Demokratisasi Masyarakat Indonesia Dalam Perspektif Penegakkan Hak Asasi Manusia (Suatu Tinjauan Terhadap Pengadilan Atas Kejahatan Hak Asasi Manusia)

Share :

Footer Logo DLEAD

Oleh: Ari Wahyudi Hertanto, S.H., M.H.

A. Pendahuluan

Hal yang terlebih dahulu perlu untuk diperhatikan dalam melaksanakan demokratisasi dalam penyelenggaraan negara yang bersifat esensial dan signifikan untuk dipahami bersama adalah dapat kita lihat dalam kajian Ilmu Negara, yaitu pada umumnya penyampaian materi diawali dengan diperkenalkannya tentang ide yang sangat mendasar yaitu mengenai pengertian-pengertian pokok serta sendi-sendi pokok tentang negara. Arti dari pengertian-pengertian pokok tentang negara adalah mengenai hal-hal yang pada umumnya mempunyai pengertian yang sama. Sedangkan mengenai sendi-sendi pokok tentang negara adalah mengenai hal-hal yang karena pengaruh dari pandangan hidup negara dan kondisi masyarakat setempat maka seringkali isinya menjadi berbeda-beda. Misalnya mengenai masalah demokrasi, setiap negara akan mempunyai pengertian yang sama yaitu pemerintahan oleh rakyat. Akan tetapi demokrasi sebagai ide negara tidak sama isinya di negara Indonesia dengan demokrasi di negara Barat yang mempunyai ciri individualistis.

Mengutip dari tulisan tentang Democratic Experiment in Indonesia Between Achievements and Expectations yang disusun oleh J. Soedjati Djiwandono dinyatakan sebagai berikut:.

Criticism are often levelled especially at developing countries for lack of
democratic progress even in spite of relatively succesful economic development.
Such criticism are mostly unfair in that they are based on values or criteria that
are frequently alien to those countries. This set of values, however, are often
assumed to be universally applicable. In fact, because liberal democratic
principles operate in developed countries in the west, which do enjoy considerable
influence on many other countries ecause of their strong liberal democratic
traditions, military, and economic power, such criticisms on the basis of Western
liberal democratic values have created a strong pressure on many developing
countries to emulate irrespective of their own peculiar histories.

Sebagaimana diakui semakin banyak pakar tentang demokrasi pada level internasional, cara paling strategis untuk “mengalami” demokrasi adalah melalui apa yang disebut sebagai democracy education. Pendidikan demokrasi singkatnya secara substantif menyangkut sosialisasi, diseminasi dan aktualisasi konsep, sistem, nilai, budaya, dan praktik demokrasi melalui pendidikan. Pendidikan demokrasi tidak hanya urgen bagi negara-negara yang sedang berada dalam transisi menuju demokrasi
seperti Indonesia, tetapi juga bagi negara-negara yang telah mapan demokrasinya. Kenyataan inilah yang terlihat, misalnya, dari pembentukan Civitas International pada Juni 1995 di Praha. Dihadiri tidak kurang dari 450 pemuka pendidikan demokrasi dari 52 negara, para peserta sepakat membentuk Civitas International yang menyimpulkan pentingnya pendidikan demokrasi bagi penumbuhan


1 Kumpulan Tulisan Politik Hukum II, Democratic Experiment in Indonesia Between
Achievements and Expectations – J. Soedjati Djiwandono, dikumpulkan oleh Dr. Satya Arinanto, S.H., M.H., Universitas Indonesia, Fakultas Hukum, Pasca Sarjana – 2003, hal 158.

civic culture untuk keberhasilan pengembangan dan pemeliharaan pemerintahan demokratis (democratic governance). Pendidikan demokrasi dalam banyak hal identik dengan “pendidikan kewargaan” (civic education). Tetapi juga jelas, pendidikan kewargaan lebih luas cakupannya daripada sekadar pendidikan demokrasi. Hal ini tercermin jelas dari rumusan Civitas International bahwa pendidikan kewargaan yang efektif mencakup beberapa hal. Pertama, pemahaman dasar tentang cara kerja demokrasi dan lembaga-lembaganya. Kedua, pemahaman tentang rule of law, dan Hak Asasi Manusia seperti tercermin dalam rumusan-rumusan, perjanjian dan kesepakatan internasional dan lokal. Ketiga, penguatan keterampilan partisipatif yang akan memberdayakan peserta didik untuk meresponi dan memecahkan masalah-masalah masyarakat mereka secara demokratis. Keempat, pengembangan budaya demokrasi dan perdamaian pada lembaga-lembaga pendidikan dan seluruh aspek kehidupan masyarakat 2 .


2 Pendidikan Kewargaan dan Demokrasi – Azyumardi Azra (guru besar dan Rektor IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta), http://kompas.com/kompas%2Dcetak/0103/14/opini/pend04.htm
3 Ibid.
4 Buku Ajar Ilmu Negara, Fakultas Hukum Universitas Indonesia – 2001, Tim Pengajar Mata Kuliah Ilmu Negara, hal.12

Pada beberapa negara Barat, seperti Amerika Serikat dan Australia, program pendidikan kewargaan telah menjadi bagian kurikulum sekolah setidak-tidaknya dalam satu dasawarsa terakhir. Negara-negara lain, seperti Inggris, baru mulai menerapkan pada tahun 2000 melalui program “citizenship education”. Pada 2002 “citizenship education” akan menjadi mata pelajaran wajib dalam kurikulum pendidikan dasar dan menengah Inggris. Postulat yang berada di balik penerapan pendidikan kewargaan di AS adalah bahwa pemeliharaan tradisi demokrasi tidak bisa diwariskan begitu saja; tetapi sebaliknya harus diajarkan, disosialisasikan, dan diaktualisasikan kepada generasi muda melalui sekolah. Lebih daripada postulat penting tersebut, dalam pandangan banyak ahli pendidikan dan demokrasi Barat, pendidikan kewargaan merupakan kebutuhan mendesak karena beberapa alasan kuat lainnya. Pertama, meningkatnya gejala dan kecenderungan political illiteracy, tidak melek politik di kalangan warga negara. Banyak warga Barat, khususnya generasi muda tidak memiliki political literacy, tidak mengetahui persis cara kerja demokrasi dan lembaga-lembaganya. Kedua, meningkatnya political apathism, yang terlihat antara lain dari relatif sedikitnya jumlah warga negara yang memberikan suara dalam Pemilu, atau terlibat dalam proses-proses politik lainnya. Apabila kita melihat mundur pada zaman Yunani negara disebut dengan istilah Polis yang berarti negara kota (city state) dengan ciri utamanya sistem demokrasi langsung. Luas wilayahnya hanya sebatas sebuah kota dan rakyat dapat turut langsung dalam kegiatan kenegaraan. Dalam perkembangannya karena kondisi wilayah suatu negara menjadi bertambah luas, maka pengertian polis tidak lagi mencukupi untuk memenuhi kriteria suatu negara. Hal ini karena negara sudah merupakan suatu country state dengan wilayah yang amat luas dan kegiatan kenegaraan dilaksanakan dengan sistem demokrasi perwakilan.4 Namun, jelas dengan tingkat kompleksitas yang terjadi pada masa sekarang ini tidak dapat dijadikan sebagai suatu tolok ukur yang relevan uraian tersebut. Hal mana dikarenakan pengaruh perkembangan yang terjadi di masyarakat dunia yang lazim dikenal dengan istilah globalisasi. Tipe negara hukum (rechtstaat) dalam bentuknya yang awal adalah Negara Hukum Liberal. Korelasi antara pandangan liberalisme dengan kepentingan akan hukum formil adalah sangat kuat. Negara Hukum telah menjadi istilah tehnis kenegaraan yang tidak dapat diabaikan begitu saja. Dalam hal ini Rechtstaat juga merupakan reaksi atau antithese dari Polizei Staat. Pandangan liberal yang ingin mendudukkan negara hanya sebagai pemegang tata-tertib saja tentu menimbulkan konsekuensi yang salah satu ilustrasi konkritnya, bahwa negara membutuhkan biaya (anggaran) untuk menjalankan tugas-tugasnya. Pendapatan negara yang terbesar dapat diraih adalah dengan menarik pajak dari rakyat. Penarikan pajak ini tentu saja memerlukan persetujuan dari rakyat dan tentu pula menyinggung persoalan hak yang paling dasar dari rakyat, yaitu hak asasinya untuk memiliki pendapatan sendiri atas apa yang diusahakan. Untuk resminya (legalitasnya) pemerintah negara kemudian mengadakan peraturan-peraturan tentang pajak, peraturan-peraturan itu tertulis, dan lama-kelamaan menimbulkan undang-undang atau hukum tertulis secara formil. Dalam kasus ini lahirlah apa yang disebut Negara Hukum Formil karena dalam segala
tindakan-tindakannya penguasa itu memerlukan bentuk hukum tertentu (formil), dan formalitas ini adalah bentuk undang-undang (wet).

