Hak Asasi Manusia Ditinjau dari Berbagai Aspek Kehidupan

Share :

Para founding fathers mencita-citakan Indonesia sebagai negara yang berdasarkan
hukum (rechsstaat) dan bukan negara yang berdasarkan kekuasaan (machsstaat). Sebagai negara hukum, Indonesia harus mengakui dan menjunjung tinggi hak asasi manusia. Hak asasi manusia merupakan hak yang hakiki yang telah dimiliki seseorang sejak lahir. Hak ini inherent dalam diri setiap orang dan tidak dapat diambil, dicabut, dirampas, atau dialihkan kepada orang lain untuk dan oleh siapapun.

Dasar-dasar hak asasi manusia tertuang dalam berbagai instrumen internasional di antaranya adalah Universal Nations of Human Rights, International Covenant on Civil and Political Rights, International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights, dan tercantum pula dalam instrumen nasional yaitu dalam Undang-Undang Dasar 1945 Republik Indonesia, seperti pada Pasal 27 ayat 1 tentang persamaan kedudukan di hadapan hukum, Pasal 28 tentang kebebasan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan, Pasal 29 ayat 2 tentang kebebasan beragama dan beribadat sesuai dengan kepercayaan, Pasal 30 ayat 1 tentang hak dalam usaha pertahanan dan pembelaan negara, Pasal 31 ayat 1 tentang hak mendapatkan pendidikan, dan Pasal 34 ayat 1 tentang pemeliharaan fakir miskin dan anak-anak terlantar oleh negara.Contoh hak asasi manusia yang diakui secara umum adalah hak untuk hidup, hak untuk memperoleh pendidikan, hak untuk hidup bersama-sama seperti orang lain, hak untuk mendapatkan perlakuan yang sama, hak untuk mendapatkan pekerjaan, hak memperoleh bantuan hukum, dan sebagainya. Bahkan hampir di setiap aspek kehidupan setiap orang memiliki hak asasi.1

Pada zaman perang dunia ke II, Presiden Franklin D. Roosevelt mengidentifikasikan empat kebebasan yang diupayakan untuk dipertahankan di dalam perang tersebut, yaitu kebebasan berbicara dan berekspresi, kebebasan beragama, kebebasan dari hidup berkekurangan, dan kebebasan dari ketakutan akan perang.2

Pelanggaran Hak Asasi Manusia Terhadap Anak

Jenis pelanggaran hak asasi manusia yang paling sering terjadi adalah kekerasan
terhadap manusia. Karena kekerasan adalah suatu tindakan yang paling mudah dilakukan oleh pihak yang kuat untuk menindas pihak yang lemah. Tindakan pelanggaran hak asasi manusia ini selalu terjadi dengan berbagai bentuk dan jenis kekerasan. Yang paling sering menjadi korban adalah perempuan dan anak-anak. Pada dasarnya kekerasan merupakan akar dari pelanggaran asasi manusia. Oleh karena itu, kekerasan semacam ini terus terjadi dan berlarut-larut tanpa ada kesadaran baik dari korban maupun pelaku untuk menanggulanginya. kekerasan memang harus segera diakhiri dan kekerasan merupakan pelanggaran hak asasi manusia yang seringkali terjadi dan menimbulkan rasa tidak aman dan was-was kepada korbannya. Dimulai dengan penghargaan hak asasi manusia yang
sederhana barulah hak asasi manusia lainnya dapat juga dibentuk.


1 Untuk naskah “Declaration by United Nations” tertanggal 1 Januari 1942, lihat H.F. van Panhuys dkk.,ed., International Organization and Integration (The Hague: Martinus Nijhoff, 1981), vol. 1A.

2 Lihat Douglas Lurton, Roosevelt’s Foreign Policy, 1933 1941: Franklin D. Roosevelt’s Unedited Speeches (Toronto: Longmans, Green, 1942), 324.

