Aspek Kedaulatan Rakyat Berdasarkan Ketentuan Pasal 1 ayat (2) Undang- Undang Dasar 1945 Sebelum dan Sesudah Amandemen

Share :

Ari Wahyudi Hertanto, S.H., M.H.

A. Pendahuluan

Khalayak umum mungkin kerap kali telah mendengar apa itu kedaulatan.
Meskipun faktor mendengar dan mengemukakan masalah kedaulatan tersebut bukan
berarti bahwa masyarakat umum telah mengetahui tentang esensi dari kedaulatan itu
sendiri. Bahkan, bagi mahasiswa tingkat pertama akan mengalami kesulitan dalam
memberikan suatu jawaban yang tepat mengenai apa arti kedaulatan. Begitu banyak para
sarjana yang telah menulis dan membahas secara mendalam dan terinci tentang makna
kedaulatan (rakyat).
Subtansi yang juga merupakan tulisan ini selain tentang bentuk dan kedaulatan,
dimana mengenai gagasan tumbuhnya kedaulatan rakyat terjadi ketika berkembang
dialog di antara para tokoh pergerakan menjelang kemerdekaan, salah satu pokok pikiran
penting yang digagas pada waktu itu adalah soal kedaulatan rakyat. Pokok pikiran ini
kemudian disepakati untuk dimuat dalam Undang-Undang Dasar dengan pernyataan
bahwa Negara Republik Indonesia adalah negara yang berkedaulatan rakyat. Bahkan
gagasan ini diuraikan lebih lanjut dalam penjelasan Undang-Undang Dasar sebagai pokok
pikiran ketiga dari Pembukaan UUD 1945. Meskipun redaksi pasal-pasal Undang- Undang Dasar ini dirumuskan dalam waktu yang singkat, tetapi gagasan kedaulatan
rakyat itu sebagai cita kenegaraan mempunyai latar belakang sejarah yang panjang.
Diskusi dan perdebatan mengenai ini sudah berkembang dikalangan tokoh-tokoh
pergerakan, jauh sebelum rancangan UUD 1945 itu sendiri disiapkan.
Paparan tersebut di atas terbatas sifatnya sebagai pengantar sebelum memasuki
pembahasan tentang kedaulatan dalam sebelum dilakukannya amandemen. Utamanya
dalam pemahaman dan kaitannya dengan Undang-Undang Dasar 1945, yaitu pasal 1 ayat
(2) UUD 45 yang menentukan sebagai berikut:

“Kedaulatan adalah di tangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis
Permusyawaratan Rakyat.”

Sedangkan isi pasal 1 ayat (2) UUD 45 hasil amandemen adalah sebagai berikut:

“Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang
Dasar.”

Berdasarkan uraian di atas, maka dapat ditarik 2 (dua) unsur/pokok pikiran dari isi pasal
1 ayat (2), yaitu:

  1. kedaulatan rakyat; dan
  2. implementasi kedaulatan rakyat

Bagian dari Pasal UUD 45 tersebut merupakan salah satu unit terkecil yang
diamandemen oleh para arsitek amandemen UUD 45. Terkilas sederhana tetapi menurut
hemat penulis perubahan tersebut memberikan dampak yang sangat tidak sederhana.
Prof. Moh. Yamin dimana beliau adalah seorang ahli hukum dan juga merupakan salah
seorang ahli dalam tata bahasa Indonesia, menyikapi amanat yang disampaikan
kepadanya dan memanifestasikannya dalam suatu bentuk ketelitian dan kehati-hatian
dalam merumuskan pasal-pasal UUD 45. Beliau pulalah yang menganjurkan agar
terhadap perumusan tersebut harus dipahami secara benar-benar dan hal semacam ini
berlaku dan tidak terlepas, secara umum terhadap seluruh pasal dalam UUD 45 dan
khususnya pasal 1 ayat (2) dimaksud.
Perkembangan yang terjadi dewasa ini terhadap amandemen UUD 45
menimbulkan berbagai macam tanggapan, baik yang bersifat pro dan kontra terhadap
dampak yang terjadi pada struktur ketatanegaraan Republik Indonesia. Bahkan, Prof.
Jimly Asshiddiqie menyatakan amandemen yang terjadi pada UUD 45 bukan sekedar
100% tetapi 300% dari naskah aslinya. Mulai banyaknya pihak yang menggagas untuk
kembali ke UUD 45 sudah mulai bergulir dan menimbulkan banyak tanggapan. Tulisan
ini berupaya untuk memaparkan aspek hak asasi manusia yang sebenarnya berkaitan erat
dengan nilai-nilai kedaulatan, yang dalam kondisi sekarang ini perlu untuk diperhatikan
agar Negara Kesatuan Republik Indonesia dapat tetap dipertahankan keutuhannya.