Didalam tipe Negara Hukum Formil ini diperlukan syarat-syarat tertentu. Unsur-unsur itu adalah 5 :

a. Pengakuan terhadap Hak Asasi Manusia (grondrechten). Hak-hak dasar ini harus dijamin (dengan undang-undang dan adanya Pemisahan Kekuasaan) dan dipertahankan jangan sampai dilanggar.
b. Pemisahan Kekuasaan dalam Negara (sheding van machten). Pemisahan kekuasaan ini adalah ciri esensial dari negara hukum. Tidak semua negara yang ada hukumnya dapat dikatakan sebagai negara hukum. Negara hukum adalah suatu konsep politis-yuridis tersendiri, sedang negara berhukum adalah kenyataan empiris-sosiologis yang nyata. Jadi, suatu negara yang memiliki
hukum (berhukum) belumlah tentu sesuai dengan konsep “Negara Hukum”.
c. Pemerintahan harus berdasarkan Undang-undang (Wetmatigheid van bestuur). Setiap tindakan atau perbuatan ‘memerintah’ dari pemerintah negara haruslah memiliki dasar hukum dalam bentuk undang-undang atau hukum tertulis.
d. Adanya Pengadilan Administrasi (Administrative Rechtspraak). Tujuan diperlukannya pengadilan administrasi ini adalah mengadili sengketa antara pemerintah (penguasa) dengan warga negara (yang dikuasai). Pengadilan Khusus ini dibentuk untuk kasus-kasus yang tidak dapat diadili oleh pengadilan biasa, sebab belum termasuk perkara pidana maupun perdata. Biasanya yang menjadi obyek sengketa adalah adanya Surat Keputusan yang dikeluarkan secara sewenang-wenang oleh pejabat negara atau instansi pemerintah.


5 Ibid, hal – 64

Empat hal inilah yang menjadi ciri pokok dari negara hukum formil. Ciri pokok negara hukum formil ini banyak dipegang teguh oleh sebagian besar dari negara-negara Eropa Kontinental, seperti Jerman, Perancis dan Belanda. Karena Indonesia adalah negara bekas jajahan Belanda, maka secara struktur kita mengikuti aliran kontinental.

Perlu kiranya untuk diketahui bahwa dalam hal terjadinya globalisasi, maka dipandang penting agar pemerintah Indonesia dalam melakukan proses ratifikasi terhadap konvensi-konvensi internasional (secara umum dikarenakan mengikuti perkembangan dunia dan turut berpartisipasi dalam pergaulan internasional dan tidak tertutup kemungkinan adanya insentif-insentif lainnya yang memiliki manfaat ekonomis bagi negara) dituntut ketelitian, kehati-hatian terutama pemahaman akan wawasan terhadap konsep-konsep kenegaraan. Sejarah kenegaraan pun menunjukan bahwa pengertian kegiatan tersebut merupakan salah satu upaya konkrit dalam mewujudkan demokratise rechtsstaat, yang secara berkesinambungan selalu berkembang sesuai dengan tingkat kecerdasan suatu bangsa. Oleh karenanya berpangkal tolak pada perumusan sebagai yang digariskan oleh pembentuk undang- undang dasar kita Indonesia ialah negara yang berdasar atas hukum dengan anggapan bahwa pola yang diambil tidak menyimpang dari pengertian negara hukum pada umumnya, disesuai dengan keadaan di Indonesia. Artinya digunakan dengan ukuran pandangan hidup maupun pandangan bernegara kita.6 Dengan kata lain kita perlu lebih bijaksana dalam melakukan ratifikasi terhadap konvensi-konvensi internasional dengan menggunakan ukuran dan pedomannya adalah dengan bercermin pada kondisi masyarakat Indonesia. Tidak pelak bahwa ratifikasi terhadap konvensi tentang Hak Asasi Manusia termasuk pula dalam kategori dimaksud.


6 Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Prof. Padmo Wahyono, S.H. Pada Fakultas Hukum Univeristas Indonesia Indonesia diucapkan pada tanggal 17 Nopember 1979 bertajuk Indonesia Ialah Negara yang Berdasar atas Hukum, h.3.

Dalam Penjelasan Undang-Undang Dasar 1945 (“UUD 45”) ditegaskan bahwa Negara Indonesia berdasar atas hukum (Rechtstaat) tidak berdasar atas kekuasaan belaka (Machstaat). Sebagai negara berdasar atas hukum, Indonesia mempunyai sejarah ketatanegaraan dalam Undang-Undang Dasar. Suatu Undang-Undang Dasar bagaimanapun baiknya tidak akan lepas dari kekurangan-kekurangan. Kekurangan tersebut biasanya mulai disadari karena perkembangan zaman dan masyarakat. 7


7 H. Suradji, S.H., Pularjono dan Tim Redaksi Tata Nusa., Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia UUD 1945 beserta Perubahan ke-I, II, III & IV dilengkapi dengan Dekrit 5 Juli 1959, Piagam Jakarta, UUD Sementara, Konstitusi RIS cet.1, ( Jakarta : PT.Tata Nusa, 2002 ), hal. iii.

Selanjutnya Todung Mulya Lubis dalam tulisannya menyatakan:

The rechstaat state – state based on law – is an ideal home for human rights; only within the rechtsstaat can human rights guarantees such as the independence of judiciary, due process of law and judicial review, survive. However, the very
notion of rechtsstaat has been subverted by various political, economic, cultural and legal developments that gradually weakened the foundation of the rechtstaat. But as a political statement, a commitment to rechtstaat has continuosly been made by virtually every government official
.8 9


8 Kumpulan Tulisan Politik Hukum II, The Rechsstaats and Human Rights – Todung Mulya
Lubis, dikumpulkan oleh Dr. Satya Arinanto, S.H., M.H., Universitas Indonesia, Fakultas Hukum,
Pasca Sarjana – 2003, hal 158.

9 Selanjutnya Todung Mulya Lubi dalam tulisan yang sama juga memberikan suatu pandangannya yaitu, “while the appears to be no problem concerning constitutionality of rechtsstaat, implementation remains doubtful. The government holds a rather narrow interpretation of rechtsstaat, moreover, rechtsstaat is subordinate to the bigger concept called the integratlistic staatsidee that reemerged under the New Order. The notions of checks and balance, separation of power,
independence of the judiciary, due process of law, and judicial review, which are vital foundations of rechsstaat, have not been highly regarded in the house of integralistic staatsidee. On the contrary, the notion of asas kekeluargaan and harmony prevail over others; with their excessive translation, the whole notion of rechtsstaat is confronted with a profoundly srious threat. Human rights guarantees are, therefore, situated in an unfavorable environment. Although some improvements have been made through new legislations, their future will always be subject to interpretation of integralistic staatsidee.

Melalui uraian tersebut di atas menarik apabila mengutip apa yang dikemukakan oleh Supomo yang mencoba untuk menarik akar dari konsep hukum itu sendiri yang diformulasikan dalam tatanan konsep hukum yang berlaku di Indonesia, yaitu:

The basis of his (Supomo) conception of law is the perfection, not of persons, but
of inter-personal relationship in the ideal, harmonious, balanced, non-competitive
communitiy to which the persons belong, Community is more than society; the
whole is greater than the sum of its components; it is not the aggregation of
identical human units but an organic integration of individual members. The
member considered. Behold here the inchoate image of a nation.10 11 12


10 Op.Cit, Kumpulan Tulisan Politik Hukum II, The Leiden Legacy – Concepts of Law in Indonesia – Dr. Peter J. Burns, hal-350.

11 Merujuk pada catatan kaki dalam artikel dimaksud disebutkan – derived from the teaching single German philosopher. The Writter cite, once moer, Achmad Soebardjo Djojohadisurjo, Kesadaran Nasional, At p.288 of his autobiography, Subardjo discusses, among others, the eighteen century German political theorist, Adam Muller : “Muller… and the others put forward the theory of unitary stae. According to this theory, the state offers absolutely no guarantee of the individual’s interest, nor for the interest of particular group, no matter how great or strong that group might/may be. The states does not guarantee, however, the protection of the interests of society as a whole, as unit (Cited, with corrections by Simanjuntak, Unsur Hegelian, p.I 19f. from Nugroho Notosusanto (ed.), Pejuang dan Prajurit (Jakarta, Sinar Harapan, 1988) no page given). There is little doubt that Subardjo subscribed the theory of integraal state with a ferfour at least equal to Supomo”.

12 Dr. Peter J. Burns dalam tulisannya mengutip pendapat yang dikemukakan oleh Supomo, yang mana sebelum dirinya mengutip teori Supomo terlebih dahulu mengemukakan…” I add a translation from one full page of Supomo’s exposition. It constitues a strong link – it is the most explicit coupling in the chain which connect the vague, romantic benevolence of the pre-War Leiden etichi with pragmatism of executive government in the Republic after 1959. It is the most explicit
coupling of adat lore with the civic religion of the New Order Indonesia. Supomo, concluding his review of the characteristic of other countries.”

Selanjutnya Dr. Peter J. Burns mengadopsi uraian Supomo, yaitu sebagai berikut “…puts into words that is not, and what is, in accordance with the original indigenous institutions of society (the social structure) of Indonesia. As you know gentlemen, the original indigenous social structure of Indonesia is nothing other than the creative achievement of Indonesian culture; it is… the mindset (aliran pikiran) – or the internalized elan of the Indonesian folk.

