yang mendirikan industri catnya di Indonesia melalui mekanisme penanaman modal asing dan pada pertengahan tahun 2000 berupaya melepaskan kemitraannya dengan mitra lokal. Pemutusan dimaksud dikarenakan mitra lokalnya melakukan kecurangan yaitu dengan melakukan pencurian teknologi dan mengaplikasikannya di luar kerangka perjanjian yang telah ditandatangani bersama. Justru kondisi ini mendorong Kansai Paint Jepang untuk merubah status penanaman modal asingnya menjadi 100% kepemilikan modal asing. Indikatornya adalah rasa ketidakpercayaan terhadap mitra usaha lokal, yang dikarenakan adanya pengalaman tersebut menimbulkan apriori investor terhadap pelaku usaha nasional.

Terlepas dari uraian tersebut di atas, Kansai Paint Indonesia pada kenyataannya telah bermitra dengan Toyota Indonesia (yang dalam hal ini kelompok usaha Astra) untuk menyediakan cat bagi industri otomotifnya di Indonesia. Struktur semacam ini justru merupakan indikator bahwa tujuan dibangunnya hubungan usaha tersebut adalah untuk menjaga kualitas suatu produk, terlepas dari komitmen ataupun agar peredaran keuntungan tidak keluar dari lingkaran sesama pengusaha-pengusaha Jepang. salah satu mekanismenya adalah melalui mitra-mitra usaha perindustrian yang ada dan telah dibangun di negara industri asalnya.

  • Kelompok Korporasi Berdasarkan Ekuitas

Paradigma umum yang terpetakan adalah faktor kendali dalam suatu perusahaan yang multilokasi ada dan dikarenakan partisipasi saham MNE. Sebagaimana yang telah berulang kali dipaparkan bahwa MNE berupaya sedemikian rupa untuk menggeser pola-pola konservatif yang kaku menjadi pola-pola yang dinamis, yang sudah barang tentu pola-pola ini pada akhirnya menimbulkan konsekuensi-konsekuensi (hukum).

  1. The Anglo-American ‘pyramid’ group, yaitu pola yang lazim dipergunakan oleh MNE Amerika dan Inggris. Dari penggunaan istilah sudah kelihatan bahwa anak-anak perusahaan maupun cabangnya tidak dapat terlepas segala sesuatunya dengan perusahaan induk sebagai puncak tertinggi dalam struktur usaha. Perusahaan induk dalam hal ini melakukan penyertaan maupun akuisisi dalam perusahaan-perusahaan yang terdapat di lokasi-lokasi yang berbeda. Memang diakui bahwa bentuk semacam ini akan menimbulkan kompleksitas yang signifikan dikarenakan alur koordinasi yang modelnya top down. Permasalahan akan semakin bertambah sebagai konsekuensi ekspansi usaha perusahaan induk. Sehingga untuk meminimalisir kendala tersebut tidak jarang perusahaan-perusahaan yang didalamnya terdapat pernyertaan MNE dipandang terbatas hanya sebagai agen. Maksudnya agar tidak memperluas masalah dan semakin meminimalisir permasalahan administratif.
  2. European transnational mergers, yaitu suatu bentukan yang terjadi antara sebuah induk perusahaan yang mengadakan penggabungan dengan perusahaan lokal. Cara-cara seperti ini telah dilakukan oleh MNE baik pada perusahaan-perusahaan sektor swasta maupun sektor publik. Penamaan ini tidak lain dikarenakan prakteknya marak dilakukan oleh para pebisnis Eropa, terutama untuk lebih memperkuat dominasi perekonomian Eropa terhadap dunia, yang menawarkan berbagai macam keunggulan dan keuntungan bagi kedua belah pihak. Namun demikian terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan sebelum dilaksanakannya merger tersebut, yaitu:

a) Tidak boleh terjadi pengaruh terhadap tingkat harga jual saham perusahaan yang merupakan pihak dalam joint ventures di bursa nasional, yang merupakan negara asal dari pelaku usaha yang bersangkutan;

b) Tujuan dari dilakukannya merger adalah untuk meningkatkan perekonomian bersama menjadi lebih tinggi dalam tatanan skala maupun lingkupnya apabila dibandingkan dengan dilakukannya upaya tersebut hanya oleh perusahaan yang bersangkutan;

c) perlu untuk dipikirkan tentang konsekuensi fiskal.

Beranjak dari beberapa ilustrasi yang dipaparkan dalam tulisan tersebut ternyata menunjukan tidak semua transnasional merger dapat dilaksanakan sebagaimana mestinya. Kolaborasi tersebut tidak jarang menjadi kontra produktif dikarenakan terjadinya ketidaksesuaian dalam kendali internal, yang sudah barang tentu dikarenakan latar belakang dua perusahaan yang berbeda satu sama lain. Sehingga kerugian yang terjadi justru sama sekali di luar prediksi yang diharapkan oleh para pihak, dan yang terjadi adalah semakin lemahnya kedudukan perusahaan dibanding dengan kondisi sebelumnya.