Dapat kita saksikan di media massa dan media elektronik yang menyajikan
beragam tindak kekerasan yang berujung pada tindakan kriminal. Dari salah satu sumber didapatkan bahwa, anak-anak merupakan kelompok yang paling rentan menjadi korban kekerasan. Laporan Komisi Perlindungan Anak menunjukkan tindak kekerasan terhadap anak dari tahun ke tahun terus meningkat. Pada tahun 2004 tercatat 547 kasus, tahun 2005 tercatat 736 kasus, dan pada Januari-Juni 2006 tercatat 426 kasus. “Jika hal ini dibiarkan berlarut-larut maka hal ini tidak pelak lagi menjadi perusak moral dan masa depan bangsa Indonesia”.

Anak-anak yang mengalami kekerasan akan menjadi trauma dan terus dibayangi
oleh rasa ketakutan dan tidak aman. Padahal untuk menjadi generasi muda yang
diharapkan dapat meneruskan cita-cita bangsa, anak-anak harus mendapatkan
perlindungan, pendidikan yang baik, dan semangat yang tinggi. Namun bagaimana
mungkin rasa aman, pendidikan yang baik, dan semangat yang diharapkan tersebut dapat tumbuh dan berkembang seperti yang diharapkan, kalau hidup anak-anak tersebut dipenuhi dengan kekerasan, rasa takut, dan secara psikologis terus dibayangi dengan perasaan was-was.

Kasus kekerasan di Indonesia tidak mencuat karena tidak ada laporan resmi dari
korban kepada aparat penegak hukum atau kepada komisi perlindungan anak. Hal ini
terjadi karena lingkungan budaya yang sudah mengakar. Masyarakat tradisional tidak
mengakui insiden semacam itu sebagai pelanggaran hak asasi manusia. Buruknya
penegakan hukum yang kurang memadai di bidang tersebut dan dan merajalelanya
korupsi di kalangan penegak hukum, juga membuat kasus-kasus kekerasan semacam itu tidak diselidiki. Akibatnya pelaku tindak kekerasan terhadap anak pun bebas dari jeratan hukum.


Seperti halnya anak-anak di belahan dunia lain, anak-anak di Indonesia pun
mengalami kekerasan dalam rumah tangga, di jalanan, di sekolah, dan di antara teman sebaya mereka. Tapi banyak kasus kekerasan semacam ini tidak terungkap. Atau, hal ini tidak dianggap sebagai kasus kekerasan karena kedua pihak tidak menganggapnya sebagai masalah. Seringkali kekerasan terhadap anak dianggap hal yang lumrah karena secara sosial dipandang sebagai cara pendisiplinan anak. Bahkan di banyak masyarakat, norma sosial dan budaya tidak melindungi atau menghormati anak-anak.

Ada beberapa fakta yang cukup memprihatinkan. Diperkirakan sekitar 60 persen
anak balita Indonesia tidak memiliki akte kelahiran. Lebih dari 3 juta anak terlibat dalam pekerjaan yang berbahaya. Bahkan, sekitar sepertiga pekerja seks komersil berumur kurang dari 18 tahun. Sementara 40.000-70.000 anak lainnya telah menjadi korban eksploitasi seksual. Ditambah lagi sekitar 100.000 wanita dan anak-anak diperdagangkan setiap tahunnya. Belum lagi 5.000 anak yang ditahan atau dipenjara dimana 84 persen di antaranya ditempatkan di penjara dewasa. Masalah lain yang tak kalah memprihatinkan adalah pelecehan terhadap anak terutama anak-anak dan wanita yang tinggal di daerah konflik atau daerah bekas bencana. Lebih dari 2.000 anak tidak mempunyai orang tua.

Penanggulangan Pelanggaran Hak Asasi Manusia Anak dan Perempuan Ditinjau Dari Segi Yuridis

Salah satu cara mengurangi angka kekerasan adalah dengan mengikis akar
kekerasan sejak usia dini. Itu berarti harus memberikan pemahaman yang benar tentang bahaya kekerasan kepada anak-anak. Pengetahuan tentang hak asasi manusia kepada anak-anak harusnya ditanamkan sejak usia dini. Misalnya di usia Sekolah Dasar anak- anak diberi pengenalan tentang nilai-nilai hak asasi manusia dan memberikan pengetahuan tentang haknya mengenai memperoleh rasa aman dan bebas dari segala macam bentuk kekerasan.