B. Kedaulatan

  1. Perkembangan Teori Kedaulatan

Kajian tentang teori kedaulatan akan dijadikan oleh penulis sebagai suatu
pengantar sebelum dilakukan pembahasan secara khusus pada amandemen Pasal 1 ayat
(2) UUD 45. Teori kedaulatan ini lahir secara kontroversial dalam panggung politik
sejarah kekuasaan negara. Bagaimana mungkin “rakyat” dapat berkuasa atas dirinya
sendiri dan dapat memerintah dirinya sendiri? Dalam zaman yang hanya dilingkupi oleh
kekuasaan para penguasa yang menyebut dirinya sebagai raja, maka pemikiran untuk
menempatkan rakyat sebagai penguasa tertinggi atau pemegang kedaulatan adalah suatu
pikiran yang gila dan mustahil. Namun demikian gagasan kedaulatan rakyat ini kemudian
terus berkembang dalam diskusi teori kenegaraan dan juga praktek trial and error baik
di Perancis, Amerika, hingga akhirnya diikuti oleh hampir seluruh negara di dunia. Arus
deras demokrasi telah merombak struktur monarki, minimal menjadi monarkhi
parlementer atau menjadi hancur sama sekali digantikan dengan sistem Republik
Demokrasi.
Selanjutnya berkembang teori kedaulatan negara ini juga sebagai reaksi dari teori
kedaulatan rakyat. Namun demikian teori ini sebenarnya melanggengkan dan
melangsungkan teori kedaulatan raja dalam suasana kedaulatan rakyat. Ajaran ini timbul
di Jerman untuk mempertahankan kedudukan raja yang pada waktu itu mendapat
dukungan dari tiga lapisan masyarakat yang besar sekali pengaruhnya, yaitu: (1)
golongan bangsawan atau junkertum; (2) golongan angkatan perang atau militer; (3)
golongan birokrasi. Golongan cendekiawan pendukung raja yang tergabung dalam
mazhab Deutch Publizisten Schule (DPS) membentuk ajaran kedaulatan rakyat yang
sudah mulai populer. Dalam teori kedaulatan raja ini pengertian “negara” yang abstrak itu
dikonkritkan dalam tubuh raja. Ajaran ini disebut Verkulprings theorie yang artinya
negara menjelma dalam tubuh raja. Disini negara berdaulat karena rakyat, selanjutnya
kedaulatan itu dimiliki oleh negara yang dimanifestasikan pada diri raja. Sehingga pada
hakekatnya ajaran ini sama dengan ajaran teori kedaulatan raja, hanya saja ajaran ini
dibuat sedemikian rupa sehingga dapat diterima oleh rakyat karena berpangkal dari
kedaulatan rakyat dan memberi kedok bagi kedaulatan raja yang sudah usang.
Teori kedaulatan hukum ini timbul sebagai penyangkalan terhadap teori
kedaulatan negara. Teori ini dikemukakan oleh Krabbe yang menunjukan bahwa
kekuasaan yang tertinggi tidak terletak pada raja, tidak juga pada “negara”, tetapi berada
pada hukum yang bersumber pada kesadaran hukum dari setiap orang. Ajaran Krabbe ini
muncul sebagai reaksi terhadap teori kedaulatan negara. Dalam ajaran kedaulatan negara,
hukum didudukan lebih rendah dari negara, artinya bahwa “negara” tidak tunduk pada
hukum, karena hukum diartikan sebagai perintah-perintah dari negara itu sendiri (bentuk
imperatif dari suatu norma). Karena hal ini timpang, maka Krabbe berfaham pada
kedaulatan Hukum, sebab berkaitan dengan hak asasi dari rakyat sudah semestinya
negara tidak boleh melanggarnya. Kalaupun hendak mengadakan perubahan harus
dengan persetujuan rakyat. Oleh sebab itu hak-hak asasi yang bersumberkan kepada
‘kesadaran hukum rakyat’ menunjukan lebih tingginya kedudukan hukum daripada
“negara”. Jadi hukumlah yang berdaulat.
Perasaan akan hukum/keadilan ini terjelma dalam naluri hukum (Rechts Instink),
atau dalam bentuknya yang lebih sempurna, yaitu ‘kesadaran hukum’ (Rechts
bewustzijn), di dalam negara membentuk sesuatu yang abstrak, yang disebut “Legislative
Power”. Dengan demikian Parlemen (Lembaga Perwakilan Rakyat) hanyalah suatu
lembaga atau alat untuk menjelmakan kesadaran akan hukum (dan keadilan) dari rakyat.
Di Amerika Serikat hal ini kita kenal dalam slogan “Government of Law, and not of
men” (Pemerintahan dengan hukum, bukan oleh orang seorang ).

