Aspek Hukum Pembebanan dan Pendaftaran Jaminan Fidusia Berdasarkan Undang-Undang No. 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia

Share :

Oleh: Arief Susijamto Wirjohoetomo, S.H., M.H.[1]

PENDAHULUAN

Berdasarkan Lembaran Negara No. 168 tahun 1999, tertanggal 30 September 1999, telah diundangkan di dalam Undang-Undang No. 42 tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia (“UU Fidusia”). Sejak saat itu secara yuridis formal lembaga jaminan fidusia yang dikenal selama ini dalam masyarakat, dan diterima dunia perbankan dan peradilan dengan sebutan Fiduciaire eigendomsoverdracht atau “FEO” (pengalihan hak milik secara kepercayaan), telah resmi dalam jajaran hukum positif di Indonesia, dengan sebutan undang-undang fidusia, sesuai dengan Pasal 40 UU Fidusia.

Fidusia atau lengkapnya Fiduciaire eigendomsoverdracht sering disebut sebagai Jaminan Hak Milik secara kepercayaan, merupakan suatu bentuk jaminan atas benda-benda bergerak di samping gadai yang dikembangkan oleh yurisprudensi dan saat ini berdasarkan UU Fidusia. Pada Fidusia berbeda dari gadai, yang diserahkan sebagai jaminan kepada kreditur adalah hak milik, sedang barangnya tetap dikuasai oleh debitur, sehingga yang terjadi adalah penyerahan secara constitutum possessorium.

Menurut asal katanya, Fidusia berasal dari kata “fides” yang berarti “kepercayaan”. Memang hubungan hukum antara debitur pemberi fidusia dan kreditur penerima fidusia merupakan suatu hubungan hukum yang berdasarkan atas kepercayaan. Pemberi fidusia percaya bahwa kreditur penerima fidusia mau mengembalikan hak milik yang telah diserahkan kepadanya, setelah debitur melunasi utangnya. Sebaliknya, kreditur juga percaya bahwa pemberi fidusia tidak akan menyalahgunakan barang jaminan yang berada dalam kekuasaannya dan mau memelihara barang tersebut selaku “bapak rumah yang baik”. Konstruksi fidusia yang demikian adalah sesuai dengan apa yang dikatakan oleh Asser, bahwa:

“Orang berbicara mengenai suatu hubungan hukum atas dasar fides, bilamana seseorang dalam arti hukum berhak atas suatu barang sedang barang itu secara sosial ekonomis dikuasai oleh orang lain”.

Pasal 13 ayat (4) UU Fidusia, telah memberikan amanat kepada Pemerintah untuk mengeluarkan Peraturan Pemerintah yang mengatur tentang pendaftaran fidusia dan dalam jangka waktu satu tahun setelah tanggal Lembaran Negara tersebut di atas, Kantor Pendaftaran Fidusia (“KPF”) harus telah dibentuk.

KPF mempunyai tugas untuk menerima dan melakukan pendaftaran, termasuk menerbitkan sertipikat jaminan fidusia, sehubungan dengna pembebanan jaminan fidusia atas benda untuk perbuatan hukum yang dilakukan sesudah maupun sebelum “KPF” dibentuk.

JAMINAN FIDUSIA SEBAGAI PERJANJIAN

Jaminan fidusia adalah hak jaminan atas benda bergerak baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud dan benda tidak bergerak yang tidak dapat dibebani hak tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan, yang tetap berada dalam penguasaan pemberi fidusia, ebagai agunan bagi pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada penerima fidusia terhadap kreditur lainnya.

JAMINAN FIDUSIA SEBAGAI  HAK KEBENDAAN

Tahap berikutnya dalam proses perjanjian jaminan fidusia adalah pemberian jaminan dalam bentuk akta notaris, dan kewajiban mendaftarkan jaminan fidusia itu. Pada tahap ini dilaksanakan perjanjian kebendaan (zakelijk overeenkomst). Perjanjian kebendaan terwujud dalam suatu proses yang diawali dengan perjanjian dan diakhiri dengan pendaftaran. Salah satu asas dari perjanjian pembebanan benda dengan jaminan fidusia adalah asas publisitas. Dengan didaftarkannya jaminan fidusia maka asas publisitas terpenuhi dan sekaligus merupakan jaminan kepastian terhadap kreditur lainnya mengenai benda yang telah dibebani dengan jaminan fidusia. Jaminan fidusia lahir sejak tanggal yang sama dengan tanggal dicatatnya jaminan fidusia dalam buku pendaftaran fidusia.