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak diadakan
dengan tujuan menjamin terpenuhinya hak-hak anak agar dapat hidup, tumbuh,
berkembang, dan berpartisipasi optimal sesuai harkat dan martabat kemanusiaan,
mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Namun sudah disahkan selama empat tahun, pelaksanaan di lapangan belum berjalan seperti yang diharapkan. Masing- masing pihak yang terlibat dalam pelaksanaan undang-undang itu menyampaikan sederet persoalan yang secara nyata mereka hadapi sehari-hari di lapangan dalam pelaksanaan undang-undang tersebut. Persoalan mendasar di sini adalah meskipun Undang-Undang Perlindungan Anak sudah berlaku selama empat tahun, tetapi kekerasan terhadap anak tidak menyurut. Kekerasan terhadap anak perempuan, terutama kekerasan seksual, terus menghiasi media massa kita.

Kebebasan untuk beribadah sesuai agamanya, perlindungan jaminan kesehatan,
dan hak mendapat pendidikan adalah sebagian isi dari Undang-Undang Perlindungan
Anak. Sementara perlindungan yang sifatnya khusus diberikan antara lain untuk anak
dalam situasi darurat, anak yang berhadapan dengan hukum, anak dari kelompok
minoritas dan terisolasi, anak yang tereksploitasi secara ekonomi-seksual, anak yang
diperdagangkan, anak korban penyalahgunaan narkotika, anak korban kekerasan fisik- mental, anak cacat, serta anak korban perlakuan salah dan penelantaran, yang diatur dalam Pasal 59.

Salah satu alasan mengapa Undang-Undang Perlindungan Anak harus dilaksanakan adalah karena undang-undang ini memberikan perlindungan yang lebih baik dibandingkan dengan KUHP. Misalnya, seperti disebutkan LBH APIK, ada sanksi cukup
tinggi berupa hukuman pidana penjara maksimal 15 tahun dan minimal 3 tahun dengan denda maksimal Rp 300 juta dan minimal 60 juta tindakan yang berhubungan dengan perkosaan dan percabulan terhadap anak yang diatur di dalam KUHP.

Ketidakpedulian pemerintah melaksanakan amanah undang-undang itu berdampak pula di dalam kebijakan anggaran negara. Seorang peserta mengingatkan untuk mendesak pemerintah dan lembaga legislatif agar dalam penyusunan anggaran
tahun 2005 dana untuk pengarusutamaan jender dan pelaksanaan Undang-Undang
Perlindungan Anak mendapat jumlah yang memadai.

Menghadapi kondisi tersebut, tidak bisa tidak, masyarakat madani harus membangun jaringan dan bekerja di semua lini, dari tingkat kebijakan hingga ke akar rumput. “Kami (kepolisian) ingin membuat terobosan (dalam menyidik kasus kekerasan terhadap anak), tetapi tidak bisa hanya dari kepolisian saja, juga harus ada terobosan di kejaksaan dan kehakiman. Kami tidak mengatakan kami benar, tetapi kami berusaha,” kata Murnila.

  1. PBB dan Hak Asasi Manusia

Pada awalnya ide dan konsep tentang hak asasi manusia yang dikenal sekarang
berawal dari Perang Dunia II yang terjadi pada tahun 1939-1945. Dalam kurun waktu
tersebut terlihat tidak adanya kepedulian terhadap kehidupan dan kebebasan manusia. Pembunuhan dan kerusakan dahsyat yang ditimbulkan Perang Dunia II menggugah suatu kebulatan tekad untuk melakukan sesuatu guna mencegah perang, untuk membangun sebuah organisasi internasional yang sanggup meredakan krisis internasional serta menyediakan suatu forum untuk diskusi dan mediasi. Organisasi ini adalah Perserikatan Bangsa-Bangsa/PBB, yang telah memainkan peran utama dalam pengembangan pandangan kontemporer tentang hak asasi manusia.