The attribute inherent in – and the aspiration of – that national soul, the spiritual constitution of the Indonesian people, is unity of life, unity of slave and lord (kawulo dan gusti), that is to say unity of the material world with the unseen internal world, unity between the micro and macrocosm, between the populace and its leaders. It regards all of humanity – whether it be the individual, the communal group in particular society – as having their own particular alloted places and roles in life (dharma) in accordance with laws of nature and the whole of everything as being directed toward manifest outward and inward spiritual balance. The individual human being is separable neither from other human beings
nor from the natural world: communal groups (
golongan-golongan manusia) – all the different species of creatures (golongan machluk) – all and each of them mix and intermingle; they are closely bound up with another. All and each of them are subject to the play of mutual influence and their lives are knitted close together. This totalitarian concept, the integralistic concept of the Indonesian nation which finds
concrete expression in its original indigenous constitutional arrangement.

In keeping with the quality of those original indigenous Indonesian constitutional
arrangements – a quality still in evidence today in the setting of the village both in Java and Sumatera and in other island clusters of Indonesia – the officials of the state are leaders spritually at one with the
people. They are always obliged to maintain (memegang teguh) unity and balance in their communities.

The village chief – or head of the people – is obliged to bring the popularsense of justice to realization. He is obliged to give shape (Gestaltung) to the sense of justice and the ideals of the people. That is reason why the popular leader “upholds the traditions” (memegang adat) – as the Minangkabau expression has it. He constantly monitors every development within his community and, to that end, engages in constant consultation (bermusyawarah) with his people and the heads of the family in his village in order that the spiritual bond between the leader and the people is maintained in its integrity always.

Given an atmosphere of unity between the folk and the leaders, between comunal groups one with the other, all groups are caught up in (diliputi) a spirit of mutual assistance (gotong royong), the spirit of the family principle (semangat kekeluargaan).So Honoured Gentlemen, it is clear that, if we are about to set up an Indonesian State which is accord with a distinctive quality and pattern of Indonesian society, we must based our state on the mindset (Staatsidee) of an integralistic policy, a state which is unity with the totality of ots populace, which is superior to the sum of its communal parts (golongan) om amy field whatsoever.”

Melalui penjelasan tersebut di atas yang juga merupakan pengantar dalam
topik dari tulisan ini, menurut hemat penulis perlu untuk dipaparkan terlebih dahulu.
Makna yang merupakan pesan para founding fathers, para sarjana dan perjalanan
sejarah tentang latar belakang terbentuknya negara Republik Indonesia, yang tidak
pelak untuk diakui bahwa generasi muuda era tahun 1990 memiliki pengetahuan yang sangat minim tentang sejarah tersebut, termasuk dalam memaknainya. Seiring dengan itu juga memberikan wawasan umum tentang apa itu negara hukum dan apa itu demokrasi, sebelum pada akhirnya tulisan ini membahas dalam bentuk aktualisasi dari demokratisasi di Indonesia dengan lahirnya Undang-Undang No.39 tahun 1999
tentang Hak Asasi Manusia dan implikasinya secara internasional, yang dalam tulisan
ini juga hanya dibatasi pada lingkup Pengadilan Kejahatan terhadap Hak Asasi
Manusia dalam Lingkup Hukum Internasional.

B. Pengadilan Hak Asasi Manusia Dalam Lingkup Hukum Nasional dalam mewujudkan demokratise rechtsstaat

Fase negara modern dimulai dengan munculnya teori-teori perjanjian masyarakat dari Thomas Hobbes, John Locke dan Rousseau. Selanjutnya yang menjadi ciri atau sifat utama dari fase negara modern adalah bahwa kekuasaan tertinggi berada pada rakyat. Dengan demikian pemerintahannya dilaksanakan untuk, dari dan oleh rakyat (demokratis). Akan tetapi pelaksanaan sistem demokrasi dalam masa modern tidak lagi dilaksanakan secara langsung, tetapi dengan menggunakan lembaga perwakilan. Pemerintah dalam hal ini harus melaksanakan kehendak rakyat banyak yang disalurkan melalui ketentuan-ketentuan hukum, sehingga negaranya menjadi negara hukum. Dengan demikian ciri negara modern adalah selain demokrasi dengan sistem perwakilan, juga merupakan negara hukum yang demokratis.

Dalam teori kenegaraan negara hukum selalu dikaitkan dengan negara demokrasi. Hal ini karena teori demokrasi dari Rousseau membuka peluang untuk menimbulkan demokrasi yang absolut melalui sistem suara terbanyaknya (monopoli suara terbanyak), sehingga mengesampingkan suara minoritas. Suara terbanyak dalam sistem demokrasi merupakan bentuk politik bukan yuridis. Untuk mencegah timbulnya ekses dari sistem demokrasi maka digunakan sistem negara hukum.
Dengan negara hukum diharapkan hak asasi warga menjadi lebih terjamin.

Dalam perkembangannya ciri negara modern mendapat berbagai variasi
karena adanya perbedaan dalam memberi arti negara hukum dan demokrasi. Macam- macam negara hukum sebagaimana telah kita ketahui variasinya adalah negara hukum liberal, negara hukum formil, negara hukum material dan negara hukum yang
demokratis. Sedangkan variasi dari demokrasi seperti yang dikemukakan oleh
Logemann adalah demokrasi Barat (liberal) yang mengutamakan kebebasan,
demokrasi Timur (demokrasi proletar) yang mengutamakan persamaan, demokrasi
Tengah dan demokrasi sederhana. Yang diartikan dengan demokrasi Tengah adalah
kekuasaan berada pada rakyat tetapi kemudian diserahkan pada satu orang sehingga ia menjadi penguasa tunggal, dan ia dianggap sebagai eksponen dari rakyat (Nazi,
Facis). Sedangkan demokrasi sederhana terdapat pada susunan masyarakat yang
masih sederhana. Pelaksanaan keputusan rakyat tidak berdasar pada cara-cara yang
telah dikenal tetapi dengan cara yang khusus, misalnya dengan cara musyawarah
berdasar asas tolong menolong dan gotong royong.13


13 Padmo Wahjono, S.H., Kuliah-Kuliah Ilmu Negara, cet.1, (Jakarta: Ind-Hill-Co, 1996), hal 148

Kemajuan bidang ekonomi tentunya harus diiringi dengan dengan kemajuan
pendidikan dan pemahaman rakyat dari negara yang bersangkutan akan arti dan
aktualisasi dari demokrasi itu sendiri. Oleh karenanya pemilu 2004 merupakan salah
satu bentuk pembelajaran bagi masyarakat dalam berdemokrasi. Baik secara maupun
tidak langsung implikasi dari demokrasi tersebut memiliki suatu keterkaitan dengan
bidang politik. Sementara itu manifestasi dari politik hukum itu sendiri pada akhirnya
bermuara dengan dikeluarkannya suatu kebijakan publik yang berlaku secara
nasional. Penjelasan pada paragraf di atas tidak lain tergagas sebagaimana tulisan yang ditulis oleh Harold Crouch tentang Democratization and the Threat of Disintegration, yang secara umum menggambarkan tentang jatuh bangunnya demokrasi di Indonesia dengan jatuhnya rezim orde baru, dan pergantian pemerintahan, serta kesemrawutan politik di Indonesia. Dalam tulisannya tersebut dinyatakan secara umum sebagai berikut:

Indonesia’s democratic transformation proceeded in extraordinarily difficul
circumstances. The economy, which had been devastated bythe Asian financial
crisis in 1997, remain in deep recession as investors waited for political
uncertainties to be resolved. Economic disruption brought great suffering to much
of the population and contributed to regular outbreaks of social conflict, including
severe ethnic and religious clashes, in various parts of of the country. Long
standing separatist demands in Aceh and Irian Jaya gained U.N. supervised
referendum. By the end of the year the prospect of furhter disintegration of the
country could not be dismissed
.14


14 Op.Cit, Kumpulan Tulisan Politik Hukum II, The Democratization and the Threat of
Disintegration – Southeast Asia Studies 2000 – Harold Crouch, hal-356.

Memotret dari situasi perkembangan yang terjadi dalam rangka terciptanya
suatu iklim demokrasi di Indonesia kerap kali dihadapkan dengan situasi yang
komplek. Salah satu peristiwa yang cukup komplek yaitu pemberian referendum pada
Timor Timur pada masa pemerintahan Presiden B.J. Habibie. Sehingga melalui hasil
perolehan jajak pendapat tersebut Timor Timur singkatnya memisahkan Timor Timur
dari wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Namun demikian upaya demokratisasi ini ternyata tidak dapat memenuhi aspirasi seluruh masyarakat
Indonesia atau bahkan elemen internasional lainnya. Tidak lain dikarenakan
pengetengahan isu pelanggaran hak asasi manusia oleh pihak angkatan bersenjata
yang bertugas di Timor Timur. Isu ini kemudian mengemuka dan memunculkan
nama-nama petinggi militer yang terhadapnya diajukan tuntutan atas pelanggaran
dimaksud. Hal mana dengan turut memperhatikan ketentuan perundang-undangan
nasional sebelum diberlakukannya undang-undang yang mengatur tentang Hak Asasi
Manusia.