  1. Uraian Singkat Sejarah Tumbuhnya Gagasan Kedaulatan Rakyat
    Oleh para tokoh pergerakan perjuangan kemerdekaan Indonesia saat itu, gagasan
    kedaulatan rakyat ini kemudian disebarluaskan ke masyarakat. Mohammad Hatta bahkan
    memimpin beberapa rekannya menerbitkan tabloid khusus sepuluh harian bernama
    Daoelat Ra’jat sejak tahun 1931. Dalam edisi pertama majalah ini, Hatta mengajukan
    pikiran bahwa Indonesia Merdeka yang hendak dibangun haruslah mendasarkan diri atas
    kedaulatan rakyat. Namun, gagasan kedaulatan rakyat yang berkembang di Eropa Barat
    ketika itu, yang didasarkan pada paham individualisme dan liberalisme yang telah
    tumbuh dalam alam pikiran abad ke-18 dan 19 yang sudah dianggap ketinggalan. Jika
    kedaulatan rakyat sering disebut dengan istilah demokrasi, maka gagasan kedaulatan
    rakyat yang hendak dikembangkan oleh Hatta adalah demokrasi politik dan sekaligus
    ekonomi. Bahkan, menurut istilah Soekarno, demokrasi Indonesia adalah demokrasi
    sosial yang merupakan gabungan antara demokrasi politik dan demokrasi ekonomi.
    Gagasan Soekarno ini dikemukakan dalam tulisannya yang berjudul “Demokrasi Politik
    dan Demokrasi Ekonomi” yang dimuat secara berturut-turut dalam majalah Fikiran Ra’jat
    (FR) No.18 dan 19 tahun 1932.
    Terhadap pendapat yang dikeluarkan baik oleh Soekarno maupun Hatta
    menimbulkan banyak komentar yang melahirkan perdebatan-perdebatan hangat seputar
    pemahaman kedaulatan rakyat dimaksud yang terjadi pada era sebelum kemerdekaan.
    Secara umum semua kelompok dalam pergerakan sepakat bahwa sifat kerakyatan yang
    dimaksud dalam demokrasi harus sesuai dengan budaya Indonesia sendiri, yang tentu
    saja, berbeda dengan Barat yang berlatar belakang filsafat dan budaya individualisme,
    tidak serta-merta menjadikan mereka terposisikan dalam Marxisme yang merupakan
    antitesis atas individualisme-liberalisme-kapitalisme itu. Baik Soekarno, Hatta maupun
    hampir semua tokoh lain menghendaki keaslian.
    Yang diidealkan oleh para pemimpin pergerakan ketika itu, justru adalah paham
    kolektivisme. Gagasan kolektif ini dipandang sebagai suatu kombinasi kreatif dari
    berbagai paham yang mereka kritik, baik gagasan individualisme, liberalisme,
    kapitalisme dan imperialisme di satu pihak maupun komunisme dan fasisme di pihak
    lain.
    Terlepas dari semua perdebatan yang terjadi pada masa tersebut, baik mengenai
    kedaulatan maupun kolektivisme, memberikan indikasi bahwa proses penggodokan
    pemikiran yang nantinya mempengaruhi pokok pikiran yang dituangkan ke dalam
    undang-undang dasar, sebenarnya sudah berlangsung jauh sebelum Indonesia merdeka.
    Dari uraian ini, setidak-tidaknya dapat dikemukakan adanya dua antinomi pemikiran
    yang diperdebatkan menjelang Indonesia merdeka. Pertama adalah antinomi antara
    individualisme versus kolektivisme; kedua, antinomi antara gagasan asing dengan
    keaslian budaya lokal. Perumusan gagasan tidak dilakukan dengan cara menelan mentah- mentah pikiran yang diperoleh dari luar, tetapi tidak pula secara membabi-buta
    meneruskan tradisi budaya lokal yang tidak sesuai lagi dengan tuntutan zaman.
    Memang harus diakui bahwa dalam penjelasan UUD 1945 (sebelum dilakukannya
    amandemen) dinyatakan dengan tegas bahwa UUD 1945 mengutamakan prinsip
    kolektivisme atas individualisme. Secara tersurat, UUD 1945 lebih mengutamakan
    kepentingan umum, kepentingan negara di atas kepentingan individu ataupun golongan.
    Tetapi jika ditelaah lebih dalam, kecenderungan mengutamakan kolektivitas di atas
    individualitas ini sebenarnya hanya ditafsirkan oleh para perumus UUD 1945 secara
    situasional, dimana keinginan untuk menentang paham individualisme dan liberalisme
    begitu kuat pada masa itu. Artinya, situasi zaman ketika itu memang mengharuskan
    perumusan dibuat dengan semangat demikian itu. Karenanya, secara hakiki, yang
    diidealkan bukan kolektivisme itu sendiri, tetapi prinsip keseimbangan di antara
    individualisme versus kolektivisme itu. Semangat keseimbangan inilah yang tercermin
    dalam perdebatan-perdebatan yang dikemukakan sebelumnya. Dalam semangat
    keseimbangan inilah gagasan kedaulatan rakyat, baik dibidang politik maupun dibidang
    ekonomi itu didiskusikan, diperdebatkan dan kemudian dirumuskan menjadi muatan
    UUD 1945. Gagasan yang mencakup demokrasi politik dan ekonomi yang dikembangkan
    menjadi rumusan pokok pikiran UUD 1945, merupakan usaha penyeimbang yang
    dilakukan sejak lama terhadap paham individualisme versus kolektivisme itu di satu
    pihak, dan paham asing versus paham lokal (asli) di lain pihak. Kombinasi ini diusahakan
    sebegitu rupa, sehingga keseimbangan antara paham yang menekankan individu dengan
    yang menekankan masyarakat, terwujud secara harmonis di bidang politik maupun
    ekonomi. Artinya, gagasan kedaulatan rakyat Indonesia itu bersifat khas dengan
    mencakup gagasan demokrasi politik dan ekonomi sekaligus, dimana keduanya berada di
    antara kutub paham individualisme dan kolektivisme.
    Melalui uraian di atas terpapar deskripsi yang harapannya dapat memberikan
    suatu gambaran umum tentang kompleksitas yang ada dalam kaitannya dengan
    pemahaman kedaulatan rakyat itu sendiri. Khasanah pemahaman maupun perspektif
    seseorang dalam memotret kedaulatan rakyat sudah barang tentu tidak dapat dikatakan
    satu sama lain serupa dan identik. Namun, dengan menggali secara umum latar belakang
    kedaulatan rakyat sebelum kemerdekaan Indonesia setidaknya menunjukkan betapa
    alotnya perdebatan, yang menurut hemat penulis masih sarat dengan idealisme dan
    kepentingan bangsa. Hanya sekedar tambahan, selain nilai filosofis, historis dan
    sosiologis yang dapat diserap tetapi perlu juga di contoh semangat nasionalisme yang
    tinggi yang relatif steril dari kekuasaan, kekuatan dan anasir-anasir lainnya