MAKSUD DAN TUJUAN UU FIDUSIA

Menurut Penjelasan Umum UU Fidusia, UU Fidusia dimaksudkan untuk menampung kebutuhan masyarakat dalam mengatur jaminan fidusia sebagai salah satu sarana untuk membantu kegiatan usaha dan untuk memberikan kepastian hukum kepada para pihak yang berkepentingan.

Oleh karena itu, guna memenuhi kebutuhan masyarakat yang terus berkembang, maka, menurut UU Fidusia obyek jaminan fidusia diberikan pengertian yang luas yaitu benda bergerak yang berwujud maupun yang tidak berwujud, dan benda tidak bergerak yang tidak dapat dibebani dengan hak tanggungan sebagaimana ditentukan dalam Undang-Undang No. 4 tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah (“UUHT”).

 PEMBEBANAN OBYEK JAMINAN FIDUSIA

Jaminan fidusia merupakan perjanjian ikutan (accessoir) dari suatu perjanjian pokok yang menimbulkan kewajiban bagi para pihak untuk memenuhi suatu prestasi: yang dimaksud dengan “prestasi” adalah memberikan sesuatu, berbuat sesuatu, berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu, yang dapat dinilai dengan uang.

Pembebanan benda dengan jaminan fidusia dibuat dengan akta notaris dalam bahasa Indonesia dan disebut Akta Jaminan Fidusia. Akta Jaminan Fidusia memuat sekurang-kurangnya (i) identitas pihak pemberi dan penerima fidusia, (ii) data perjanjian pokok yang dijamin fidusia, uraian mengenai benda yang menjadi obyek jaminan fidusia, (iv) nilai penjaminan, dan (v) nilai benda yang menjadi obyek jaminan Fidusia.

Selain itu dalam akta harus ditentukan pula utang yang pelunasannya dijamin dengan fidusia itu berupa (i) utang yang telah ada, (ii) utang yang akan timbul di kemudian hari yang telah diperjanjikan dalam jumlah tertentu atau (iii) utang yang pada saat eksekusi dapat ditentukan jumlahnya berdasarkan perjanjian pokok yang menimbulkan kewajiban memenuhi suatu prestasi.

Dalam hal jaminan fidusia diberikan kepada (i) lebih dar satu penerima fidusia dalam rangka pembiayaan kredit konsorsium atau (ii) orang yang mendapat “kuasa khusus” dari penerima fidusia untuk mewakili kepentingannya dalam penerimaan jaminan fidusia dari pemberi fidusia, atau (iii) orang yang secara hukum, dianggap mewakili penerima fidusia dalam penerimaan jaminan fidusia, misalnya wali amanat dalam mewakili kepentingan pemegang obligasi, hal tersebut semua harus jelas dalam Akta Jaminan Fidusia. Jaminan fidusia dapat diberikan kepada lebih dari satu benda atau piutang yang telah ada ataupun yang akan diperoleh dikemudian hari.

Pembebanan jaminan atas benda atau piutang yang diperoleh dikemudian hari tidak perlu dilakukan dengan perjanjian jaminan tersendiri demi untuk efisiensi dan hal ini dipandang penting dari segi komersial. Sedangkan apabila dalam perjanjian tidak diperjanjikan lain, maka jaminan fidusia meliputi (i) hasil dari benda yang menjadi obyek jaminan fidusia, dan (ii) klaim asuransi dalam hal benda yang menjadi obyek jaminan fidusia diasuransikan.