Keberadaan Pengadilan Hak Asasi Manusia dalam lingkup hukum nasional diawali dengan lahirnya Undang-Undang No.39 tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia, utamanya adalah dalam pasal 104 Undang-Undang No.39 tahun 1999 yang berbunyi sebagai berikut:

  1. Untuk mengadili pelanggaran hak asasi manusia yang berat dibentuk Pengadilan Hak Asasi Manusia di lingkungan Peradilan Umum.
  2. Pengadilan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dibentuk dengan undang-undang dalam jangka waktu paling lama 4 (empat) tahun.
  3. Sebelum dibentuk Pengadilan Hak Asasi Manusia sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), maka kasus-kasus pelanggaran hak asasi manusia sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diadili oleh Pengadilan yang berwenang.

Dengan adanya penunjukan untuk pembentukan Pengadilan Hak Asasi Manusia, maka Pengadilan Hak Asasi Manusia dibentuk melalui Undang-Undang No.26 tahun 2000, yang disahkan dan diundangkan pada tanggal 23 Nopember 2000.

Kelahiran Undang-Undang No.39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia tersebut, tidak lepas dari perintah Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (TAP MPR RI) No. XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia. Amanat yang diberikan TAP MPR RI tersebut adalah menugaskan kepada lembagalembaga tinggi negara dan seluruh aparatur pemerintah untuk menghormati, menegakkan dan menyebarluaskan pemahaman mengenai hak asasi manusia kepada masyarakat.15


15 Pasal 1 TAP MPR RI No.XVII/MPR/1998.

Dalam rangka peningkatan perlindungan terhadap hak asasi manusia dan pengembangan situasi yang kondusif bagi pelaksanaan hak asasi manusia sesuai
dengan Pancasila, UUD 1945 dan Deklarasi Universal tentang Hak Asasi Manusia,
maka dibentuk suatu komisi yang bersifat nasional dan diberi nama Komisi Nasional
Hak Asasi Manusia (“Komnas HAM”).16 Dalam rangka peningkatan perlindungan
hak asasi manusia maka keberadaan Komnas HAM sangat strategis. Peran Komnas
HAM tersebut adalah dalam rangka pelaksanaan penyuluhan, pengkajian, pemantauan, penelitian dan mediasi tentang hak asasi manusia, dimana hal tersebut
ditetapkan dengan Undang-undang.17


16 Pernyataan tersebut dalam Keputusan Presiden Nomor 50 tahun 1993 tentang Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, yang kemudian dikukuhkan dengan pasal 105 ayat 2 huruf a oleh Undang-undang No. 39 tahun 1999.

17 Pasal 5 TAP MPR RI No.XVII/MPR/1998.

Keberadaan Komnas HAM dalam kerangka pemantauan dan pelaporan terhadap perkara pelanggaran hak asasi manusia yang berat, semakin memperkokoh
sistem hukum nasional dalam bidang hak asasi manusia. Keberadaan Komnas HAM
sebagai bagian dari elemen penegakan hukum terhadap pelanggaran hak asasi
manusia berat dikukuhkan sebagai penyelidik tunggal dengan undang-undang.18


18 Pengukuhan Komnas HAM sebagai penyelidik tunggal, tersurat dalam pasal 18 ayat 1 Undang-undang No. 26 tahun 2000.

Keberadaan Pengadilan Hak Asasi Manusia dalam lingkup peradilan umum
menyiratkan makna bahwa dalam hal yang tidak ditentukan dalam Undang-Undang
Pengadilan Hak Asasi Manusia, maka diberlakukan Undang-Undang No.tahun 1986
Tentang Peradilan Umum. Hal tersebut dinyatakan dalam pasal 2 Undang-Undang
No.26 tahun 2000, yang menyatakan bahwa Pengadilan Hak Asasi Manusia merupakan pengadilan khusus yang berada di lingkungan peradilan umum. Penundukan Pengadilan Hak Asasi Manusia terhadap peradilan umum menyiratkan
makna bahwa susunan organisasi Pengadilan HAM tunduk pada peradilan umum dan
bukan pada peradilan lain.

Selain itu dalam pasal 49 Undang-Undang Pengadilan Hak Asasi Manusia
dinyatakan sebagai berikut:

“Ketentuan mengenai kewenangan Atasan Yang Berhak Menghukum dan Perwira
Penyerah Perkara sebagaimana dimaksud dalam pasal 74 dan pasal 123 undang- undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer dinyatakan tidak berlaku
dalam pemeriksaan pelanggaran hak asasi manusia yang berat menurut undang- undang ini”.

Hal tersebut semakin menegaskan penundukan Pengadilan Hak Asasi Manusia
terhadap peradilan umum. Selain itu penegasan juga dinyatakan dalam pasal 1 huruf 4 Undang-Undang No.26 tahun 2000 yang berbunyi:

“Setiap orang adalah orang perseorangan, kelompok orang, baik sipil, militer
maupun polisi yang bertanggung jawab secara individual”.

Lewat pernyataan tersebut semakin mempertegas bahwa dalam perkara pelanggaran hak asasi manusia yang berat tidak dikenal penundukan terhadap peradilan lain selain peradilan umum, atau tidak dikenal perkara koneksitas. Sehingga dapat pula dinyatakan bahwa ketentuan koneksitas dalam BAB XI Kitab Undang- undang Hukum Acara Pidana tidak berlaku, dalam hal penyelesaian perkara pelanggaran hak asasi manusia yang berat.

Pembentukan Pengadilan Hak Asasi Manusia diharapkan dapat melindungi
hak asasi manusia, baik perseorangan maupun kelompok, dan menjadi dasar dalam
penegakan, kepastian hukum, keadilan dan perasaan aman bagi perseorangan maupun masyarakat, terhadap pelanggaran hak asasi manusia yang berat.19 Keberadaan undang-undang Pengadilan HAM juga menyiratkan harapan akan terciptanya pemantapan persatuan dan kesatuan nasional sebagaimana dicitakan dalam Ketetapan MPR-RI Nomor V/MPR/2000 tentang Pemantapan Persatuan dan Kesatuan Nasional.


19 Undang-undang No. 26 tahun 2000, Penjelasan Umum alinea VII.

Keberadaan Undang-undang Pengadilan Hak Asasi Manusia juga sebagai usaha bangsa Indonesia untuk ikut serta memelihara perdamaian dunia dan menjamin pelaksanaan hak asasi manusia 20, sebagaimana dinyatakan dalam Universal Declaration of Human Right. Untuk itu pembentukan Pengadilan Hak Asasi Manusia
dalam lingkup hukum nasional menjadi penting artinya, terutama dalam pergaulan
Internasional yang menjunjung tinggi penghormatan terhadap hak asasi manusia.


20 Ibid, Undang-undang No. 26 tahun 2000, Konsiderans Menimbang huruf b.

C. Selayang Pandang Pengadilan Kejahatan terhadap Hak Asasi Manusia
dalam Lingkup Hukum Internasional.

Dalam lingkup hukum internasional terdapat tiga macam peradilan internasional, diantaranya adalah Mahkamah Internasional (International Court of Justice), Mahkamah Kejahatan Internasional (International Criminal Tribunal) dan yang terakhir Mahkamah Pidana Internasional (International Criminal Court). Tiap
peradilan tersebut memiliki karakteristik sendiri, baik dari segi subyek maupun
pembentukan peradilan tersebut.21


21 Penelitian tentang Sinkronisasi Ketentuan Peraturan Perundang-undangan yang Berkaitan dengan Pelaksanaan Hukum Acara Pegadilan Hak Asasi Manusia, Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia, Fakultas Hukum Universitas Indonesia bekerjasama dengan Australian Legal Resources International, November 2002, hal-45.

Mahkamah Internasional adalah suatu lembaga peradilan yang dibentuk berdasarkan statuta mahkamah Internasional, yang merupakan bagian dari Piagam PBB. Perkara yang masuk Mahkamah Internasional adalah perkara dimana negara sebagai pihak. Hal ini secara tegas dinyatakan dalam pasal 34 ayat (1) Statuta Mahkamah Internasional yang berbunyi :

Only States may be parties in cases before the court (hanya negara yang dapat
menjadi pihak dalam perkara-perkara didepan mahkamah).”

Perkara yang masuk Mahkamah Internasional harus disepakati oleh negara berperkara (Dispute states) bahwa perkara akan diselesaikan melalui Mahkamah
Internasional. Hal tersebut dinyatakan dengan tegas dalam pasal 36 ayat (1) Statuta
Mahkamah Internasional, yang berbunyi sebagai berikut:

The Jurisdiction of the Court comprises all cases which the parties refer to it and
all matters specially provided for in the Charter of The United Nations or in
Treaties or conventions in force
(Yurisdiksi Mahkamah termasuk semua perkara
dimana para pihak mengajukan padanya and segala permasalahan khusus yang
diamanatkan dalam Statuta PBB atau dalam konvensi internasional)”.

