Hak Pengelolaan dalam Sistem Undang-undang Pokok Agraria di Indonesia

Share :

Oleh: Arief Susijamto Wirjohoetomo, S.H., M.H.

LATAR BELAKANG

Tanah tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia. Manusia berasal dari tanah dan kelak kembali ke tanah. Oleh sebab itu  di manapun manusia itu hidup janganlah sekali-sekali menyia-nyiakan tanah. Manusia dengan tanah saling terkait satu sama lain.

Bumi, air dan ruang angkasa serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, sepanjang perjalanan sejarah umat manusia selalu merupakan sumber daya alam yang amat penting untuk kelangsungan hidupnya itu, manusia baik sebagai individu, maupun sebagai makhluk sosial serta sebagai makhluk ciptaan Tuhan senantiasa melakukan hubungan dengan bumi, air dan ruang angkasa serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya.

Fakta tentang adanya hubungan antara manusia dengan bumi, air dan ruang angkasa serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, telah merangsang para ahli untuk melakukan pemikiran tentang hal itu sejak dahulu. Pemikiran-pemikiran itu telah berlangsung sejak jaman Yunani. Pemikiran-pemikiran itu pun telah melahirkan bermacam-macam aliran di dalam ilmu pengetahuan.

Hubungan manusia dengan bumi, bumi bukan hanya sekedar tempat hidup bagi manusia. Lebih dari itu, bumi bahkan memberikan sumber daya hidup bagi kelangsungan hidup umat manusia berupa kekayaan alam. Kekayaan alam yang terdapat di bumi, baik itu terdapat di atas permukaan bumi, tertanam di bumi, maupun yang berada di dalam tubuh bumi merupakan karunia Tuhan Yang Maha Esa kepada manusia.

Hubungan antara manusia dengan bumi, terus berkembang sejalan dengan perkembangan peradaban umat manusia itu sendiri. Hubungan itu bahkan menjadi semakin rumit, sebagai akibat dari penguasaan dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi yang semakin berkembang, pada satu pihak telah memberikan kemampuan kepada manusia untuk mengeksploitasi kekayaan alam yang terdapat di bumi secara lebih besar untuk memenuhi kebutuhannya yang tidak terbatas. Pada pihak lain, ilmu pengetahuan dan teknologi itu telah memberikan kesadaran kepada manusia,  bahwa luas bumi dan kekayaan alam yang dikandungnya itu relatif tetap dan terbatas jika dibandingkan dengan pertambahan jumlah umat manusia.

Istilah Hak Pengelolaan satu diantara jenis hak-hak atas tanah, samasekali tidak ada disebut di dalam Undang-Undang Pokok Agraria No. Tahun 1960 (“UUPA”). Istilah Hak Pengelolaan, demikian pula pengertian dan luasnya terdapat di luar ketentuan UUPA. Istilah Hak Pengelolaan ini untuk pertama kalinya disebut oleh Peraturan Menteri Agraria No. 9 Tahun 1965 yang mengatur tentang Pelaksanaan Konversi Hak Penguasaan Atas Tanah Negara dan Kebijaksanaan Selanjutnya  (“Permen Agraria No. 9/1965”).

Pasal 2 Permen Agraria No. 9/1965 tersebut menyatakan bahwa jika tanah negara yang dimaksud dalam Pasal 1, selain dipergunakan untuk kepentingan instansi-instansi itu sendiri, dimaksudkan juga untuk dapat diberikan dengan sesuatu hak kepada pihak ketiga, maka hak penguasaan tersebut di atas dikonversi menjadi hak pengelolaan yang dimaksud dalam Pasal 51 dan Pasal 6 Permen Agraria No. 9/1965, berlangsung selama tanah tersebut dipergunakan untuk keperluan itu oleh instansi yang bersangkutan.

Hak penguasaan yang kemudian dikonversi menjadi hak pengelolaan oleh Permen Agraria No. 9/1965, semula diatur oleh Peraturan Pemerintah No. 8 Tahun 1953 (“Peraturan Pemerintah”) yang ditetapkan pada waktu sebelum berlakunya UUPA.

Istilah Pengelolaan memang ada disebut di dalam Penjelasan Umum UUPA, di dalam Penjelasan Umum II angka (2) yang menyatakan bahwa dengan berpedoman pada tujuan yang disebutkan di atas negara dapat memberikan tanah demikian itu kepada seseorang atau badan hukum dengan sesuatu hak menurut peruntukan dan keperluannya, misalnya hak milik, hak guna usaha, hak bangunan, dan hak pakai atau memberikannya dalam pengelolaan kepada suatu badan penguasa  untuk dipergunakan bagi pelaksanaan tugasnya masing-masing.