Sedangkan yang dimaksud dengan benda menurut Pasal 1 ayat (4) UU Fidusia adalah segala sesuatu yang dapat dimiliki dan yang terdaftar maupun yang tidak terdaftar, yang bergerak maupun yang tak bergerak yang tidak dapat dibebani hak tanggungan ataupun hipotik.

Benda seperti yang dimaksud di atas selanjutnya dapat disebut juga dengan obyek jaminan fidusia. Menurut ketentuan Pasal 10 UU Fidusia, kecuali diperjanjikan lain obyek fidusia juga meliputi hasil dari benda misalnya piutang hasil penjualan barang, klaim asuransi, dalam hal benda yang menjadi obyek jaminan fidusia diasuransikan.

Dengan kata lain, bahwa yang bisa menjadi obyek jaminan fidusia adalah meliputi benda bergerak dan benda tetap tertentu, yang tidak bisa dijaminkan melalui lembaga jaminan hak tanggungan atau hipotik, tetapi kesemuanya dengan syarat, bahwa benda itu dapat dimiliki dan dialihkan.

Jadi, obyek jaminan fidusia adalah (i) benda bergerak, (ii) benda tidak bergerak, (iii) khusus yang berupa bangunan, yang tidak bisa dibebani dengan hak tanggungan, dan (iv) harus bisa dimiliki dan dialihkan.

Di dalam ketentuan Pasal 4, sub 1, sub 2 dan sub 4, UUHT ditentukan bahwa bangunan yang bersatu dengan tanahnya, yang berdiri di atas hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan dan hak pakai atas tanah negara, yang wajib didaftar dan dapat dialihkan, bisa dibebani dengan hak tanggungan, maka yang bisa dibebani dengan fidusia adalah bangunan-bangunan yang tidak berdiri di atas hak atas tanah seperti yang disebutkan di atas. Misalnya adalah bangunan-bangunan permanen yang berdiri di atas tanah hak pakai.

Disamping itu, ada kemungkinan, bahwa suatu gedung yang berdiri di atas tanah milik orang lain akan dijaminkan, tetapi tanahnya tidak. Karena gadai, hipotik dan hak tanggungan tidak bisa menampung kebutuhan jaminan untuk itu, maka fidusia bisa menjadi jalan keluarnya.

Dengan ketentuan tersebut di atas, maka dapat diketahui bahwa obyek jaminan fidusia cukup variable dan rumit terutama dalam menentukan kriteria serta status dan kewenangan atau atas hak benda tersebut.

Hal tersebut di atas harus menjadi perhatian bagi kalangan praktisi bisnis maupun praktisi hukum untuk menentukan kriteria dan karakteristik dokumentasi atau dasar hak dari obyek jaminan fidusia. Tanpa dasar hak yang jelas dan kuat, dapat menimbulkan celah dalam hal penyerahan jaminan fidusia. Sebagai contoh, soal adalah jaminan kendaraan mobil bekas di mana menjadi kebiasaan dalam masyarakat yang tidak melakukan balik nama atas Buku Pemilik Kendaraan Bermotor (“BPKB”), di mana penyerahan jaminan dilakukan seperti yang terjadi selama ini, dengan menyerahkan BPKB dan kuitansi kosong.

Kemudian mengenai bangunan, seperti yang diuraikan di atas termasuk obyek fidusia adalah bangunan yang tidak dapat dibebani hak tanggungan sepeti yang dimaksud dalam UUHT, atau hipotik (untuk kapal). Agar tidak berbenturan dengan UUHT maupun Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang mengatur tentang hipotik, diperlukan pembicaraan bersama antara birokrasi, para ahli dan praktisi guna menentukan kriteria-kriteria dan tata cara pelaksanaannya.