Dengan begitu apabila salah satu negara yang terlibat dalam sengketa tidak
setuju untuk tunduk pada yurisdiksi Mahkamah Internasional, maka Mahkamah tidak
mempunyai kewenangan untuk memeriksa perkara.22 Perkara yang melibatkan negara Indonesia dalam Mahkamah Internasional yaitu perkara Sipadan dan Ligitan. Dalam perkara tersebut Indonesia dan Malaysia besengketa perihal kepulauan Sipadan dan ligitan, dalam kasus tersebut Indonesia dan Malaysia sepakat untuk menyelesaikannya di hadapan Mahkamah Internasional.


22 Hikmahanto Juwana, “Lembaga Peradilan Bagi Pelaku Kejahatan Internasional : Studi Kasus Pelaku Kejahatan Internasional di Timor-Timur”, Laporan Penelitian Mandiri, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2000.

Mahkamah Kejahatan Internasional (“MKI”) adalah sebuah lembaga peradilan
yang dibentuk oleh PBB secara ad hoc.23 Pembentukannya sendiri didasarkan pada
Resolusi Dewan Keamanan PBB. Ad hoc sendiri mengandung pengertian bahwa
keberadaan MKI hanya dilakukan pada saat ada kebutuhan, dan setelah melaksanakan tugasnya lembaga ini akan dibubarkan. Mengingat MKI dibentuk oleh Dewan Keamanan maka semua anggota tetap Dewan Keamanan harus menyetujuinya.24

MKI yang ada selama ini adalah International Criminal Tribunal for Former
Yugoslavia dan International Criminal Tribunal for Rwanda. International Criminal
Tribunal for Former Yugoslavia dibentuk berdasarkan Resolusi Dewan Keamanan
No.827 tahun 199325. Sedangkan International Criminal Tribunal for Rwanda
dibentuk berdasarkan Resolusi Dewan Keamanan No.955 tahun 1994. 26

Kompetensi International Criminal Tribunal fo Former Yugoslavia (ICTY)
berdasarkan Statuta adalah mengadili orang-orang yang bertanggung jawab atas
pelanggaran serius dari hukum humaniter internasional di wilayah bekas Yugoslavia
sejak tahun 1991. 27 Adapun kejahatan internasional yang dimaksud dalam Statuta
yaitu:

  1. Pelanggaran berat terhadap Konvensi Jenewa 1949; 28
  2. Pelanggaran terhadap hukum atau kebiasaan perang;29
  3. Genosida (genocide);30
  4. Kejahatan terhadap Kemanusiaan.31

Pihak yang dapat dituntut di hadapan ICTY adalah orang-perorangan (natural
persons).32 Dalam pasal 7 statuta ini menyebutkan perihal ketidakberlakuan
pembebasan diri atas hukuman seorang atasan terhadap tindakan bawahan atau
perseorangan tersebut menduduki jabatan resmi, akan tetapi tiap orang yang dituntut dihadapan ICTY adalah secara individual. ICTY memiliki keutamaan dibandingkan peradilan nasional dalam mengadili para tersangka kejahatan internasional sebagaimana dimaksud dalam Statuta.33

Ketentuan dalam Statuta International Criminal Tribunal for Rwanda (ICTR)
tidak berbeda jauh dengan Statuta ICTY. Berbagai persamaan ketentuan ICTR dengan
ICTY dikarenakan karakteristik kejahatan yang kurang lebih sama. Bahkan dapat
dikatakan bahwa Statuta ICTR mencontoh dari ketentuan dalam Statuta ICTY.
Kewenangan yang dimilki ICTR adalah mengadili orang-orang yang bertanggung
jawab atas pelanggaran serius dari hukum humaniter internasional yang dilakukan di
wilayah Rwanda, dan warga negara Rwanda yang bertanggung jawab atas
pelanggaran tersebut yang dilakukan di negara-negara tetangganya.34

Pada tahun 1946 terdapat sebuah lembaga yang mirip dengan Mahkamah
Kejahatan Internasional (MKI), yaitu Mahkamah Militer Internasional (International
Military Tribunal). International Military Tribunal (IMT) dibentuk pada tanggal 8
agustus 1946 oleh Perancis, Inggris, Amerika Serikat dan Uni Soviet (selaku
pemenang perang Dunia II).35 Pembentukkan IMT dituangkan pada sebuah perjanjian yang diberi nama Agreement for the Establishment of an International Millitary Tribunal. IMT bertugas mengadili para penjahat perang yang tindak pidananya tidak memiliki lokasi geografis tertentu.36


23 Lihat Atmasasmita, Op.Cit. Dimana ia lebih sering menyebutnya dengan ad hoc tribunal dibandingkan dengan Mahkamah Kejahatan Internasional.
24 Juwana, Op.Cit.
25 The International Criminal Tribunal for the Former Yugoslavia is composed of three chambers (two Trial Chambers and an Appeals Chamber), a prosecutor and the Registry. The seat of the Tribunal is located in The Hague, the Netherlands. United Nations. Op.Cit.
26 The International Tribunal for Rwanda is composed of three Trial Chamber, a Prosecutor and the Registry. The seat of the Tribunal is in Arusha, Tanzania; the Office of the Prosecutor is in Kigali, Rwanda. United Nations.Op.Cit.
27 Hal ini sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1 Statuta ICTY yang berbunyi sebagai berikut: “The International Tribunal shall have the Power to prosecute persons responsible for serious violations of international humanitarian law committted in the territory of the former Yugoslavia since 1991 in accordance with the provisons of the present Statute.”
28 Hal ini sebagaimana diatur dalam pasal 2 Statuta ICTY yang berbunyi sebagai berikut: “The International Tribunal shall have the power to prosecute persons committing or ordering to be committed grave breaches of the Geneva Conventions of 12 August 1949, …”
29 Hal ini sebagaimana diatur dalam pasal 3 Statuta ICTY yang berbunyi sebagai berikut: “The International Tribunal shall have the power to prosecute persons violating the laws and customs of war
30 Hal ini sebagaimana disebutkan dalam pasal 4 Statuta yang menyebutkan, bahwa (1) “The International Tribunal shall have the power to prosecute persons responsible committing genocide as defined in paragraph 2 of this article or of committing any of the other acts enumerated in paragraph 3 of this article. (2) Genocide means any of the following acts committed with intent to destroy, I a whole or a part, a national, ethnical, racial or religious group, as such: (a) killing members of the group; (b) causing serious bodily or mental harm to members of the group; (c) deliberatelracial or religious group, as such: (a) killing members of the group; (b) causing serious bodily or mental harm to members of the group; (c) deliberately inflicting the group conditions of life calculated to bring about its physical destruction in whole or in part; (d) imposing measures intended to prevent births within the group; (e) forcibly transferring children or the group to another group. (3) The Following acts shall be punishable: (a) genocide; (b) conspiracy to commit genocide; (c) direct and public
incitement to commit genocide; (d) attempt to commit genocide; (e) complicity of genocide.”

34 Hal ini sebagaimana ditegaskan dalam pasal 1 Statuta ICTR yang berbunyi sebagai berikut: “The International Tribunal for Rwanda shall have the power to prosecute persons responsible for the serious violations of the international humanitarian law committed in the territory of Rwanda and Rwandan citizens responsible for such violations committed in the territory of neighbouring states, between 1 January 1994 and 31 December 1994, in accordance with the provisions of the present
Statute.”
35 Pembentukkan International Military Tribunal for Nuremberg and Tokyo adalah berdasarkan Perjanjian London (London Agreement), hal tersebut dinyatakan oleh Prof. Sri Setianingsih Suwardi dalam wawancara mendalam yang dilakukan pada tanggal 9 Serptember 2002, di Fakultas Hukum Universitas Indonesia.

Yurisdiksi IMT meliputi dua tempat yaitu Nuremberg (Jerman) yang mengadili penjahat perang Jerman dan Tokyo (Jepang) yang mengadili penjahat perang Jepang.37 Perbedaan yang sangat jelas antara IMT dan MKI (ICTY dan ICTR)
adalah pembentukannya, dimana IMT dibentuk berdasarkan perjanjian sedangkan
MKI dibentuk melalui Dewan Keamanan PBB.38

Mahkamah Pidana Internasional adalah suatu lembaga peradilan yang dibentuk berdasarkan sebuah perjanjian internasional yang dikenal dengan nama Statuta Roma (Rome Statute of International Criminal Court). Naskah Statuta Roma
disetujui dalam konferensi diplomatik Perserikatan Bangsa Bangsa di Roma, pada
tanggal 17 Juli 1998, dan sejak saat itu negara-negara dapat menandatangani dan
meratifikasinya.

Persyaratan yang terdapat dalam Statuta Roma agar Statuta berlaku efektif
adalah apabila telah 60 negara meratifikasi statuta ini. Hal ini sebagaimana dinyatakan dalam pasal 126 Statuta Roma yang berbunyi sebagai berikut:

“This Statute shall enter into force on the first day of the month after 60th day
following the date of the deposit of the 60th instrument of ratification 39
, acceptance 40, approval 41 or accession 42 with the Secretary General of the United
Nations
(Statuta ini mulai berlaku pada hari pertama dari bulan setelah hari ke- enampuluh setelah tanggal diterimanya penyimpanan instrumen ratifikasi,
penerimaan, penyetujuan atau aksesi yang ke-60 pada Sekretaris Jenderal
Perserikatan Bangsa Bangsa)”.