Para pendiri PBB yakin bahwa pengurangan kemungkinan perang mensyaratkan
adanya pencegahan atas pelanggaran besar-besaran terhadap hak-hak manusia. Lantaran keyakinan ini, konsepsi-konsepsi Perserikatan Bangsa-Bangsa yang paling awal pun bahkan sudah memasukkan peranan pengembangan hak asasi manusia dan kebebasan. Naskah awal Piagam PBB (1942 dan 1943) memuat ketentuan tentang hak asasi manusia yang harus dianut oleh negara manapun yang bergabung di dalam organisasi tersebut, namun sejumlah kesulitan muncul berkenaan dengan pemberlakuan ketentuan semacam itu. Lantaran mencemaskan prospek kedaulatan mereka, banyak negara bersedia untuk “mengembangkan” hak asasi manusia namun tidak bersedia “melindungi” hak itu. 3

Akhirnya diputuskan untuk memasukkan sedikit saja acuan tentang hak asasi
manusia di dalam Piagam PBB (UN Charter), di samping menugaskan Komisi Hak Asasi Manusia (Commission on Human Rights) — komisi yang dibentuk PBB berdasarkan sebuah ketetapan di dalam piagam tersebut — untuk menulis sebuah pernyataan internasional tentang hak asasi manusia. Piagam itu sendiri menegaskan kembali “keyakinan akan hak asasi manusia yang mendasar, akan martabat dan harkat manusia, akan persamaan hak antara laki-laki dan perempuan serta antara negara besar dan negara kecil.” Para penandatangannya mengikrarkan diri untuk “melakukan aksi bersama dan terpisah dalam kerja sama dengan Organisasi ini “untuk memperjuangkan” penghargaan universal bagi, dan kepatuhan terhadap, hak asasi manusia serta kebebasan-kebebasan mendasar untuk seluruh manusia, tanpa membedakan ras, jenis kelamin, bahasa atau agama.” 4


4 Ian Brownlie, ed., Basic Documents on Human Rights (Oxford: Clarendon Press, 1971), 93-105.

“Deklarasi Perserikatan Bangsa-Bangsa” (Declaration by United Nations) yang
terbit pada 1 Januari 1942, menyatakan bahwa kemenangan adalah “penting untuk
menjaga kehidupan, kebebasan, independensi dan kebebasan beragama, serta untuk
mempertahankan hak asasi manusia dan keadilan.” 1 dapat dilihat di sini, bahwa hak asasi manusia merupakan salah satu elemen dari tujuan deklarasi ini.

Dalam Universal Nations of Human Rights yang dideklarasikan pada 10 Desember 1948 memberikan pertimbangan bahwa pengakuan atas martabat alamiah dan
hak-hak yang sama dan mutlak dari semua anggota keluarga manusia adalah dasar
kemerdekaan, keadilan dan perdamaian di dunia. Mengabaikan dan memandang rendah hak-hak asasi manusia telah mengakibatkan perbuatan-perbuatan bengis yang menimbulkan rasa kemarahan hati nurani umat manusia, dan terbentuknya suatu dunia tempat manusia akan mengecap kenikmatan kebebasan berbicara dan beragama serta kebebasan dari ketakutan dan kekurangan telah dinyatakan sebagai cita-cita tertinggi dari rakyat biasa. Hak-hak asasi manusia perlu dilindungi oleh peraturan hukum supaya orang tidak akan terpaksa memilih pemberontakan sebagai usaha terakhir guna menentang kelaliman dan penindasan. Dalam Pasal 1 disebutkan bahwa “Semua orang dilahirkan merdeka dan mempunyai martabat dan hak-hak yang sama. Mereka dikaruniai akal dan hati nurani dan hendaknya bergaul satu sama lain dalam semangat persaudaraan”. Pasal 5 dinyatakan bahwa: “Tidak seorang pun boleh disiksa atau diperlakukan secara kejam, memperoleh perlakuan atau dihukum secara tidak manusiawi atau direndahkan martabatnya”.