TENTANG PENDAFTARAN OBYEK FIDUSIA

Menurut ketentuan Pasal 11 dan Penjelasan UU Fidusia, antara lain ditentukan dan dijelaskan bahwa:

  • Benda yang dibebani dengan Jaminan Fidusia wajib didaftarkan.
  • Pendaftaran mencakup benda yang berada di dalam maupun di luar wilayah negara RI.
  • Pendaftaran benda yang dibebani dengan jaminan fidusia dilaksanakan di tempat kedudukan pemberi fidusia.
  • Pendaftaran dilakukan dengan mengajukan suatu permohonan kepada KPF, dengan disertai surat pernyataan pendaftaran jaminan fidusia. Apakah tidak berlebihan kalai sudah ada permohonan pendaftaran masih harus disertai dengan surat pernyataan pendaftaran ? Bukankah surat pernyataan pendaftaran justru seharusnya datang dari KPF, yang isinya menyatakan sudah meneruma permohonan pendaftaran ? Surat ini penting untuk pegangan, sebleum KPF menerbitkan sertifikat jaminan fidusia.
  • Permohonan dilakukan oleh penerima fidusia, yaitu hak penerima fidusia untuk mendaftarkan di KPF adalah hak yang sudah diberikan oleh UU Fidusia. Namun ternyata dalam blanko Akta Jaminan Fidusia yang dipakai oleh salah satu bank, di dalamnya diperjanjikan suatu kuasa dari pemberi fidusia kepada penerima fidusia untuk melaksanakan pendaftaran. Kiranya klausula seperti itu adalah berlebihan.

Ketentuan tersebut di atas patut dan logis karena bukankah yang paling berkepentingan untuk itu adalah kreditur penerima fidusia ? Adalah terserah kepadanya, apakah ia merasa cukup aman dengan memegang akta pengikatan fidusia saja, ataukah ia menghendaki jaminan yang lebih kuat dan karenanya ia mendaftarkannya di KPF ?

Dalam sertifikat jaminan fidusia dicantumkan frasa “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”, yang mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.

Bahwa sedangkan pihak yang berhak mendaftarkan, selain daripada penerima fidusia sendiri, adalah kuasanya atau wakilnya, kiranya tidak perlu diatur dalam UU Fidusia. Yang demikian itu adalah sudah sesuai dengan asas hukum umum yang berlaku. Walaupun tidak dijelaskan lebih lanjut, namun sudah bisa diduga, bahwa pembedaan antara kuasa dan wakil adalah, bahwa kewenangan mewakili prinsipal dari seorang kausa didasarkan atas kehendak dari prinsipal, yang bisa secara lisan maupun dituangkan dalam suatu akta, sedang pada wakil kewenangan itu didasarkan atas ketentuan undang-undang dan/atau anggaran dasar seperti pada Direksi suatu Perseroan Terbatas (vide Pasal 82 Undang-Undang No. 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas).

Adapun data-data yang didaftarkan dalam fidusia ini, ditentukan di dalam Pasal 13 sub 2 UU Fidusia disebutkan apa saja yang harus termuat dalam pernyataan pendaftaran, yang kalau kita simak, ternyata sesuai dan karenanya sudah termuat dalam ketentuan Pasal 6 UU Fidusia, mengenai apa yang harus dimuata dalam akta jaminan fidusia, dan Pasal 5 UU Fidusia, yang mengharuskan penuangan penjaminan fidusia dalam suatu akta otentik. Karena dalam akta otentik selalu memuat tanggal dan nomor akta, nama dan tempat kedudukan notaris yang bersangkutan, maka sebenarnya cukup dikatakan, bahwa pernyataan pendaftaran harus dilengkapi dengan salinan akta otentik penjaminan fidusia. Hal ini berkaitan dengan masalah pendaftaran ikatan jaminan fidusia, bukan benda jaminan fidusia, sehingga semua kalusula yang termuat dalam perjanjian penjaminan fidusia, turut terdaftar, agar dengan demikian mempunyai daya mengikat pihak ketiga.

Sedangkan jaminan fidusia sebagaimana ditentukan dalam Pasal 14 sub 3 UU Fidusia, lahir pada tanggal yang sama dengan tanggal pendaftaran jaminan fidusia dalam buku daftar fidusia. Karena pendaftaran dalam buku daftar dilakukan pada hari penerimaan permohonan, maka tanggal lahir jaminan fidusia adalah juga tanggal terimanya permohonan pendaftaran. Karena pada prinsipnya tidak bisa ada fidusia 2 (dua) kali berturut-turut atas benda jaminan fidusia yang sama, maka tanggal pendaftaran tersebut adalah juga tanggal lahirnya jaminan fidusia, mempunyai arti yang penting sekali, dalam hal debitur pemberi fidusia dengan melanggar ketentuan Pasal 17 UU Fidusia, yaitu menfidusiakan benda jaminan fidusia 2 (dua) kali atau lebih kepada 2 (dua) atau lebih kreditur yang berlainan.