C. Tinjauan Singkat Kedaulatan rakyat dalam Pasal 1 ayat (2) UUD 45
Amandemen

Begitu banyak faktor dan kualifikasi yang harus dimiliki oleh para perumus
naskah UUD 45 dalam memformulasikan kalimat dalam setiap pasalnya, termasuk dan
tidak terbatas pada pasal 1 ayat (2) dimaksud, yaitu yang menyebutkan bahwa kedaulatan
adalah di tangan rakyat. Sementara itu dalam versi amandemen disebutkan kedaulatan
berada di tangan rakyat memiliki. Sekilas memang kalimat pasal versi amandemen lebih
lugas dan tegas. Namun, timbul pertanyaan apakah rumusan tersebut tidak memberikan
suatu implikasi tersendiri pada konteks pemahaman maupun interpretasi, yang kiranya
dapat menimbulkan suatu pemahaman baru atau peluang-peluang tertentu.
Yang ingin disampaikan dalam UUD 45 adalah berkaitan dengan hakekat
kedaulatan rakyat yang sebenar-benarnya, yaitu pada prinsipnya telah melekat pada dan
merupakan bagian yang tidak terpisahkan dengan rakyat Indonesia. Disamping itu bunyi
dan sifat dari pasal tersebut juga merupakan pencerminan deklarasi yang informatif
tentang sikap UUD 45 terhadap arti kedaulatan. Sedangkan substansi yang dirumuskan
dalam perubahan UUD 45 tersebut memberikan pemaknaan yang sifatnya mempertegas
kedaulatan itu dan ditekankan pula bahwa masing-masing rakyat memegang kedaulatan,
dalam arti harafiahnya adalah kekuasaan tertinggi berada ditangan masing-masing rakyat
yang diaktualisasikan secara mutlak.
Sebelum dibahas lebih jauh perlu kiranya kita mengkaji kembali teori kedaulatan
rakyat. Teori Kedaulatan dalam khazanah ilmu negara merupakan teori yang sangat
penting. Seluruh pembicaraan mengenai kekuasaan suatu institusi besar yang disebut
sebagai negara mau tidak mau harus membicarakan hal ini dalam perkembangannya.
Pertanyaan sentral dalam teori ini adalah siapakah atau apakah yang memiliki kekuasaan
tertinggi dalam suatu negara, siapa atau apa pula instrumen yang melaksanakan
kedaulatan ini dalam kondisi faktualnya sehingga keberadaan suatu negara dapat berjalan
efektif.
Teori kedaulatan rakyat ini lahir secara kontroversial dalam panggung politik
sejarah kekuasaan negara. Bagaimana mungkin “rakyat” dapat berkuasa atas dirinya
sendiri dan dapat memerintah dirinya sendiri? Dalam zaman yang hanya dilingkupi oleh
kekuasaan para penguasa yang menyebut dirinya sebagai raja, maka pemikiran untuk
menempatkan rakyat sebagai penguasa tertinggi atau pemegang kedaulatan adalah suatu
pikiran yang gila dan mustahil. Namun demikian gagasan kedaulatan rakyat ini kemudian
terus berkembang dalam diskusi teori kenegaraan dan juga praktek trial and error baik
di Perancis, Amerika, hingga akhirnya diikuti oleh hampir seluruh negara di dunia. Arus
deras demokrasi telah merombak struktur monarkhi, minimal menjadi monarkhi
parlementer atau menjadi hancur sama sekali digantikan dengan sistem Republik
Demokrasi.
Timbulnya teori kedaulatan rakyat ini jelas sebagai reaksi atas teori kedaulatan
raja yang kebanyakan menghasilkan tirani dan kesengsaraan bagi rakyat. Bapak teori
kedaulatan rakyat ini adalah Jean Jacques Rousseau yang menggemakan kekuasaan
rakyat lewat bukunya “Du Contract Social”. Dalam teori fiksinya mengenai “perjanjian
masyarakat” (Kontrak sosial), ia menyatakan bahwa dalam suatu negara, natural liberty
telah berubah menjadi civil liberty dimana rakyat memiliki hak-haknya. Kekuasaan
rakyat sebagai yang tertinggi dalam hal ini melalui perwakilan yang berdasarkan suara
terbanyak (general will volonte generale). Volonte generale harus berdasarkan
kepentingan dari golongan yang terbanyak. Jadi apabila hanya kepentingan satu golongan
yang diutamakan, walaupun mendapat suara terbanyak (general), maka bukan menjadi
apa yang disebut kepentingan umum. Ajaran Rousseau ini terlalu murni, sedangkan apa
yang dikatakan oleh Rousseau sebagai keputusan dari suara terbanyak (mayoritas) yang
membawakan kepentingan umum, tidak pasti selalu benar. Apa yang didukung oleh suara
terbanyak itu tidak lagi mempersoalkan tentang kebenaran yang hendak dikejar
melainkan mempersoalkan tentang menang atau kalah. Disinilah letak penyelewengan
dari sistem mayoritas yang tidak mengejar kebenaran lagi, melainkan mengejar
kemenangan.
Sejarah telah membuktikan tentang latar belakang lahirnya teori kedaulatan rakyat
berikut perkembangan teori-teorinya yang terjadi. Semestinya pengundang-undang turut
menyikapi fakta-fakta tersebut secara bijak agar tidak terjadi pemanfaatan kepentingan
kelompok tertentu dalam mencapai kekuasaan, maupun alasan lainnya. Uraian singkat di
atas bertujuan untuk sekedar memberikan perspektif lain dan oleh karenanya terhadap
perumusan perubahan UUD 45 dimaksud penulis menyikapinya sebagai suatu hal yang
terlalu prematur dan kurang diperhatikannya berbagai hal yang melatarbelakangi
penyusunan naskah UUD 45 secara holistik atau bahkan oleh sementara kalangan
dikatakan tidak tertutup kemungkinan langkah-langkah tersebut adalah upaya
pemenggalan sejarah terhadap perumusan pasal UUD 45.
Para founding fathers sebelumnya telah mewaspadai bahwa tidak semua
masyarakat Indonesia memiliki pengetahuan, pemahaman, wawasan tentang konsep
kenegaraan. Oleh karenanya diberikan suatu bingkai pemikiran dalam mengaplikasikan
manifestasi kedaulatan rakyat tersebut dalam mekanisme perwakilan, dimana penulis
akan membahasnya lebih lanjut di bawah ini. Sementara apabila dikaji lebih mendalam
tentang penegasan yang diatur dalam pasal 1 ayat (2) amandemen UUD 45 memberikan
arti bahwa konteks pemahaman maupun pengetahuan tentang kenegaraan bukan
merupakan faktor primer dalam efektifitas perwujudan kedaulatan rakyat.
Perlu untuk diperhatikan kembali secara seksama apakah dengan
dimanifestasikannya kedaulatan rakyat pada individu-individu masyarakat tersebut
bertujuan untuk menciptakan suatu perjanjian masyarakat dalam bentuk baru ataukah
berkaitan dalam penentuan besarnya kecilnya jumlah wakil rakyat dalam lembaga
pemerintahan? Paradigma semacam ini sebenarnya dapat diperdebatkan sehubungan
dengan tingkat kesadaran hukum masyarakat Indonesia, yang apabila dilihat berdasarkan
keseluruhan jumlah penduduk Indonesia yang ada, maka tingkat pemahaman hukum
masih tidak merata, bahkan di bagian wilayah negara Republik Indonesia masih ada yang
menganut aliran animisme dan dinamisme. Pertanyaan selanjutnya apakah pasal tersebut
telah mencerminkan kondisi aktual masyarakat Indonesia yang sesungguhnya.
Kendala signifikan yang ada pada masyarakat Indonesia secara global berkenaan
dengan tingkat kesadaran hukum yang rendah. Kondisi semacam ini telah diketahui
secara umum oleh masyarakat luas, dimana hukum tidak dapat berjalan secara efektif
karena faktor-faktor antara lain manipulasi bidang hukum baik dalam bentuk korupsi,
kolusi maupun nepotisme, tetapi disamping itu juga dikarenakan tingkat pengetahuan dan
pemahaman hukum masyarakat yang sangat rendah. Oleh karenanya pengundang-undang
dapat mengadopsi sistem ataupun perundang-undangan yang telah baku pada suatu
negara dan diterapkan dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia, tetapi dengan
turut mempertimbangkan faktor-faktor tersebut di atas yang termasuk dalam kategori
permasalahan historis, sosiologis dan antropologis bangsa Indonesia maupun aspek-aspek
penting lainnya. Inti permasalahan yang perlu ditilik secara lebih seksama adalah rakyat telah
membagikan kedaulatannya kepada wakil rakyat yang duduk di lembaga-lembaga
perwakilan. Artinya rakyat telah menyerahkan apa yang menjadikan hak mereka
(berdasarkan undang-undang), dimana dilain pihak para penerima mandat (yang notabene
adalah wakil rakyat) memiliki kewajiban atas kedaulatan yang telah diamanatkan
kepadanya. Dengan kata lain dibalik jabatan mereka tersebut terdapat kewajiban asasi
yang harus dipenuhi bagi rakyat Indonesia. Tidak ada lagi kepentingan-kepentingan
partai, politik, kelompok, golongan dan lain sebagainya, semuanya semata-mata demi
kesejahteraan rakyat.
Pada pasal 1 ayat (2) UUD 45 pelaksanaan kedaulatan rakyat diwujudkan
sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat. Sementara itu implementasi
kedaulatan rakyat berdasarkan pasal UUD 45 yang telah diamandemen berbunyi
dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar.
Perlu untuk diperhatikan bahwa teori perwakilan erat kaitannya dengan masalah
kedaulatan rakyat dan demokrasi. Dalam zaman modern kekuasaan rakyat tidak lagi
dilaksanakan secara langsung, tetapi disalurkan melalui lembaga perwakilan sebagai
realisasi pelaksanaan sistem demokrasi tidak langsung. Secara umum kita mengenal
lembaga perwakilan dengan sebutan Parlemen atau Dewan Perwakilan Rakyat. Apabila
menilik terhadap teori tentang implementasi kedaulatan rakyat berdasarkan Undang- Undang Dasar perlu diperhatikan lagi, apakah Undang-Undang Dasar merupakan
perwujudan dari lembaga perwakilan.
Oleh karenanya perlu untuk diperhatikan dalam menyikapi lembaga perwakilan
ini dengan mengetahui adanya penggolongan dalam masyarakat terdiri atas
penggolongan yang formal dan non formal. Termasuk dalam penggolongan formal
adalah Partai Politik dan Golongan Fungsional. Banyak sarjana yang memberikan
rumusan tentang partai politik. Akan tetapi secara umum partai politik diartikan sebagai
sekelompok anggota masyarakat yang terorganisir secara teratur berdasarkan ideologi
dan program tertentu, dimana ada keinginan dari para pimpinannya untuk mendapatkan
kekuasaan negara terutama kekuasaan eksekutif melalui cara-cara konstitusional.Untuk
itu diadakan seleksi kepemimpinan secara teratur dan berkala.
Pada bagian ini jelas bahwa pasal 1 ayat (2) UUD 45 membuka peluang bagi
masyarakat yang ingin aspirasinya disalurkan sebagai realisasi dari konsep kedaulatan
rakyat, yaitu melalui wakil-wakilnya yang duduk didalam Majelis Permusyawaratan
Rakyat. Demikian halnya dengan masyarakat Indonesia yang belum memiliki
pengetahuan tentang kedaulatan tersebut turut terwakili didalamnya. Namun berbeda
halnya dengan muatan perubahan pasal 1 ayat (2) UUD 45 yang secara tegas menyatakan
tentang implementasi kedaulatan rakyat adalah dilaksanakan menurut Undang-Undang
Dasar. Sebagaimana telah terlebih dahulu diuraikan dalam bagian definisi tentang arti
Undang-Undang Dasar, tetapi hal yang paling mendasar adalah tentang sumirnya konsep
perwakilan dalam amandemen UUD 45.
Mengutip dari apa yang disampaikan oleh Prof. Ismail Suny dalam Pidato Ilmiah
sebagai Guru Besar Emeritus pada Sidang Terbuka Dewan Guru Besar Fakultas Hukum
Universitas Indonesia pada tanggal 26 Agustus 2006 tentang Jaminan Konstitusional
Kekuasaan, dimana menurutnya Pasal 1 ayat (2) UUD 45 terdapat beberapa Pasal dalam
hubungan dengan “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut
Undang-Undang Dasar,” yaitu:

  1. Pasal 6A ayat (1): Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan
    secara langsung oleh rakyat.
  2. Pasal 19 ayat (1) mengundangkan: Anggota Dewan Perwakilan dipilih melalui
    pemilihan umum.
  3. Pasal 22C ayat (1): Anggota Dewan Perwakilan Daerah dipilih dari tiap provinsi
    melalui pemilihan umum.
  4. Pasal 22E ayat 1 menetapkan: Pemilihan umum dilaksanakan secara langsung,
    umum, bebas, rahasia, jujur dan adil setiap lima tahun sekali. Dan ayat (2) Pasal
    ini mengundangkan: Pemilihan umum diselenggarakan untuk memilih anggota
    Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil
    Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.

Melalui pemaparan di atas maka dapat diinterprestasikan bahwa ketentuan Pasal 1 ayat
(2) merupakan pasal yang terintegrasi dengan seluruh pasal-pasal yang terdapat dalam
UUD 45. Namun, apabila dibatasi hanya dalam konteks pemilihan umum sebagai satu- satunya manifestasi kedaulatan rakyat, maka dapat dipertanyakan apakah ini merupakan
suatu imitasi dari ajaran Rousseau ini terlalu murni, sedangkan apa yang dikatakan oleh
Rousseau sebagai keputusan dari suara terbanyak (mayoritas) yang membawakan
kepentingan umum, tidak pasti selalu benar. Faktor suara terbanyak itu tidak lagi
mempersoalkan tentang kebenaran melainkan mengejar kemenangan. Penulis tidak memiliki informasi lengkap tentang dasar pemikiran
dipergunakannya Undang-Undang Dasar sebagai pelaksanaan konsep kedaulatan rakyat.
Selayaknya orang awam, maka timbul pertanyaan-pertanyaan yang antara lain adalah
bagaimana pelaksanaan konkrit konsep kedaulatan rakyat? Siapa (dalam arti luas) yang
akan menjalankannya? Apakah Undang-Undang Dasar telah mewakili kepentingan
seluruh masyarakat atau hanya untuk kepentingan golongan tertentu saja? Apabila
terdapat penyimpangan dan tidak terpenuhinya aspirasi masyarakat Indonesia dalam
konteks sebagai pemegang kedaulatan tertinggi dalam negara, maka siapa yang akan
bertanggung jawab? Apakah sedemikian dinamisnya undang-undang dan oleh karenanya
dapat membuat suatu kebijakan maupun keputusan demi kepentingan bangsa dan negara?
Sebenarnya masih banyak pertanyaan-pertanyaan lainnya yang timbul dan masyarakat
perlu untuk memperoleh klarifikasi lebih lanjut.
Satu hal yang pasti adalah perwakilan tidak pada tempatnya diberikan kepada
undang-undang dasar. Pada prinsipnya perwakilan harus diberikan kepada lembaga.
Lembaga sebagai suatu wadah yang dapat menyikapi setiap dan seluruh proses yang
terjadi dalam sebuah negara yang sangat dinamis, dan mentransformasikannya dalam
langkah-langkah konkrit sebagai wujud dari pelaksanaan kewajiban asasinya terhadap
masyarakat yang telah membagi kedaulatannya kepada para wakilnya (yang notabene
telah dipilih secara langsung) tersebut yang dilain pihak dinyatakan sebagai hak asasi
rakyat. Dengan demikian apabila negara telah memperoleh kewajiban asasi rakyat, maka
sebaliknya negara diwajibkan untuk melaksanakan kewajiban asasinya melalui lembagalembaga yang ada.