Dua puluh satu pasal pertama Deklarasi tersebut menampilkan hak-hak yang sama
dengan yang terdapat di dalam Pernyataan Hak Asasi Manusia (Bill of Rights) yang
termaktub di dalam Konstitusi Amerika Serikat sebagaimana yang telah diperbarui saat ini. Hak-hak sipil dan politik ini meliputi hak atas perlindungan yang sama dan tidak pandang bulu, perlindungan hukum dalam proses peradilan, privasi dan integritas pribadi, serta partisipasi politik. Namun pasal 22 sampai 27 menciptakan kebiasaan baru. Pasal- pasal ini mengemukakan hak atas tunjangan ekonomi dan sosial seperti jaminan sosial — suatu standar bagi kehidupan yang layak — dan pendidikan. Hak-hak ini menegaskan bahwa, sesungguhnya, semua orang mempunyai hak atas pelayanan-pelayanan dari negara kesejahteraan.

Hak asasi manusia, sebagaimana yang dipahami di dalam dokumen-dokumen hak
asasi manusia yang muncul pada abad kedua puluh seperti Deklarasi Universal,
mempunyai sejumlah ciri menonjol. Pertama, supaya kita tidak kehilangan gagasan yang sudah tegas, hak asasi manusia adalah hak. Makna istilah ini tidak jelas — dan akan menjadi salah satu obyek penelitian saya — namun setidaknya kata tersebut menunjukkan bahwa itu adalah norma-norma yang pasti dan memiliki prioritas tinggi yang penegakannya bersifat wajib.5


5 Ian Brownlie, ed., Basic Documents on Human Rights (Oxford: Clarendon Press, 1971), 93-105.

Kedua, hak-hak ini dianggap bersifat universal, yang dimiliki oleh manusia
semata-mata karena ia adalah manusia. Pandangan ini menunjukkan secara tidak
langsung bahwa karakteristik seperti ras, jenis kelamin, agama, kedudukan sosial, dan kewarganegaraan tidak relevan untuk mempersoalkan apakah seseorang memiliki atau tidak memiliki hak asasi manusia. Ini juga menyiratkan bahwa hak-hak tersebut dapat diterapkan di seluruh dunia. Salah satu ciri khusus dari hak asasi manusia yang berlaku sekarang adalah bahwa itu merupakan hak internasional. Kepatuhan terhadap hak serupa itu telah dipandang sebagai obyek perhatian dan aksi internasional yang sah.

Ketiga, hak asasi manusia dianggap ada dengan sendirinya, dan tidak bergantung
pada pengakuan dan penerapannya didalam sistem adat atau sistem hukum di negara- negara tertentu. Hak ini boleh jadi memang belum merupakan hak yang efektif sampai ia dijalankan menurut hukum, namun hak itu eksis sebagai standar argumen dan kritik yang tidak bergantung pada penerapan hukumnya.

Keempat, hak asasi manusia dipandang sebagai norma-norma yang penting. Meski tidak seluruhnya bersifat mutlak dan tanpa perkecualian, hak asasi manusia cukup
kuat kedudukannya sebagai pertimbangan normatif untuk diberlakukan di dalam benturan dengan norma-norma nasional yang bertentangan, dan untuk membenarkan aksi internasional yang dilakukan demi hak asasi manusia. Hak-hak yang dijabarkan di dalam Deklarasi tersebut tidak disusun menurut prioritas; bobot relatifnya tidak disebut. Tidak dinyatakan bahwa beberapa di antaranya bersifat absolut. Dengan demikian hak asasi manusia yang dipaparkan oleh Deklarasi itu adalah sesuatu yang oleh para filsuf disebut sebagai prima facie rights.

Kelima, hak-hak ini mengimplikasikan kewajiban bagi individu maupun pemerintah. Adanya kewajiban ini, sebagaimana halnya hak-hak yang berkaitan dengannya, dianggap tidak bergantung pada penerimaan, pengakuan, atau penerapan terhadapnya. Pemerintah dan orang-orang yang berada di mana pun diwajibkan untuk tidak melanggar hak seseorang, kendati pemerintah dari orang tersebut mungkin sekaligus memiliki tanggung jawab utama untuk mengambil langkah-langkah positif guna melindungi dan menegakkan hak-hak orang itu.6

Akhirnya, hak-hak ini menetapkan standar minimal bagi praktek kemasyarakatan
dan kenegaraan yang layak. Tidak seluruh masalah yang lahir dari kekejaman atau
pementingan diri sendiri dan kebodohan merupakan problem hak asasi manusia. Sebagai misal, suatu pemerintah yang gagal untuk menyediakan taman-taman nasional bagi rakyatnya memang dapat dikecam sebagai tidak cakap atau tidak cukup memperhatikan kesempatan untuk rekreasi, namun hal tersebut tidak akan pernah menjadi persoalan hak asasi manusia.