Bertitik tolak dari Penjelasan Umum II angka (2) di atas, maka dapat disimpulkan bahwa landasan hukum dari hak pengelolaan di dalam UUPA telah disinggung oleh Penjelasan Umum UUPA tersebut.

Pasal 2 ayat (4) UUPA telah memberikan kemungkinan untuk memberikan suatu hak baru yang namanyua ketika itu belum ada. Hak itu merupakan suatu delegasi wewenang pelaksanaan hak menguasai negara kepada daerah-daerah otonom dan masyarakat hukum adat. Penjelasan Umum II angka (2) yang juga menyebut Pasal 2 ayat (4), juga menyatakan ada kemungkinan bagi negara untuk memberikan tanah yang dikuasai negara dalam pengelolaan suatu badan penguasa untuk dipergunakan bagi pelaksanaan tugasnya masing-masing. Untuk delegasi wewenang pelaksanaan hak menguasai negara itu, oleh peraturan yang ada disebutkan sebagai “Hak Pengelolaan”.

Sungguhpun demikian, Penjelasan Umum II angka (2) di atas, dapat dijadikan pedoman bahwa istilah “Tanah Dikuasai Negara” tidak berarti tanah yang dipunyai oleh negara. UUPA berpangkal pada pendirian, bahwa untuk mencapai apa yang ditetapkan oleh Pasal 33 ayat (3) UUD 1945, tidak perlu dan tidaklah pula pada tempatnya bangsa Indonesia ataupun negara bertindak sebagai pemilik tanah. Sesuai dengan pangkal pendirian di atas, perkataan “dikuasai” bukanlah berarti “dimiliki”.

Hal itu sekaligus pula menunjukkan bahwa asas domain yang dikenal sebelumnya, telah ditinggalkan oleh UUPA. Penjelasan Umum II angka (2) dengan jelas menyatakan: “Asas domain yang dipergunakan sebagai dasar dari perundang-undangan agraria yang berasal dari pemerintah jajahan tidak dikenal dalam hukum agraria yang baru. Asas domain adalah bertentangan dengan kesadaran hukum rakyat Indonesia dan asas pada negara yang merdeka dan modern”.

Dengan berlakunya UUPA yang dengan tegas telah meninggalkan asas domain, maka ketentuan domeinverklaring dinyatakan tidak berlaku lagi. Konsekuensinya, maka pengertian istilah Vridlandsdomein haruslah disesuaikan dengan prinsip yang dianut oleh UUPA, yaitu tanah dikuasai oleh negara. Dalam hubungan ini, ada yang mengembangkan dengan istilah tanah negara. UUPA sendiri mempergunakan istilah tanah yang dikuasai langsung oleh negara.

Hak Penguasaan yang diatur dalam Peraturan Pemerintah kemudian dikonversi menjadi hak pengelolaan setelah berlakunya UUPA. Konversi hak penguasaan menjadi hak pengelolaan ini diatur oleh Permen Agraria No. 9/1965. Pasal 2 Permen Agraria No. 9/1965 menyatakan jika tanah negara yang dimaksud dalam Pasal 1, selain dipergunakan untuk kepentingan instansi-instansi itu sendiri, dimaksudkan untuk dapat diberikan dengan sesuatu hak kepada pihak ketiga, maka hak penguasaan tersebut di atas dikonversi menjadi hak pengelolaan yang dimaksud dalam Pasal 5 dan 6 yang berlangsung selama tanah tersebut dipergunakan untuk keperluan itu oleh instansi yang bersangkutan.

Istilah hak pengelolaan kembali disebut oleh Peraturan Menteri Agraria No. 1 Tahun 1966 (“Permen Agraria No. 1/1966”) tentang Pendaftaran Hak Pakai dan Hak Pengelolaan. Hak Pengelolaan kembali disebut lagi oleh Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 6 Tahun 1972 pada Pasal 12 (“Permendagri No. 6/1972”). Hak Pengelolaan ini kemudian dipertegas keberadaannya oleh Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 5 Tahun 1973 tentang Ketentuan-Ketentuan Mengenai Tata Cara Pemberian Hak Atas Tanah (“Permendagri No. 5/1973”). Pasal 1 Permendegrai No. 5/1973 ini dengan jelas menyebutkan hak pengelolaan sebagai satu jenis di antara jenis-jenis hak atas tanah sebagaimana yang telah disebut oleh Pasal 12 Permendagri No. 6/1972. Selanjutnya Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 5 Tahun 1974 tentang Ketentuan-Ketentuan Mengenai Penyediaan dan Pemberian Tanah Untuk Keperluan Perusahaan (“Permendagri No. 5/1974”) juga menyebut hak pengelolaan pada Pasal 2 ayat (1) huruf (a). Hak Pengelolaan akhirnya dipertegas oleh Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 1 Tahun 1977 tentang Tata Cara Permohonan dan Penyelesaian Pemberian Hak Atas Bagian-Bagian Tanah, Hak Pengelolaan serta Pendaftarannya (“Permendagri No. 1/1977”).

