Dapatkah Seluruh Harta Warisan Dialihkan ke Ahli Waris?

Share :

Pertanyaan:

D-Lead yth.,

Apakah seluruh harta warisan dapat dialihkan dari Pewaris ke Ahli Waris? Kalau tidak, maka hal-hal apa saja yang dikecualikan?

(Pertanyaan dari Adinda Ibrahim)

 Jawaban:

Hal yang berpindah dari pewaris untuk para ahli waris dalam pewarisan ialah harta benda atau kekayaan pewaris, yaitu hak dan kewajiban pewaris yang dapat dinilai dengan uang, yang berwujud keseluruhan aktiva dan pasiva pewaris yang ditinggalkan untuk para ahli warisnya. Hal ini perlu diperhatikan, bahwa sebagai subyek hukum, maka manusia adalah pendukung hak dan kewajiban, dan dengan meninggalnya seseorang maka hak dan kewajiban tersebut berakhir  dan beralih kepada para ahli warisnya. Dalam hal yang diterimakan kepada ahli waris adalah saldo dari  harta warisan, bukan berarti bahwa yang diwariskan itu hanya hak saja, karena sebenarnya kewajibannya telah diperhitungkan dan meninggalkan saldo atau  sisa yang dapat diwarisi oleh ahli waris.

Menurut KUHPer mengenai apa yang dapat diwariskan kepada para ahli waris perlu diperhatikan asas-asas sebagai berikut :

  • Hukum Waris Merupakan Bagian Hukum Kekayaan

Hukum waris dikatakan merupakan bagian dari hukum kekayaan, karena dalam pewarisan maka yang dapat beralih kepada para ahli waris pada hakekatnya ialah hak dan kewajiban dalam bidang hukum kekayaan, yaitu hak dan kewajiban yang dapat dinilai dengan uang. Keseluruhan hak dan kewajiban pewaris dibidang hukum kekayaan pada prinsipnya beralih kepada ahli waris. Dalam hal ini apabila ahli waris menerima warisan maka ahli waris akan memperoleh keseluruhan hak pewaris dan menanggung keseluruhan kewajiban pewaris pula dengan segala harta miliknya, kecuali kalau ahli waris menerima dengan syarat pencatatan boedel (benificiaire aanvarding).

Hak dan kewajiban dibidang hukum keluarga, yaitu hak dan kewajiban yang tidak dapat dinilai dengan uang pada prinsipnya  tidak beralih kepada para ahli waris. Terhadap asas tersebut di atas, yakni yang dapat beralih dalam pewarisan ialah hak dan kewajiban di bidang hukum kekayaan, terdapat pengecualian-pengecualiannya. Artinya ada hak dan kewajiban dibidang hukum kekayaan yang dapat dinilai dengan uang yang pada asasnya beralih kepada para ahli waris, namun dalam hal-hal tertentu hak dan kewajiban di bidang hukum kekayaan tersebut tidak beralih kepada para ahli waris. Hal tersebut dapat dikatakan merupakan pengecualian, dan hak-hak tersebut antara lain ialah:

  • Hubungan Kerja yang Bersifat Sangat Pribadi

Hubungan kerja atau hak dan kewajiban di bidang hubungan kerja, yang pada dasarnya adalah hak dan kewajiban di bidang hukum  kekayaan, namun hubungan kerja yang sifatnya sangat pribadi, yang mengandung prestasi yang kaitannya sangat erat dengan pewaris, dan tidak dapat dilakukan oleh ahli  waris, meskipun dapat dinilai dengan uang, namun hak dan kewajiban tersebut  tidak beralih kepada para ahli waris. Contoh: Hubungan kerja pelukis, pematung tidak beralih kepada para ahli waris. Artinya kalau pemahat atau pelukis itu meninggal, maka hak dan kewajiban tidak dapat beralih kepada ahli waris, Pasal 1601, 1318 KUHPer. Pasal 1318 KUHPer secara garis besar menentukan bahwa : 

“Jika seseorang minta diperjanjikannya  sesuatu hal, maka dianggap bahwa ia itu adalah untuk ahli waris-ahli warisnya dan orang-orang yang memperoleh hak dari padanya, kecuali jika dengan tegas ditetapkan atau disimpulkan dari sifat persetujuan bahwa tidak demikian maksudnya.”