D. Rechstidee Politik Hukum Kedaulatan Rakyat Sebelum Amandemen

Terhadap penjelasan di atas diasumsikan perumusan pasal tersebut dengan
bersandarkan pada pemikiran bahwa Indonesia adalah negara yang berdasar atas hukum
dengan anggapan bahwa pola yang diambil tidak menyimpang dari pengertian negara
hukum pada umumnya, dimana timbul pertanyaan apakah dalam konteks tersebut telah
sepenuhnya disesuaikan dengan keadaan Indonesia. Tidak terlepas dari keadaan tersebut
di atas, maka hal yang penting untuk diperhatikan adalah tentang aspek seberapa jauh
suatu undang-undang dasar dapat sepenuhnya merepresentasikan dan
mengimplementasikan kedaulatan masyarakat Indonesia dengan berbagai permasalahan
yang multidimensi secara murni dan konsekwen. Meskipun sampai saat ini belum terjadi
suatu gejolak yang mempengaruhi stabilitas kenegaraan secara mencolok sehubungan
dengan perubahaan UUD 45 ini, tetapi kondisi ini menurut hemat penulis merupakan
salah satu hal yang perlu untuk diwaspadai.
Mengutip Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar pada Fakultas Hukum
Universitas Indonesia yang disampaikan oleh Prof. Padmo Wahjono, S.H., tentang
Indonesia ialah negara yang berdasar atas hukum berkenaan dengan pembahasan ini,
yaitu didalam teori kenegaraan, pada pengertian rechtstaat sering dikaitkan dengan
pengertian “demokratis”. Sehingga merupakan sesuatu yang ideal dalam bernegara, ialah
pola “Negara Hukum yang Demokratis” (demokratise rechtsstaat), rumusan mana pernah
dipakai dalam konstitusi R.I.S. dan Undang-Undang Sementara tahun 1950, suatu
rumusan yang lazim didunia barat dalam suatu sistem parlementer. Inti perumusan ini
ialah bahwa hukum yang berlaku dalam suatu Negara Hukum, haruslah yang terumus
secara demokratis, yaitu memang dikehendaki oleh rakyat.
Pada kebanyakan masyarakat Indonesia apabila ditanyakan dengan kedaulatan
rakyat maka mereka belum tentu memiliki wawasan yang memadai, dan tidak jarang
diantara mereka justru mengaitkannya dengan aspek demokrasi. Pelaksanaan demokrasi
tersebut hanya dibatasi pada lingkup pemilihan umum, pemilihan kepala daerah maupun
pada pemilihan-pemilihan serupa lainnya. Padahal apabila disikapi secara kritis
paradigma semacam inilah yang harus dibenahi. Pesta demokrasi tersebut memang
merupakan salah satu bentuk dari pelaksanaan hak (asasi) rakyat dalam menentukan arah
pemerintahan dan pembangunan bangsa ini. Melalui media tersebut rakyat meletakkan
kepercayaan dan amanat mereka melalui pelaksanaan hak (asasinya) untuk kemudian
dilaksanakan oleh wakil-wakil yang telah mereka pilih.
Contoh tersebut di atas hanya merupakan sebagian kecil dari implementasi
kedaulatan rakyat dalam nuansa hak asasi. Sementara apabila hendak dikaji lebih
mendalam lagi dalam kaitannya dengan amandemen Pasal 1 ayat (2) UUD 45, maka
dapat dikatakan bahwa “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut
Undang-Undang Dasar,” memiliki implikasi yang tidak sederhana. Sebagai suatu
pandangan apabila ketentuan ini dipahami bahwa kedaulatan yang berada ditangan rakyat
dengan pelaksanaan yang didasarkan pada undang-undang dasar tidak memenuhi rasa
keadilan dan hak asasi manusia rakyat Indonesia, maka langkah seperti apa yang akan
diambil oleh pemerintah dalam mengatasi hal tersebut.
Kedaulatan dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia diatur dalam konstitusi
negara Republik Indonesia yang berdasar atas hukum, yang juga merupakan salah satu
manifestasi ataupun media dalam rangka pursuit of happiness yang didambakan oleh
masyarakat Indonesia. Pursuit of happiness itu sendiri merupakan hak-hak individualistik
rakyat yang merupakan hak asasi manusia yang meliputi life, liberty dan property. Yang
sudah barang tentu masyarakat sangat mendambakan peningkatan kesejahteraan dan
kepastian hukum ditengah kondisi negara yang semakin carut marut ini, sehingga hal ini
sejalan dengan pernyataan Prof. Padmo Wahyono, maka UUD 45 sebagai wadah yang
mengemban amanat (a) membangun masyarakat atau negara yang demokratis; (b)
menyelenggarakan keadilan sosial; dan (c) menyelenggarakan perikemanusiaan adalah
suatu hal yang sangat relevan dengan isu yang dibahas dalam tulisan ini. Beberapa alasan yang mungkin dipergunakan adalah aspek inkonstitusionalitas,
perbedaan persepsi terhadap kedaulatan rakyat, hak asasi manusia dan lain sebagainya.
Berhubung penekanan tulisan ini pada kedaulatan dan hak asasi manusia, maka perlu
dipahami bahwa kedua konsep tersebut adalah konsep yang universal, yang dilain pihak
impelementasi maupun pelaksanaannya dalam suatu negara berbeda dengan negara
lainnya. Demikian halnya apabila kita berbicara tentang hak asasi manusia, apabila
seorang individu merasa telah dilanggar hak-hak asasinya, maka dirinya akan berpatokan
bahwa kedaulatan (kekuasaan tertinggi) pada dirinya telah terusik.
Dengan kata lain apabila pemerintah tidak dapat mengemban amanat kedaulatan
rakyat maka otomatis maupun jika dipandang dalam perspektif tertentu, baik secara
langsung maupun tidak langsung pemerintah telah mengesampingkan dan/atau
mengabaikan hak-hak asasi manusia dari masyarakat yang dipimpinnya dan dilain pihak
masyarakat sebagai pemberi mandat. Hal ini perlu dikaji dan diresapi secara lebih
mendalam terhadap fenomena ini semacam ini, apakah tindakan pengesampingan
dan/pengabaian tersebut dapat dikategorikan sebagai suatu bentuk dari sebuah praktek
ketidakadilan atau sama sekali bukan dianggap sebagai bentuk pelanggaran.
Permasalahan akan timbul bilamana masyarakat menganggap bahwa hal tersebut
adalah bentuk pelanggaran, baik terhadap amanat kedaulatan rakyat ataupun hak asasi
manusia. Selayaknya hak asasi manusia pun berpadanan dengan kewajiban asasi
manusia, sehingga dimana rakyat berhak mendapatkan perlindungan hak asasinya dan
dilain pihak pemerintah memiliki tanggung jawab melaksanakannya sebagai perwujudan
dari kewajiban asasi manusia.
Amandemen UUD 45 ini bagaikan bola basah yang bergulir di atas pasir, yang
mana semakin bergulir maka semakin banyak pasir yang melekat. Yang dapat dimaknai
bahwa semakin dikaji amandemen UUD 45 justru menimbulkan banyak pertanyaan,
pernyataan, perdebatan, pro dan kontra yang nyaris tidak berujung. Sementara kajian ini
hanya baru dibatasi pada satu ayat dalam sebuah pasal UUD 45 amandemen dan belum
pada pasal-pasal amandemen lainnya. Apabila dikaji secara lebih mendalam tentang kedaulatan dengan eksistensi hak
asasi manusia dalam negara, integralistik Indonesia, maka kiranya relevan menurut
penulis untuk mengutip yang telah disampaikan oleh Suwondo Atmodjahnawi, S.H.,
yang melihat secara historis dan kesinambungan konteks hak asasi manusia yang
idealnya berlaku di negara Republik Indonesia. Sebagaimana dalam sidang BPUPK bulan
Mei 1945, dalam rangka menerangkan tentang dasar negara yang pada hakekatnya akan
sesuai dengan cita negara (staatidee), Mr. Soepomo memberikan uraian tentang tiga teori
negara, yaitu:

  1. teori perseorangan (individualisme);
  2. teori golongan (kolektivisme); dan
  3. asas kekeluargaan atau teori integralistik (integralisme).

Dalam kaitannya dengan hak asasi manusia, maka menurut Suwondo Atmodjahnawi,
S.H., dapat dikatakan;

  1. bahwa dalam negara yang berdasarkan individualisme, yang masyarakatnya
    bersifat atomis, hak-hak asasi manusia akan berkembang dengan leluasa.
  2. bahwa dalam negara yang berdasarkan kolektivisme, yang masyarakatnya bersifat
    korporatif, hak-hak asasi manusia tidak akan berkembang;
  3. bahwa dalam negara yang berdasarkan integralisme, seperti Indonesia yang
    masyarakatnya bersifat organis, hak-hak asasi manusia berkembang terbatas.

Terbatasnya perkembangan hak-hak asasi manusia ini disebabkan karena “manusia
terikat oleh masyarakat” (een sociaal gebonden mens menurut Soepomo). Berbeda
dengan negara yang berdasarkan individualisme, disana “manusia bebas dan merdeka”
(een vrij en oanfhankelijk mens). Masyarakat yang mengikat orang Indonesia itu bersifat
integralistik, yang mengandung unsur-unsur yang “menentang” penonjolan pribadi cq.
penonjolan hak-hak asasi manusia yang harus diimbangi dengan kewajiban asasi (ingat:
asas kekeluargaan menumbuhkan masyarakat dan negara). Melalui paparan ini kiranya
dapat memberikan suatu pemahaman yang lebih konstruktif tentang pigura kedaulatan,
hak asasi manusia, keadilan dan hukum sebagai suatu kesatuan yang dalam
pembahasannya satu dan lain saling terkait dan sulit kiranya untuk dapat terbebas murni
dari jalinan-jalinan tersebut.
Unsur-unsur yang terkandung dalam integralistik ditambahkan olehnya, yaitu
meliputi:

  1. kebulatan;
  2. keutuhan;
  3. kesatuan;
  4. keseluruhan;
  5. kebersamaan;
  6. kekeluargaan;
  7. gotong royong;
  8. kerukunan;
  9. keakraban;
  10. keseimbangan (selaras-serasi);
  11. dan lain sebagainya

Dalam negara integralistik pada dasarnya tidak ada dualisme antara staat dan individu
(negara dan individu), oleh karena individutidak lain ialah bagian organik dari staat, yang
mempunyai kedudukan dan kewajiban tersendiri untuk turut menyelenggarakan
kemuliaan staat dan sebaliknya oleh karena staat bukan suatu badan kekuasaan atau
raksasa politik yang berdiri di luar lingkungan suasana kemerdekaan seseorang.
Dalam negara berkembang, seperti Indonesia ini, lazimnya yang lebih
diprioritaskan, yang lebih dimenangkan daripada hak-hak asasi adalah:

  1. stabilitas (stability);
  2. keamanan dan ketertiban (security);
  3. kesejahteraan (prosperity).