Latar belakang dari diterapkannya transnasional merger ini tidak lain merupakan upaya-upaya dalam rangka mensukseskan grand strategy single market program di Eropa.

Asumsi penulis adalah sebagaimana yang telah terjadi pada perusahaan yang termasuk dalam kategori pasar modern yang dimiliki Continent dan Carrefour. Kedua perusahaan tersebut melakukan merger untuk seluruh jaringan bisnisnya dalam skala internasional agar tercipta suatu penggabungan perolehan profit yang maksimal jika dibandingkan keduanya bersanding sebagai pesaing. Motivasi semacam ini sangat berbeda dengan karakter para pelaku bisnis di negara-negara berkembang.

  1. The Japanese kereitsu, yaitu karakter bisnis yang dijalankan oleh perusahaan-perusahaan Jepang yang berpegang teguh pada ketentuan larangan praktek monopoli dan perdagangan yang sehat. Memang tidak terdapat larangan terhadap suatu perusahaan induk untuk memiliki saham di perusahaan lain sepanjang perusahaan induk tetap menjalankan kegiatan usahanya. Selanjutnya joint stock companies dilarang untuk melakukan ekspansi usaha di bidang lain selain jasa keuangan, yang mana didalamnya juga terdapat berbagai macam batasan. Sedangkan, untuk ekspansi usahanya dengan berpegang teguh pada pola ini, maka dibangun suatu kerangka koordinasi manajerial yang kokoh.
  2. Change in business organization and effects on equity based, yaitu menyikapi berbagai bentuk terobosan yang terjadi dalam pola equity based ini, pada akhirnya menggiring pada bentuk-bentuk utama yang satu sama lain saling dipengaruhi oleh kepentingan ekonomi dan keterikatannya dengan koridor hukum. Sehingga dalam bagian ini digagas tentang konsep control contracts yang bertujuan untuk memberikan kualifikasi (hak dan kewajiban) dan klarifikasi terhadap posisi masing-masing pihak dan tidak melulu hanya didasarkan pada faktor ekuitas.
  • Joint Ventures

Sampai saat ini tidak terdapat definisi joint ventures yang dipandang sesuai dan akomodatif. Tetapi yang jelas adalah merupakan suatu kerangka perjanjian antar dua pihak (perusahaan) atau lebih yang memiliki tujuan yang sama. Biasanya terkait didalamnya dengan aspek permodalan, teknologi dan tujuan komersil.

Bentuknya tidak melulu perjanjian tetapi juga dapat bermuara pada terbentuknya suatu perusahaan. Memperhatikan bentuk tersebut, maka satu hal yang tidak luput adalah terkait dengan masalah dominasi, khususnya yang dilakukan oleh perusahaan induk. Meskipun demikian tetap terdapat joint ventures yang dipandang proporsional yang sangat memperhatikan pada kontribusi pihak yang bersepakat. Pihak-pihak yang bersepakat tidak melulu hanya terdiri dari satu perusahaan induk, tetapi juga terbuka kemungkinan joint ventures yang terjadi oleh dan antara sesama perusahaan induk. Layaknya sebuah perjanjian, joint ventures tidak tertutup kemungkinan akan diakhiri karena jangka waktu. Sehingga ketentuan tentang pembubaran tersebut harus diatur secara seksama karena terhadap perbuatan mana perusahaan induk akan menjadi pihak yang memiliki peran yang signifikan.

Praktek joint ventures ini bukan merupakan barang baru bahkan bentuk ini dianggap yang paling akrab dan sering diterapkan oleh banyak negara. Cara semacam ini dipandang memiliki tingkat kesesuaian yang lebih tinggi dibanding dengan penggabungan usaha secara penuh yang saat ini mulai dihindari.

  • Aliansi Informal antar sesama MNE

Bentuk yang satu ini tidak terdapat kerangka hukumnya secara pasti. Contoh yang paling menurut Tricker adalah ‘federations of companies’ yang kurang lebih dimaknai adanya koalisi antara beberapa perusahaan yang memiliki latar belakang usaha yang sama, yang biasanya terjadi pada bursa saham. Seperti halnya perusahaan yang memiliki bidang usaha yang sama dan terdaftar dalam bursa saham, dimana satu sama lain saling mempengaruhi dikarenakan adanya persamaan kepentingan. Sehingga atas pemikiran tersebut tercipta suatu pengaruh-pengaruh dalam hal penawaran, tender, penentuan harga, produk, penelitian dan strategi keuangan. Pengurus perusahaan yang satu dengan yang lain secara struktur terpisah dan dalam aliansi ini dianggap tidak akuntabel dihadapan hukum.