Artinya sesuai dengan sifatnya, jika perjanjian tersebut bersifat sangat pribadi maka perjanjian tersebut tidak beralih kepada para ahli warisnya.

  • Keanggotaan Dalam Perseroan

Keanggotaan dalam perseroan tidak beralih kepada para ahli warisnya. Pasal 1646 sub 4 KUHPer menentukan bahwa: “Perseroan berakhir kalau seorang pesero meninggal dunia atau ditaruh di bawah pengampuan.”

  • Pemberian Kuasa

Pemberian kuasa berakhir dengan meninggalnya orang yang memberi kuasa. Pasal 1813 KUHPer menentukan bahwa: “Pemberian kuasa berakhir dengan ditariknya kembali kuasanya pemberi kuasa, dengan pemberitahuan penghentian  kuasanya oleh pemberi kuasa, dengan  meninggalnya, pengampuan atau pailitnya pemberi kuasa maupun penerima kuasa, dengan perkawinannya perempuan yang memberikan atau menerima kuasa.”

  • Hak Memungut Hasil Orang Tua/Wali

Hak menikmati hasil orang tua/wali atas kekayaan anak yang di bawah kekuasaan orang tua atau ditaruh di bawah perwalian berakhir dengan meninggalnya anak. Pasal 314 KUHPer menentukan bahwa: “Hak nikmat hasil berakhir dengan meninggalnya si anak.”

  • Hak Pakai

Hak pakai hasil berakhir dengan meninggalnya orang yang memiliki hak tersebut. Pasal 807 KUHPer secara garis besar menentukan bahwa: “hak pakai hasil antara lain berakhir dengan meninggalnya si pemakai.”

  • Hak dan Kewajiban yang Tidak Dapat Dinilai Dengan Uang (dibidang hukum keluarga) Tidak Beralih Kepada Para Ahli Waris

Pada asasnya hak dan kewajiban di bidang hukum keluarga, yaitu hak dan kewajiban yang tidak dapat dinilai dengan uang tidak dapat diwariskan, tidak beralih kepada para ahli warisnya. Misalnya hak suami sebagai kepala rumah tangga, hak orang tua atas anak yang dilahirkan, hak wali atas anak yang diletakkan di bawah perwalian, kewajiban pengampu dalam pengampuan dsb. tidak dapat diwariskan. Meskipun demikian, Undang-undang menentukan beberapa pengecualian, yaitu bahwa ada hak dan kewajiban dibidang hukum keluarga yang pada prinsipnya tidak beralih kepada para ahli warisnya, namun dalam hal-hal tertentu hak tersebut dapat beralih kepada para ahli warisnya. Pengecualian  tersebut ialah berupa:

  • Hak Suami Untuk Menyangkal Keabsahan Anak Dapat  Dilanjutkan Oleh Para Ahli Warisnya

Pasal 256 KUHPer secara garis besar menentukan bahwa: Dalam hal-hal teratur dalam Pasal 251, 252, 253 dan 254 KUHPer, pengingkaran-pengingkaran keabsahan anak, oleh suami harus dilakukan dalam waktu 1 bulan, jika ia diam di tempat kelahiran si anak atau sekitarnya. Dalam waktu 2 bulan, setelah pulang kembalinya, jika ia berada dalam keadaan tidak hadir. 

Dalam waktu 2 bulan setelah tipu muslihat diketahuinya, jika kelahiran anak itu disembunyikan baginya. Semua akan dibuat di luar hakim yang mengandung pengingkaran si suami, adalah tak berharga apabila dalam 2 bulan perbuatan itu tak diikuti dengan suatu tuntutan di muka hakim.