39 Ratifikasi atau Ratification adalah apabila suatu negara mengesahkan suatu perjanjian internasional dimana negara peratifikasi tersebut turut menandatangani perjanjian internasional tersebut. Indonesia, Undang-undang tentang Perjanjian Internasional, LN tahun 2000 No. 185, TLN. No. 4012, Penjelasan Umum.
40 Penerimaan atau Acceptance adalah pernyataan menerima dari negara-negara pihak pada suatu perjanjian internasional atas perubahan perjanjian internasional tersebut.Ibid, penjelasan umum.
41 Penyetujuan atau Approval adalah pernyataan menyetujui dari negara-negara pihak pihak pada suatu perjanjian internasional atas perubahan perjanjian internasional tersebut.Ibid, penjelasan umum.
42 Aksesi atau Accession adalah Pengesahan suatu perjanjian internasional dimana negara pengaksesi tersebut tidak turut menandatangi perjanjian internasional tersebut.Ibid, penjelasan umum.

Sampai saat ini belum sampai 60 negara yang meratifikasi Statuta43, sehingga secara teoritis Mahkamah Pidana Internasional belum terbentuk.

Mahkamah ini memiliki kompetensi untuk mengadili orang perorangan atau
individu (natural person)44 yang melakukan kejahatan internasional, baik individu
tersebut sedang memegang jabatan resmi kenegaraan maupun tidak.45 Kejahatan yang masuk dalam lingkup kewenangan Mahkamah Pidana Internasional adalah Genocide (genosida), Crimes Against Humanity (kejahatan terhadap kemanusiaan), War Crimes (kejahatan perang) dan the crime of Aggresion (kejahatan agresi).46

Pembentukan mahkamah ini adalah sebagai reaksi masyarakat internasional
akan kebutuhan terhadap lembaga tetap atau permanen yang mengadili kejahatan
paling serius di dunia. Penyelesaian yang ada selama ini adalah melalui pengadilan ad
hoc seperti yang telah dibentuk untuk Yugoslavia dan Rwanda. Mahkamah ini
menjadi bagian terpenting dalam membangun penghargaan dan penghormatan
terhadap nilai-nilai kemanusiaan.

Berdasarkan uraian diatas maka yang dapat dikatakan sebagai pengadilan
terhadap kejahatan paling serius di dunia, yang menyangkut segi-segi hak asasi
manusia adalah International Tribunal for former Yugoslavia, International Tribunal
for Rwanda dan International Criminal Court. Hal ini didasarkan pada kewenangan
perkara yang ditangani. Dapat pula dikatakan bahwa International Military Tribunal
sebagai bentuk pengadilan terhadap kejahatan paling serius, dikarenakan pelaku
dianggap telah melakukan kejahatan perang dan juga dikenakan atas konvensi
genosida 1948. 47

Selain ketiga macam pengadilan tersebut, yang akan memegang peranan
dalam mengadili kejahatan paling serius di dunia adalah Mahkamah Pidana
Internasional. Hal ini mengingat mahkamah ini merupakan peradilan permanen bagi
para pelaku kejahatan paling serius di dunia, dengan memperhatikan asas-asas yang
dianut oleh Statuta Roma yang telah membentuk mahkamah ini.

Dari uraian tersebut di atas maka kelihatan bahwa secara universal diperlukan
adanya suatu wadah, yang merupakan wadah bagi penyelesaian tindak-tindak
pelanggaran hak asasi manusia. Apabila telah bergesekan dengan kepentingan
internasional, maka tersedia koridor yang mengatur tentang bagaimana upaya
penyelesaian dari terhadap suatu pelanggaran. Indonesia dalam hal ini berupaya untuk melakukan adaptasi dan adopsi terhadap ketentuan peradilan hak asasi manusia, yang mana prosesnya ditempuh melalui mekanisme ratifikasi konvensi internasional. Selanjutnya dengan memperhatikan latar belakang sejarah dan perkembangan yang terjadi dalam ICTR dan ICTY, Indonesia berupaya untuk melakukan perbandingan.


43 Berdasarkan jurnal “The Progress Report on the Ratification and National Implementing Legislation of The Statute for the Establishment of an International Criminal Court”, 7th edition, February 19, 2001, dikatakan bahwa sampai saat jurnal diterbitkan, negara yang meratifikasi Statuta Roma adalah 29 negara.
44 Hal ini sebagaimana dinyatakan dalam pasal 1 Statuta Roma yang berbunyi sebagai berikut : “An International Criminal Court (“the court”) is hereby established. It shall be a permanent institution and shall have the power to exercise its jurisdiction over persons for the most serious crimes of international concern…” Lebih lanjut dalam pasal 25 (1) dinyatakan bahwa ”The Court shall have jurisdiction over natural persons pursuant to this statute.”
45 Hal ini sebagaimana dinyatakan dalam pasal 27 ayat (1) Statuta Roma.
46 Statuta Roma, Pasal 5 ayat (1)
47 Atmasasmita, Op.Cit.

dalam proses penyelesaian perkara Timor Timur. Semuanya selain tidak terlepas dari
aspek hak asasi manusia, tetapi juga sebenarnya kerangka holistiknya adalah terpaut
dengan pembelajaran demokrasi yang diaktualisasikan maupun manifestasinya adalah perkara Timor Timur.

Masyarakat Indonesia dalam hal ini diuji taraf nasionalisme, wawasan demokrasi, tinjauan perspektif sebagai anggota masyarakat dunia maupun dalam konteks internalisasi sebagai warga negara, yang selanjutnya divisualisasikan dalam
wujud penegakkan hukum terhadap para pelaku pelanggaran hak asasi manusiadi
Timor Timur. Dalam pengadilan perkara Timor Timur tersebut, masyarakat Indonesia
yang dalam hal ini tengah melakukan pembelajaran tetapi di lain pihak tidak dapat
secara penuh memotret keseluruhan gambar tentang demokrasi (yang merupakan
upaya pemerintah) dikarenakan banyaknya kepentingan yang timbul dan adanya
tekanan-tekanan dari luar, maupun berbagai kepentingan dari berbagai kalangan yang mengakibatkan objektifitas yang hendak dibangun dalam tubuh masyarakat menjadi tersegementasikan.

Terlepas dari keadaan yang semacam itu setidaknya harapan minimal yang
dapat dicapai dalam membangun demokrasi di Indonesia (dalam konteks negara
hukum)adalah masyarakat Indonesia memahami tentang prinsip-prinsip peradilan
yang baik.

D. PRINSIP – PRINSIP PERADILAN YANG BAIK

  1. Persamaan dimuka hukum (equality before the law)

Prinsip yang dirumuskan dalam pasal 28 d ayat 1 Amandemen Kedua UUD
1945 dan pasal 5 ayat (1) UU No.14 tahun 1970 ini merupakan asas yang bersifat
universal. Pasal 7 Universal Declaration of Human Rights menjelaskan bahwa “all
are equal before the law and are entitled without discrimination to equal protection of
law”.

Dikaitkan dengan sistem peradilan terpadu, dapat dinyatakan bahwa jenis kelamin, agama, ras, waran kulit, etnis, status sosial, status ekonomi maupun ideologi politik tidak boleh menjadi dasar untuk memperlakukan orang secara berbeda, doktrin yang dikemukakan Dicey berbunyi “all persons wheather high oficial or ordinary citizens are subject to the same law administered by ordinary courts”, semakin menguatkan asas ini. Pasal 14 International Covenant on Civil and Political Right menguatkan bahwa ‘all persons shall be equal before the court and tribunals’

2. Due Process of Law

Negara sebagai pemegang kekuasaan tertinggi mempunyai kewenangan penuh
untuk melakukan proses peradilan yang adil dan tidak memihak. Oleh karenanya
kekuasaan ini perlu dibatasi agar tidak terjadi penyalahgunaan wewenang. Asas ini
tercermin dari pasal 6 ayat (1) dan pasal 7 Undang-Undang No. 14 tahun 1970
Tentang Pokok-pokok Kekuasaaan Kehakiman.

Due Process of Law pada dasarnya bukan semata-mata mengenai rule of law, akan tetapi merupakan unsur yang esensial dalam penyelenggaraan peradilan yang
intinya adalah bahwa ia merupakan “…a law which hears before it condemns, which
proceeds upon inquiry, and renders judgement only after trial…”.
Pada dasarnya
yang menjadi titik sentral adalah perlindungan hak-hak asasi individu terhadap
arbitrary action of the government.

3. Sederhana dan cepat

Salah satu hal yang dituntut publik ketika memasuki proses peradilan, mereka harus mendapat kemudahan yang didukung sistem. Proses yang berbelit-belit akan membuahkan kefrustasian dan ketidakadilan, akan tetapi harus diingat bahwa tindakan yang prosedural harus pula menjamin pemberian keadilan, dan proses yang
sederhana harus pula menjamin adanya ketelitian dalam pengambilan keputusan. Oleh karenanya harus dipastikan bahwa:
a. proses pemeriksaan dan dokumen kelengkapannya harus disiapkan dan dilakukan dengan tidak berbelit-belit.
b. Tahapan beracara haruslah jelas dan sesuai dengan keperluan.