PERUMUSAN PERMASALAHAN

Berdasarkan Pendahuluan tersebut di atas maka pokok permasalahan yang timbul dalam hubungannya dengan Hak Pengelolaan ini adalah sebagai berikut:

  1. Kewenangan-kewenangan apa saja yang tersimpul pada hak pengelolaan ?
  2. Bagaimana pendaftaran dan persyaratan untuk memperoleh hak pengelolaan ?

LANDASAN TEORI

Hak Pengelolaan menurut R. Atang Ranoemihardja adalah hak atas tanah yang dikuasai negara dan hanya dapat diberikan kepada badan hukum pemerintah atau pemerintah daerah baik dipergunakan untuk usahanya sendiri maupun untuk kepentingan pihak ketiga.

Pengertian hak pengelolaan yang dikemukakan oleh R. Atang Ranoemihardja di atas, menurut penulis suatu hal yang perlu mendapat perhatian lebih lanjut, adalah berkenaan dengan penggunaan dari hak pengelolaan itu. Hak pengelolaan seperti yang dikemukakannya, dapat diberikan kepada badan hukum pemerintah atau pemerintah daerah yang dipergunakan untuk usahanya sendiri maupun untuk kepentingan pihak ketiga.

Pasal 2 Permen Agraria No. 9/1965 dengan jelas menyatakan bahwa jika tanah negara yang dimaksud dalam pasal 1, selain dipergunakan untuk kepentingan instansi-instansi itu sendiri, dimaksudkan untuk dapat diberikan dengan sesuatu hak kepada pihak ketiga, maka hak penguasaan tersebut di atas dikonversi menjadi hak pengelolaan yang dimaksud dalam Pasal 5 dan Pasal 6, yang berlangsung selama tanah tersebut dipergunakan untuk keperluaan itu oleh instansi yang bersangkutan.

Hal yang sama juga dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 5 yang disebut oleh Pasal 2 Permen Agraria No. 9/1965. Pasal 5 tersebut menyatakan bahwa apabila tanah-tanah negara yang dimaksud dalam Pasal 4 di atas, selain dipergunakan oleh instansi-instansi itu sendiri, juga dimaksudkan untuk diberikan dengan sesuatu hak kepada pihak ketiga, maka oleh Menteri Agraria tanah-tanah tersebut akan diberikan dengan hak pengelolaan.

Pengertian dan wewenang yang tersimpul pada hak pengelolaan ini, dijelaskan oleh Pasal 6 Permen Agraria No. 9/1965 tersebut yang menyatakan:

  1. Hak pengelolaan yang dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 5 di atas memberikan wewenang kepada pemegangnya untuk:
    • Merencanakan peruntukan dan penggunaan tanah tersebut.
    • Menggunakan tanah tersebut untuk keperluaan pelaksanaan tugasnya.
    • Menyerahkan bagian-bagian dari tanah tersebut kepada pihak ketiga dengan hak pakai yang berjangka waktu 6 (enam) tahun.
    • Menerima uang pemasukan/ganti rugi dan /atau uang wajib tahunan.
  1. Wewenang untuk menyerahkan tanah kepada pihak ketiga yang dimaksud dalam ayat (1) huruf (c) di atas terbatas pada:
    • Tanah yang luasnya maksimum 1.000 m2 (seribu meter persegi).
    • Hanya kepada WNI dan badan-badan hukum yang dibentuk menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia.
    • Pemberian hak untuk yang pertama kali saja, dengan ketentuan bahwa perubahan, perpanjangan dan penggantian hak tersebut akan dilakukan oleh instansi agraria yang bersangkutan, dengan pada asasnya tidak mengurangi penghasilan yang diterima sebelumnya oleh pemegang hak itu.