Pasal 257 KUHPer menentukan bahwa: tuntutan yang dimajukan oleh suami menjadi gugur apabila para ahli waris tidak melanjutkannya dalam waktu dua bulan setelah meninggalnya suami.

Pasal 258 KUHPer menentukan bahwa: Apabila suami meninggal dunia sebelum memperjuangkan haknya tentang hal ini, namun tenggang waktu untuk itu masih berjalan, maka para ahli waris tak akan dapat mengingkari anak kecuali dalam hal tertentu tersebut dalam Pasal 252 KUHPer.

Pasal 252 KUHPer menentukan bahwa:

  • suami boleh mengingkari keabsahan si anak, apabila dapat membuktikan bahwa ia sejak 300 sampai 180 hari sebelum lahirnya anak itu, baik karena perpisahan, maupun sebagai akibat sesuatu kebetulan, berada dalam ketidak mungkinan yang nyata untuk mengadakan hubungan sexual dengan istrinya.
  • tuntutan untuk menentang keabsahan anak harus dimajukan dalam waktu 2 bulan, terhitung semenjak anak itu memiliki harta kekayaan suami, atau semenjak para ahli waris dalam memilikinya dirintangi oleh si anak.

Pasal 259 KUHPer menentukan bahwa: Dalam hal bilamana ahli waris berhubungan dengan Pasal 256, 257, 258 KUHPer berhak untuk memajukan atau melanjutkan suatu tuntutan untuk mengingkari keabsahan seorang anak, kepada mereka diberikan suatu tenggang waktu selama 1 tahun, jika seorang atau lebih dari mereka bertempat tinggal di luar Indonesia.

Dari ketentuan-ketentuan tersebut di atas dapat dilihat atau ternyata bahwa hak suami untuk menyangkal keabsahan seorang anak, beralih kepada para ahli warisnya meskipun hak tersebut merupakan hak di bidang hukum keluarga yang merupakan hak dan kewajiban yang tidak dapat dinilai dengan uang.

  • Hak Untuk Menuntut Keabsahan Anak Dapat  Dilanjutkan Oleh Para Ahli Warisnya

Hak untuk menuntut keabsahan anak dapat pula dilanjutkan oleh para ahli warisnya, kalau tuntutan tersebut sudah dilancarkan oleh anak yang menuntut keabsahan, yang  sementara perkaranya berlangsung telah meninggal dunia. Demikian pula dalam hal-hal tertentu para ahli warisnya bahkan dapat melancarkan tuntutan semacam itu, sekalipun anak itu sendiri sewaktu hidupnya belum menggunakan haknya. Pasal 269, 270, dan 271 KUHPer, secara garis besar menetapkan bahwa: seorang anak dapat mewujudkan tuntutan agar ia oleh pengadilan dinyatakan secara sah kedudukannya sebagai anak dari laki-laki atau perempuan yang telah membenihkannya.

Pasal 269 KUHPer menentukan bahwa: hak memajukan tuntutan dimuka hakim guna menentukan suatu kedudukan perdata sekedar ada pada anak tidaklah takluk pada daluwarsa.

Pasal 270 KUHPer menentukan bahwa: selain ahli waris seorang anak yang tidak memperjuangkan kedudukannya, tak diperbolehkan melancarkan tuntutan yang demikian, kecuali anak itu belum dewasa, atau kiranya dalam waktu tiga tahun setelah mencapai kedewasaan telah meninggal dunia.

Pasal 271 KUHPer menentukan bahwa: Sementara itu apabila anak itu telah memajukan tuntutannya, maka bolehlah para ahli warisnya meneruskan tuntutan kecuali tuntutan itu telah dihentikan 3 tahun lamanya semenjak acara yang terakhir dilakukan.

Demikian jawaban dari kami, semoga dapat membantu.

Sumber: Darmabrata, Wahyono. Hukum Perdata: Asas-asas Hukum Waris. Jakarta: Rizkita, 2012.

 

Kategori
Scroll to Top
Open chat
1
Selamat datang di D-LEAD ada yang bisa kami bantu ?