Dengan demikian maka undue procedure and delays harus dieliminasi atau setidaknya ditekan seminim mungkin, sebagaimana dicerminkan dalam Intenational
Covenant on Civil and Political Rights
pasal 9 butir 3 dan pasal 14 butir 3c
(…everyone shall be entitled to the following minimum guarantee, in full equality…to
be tried without undue delay
…).

4. Efektif dan Efisien

Suatu proses peradilan harus dirancang untuk mencapai sasaran yang dituju yaitu hukum dan keadilan. Selanjutnya seluruh sub sistem dalam melaksanakan tugas
dan kewajiban mereka harus pula:

a. Berdaya guna dan berhasil guna;
b. Dengan memanfaatkan sumber daya manusia yang berkualitas dan profesional;
c. Menggunakan sedikit mungkin sumber dana

5. Akuntabilitas

Pemberian kekuasaan membawa konsekuensi adanya akuntabilitas, dalam kerangka pelaksanaan akuntabilitas ada beberapa hal yang harus diperhatikan, yaitu adanya:

a. Ketaatan pada hukum;
b. Prosedur yang jelas, adil dan layak, serta
c. Mekanisme kontrol yang efektif

Sebagai pemegang kekuasaan untuk melakukan proses peradilan kewenangan yang tanpa batas akan membahayakan publik. Oleh karenanya diperlukan mekanisme kontrol untuk mencegah atau paling kurang mereduksi adanya penyimpangan hukum
dan penyalahgunaan kewenangan demi terjaminnya hak asasi manusia. Mekanisme
kontrol yang diciptakan haruslah rasional, proporsional dan obyektif dan mekanisme
ini dapat dilakukan dalam beberapa cara:

a. internal (oleh lembaga yang bersangkutan sendiri, baik oleh peer group maupun atasan);
b. Eksternal (oleh pihak diluar lembaga);
c. Horisontal (oleh lembaga lain dalam hubungan horisontal); maupun
d. Vertikal (oleh pihak yang memiliki hubungan vertikal dengan personil atau lembaga).


6. Transparansi

Makna transparansi bukanlah keterbukaan yang tanpa batas akan tetapi sesuai
dengan tingkat pemeriksaan dan kebutuhan, asalkan ada kesempatan bagi publik
untuk melakukan kontrol dan koreksi. Misalnya keterbukaan dalam sidang pengadilan
merupakan suatu keharusan akan tetapi pemeriksaan oleh lembaga kepolisian
tentunya tidak terbuka untuk umum.

Pasal 10 Universal Declaration of Human Rights dengan tegas menentukan
bahwa “everyone is entitled in full equality to a fair and public hearing by an
independent and impartial tribunals…of any criminal charges against him”
. Erat
hubungannya dengan konsep ini adalah kebebasan untuk memperoleh informasi
dengan syarat tidak membahayakan berjalannya proses peradilan. Berbeda halnya
dengan keterbukaan putusan pengadilan yang harus dapat diakses oleh publik untuk
dapat mengetahui landasan diambilnya suatu keputusan.

E. Demokratisasi dan Tantangan

Salah satu kritik tajam terhadap demokrasi adalah sifat defisiensinya. Mengutip Lee Kuan Yew, pakar politik terkenal Samuel P Huntington, mengingatkan bahwa secara umum, demokrasi tidak selalu merupakan pilihan terbaik, karena ia dapat menimbulkan inefisiensi dan ketidakpastian (lihat Samuel P Huntington, Mereformasi Hubungan Sipil-Militer dalam Larry Diamond dan Marc R Plattner Hubungan Sipil-Militer dan Konsolidasi Demokrasi (Rajawali Pers, 2000).48

Dalam banyak kasus transisi menuju demokrasi, catat Huntington, aspek
ekonomi justru menurun. Reformasi ekonomi terhalang, tidak populer di mata publik
dan dimanipulasi demi keuntungan kelompok elite otoriter yang lama. Hilangnya
kendali otoritarian, bahkan justru membantu memicu kekerasan komunal. Dengan
perkecualian di beberapa wilayah, katanya, pemerintah demokrasi yang baru justru
tidak berhasil membentuk pemerintahan yang baik. Itulah efek lebih lanjut dari
defisiensi demokrasi.

Defisiensi demokratis ini, secara umum akan mengembalikan kekuasaan ke arah otoritarian baru. Rakyat di pelbagai pelosok akan kembali menengok ke masa
lalu di mana penguasa diktator menyediakan kebutuhan dasar dan membuat segala
sesuatu bekerja. Lantas, Huntington melukiskan sebuah polling yang dikutipnya dari
Robert Arnett, yang hasilnya begitu dramatis: pada tahun 1993 di mana 30 persen
penduduk Moskwa dan St Petersburg mengatakan bahwa kehidupan yang lebih baik
justru ketika berada di bawah penguasa komunis, dan hanya 27 persen yang
mengatakan ketika berada di bawah pemerintahan demokratis.

Kemelaratan yang biasanya terjadi akibat perubahan politik, dari rezim otoriter
ke “demokratis”, mampu memicu kudeta kalangan militer, apalagi bila kalangan sipil
ternyata tak mampu secara cepat memutuskan sesuatu yang sifatnya strategis, kecuali hanya sekadar jor-joran politik semata. Huntington mencatat bahwa selama ini negara yang GNP per kapitanya mencapai 1.000 dollar AS atau lebih, tidak mengalami kudeta (militer) yang berhasil.


48 Defisiensi Demokrasi, M Alfan Alfian M, mahasiswa pascasarjana Ilmu Politik Universitas Indonesia, alumnus American Council of Young Political Leaders (ACYPL). http://kompas.com/kompas%2Dcetak/0011/07/opini/defi04.htm

Negara yang GNP per kapitanya mencapai 3.000 dollar atau lebih, bahkan tak
pernah terjadi kudeta militer. Daerah antara 1.000-3.000 dollar adalah tempat di mana kudeta tidak berhasil terjadi, sedangkan kudeta yang berhasil terjadi adalah di negara yang GNP per kapitanya di bawah 5.00 USD. Bila catatan Huntington tersebut
dituruti, maka tentulah militer di Indonesia bisa melakukan kudeta. Hanya
persoalannya akan semakin ruwet, sebab kudeta tidak menyelesaikan masalah, tetapi
sebaliknya membuat masalah baru yang jauh lebih kompleks.49

Ongkos sosial politik dalam proses demokrasi tidaklah sedikit. Proses demokratisasi bila salah langkah, mampu menyedot potensi ekonomi yang seharusnya dapat dimanfaatkan untuk keperluan lebih luas, terhambat gara-gara tersedot untuk
membiayai proses politik. Memang, pembiayaan politik tidak sepenuhnya ditanggung
pemerintah. Ongkos politik justru banyak ditanggung oleh rakyat, yang secara
sukarela mengorbankan segenap potensi ekonominya untuk berpolitik. Di Indonesia,
pembiayaan politik makin mahal tatkala partai-partai politik yang jumlahnya puluhan,
hadir menandai era demokratisasi politik. Pembiayaan politik juga mahal tatkala
banyak kalangan yang menginginkan menjadi provinsi sendiri. Kontraprestasi dari
mahalnya ongkos politik itu adalah kepuasan politik-atas tersalurnya aspirasi yang
selama ini tersumbat.

Dalam situasi transisi kelompok yang punya banyak uang, akan leluasa memainkan peran-peran politiknya. Namun, biasanya aksi politik uang ada batasnya. Akan muncul kelompok-kelompok pengimbang yang kritis untuk membuka aksi-aksi
politik uang, walaupun efektivitas kontrol mereka belum sepenuhnya optimal.
Kelompok-kelompok prodemokrasi akan menuntut pemerintah untuk transparan, dan
melakukan kebijakan tegas memproses hukum para konglomerat dan pelaku ekonomi yang culas (di masa lampau dan kini).

Mahalnya sebuah proses demokratisasi, sesungguhnya tak bisa sekadar diukur
lewat besaran angka rupiah. Dalam masa transisi (yang diharapkan menuju
demokrasi), kerap korban nyawa tertelan, akibat makin meluasnya konflik horizontal.
Tatkala masing-masing kelompok mengedepankan egoisme politik (komunalisme).
Era demokrasi menyertakan hadirkan banyak kelompok dalam masyarakat, dan hal ini memunculkan pula potensi konflik terbuka secara horizontal. Di Indonesia, ongkos
nonmaterial ini begitu besar, dan memprihatinkan, baik sebagian korban ritual politik
dalam pemilu, maupun kasus-kasus politik yang lebih kompleks, semisal ebagaimana
yang terjadi di Aceh, Ambon, Irian Jaya, dan sebagainya.