Pemberian prioritas kepada 3 hal ini hendaknya bersifat sementara, sebab jika terlalu
lama akan dapat mengganggu berkembangnya hak-hak asasi manusia. Padahal bertepatan
dengan hari ulang tahun kemerdekaan Republik Indonesia yang ke-61 ini, justru ketiga
aspek tersebut di atas sepertinya tidak lagi dapat terpenuhi dan ada kecenderungan saat
ini negara mengalami kemunduran yang signifikan. Kondisi ini jelas sangat
memprihatinkan bangsa dan negara, yang utamanya dapat mengganggu kekokohan
pondasi dan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Beberapa indikator terganggunya hak asasi manusia antara lain tampak dari
adanya:

  1. pengangguran;
  2. kemiskinan;
  3. pendidikan yang mahal;
  4. partai-partai politik dan pers yang kebablasan dari semula dikebiri menjadi bebas
    dalam arti sangat liberal;
  5. ketidakbebasan mimbar akademis;
  6. pengambil-alihan hal milik tanah rakyat kecil yang tanpa atau ganti ruginya tidak
    memadai;
  7. penahanan warganegara yang acapkali tidak terbukti kesalahannya;
  8. dan lain sebagainya.

Setelah melalui pemaparan di atas tentang hak asasi manusia dalam negara
integralistik Indonesia, maka jelas sudah bahwa dalam struktur kenegaraan tidak hanya
terbatas pada kerangka ide maupun konsep dari kedaulatan dan hak asasi manusia.
Keduanya memiliki nilai-nilai, baik yang meliputi aspek historis, filosofis maupun
sosiologis. Setiap perubahan yang diberikan harus secara utuh dan lengkap mengaji
tentang nilai-nilai hakiki yang terkandung didalamnya dan harus murni dari berbagai
bentuk anasir, kepentingan, kolektivitas dan lain sebagainya, yang justru melakukan
upaya dekonstruktif terhadap arti kedaulatan dan hak asasi manusia itu sendiri, terlebih
Indonesia adalah negara hukum.

E. Penutup

Dalam pidato penerimaan gelar Doctor Honoris Causa dari Universitas Indonesia
pada tanggal 30 Agustus 1975, yang berjudul Menuju Negara Hukum, Mohammad Hatta
mengatakan “Negara Indonesia ialah negara kesatuan yang berbentuk Republik,
kedaulatan adalah di tangan rakyat, dan dilakukan dengan sepenuhnya oleh Majelis
Permusyawaratan Rakyat, yang terdiri atas anggota-anggota DPR ditambah dengan
utusan-utusan dari daerah-daerah dan golongan-golongan, menurut aturan-aturan yang
ditetapkan dengan undang-undang. MPR sudah ditetapkan dari semulanya untuk
mendorong pemerintah melaksanakan pembangunan negara berdasarkan rencana-rencana
5 tahun berturut-turut…..” Lebih lanjut lagi beliau memaparkan bahwa apabila kita merenungkan UUD 1945
sedalam-dalamnya, bahwa segala yang penting bagi bangsa, apalagi yang ditimpakan
kepada rakyat sebagai beban materiil dan idiil, harus berdasarkan undang-undang,
nyatalah bahwa Negara Republik Indonesia adalah negara hukum. Negara hukum yang
berdasarkan Pancasila. Pemimpin-pemimpin negara sering menyebut, bahwa demokrasi
Indonesia adalah Demokrasi Pancasila. Memang, ini sebagai tujuan hidup, apabila
Indonesia sudah menjadi negara hukum. Dan negara hukum itu belum lagi tercapai.
Sebab itu setiap orang di antara kita harus mencepatkan datangnya negara hukum itu.
Sejak mendirikan negara Republik Indonesia, negara hukum inilah yang dicita-citakan
dan segera dirintis jalan untuk melaksanakannya. Tetapi karena kurang memahamkan
Pancasila dan kurang kesabaran pada pejuang kita masa itu, orang lupa membedakan
cita-cita dengan kenyataan. Kenyataan di waktu itu ialah, bahwa UUD 1945 sudah tepat
pada tempatnya. Untuk melaksanakan berbagai tugas pembangunan yang berat
diperlukan suatu pemerintah yang mempunyai kewibawaan.
Ditambahkan oleh beliau, seimbang dengan perjuangan menyempurnakan negara
hukum rasa tanggung jawab harus tertanam dalam jiwa. Rasa tanggung jawab itu pasti
mempercepat tumbuhnya negara hukum. Sejalan dengan tumbuhnya negara hukum itu,
akan berlaku apa yang ditulis oleh Prof. H. Krabbe dalam bukunya yang tersohor Die
Lehre der Rechtssouveränität. Kedaulatan hukum akan menggantikan kekuasaan
penguasa.
Proses yang harus ditempuh dalam rangka tercapainya penegakan kedaulatan
rakyat, hak asasi (warga negara), penegakkan supremasi hukum merupakan suatu
perjalanan panjang dan pekerjaan yang berkesinambungan. Sejarah kenegaraan pun
menunjukan bahwa pengertian kegiatan tersebut merupakan salah satu upaya konkrit
dalam mewujudkan demokratise rechtsstaat, yang secara berkesinambungan selalu
berkembang sesuai dengan tingkat kecerdasan suatu bangsa. Oleh karenanya berpangkal
tolak pada perumusan sebagai yang digariskan oleh pembentuk undang-undang dasar kita
Indonesia ialah negara yang berdasar atas hukum dengan anggapan bahwa pola yang
diambil tidak menyimpang dari pengertian negara hukum pada umumnya, disesuai
dengan keadaan di Indonesia. Artinya digunakan dengan ukuran pandangan hidup
maupun pandangan bernegara kita.
Indonesia sebagai negara hukum melembagakan hak asasi warga negaranya yaitu
dengan menjamin hak asasi dimaksud dalam undang-undang dasarnya. Kedaulatan rakyat
adalah salah satu manifestasi pelaksanaan hak asasi melalui ajang demokrasi, yang
semestinya tidak ditafsirkan secara sempit. Jangan sampai ungkapan kekecewaan Bung
Hatta terhadap kegagalan pemerintahan Orde Lama (selayaknya sejarah yang berulang)
menjadi turut berlaku bagi era reformasi, yaitu “..saya menganggap keadaan ini sebagai
kenyataan, yang tidak dapat disangkal, sebagai akibat kegagalan kaum sipil dan partai- partai politik untuk bersikap menurut Pancasila, yang ditetapkan dalam Pembukaan UUD
1945.

Kategori
Scroll to Top
Open chat
1
Selamat datang di D-LEAD ada yang bisa kami bantu ?