Hal yang dapat menimbulkan kesulitan bagi kreditur terhadap ketentuan UU Fidusia. Pasal 11 UU dapat menimbulkan kerancuan bila dikaitkan dengan Pasal 12 ayat (1) UU Fidusia yang berbunyi “pendaftaran jaminan fidusia” sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) UU Fidusia dilakukan pada KPF. Kerancuan yang timbul dalam Pasal 11 ayat (1) UU Fidusia ditentukan bahwa yang wajib didaftarkan adalah jaminan fidusia. Sehingga di sini timbul pertanyaan bahwa sebenarnya yang menjadi obyek jaminan fidusia itu didaftarkan atau tidak.

Lebih lanjut tentang obyek jaminan fidusia ini adalah, adanya bahaya sehubungan dengan diakuinya pemberian jaminan dengan “costitutum possessorium” bisa muncul adalah, bahwa seorang debitur yang merasa, bahwa ia tidak dapat memenuhi kewajiban perikatannya sebagaimana mestinya dan sudah melihat gejala akan datangnya sita jaminan atas harta miliknya, dengan mudah bisa mengatakan, bahwa harta miliknya telah dijaminkan melalui penyerahan secara kepercayaan kepada seorang anggota keluarganya, dan barang-barang yang ada padanya ia pegang sebagai peminjam-pakai dari krediturnya.

Jadi di sini dibayangkan, bahwa seorang debitur yang telah menjaminkan benda miliknya secara kepercayaan dengan tetap memegang benda tersebut sebagai peminjam pakai, kemudian, untuk menghindari eksekusi pura-pura menjaminkan lagi secara kepercayaan kepada orang lain.

Sedangkan tujuan dari pendaftaran adalah untuk memberikan kepastian hukum kepada penerima dan pemberi fidusia serta pihak ketiga yang berkepentingan. Segala keterangan mengenai benda yang menjadi obyek jaminan fidusia yang ada pada KPF terbuka untuk umum.

Melalui sistem pendaftaran ini diatur ciri-ciri yang sempurna dari jaminan fidusia sehingga memperoleh sifat sebagai “hak kebendaan” (right in rem) yang menyandang asas “droit de suit”, hak jaminan itu mengikuti bendanya, kecuali terhadap benda persediaan (inventory goods).

PENGALIHAN JAMINAN FIDUSIA

Pengalihan hak atas piutang (cessie) yang dijamin dengan fidusia mengakibatkan beralihnya demi hukum segala hak dan kewajiban penerima fidusia kepada kreditur baru. Beralihnya jaminan fidusia tersebut harus didaftarkan oleh kreditur baru kepada KPF. Jaminan fidusia tetap mengikuti benda yang menajdi obyek jaminan fidusia dalam tangan siapa benda tersebut berada, kecuali pengalihan atas benda persediaan yang menjadi obyek jaminan fidusia yang dilakukan dengan cara dan prosedur yang lazim dilakukan dalam usaha perdagangan. Namun untuk menjaga kepentingan penerima fidusia, maka benda persediaan yang dialihkan tersebut wajib diganti dengan obyek yang setara nilai dan jenisnya.

HAPUSNYA JAMINAN FIDUSIA

Jaminan fidusia hapus karena hal-hal (i) hapusnya utang yang dijamin dengan fidusia, (ii) pelepasan hak atas jaminan fidusia oleh penerima fidusia, dan (iii) musnahnya benda yang menjadi obyek jaminan fidusia, serta.

Ketiga alasan yang menjadi dasar hapusnya jaminan fidusia adalah sesuai dengan sifat ikutan dari jaminan fidusia, maka adanya jaminan fidusia tergantung apda adanya piutang yang dijamin pelunasannya. Apabila piutang hapus karena hapusnya utang atau pelepasan utang maka dengan sendirinya jaminan fidusia yang bersangkutan menjadi hapus.