Di Indonesia, di era transisi politik ini, defisiensi demokrasi sesungguhnya telah menggejala. Kalangan yang bersikap apriori terhadap demokrasi pun bisa makin
bertambah panjang, bila demokrasi tidak segera menghasilkan hal-hal yang konkret.
Orang, kerap merindukan suasana masa lampau yang “aman, tertib, terkendali”,
walaupun menyisakan banyak catatan pelanggaran HAM dan penumpukan kroni
kekuasaan yang memprihatinkan. Yang penting ekonomi nasional membaik, problem- problem ekonomi masyarakat dapat teratasi dengan baik. Bila tidak, maka mereka
kerap apriori, dan tidak begitu terlalu mau memahami apa itu demokrasi.
Bagi kalangan prodemokrasi, tentu, sikap fatalis akibat defisiensi demokrasi
itu, seharusnya tidak usah disambungkan dengan muara kembali ke tatanan dan
budaya kekuasaan lama. Kalangan prodemokrasi sesungguhnya bukan tidak menyadari defisiensi demokrasi. Mereka sadar hal itu terjadi, dan menganggapnya
sebagai sesuatu yang biasa dalam proses demokratisasi, maka diperlukan semacam
kesadaran kolektif. Jangan tengah yang disodorkan kalangan prodemokrasi adalah:
kondisi yang lebih baik, tanpa menyisakan satu keinginan pun kembali ke tatanan dan budaya politik lama yang jelek-jelek.


49 Ibid

Zaman demokrasi memberikan ruang publik dan kesempatan emas bagi masyarakat untuk melakukan perbaikan-perbaikan. Tetapi, di sisi lain, justru musuh- musuh demokrasi mendapatkan kesempatan yang sama. Sehingga di zaman demokrasi sesungguhnya terdapat peluang yang sama bagi “kekuatan baik” dan “kekuatan tidak baik” untuk berlomba dan bertarung, dalam konteks kejar-mengejar kekuasaan. Tentu saja setiap kelompok mengklaim (secara subyektif) pihaknya sebagai “kelompok baik”, sementara saingannya sebagai “kelompok tidak baik”.
Tetapi, dalam demokrasi, ada rambu-rambu yang harus dipatuhi, dan ia,
sesungguhnya akan selalu menciptakan equilibrium (keseimbangan) dalam konteks
check and balance.

Defisiensi demokrasi adalah konsekuensi logis dari pilihan memilih sistem
demokrasi. Kalangan prodemokrasi memandang, proses menuju demokrasi memang
membutuhkan ongkos sosial-politik yang relatif banyak. Mereka yakin bahwa ongkos
yang dikeluarkan akan menghasilkan sesuatu yang amat bermakna, bagi kehidupan
berbangsa dan bernegara. Kalangan prodemokrasi berpendapat, proses demokrasi
membutuhkan kesabaran revolusioner. Defisiensi demokrasi adalah sebuah kewajaran
semata, asal tidak terlampau ekstrem sampai melumpuhkan demokrasi itu sendiri.50


50 Ibid.

F. Penutup

  1. Bahwa, pemahaman tentang demokrasi itu sendiri merupakan suatu hal yang pelik, hal mana telah disinyalir jauh hari oleh Aristoteles dalam tinjauan bentuk negara secara tradisional, yang mana siklusnya diawali dengan Monarkhi adalah bentuk negara yang ideal kemudian terjadi pemerosotan menjadi Tirani/Diktatur. Dari bentuk Tirani/Diktatur kemudian ingin kembali pada bentuk negara yang ideal sehingga timbul bentuk negara Aristokrasi. Bentuk negara Aristokrasi merosot menjadi Oligarchie/Plutokrasi. Selanjutnya orang kembali menginginkan bentuk negara yang ideal sehingga timbul bentuk negara Politeia. Dalam siklusnya bentuk negara Politeia kemudian merosot menjadi Demokrasi, dan setelah itu kembali pada bentuk negara Monarkhi sebagai bentuk negara ideal yang pertama. Demokrasi dipandangnya sebagai suatu kemerosotan dikarenakan individu-individu atau kelompok-kelompok yang ada dalam masyarakat seolah-olah mengetahui akan arti demokrasi yang hakiki, dan demikian pula sebaliknya. Sehingga yang tercipta adalah suasana chaos. Penulis memaknai ini sebagai sesuatu yang menarik dikarenakan hal tersebut saat ini menurut hemat penulis tengah terjadi dalam masyarakat Indonesia.
  2. Bahwa, upaya untuk mengadakan pembelajaran tentang demokrasi tetap terus berlanjut, baik dalam perangkat peraturan perundang-undangan maupun proses pemilu 2004 dan pola-pola kerjasama dalam membangun kembali keutuhan bangsa dan negara Indonesia.
  3. Bahwa, masyarakat Indonesia yang majemuk dan bentuk negara kepulauan serta tingkat pemerataan pendidikan yang tidak proporsional merupakan hal-hal yang perlu diperhatikan, bahwa faktor-faktor tersebut di atas merupakan kekayaan bangsa dan bukan disikapi sebaliknya. Hal ini telah diwaspadai oleh para founding fathers, yang salah satunya adalah Supomo, tetapi bagaimana untuk memberikan suatu wawasan kebangsaan dalam tatanan bernegara secaraumum yang dalam hal ini perlu untuk mendapat perhatian khusus. Karena dalam kondisi terpuruknya negara sudah pasti rakyat yang dirugikan tetapi
    dalam hal kemajuan negara belum tentu seluruh rakyat dapat merasakan,dalam rangka mewujudkan demokratise rechtsstaat di Indonesia.

DAFTAR PUSTAKA

  1. Buku/Artikel/Paper/Penelitian
    Azyumardi Azra, Pendidikan Kewargaan dan Demokrasi, http://kompas.com/kompas%2Dcetak/0103/14/opini/pend04.htm
    Buku Ajar Ilmu Negara, Fakultas Hukum Universitas Indonesia – 2001, Tim Pengajar
    Mata Kuliah Ilmu Negara.
    H. Suradji, S.H., Pularjono dan Tim Redaksi Tata Nusa., Undang-Undang Dasar
    Negara Republik Indonesia UUD 1945 beserta Perubahan ke-I, II, III & IV
    dilengkapi dengan Dekrit 5 Juli 1959, Piagam Jakarta, UUD Sementara,
    Konstitusi RIS cet.1, (Jakarta : PT.Tata Nusa, 2002).
    Hikmahanto Juwana, Lembaga Peradilan Bagi Pelaku Kejahatan Internasional : Studi
    Kasus Pelaku Kejahatan Internasional di Timor-Timur, Laporan Penelitian
    Mandiri, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2000.
    J.G. Starke, Pengantar hukum Internasional (An Introduction to International Law), diterjemahkan oleh F. Isjwara (Ninth ED; London, 1984).
    Kumpulan Tulisan Politik Hukum II, Democratic Experiment in Indonesia Between
    Achievements and Expectations – J. Soedjati Djiwandono, dikumpulkan oleh
    Dr. Satya Arinanto, S.H., M.H., Universitas Indonesia, Fakultas Hukum, Pasca
    Sarjana – 2003.
    Kumpulan Tulisan Politik Hukum II, The Democratization and the Threat of
    Disintegration – Southeast Asia Studies 2000 – Harold Crouch, dikumpulkan
    oleh Dr. Satya Arinanto, S.H., M.H., Universitas Indonesia, Fakultas Hukum,
    Pasca Sarjana – 2003.
    Kumpulan Tulisan Politik Hukum II, The Leiden Legacy – Concepts of Law in
    Indonesia – Dr. Peter J. Burns, dikumpulkan oleh Dr. Satya Arinanto, S.H.,
    M.H., Universitas Indonesia, Fakultas Hukum, Pasca Sarjana – 2003.
    Kumpulan Tulisan Politik Hukum II, The Rechsstaats and Human Rights – Todung
    Mulya Lubis, dikumpulkan oleh Dr. Satya Arinanto, S.H., M.H., Universitas
    Indonesia, Fakultas Hukum, Pasca Sarjana – 2003.
    M Alfan Alfian M, Defisiensi Demokrasi, , mahasiswa pascasarjana Ilmu Politik
    Universitas Indonesia, alumnus American Council of Young Political Leaders
    (ACYPL). http://kompas.com/kompas%2Dcetak/0011/07/opini/defi04.htm
    Padmo Wahjono, S.H., Kuliah-Kuliah Ilmu Negara, cet.1, (Jakarta: Ind-Hill-Co,
    1996), hal 148.
    Padmo Wahyono, Prof.,S.H. Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Pada Fakultas
    Hukum Univeristas Indonesia Indonesia diucapkan pada tanggal 17 Nopember
    1979 bertajuk Indonesia Ialah Negara yang Berdasar atas Hukum.
    Penelitian tentang Sinkronisasi Ketentuan Peraturan Perundang-undangan yang
    Berkaitan dengan Pelaksanaan Hukum Acara Pegadilan Hak Asasi Manusia,
    Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia, Fakultas Hukum Universitas
    Indonesia bekerjasama dengan Australian Legal Resources International,
    November 2002, hal-45.
  2. Peraturan Perundang-undangan/peraturan lainnya
    Indonesia, Undang-undang tentang Perjanjian Internasional, LN tahun 2000 No.
    185, TLN. No. 4012. TAP MPR RI No.XVII/MPR/1998.
    Undang-undang No. 26 tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia.
Kategori
Scroll to Top
Open chat
1
Selamat datang di D-LEAD ada yang bisa kami bantu ?