  • MNE yang dimiliki oleh Publik

Manifestasi dari MNE yang sahamnya dimiliki oleh publik ini terjadi di daratan Eropa. Tendensi dari pola ini dibedakan dalam 2 hal, yaitu pertama dikarenakan perusahaan-perusahaan milik negara mengadopsi strategi untuk melakukan ekspansi secara internasional; kedua dikarenakan MNE yang ada dinasionalisasikan. Dalam ilustrasi ini digambarkan bahwa MNE dalam sepak terjangnya tidak melulu terbatas pada perusahaan privat tetapi ada juga yang merupakan perusahaa milik negara. Dampak yang terjadi adalah kendali dari pihak pemegang saham mayoritas atau lainnya atau bahkan pengurus tidak dapat secara serta merta diterapkan dikarenakan masih terdapat pemegang saham lainnya yang perlu mendapat perhatian, yakni publik. Harapannya dari partisipasi masyarakat ini dapat tercipta suatu kontrol perusahaan yang konstruktif dan positif.

  • Bentuk Supranasional dalam Bisnis Internasional

Klasifikasi dari bentuk ini adalah dari struktur hukumnya melibatkan beberapa badan bentukan dari hukum yang diadopsi oleh organisasi regional. Tujuannya adalah untuk mengembangkan kerjasama antar negara, yang juga dikenal dengan istilah public international corporation, lembaga ini berbeda dengan publicly owned MNE. Khusus untuk public international corporation dibentuk berdasarkan adanya kesepakatan bersama yang dibuat oleh dua atau lebih negara-negara yang tergabung didalamnya, yang terkadang memiliki kaitan khusus dengan peran dan kepentingan suatu negara, seperti satelit komunikasi maupun pusat pembangkit listrik tenaga nuklir.

Secara umum bentuk pada huruf a, b, dan c adalah bentuk yang seringkali ditempuh dan bukan merupakan barang baru bagi para pelaku bisnis diseluruh dunia. Tetapi untuk bentuk pada huruf d, e, dan f merupakan konsep-konsep yang telah berjalan dan dikenal tetapi belum secara menyeluruh, dimana faktor yang melatar belakangi adalah dikarenakan aspek domestik dan regional MNE yang bersangkutan selain orientasi bisnisnya.

  1. Hubungan antara organisasi bisnis dan struktur kendali dengan bentuk-bentuk hukum MNE

Aspek multilokasi tersebut menimbulkan pola-pola strukktur manajemen yang lebih disederhanakan dan reorganisasi dalam garis kendali divisionalisasi. MNE akan dengan dengan sendirinya menyelenggarakan pola organisasi sejalan dengan  garis divisionalisasi yang pola manajemennya melampaui batas negara, berbeda sekali dengan perusahaan dimana meskipun tujuannya untuk menyelenggarakan bisnis tetapi karena aspek nasionalitas dari perusahaan-perusahaan bisnis yang sangat kentara mengakibatkan perusahaan-perusahaan tersebut tidak dapat mempertahankan eksistensinya dan akhirnya hilang.

Terus berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi merupakan mengakibatkan masyarakat dunia untuk senantiasa tidak boleh ketinggalan akan informasi yang terbaru dan mutakhir. Keadaan ini dialami oleh berbagai macam kalangan dan tidak dapat pula untuk dihindari. Berkenaan dengan hubungan antara organisasi bisnis dan bentuk-bentuk MNE, singkatnya dapat dikatakan bahwa secara berkesinambungan upaya manajemen tetap dibangun dan kendali atas perusahaan-perusahaan yang ada juga dipelajari secara seksama sejauh mana dapat dikendurkan dan kapan bersikap tegas.

Tidak terlepas dari paragraf di atas segala bentuk ataupun pola yang disiasati oleh MNE tidak dapat luput dari sasaran hukum. Karena mereka memerlukan landasan hukum untuk eksistensinya dalam melakukan bisnis. Apabila tidak ada wadah yang relevan menurut hukum, lalu bagaimana dengan consensus regional dan internasional, apakah terdapat suatu permufakatan hukum yang baru atau sebaliknya. Sehingga permasalahan kembali pada intinya yaitu terkait dengan aspek kendali perusahaan dan kontraktual MNE dengan pihak lainnya.

Dua hal tersebut mencakup seluruh aspek dari pemikiran MNE itu sendiri yang selalu dibuat dan dicari alternatifnya dalam menyikapi peluang-peluang bisnis baru yang berskala internasional dan memiliki profit yang signifikan. Sehingga dikaji lebih jauh tentang pola manajemen, pengembangan jaringan, perlu atau tidaknya adanya suatu regulasi yang mendukung MNE dan sebagainya. Namun demikian jelas bahwa tidak ada bisnis yang dapat dibangun tanpa adanya pondasi hukum yang memayungi bisnis mereka, tetapi dilain pihak selain reservasi yang diberikan oleh kepada MNE, hukum juga memberikan rambu-rambu agar tetap tercipta suatu bisnis yang konstruktif, terutama menyikapi faktor dominasi dan kendali yang teramat signifikan oleh MNE terhadap perusahaan domestik yang kedudukannya terkadang tidak sejajar.

Scroll to Top
Open chat
1
Selamat datang di D-LEAD ada yang bisa kami bantu ?