Dalam hal musnahnya benda yang menjadi obyek jaminan fidusia, maka klaim asuransi akan menjadi pengganti obyek jaminan fidusia tersebut.

Selanjutnya, sebagai tindak lanjut hapusnya jaminan fidusia dimaksud, penerima fidusia memberitahukan kepada KPF mengenai hapusnya jaminan fidusia dengan melampirkan (i) pernyataan mengenai hapusnya utang, pelepasan hak atau musnahnya benda yang menjadi obyek jaminan fidusia, (ii) bukti keterangan dari kreditur dalam hal hapusnya utang karena pelunasan utang, dan (iii) bukti keterangan dari instansi yang berwenang yang diketahui kreditur dalam hal benda yang menjadi obyek jaminan fidusia musnah. Selanjutnya, dengan adanya pemberitahuan dari penerima fidusia dimaksud, KPF (i) mencoret pencatatan jaminan fidusia dari Buku Daftar Fidusia, dan (ii) menerbitkan keterangan yang menyatakan sertifikat jaminan fidusia tidak berlaku lagi.

PENUTUP

Aspek hukum pembebanan fidusia mewujudkan hak agunan yang merupakan simbol penyerahan hak kepemilikan dalam fidusia. Namun karena obyek jaminan fidusia cukup variable dan rumit sebagaimana dimaksud di atas, terutama dalam menentukan  status dan kewenangan atau dasar hak benda tersebut, maka diharapkan dalam pelaksanaannya dilakukan pengidentifikasikan benda dan bukti kepemilikannya, termasuk surat-surat atau dasar haknya secara teliti dan benar.

Sehubungan dengan kerancuan terhadap pendaftaran obyek fidusia, belum semuanya diberikan jawaban yang pasti, karena tidak atau belum semuanya diberikan jawaban yang pasti, karena tidak atau belum ada acuan atau referensi yang dapat menimbulkan atau menjawab kerancuan tersebut. Oleh karena itu, agar tidak terjadi kerancuan tersebut yang dapat menimbulkan kebingungan dalam masyarakat, maka diperlukan pembicaraan bersama-sama antara birokasi, para ahli dan praktisi hukum.

DAFTAR PUSTAKA

Satrio, Hukum Jaminan Hak Jaminan Kebendaan Fidusia, Bandung, 2002, PT. Citra Aditya Bakti.

Oey Hoey Tiong, Fidusia Sebagai Jaminan Unsur-Unsur Perikatan, Jakarta, 1984, PT. Ghalia Indonesia.

Hamxah dan Senjun Manullang, Lembaga Fidusia dan Penerapannya di Indonesia, Jakarta, 1986, Indhill-Co.

Subekti, Jaminan-Jaminan Untuk Pemberian Kredit Menurut Hukum Indonesia, Bandung, 1989, PT. Citra Aditya Bakti.

Iming M. Tesalonika, Indonesian Security Interests (Analysis Over Undang-Undang Hak tanggungan and Undang-Undang Fidusia), Jakarta, 2001, Pusat Hukum Bisnis Universitas Pelita Harapan.

Abdulkadir Muhammad, Hukum Perdata Indonesia, Bandung, 2000, PT. Citra Aditya Bakti.

Ratnawati W. Pradsojo, Makalah Dalam Rangka Sosialisasi Rancangan Undang-Undang Tentang Jaminan Fidusia, Jakarta, 1999, Manfit Consulting-Departemen Kehakiman RI.

Mariam Darus, Makalah Tentang Mengatur Jaminan Fidusia Dengan Undang-Undang dan Penerapan Sistem Pendaftaran, Jakarta, 1999, Departemen Kehakiman RI dan Elips Project

Jusuf Talib, Makalah Tentang Sekilas Bahasan Undang-Undang Fidusia, Jakarta, 1999.

Scroll to Top
Open chat
1
Selamat datang di D-LEAD ada yang bisa kami bantu ?