Pasal 28 Permendagri No. 5/1973 mengulangi kembali pengertian hak pengelolaan seperti dirumuskan oleh Pasal 6 Permen Agraria No. 9/1965. Pasal 28 Permendagri No. 5/1973 tersebut menyatakan bahwa hak pengelolaan adalah hak atas tanah negara seperti yang dimaksudkan dalam Permen Agraria No. 9/1965 yang memberi wewenang kepada pemegangnya untuk:

  1. Merencanakan peruntukan dan penggunaan tanah yang bersangkutan.
  2. Menggunakan tanah tersebut untuk keperluan pelaksanaan tugasnya.
  3. Menyerahkan bagian-bagian dari tanah itu kepada pihak ketiga dengan hak pakai yang berjangka waktu 6 (enam) tahun.
  4. Menerima uang pemasukan dan/atau uang wajib tahunan.

Pengertian hak pengelolaan yang dirumuskan oleh Permen Agraria No. 9/1965 dan Permendagri No. 5/1973 kemudian diubah oleh Permendagri No. 5/1974. Pasal 3 Permendagri No. 5/1974 ini menyatakan bahwa dengan mengubah seperlunya ketentuan dalam Permen Agraria No. 9/1965.

ANALISA PERMASALAHAN

  1. Kewenangan-kewenangan yang tersimpul pada hak pengelolaan

Kewenangan-kewenangan yang tersimpul pada hak pengelolaan ini telah diatur oleh beberapa peraturan. Namun kenyataannya terdapat perbedaan perumusan tentang wewenang yang tersimpul pada hak pengelolaan itu pada peraturan-peraturan tersebut. Pasal 6 ayat (1) Permen Agraria No. 9/1965 menetapkan bahwa hak pengelolaan sebagai yang dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 5 di atas memberikan wewenang kepada pemegangnya untuk:

  1. Merencanakan peruntukan dan penggunaan tanah yang bersangkutan.
  2. Menggunakan tanah tersebut untuk keperluan pelaksanaan tugasnya.
  3. Menyerahkan bagian-bagian dari tanah itu kepada pihak ketiga dengan hak pakai yang berjangka waktu 6 (enam) tahun.
  4. Menerima uang pemasukan dan/atau uang wajib tahunan.

Kewenangan-kewenangan itu dibatasi oleh Pasal 6 ayat (2) Permen Agraria tersebut, yaitu luas tanah yagn diserahkan itu maksimum 1.000 m2, hanya kepada WNI dan badan hukum Indonesia serta pemberian hak hanya untuk pertama kali saja.

Wewenang yang tersimpul pada hak pengelolaan seperti dirumuskan oleh Pasal 6 ayat (1) Permen Agraria No. 9/1965 di atas, diulangi kembali oleh Pasal 28 Permendagri No. 5/1973. Namun kemudian perumusan itu diubah oleh Pasal 3 Permendagri No. 5/1974 yang menyatakan bahwa dengan mengubah seperlunya ketentuan dalam Permen Agraria No. 9/1965 tentang Pelaksanaan Konversi Hak Penguasaan Atas Tanah Negara dan Ketentuan-Ketentuan Tentang Kebijaksanaan Selanjutnya, hak pengelolaan yang dimaksudkan dalam Pasal 2 ayat (1) huruf (a) Permen Agraria No. 9/1965 berisikan wewenang untuk:

  • Merencanakan peruntukan dan penggunaan tanah yang bersangkutan.

Pengertian merencanakan adalah membuat dan menyusun suatu rencana tentang peruntukan dan rencana penggunaan terhadap tanah yang bersangkutan, sehingga tercapai optimalisasi pemanfaatan tanah dalam rangka untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Dalam hubungannya dengan rencana peruntukan dan penggunaan tanah hak pengelolaan yang disusun dan dibuat oleh pemegang hak pengelolaan yang bersangkutan, haruslah tidak bertentangan, bahkan haruslah merupakan bagian dari rencana umum yang disusun oleh pemerintah. Untuk itu perlu terus dikembangkan rencana tata ruang dan tata guna tanah secara nasional sehingga pemanfaatan tanah dapat terkoordinasi antara berbagai jenis penggunaan dengan tetap memelihara kelestarian alam dan lingkungan serta mencegah penggunaan tanah yang merugikan kepentingan masyarakat dan kepentingan pembangunan. Di samping itu perlu dilanjutkan penataan kembali penggunaan, penguasaan, dan pemilikan tanah termasuk pengalihan hak atas tanah.

  • Menggunakan tanah tersebut untuk keperluan pelaksanaan tugasnya.

Sebagai pemegang hak yang diatur dan dilindungi oleh hukum, maka sudah semestinya pemegang hak pemgelolaan tersebut berwenang untuk menggunakan tanah itu untuk keperluan pelaksanaan usahanya. Bahkan harus diberi makna, bahwa pemegang hak pengelolaan tersebut berwenang pula untuk menuntut agar pihak lain menghormati haknya itu, sehingga ia dapat meminta perlindungan hukum terhadap gangguan di dalam ia memanfaatkan haknya itu.

  • Menyerahkan bagian-bagian dari tanah itu kepada pihak ketiga dengan hak pakai yang berjangka waktu 6 (enam) tahun.

Pemegang hak pengelolaan, selain berwenang untuk menggunakan tanah hak pengelolaan itu untuk keperluan pelaksanaan usahanya, ia berwenang pula untuk menyerahkan bagian-bagian dari tanah hak pengelolaan itu kepada ketiga dengan persyaratan-persyaratan tertentu, baik mengenai peruntukan, penggunaan maupun mengenai jangka waktu dan keuangannya, dengan ketentuan bahwa pemberian hak atas tanah kepada pihak ketiga yang bersangkutan dilakukan oleh pejabat-pejabat yang berwenang, sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dalam hal ini Permendagri No. 6/1976.

  1. Pendaftaran dan persyaratan untuk memperoleh hak pengelolaan

Semula pendaftaran hak pengelolaan diatur oleh Pasal 9 Permen Agraria No. 9/1965 yang menyatakan bahwa hak pakai dan hak pengelolaan yang sepanjang jangka waktunya melebihi 5 (lima) tahun didaftar menurut ketentuan-ketentuan PP No. 10 Tahun 1961. Jika tidak ditentukan jangka waktunya maka hak tersebut dianggap akan berlangsung lebih dari 5 (lima) tahun. Jika hak tersebut belum didaftar pada kantor pendaftaran tanah maka pemegang hak yang bersangkutan wajib datang pada kantor pendaftaran tanah yang bersangkutan untuk mendaftarkannya dengan mempergunakan daftar isian.

Pelaksanaan pendaftaran hak pengelolaan adalah berpedoman kepada PP No. 10 Tahun 1961 yang mengatur tentang pendaftaran tanah adalah sebagai ketentuan pelaksana dalam Pasal 19 UUPA. Obyektif pendaftaran tanah diatur oleh Pasal 19 ayat (2) UUPA yang meliputi (i) pengukuran, pementaan dan pembukuan tanah, (ii) pendaftaran hak-hak atas tanah dan peralihan hak-hak tersebut, dan (iii) pemberian surat-surat tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat.

Dari kenyataan tersebut di atas jelas bahwa hak pengelolaan harus didaftarkan pada Seksi Pengukuran dan Pendaftaran Tanah Kantor Pertanahan setempat. Pemberian hak pengelolaan, termasuk juga pemberian hak-hak atas bagian-bagian tanah hak pengelolaan yang diserahkan kepada pihak ketiga diproses dengan menempuh prosedur yang ditetapkan oleh Permendagri No. 6/1972. Berdasarkan kepada Keputusan Presiden RI No. 26 Tahun 1988, sekarang tentunya menjadi wewenang Kepala Badan Pertanahan Nasional sebagai suatu lembaga non departemen yang bertanggung jawab langsung kepada presiden.

KESIMPULAN

Bahwa berdasarkan hal-hal tentang hak pengelolaan atas tanah, dapat disimpulkan sebagai berikut:

  1. Kewenangan-kewenangan yang tersimpul pada hak pengelolaan ini telah diatur oleh beberapa peraturan. Namun kenyataannya terdapat perbedaan perumusan tentang wewenang yang tersimpul pada hak pengelolaan itu pada peraturan-peraturan tersebut. Pasal 6 ayat (1) Permen Agraria No. 9/1965 menetapkan bahwa hak pengelolaan sebagai yang dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 5 di atas memberikan wewenang kepada pemegangnya untuk:
  • Merencanakan peruntukan dan penggunaan tanah yang bersangkutan.
  • Menggunakan tanah tersebut untuk keperluan pelaksanaan tugasnya.
  • Menyerahkan bagian-bagian dari tanah itu kepada pihak ketiga dengan hak pakai yang berjangka waktu 6 (enam) tahun.
  • Menerima uang pemasukan dan/atau uang wajib tahunan.
  1. Pelaksanaan pendaftaran hak pengelolaan adalah berpedoman kepada PP No. 10 Tahun 1961 yang mengatur tentang pendaftaran tanah adalah sebagai ketentuan pelaksana dalam Pasal 19 UUPA. Obyektif pendaftaran tanah diatur oleh Pasal 19 ayat (2) UUPA yang meliputi (i) pengukuran, pementaan dan pembukuan tanah, (ii) pendaftaran hak-hak atas tanah dan peralihan hak-hak tersebut, dan (iii) pemberian surat-surat tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat.
Scroll to Top
Open chat
1
Selamat datang di D-LEAD ada yang bisa kami bantu ?