Meski hak asasi manusia dianggap menetapkan standar minimal, deklarasi- deklarasi kontemporer tentang hak asasi manusia cenderung untuk mencantumkan hak
dalam jumlah yang banyak dan bersifat khusus, dan bukannya sedikit serta bersifat
umum. Deklarasi Universal menggantikan tiga hak umum yang diajukan oleh Locke — yakni hak atas kehidupan, kebebasan, dan kekayaan pribadi — dengan sekitar Hak Asasi Manusia dua lusin hak khusus. Di antara hak-hak sipil dan politik yang dicanangkan adalah hak untuk bebas dari diskriminasi; untuk memiliki kehidupan, kebebasan, dan keamanan; untuk bebas beragama; untuk bebas berpikir dan berekspresi; untuk bebas berkumpul dan berserikat; untuk bebas dari penganiayaan dan hukuman kejam; untuk menikmati kesamaan di hadapan hukum; untuk bebas dari penangkapan secara sewenang-wenang; untuk memperoleh peradilan yang adil; untuk mendapat perlindungan terhadap kehidupan pribadi (privasi); dan untuk bebas bergerak. Hak sosial dan ekonomi di dalam Deklarasi mencakup hak untuk menikah dan membentuk keluarga, untuk bebas dari perkawinan paksa, untuk memperoleh pendidikan, untuk mendapatkan pekerjaan, untuk menikmati standar kehidupan yang layak, untuk istirahat dan bersenang-senang, serta untuk memperoleh jaminan selama sakit, cacat, atau tua.

Deklarasi Universal menyatakan bahwa hak-hak ini berakar di dalam martabat
dan harkat manusia, serta di dalam syarat-syarat perdamaian dan keamanan domestik maupun internasional. Dalam penyebarluasan Deklarasi Universal sebagai sebuah. “standar pencapaian yang bersifat umum,” PBB tidak bermaksud untuk menjabarkan hak- hak yang telah diakui di mana-mana atau untuk mengundangkan hak-hak ini di dalam hukum intemasional. Justru Deklarasi tersebut mencoba untuk mengajukan norma-norma yang ada di dalam moralitas-moralitas yang sudah mengalami pencerahan. Meski tujuan sejumlah besar partisipan Deklarasi itu adalah untuk menampilkan hak-hak ini di dalam sistem hukum domestik maupun internasional, hak tersebut dipandang bukan sebagai hak-hak hukum (legal rights) melainkan sebagai hak-hak moral yang berlaku secara universal (universal moral rights).


6 Untuk bahasan tentang soal apakah pemerintah- pemerintah yang bukan merupakan pemerintah yang membawahi seseorang juga harus menjaga hak asasi orang tersebut, lihat James W. Nickel, “Human Rights and the Rights of Aliens”, di dalam Peter G. Brown dan Henry Shue, ed., The Border That Joins (Totowa, New York: Rowman & Littlefield, 1983), 31-45.

Turunan-turunan Deklarasi Universal tidak hanya meliputi pernyataan hak asasi
manusia di dalam banyak konstitusi nasional melainkan juga sejumlah perjanjian
internasional tentang hak asasi. Yang pertama dan barangkali yang paling berarti adalah Konvensi Eropa tentang Hak Asasi Manusia (European Convention on Human Rights). Konvensi yang dicetuskan di Dewan Eropa (European Council) pada 1950 ini menjadi sistem yang paling berhasil yang dibentuk demi penegakan hak asasi manusia. 7 Konvensi ini menyebutkan hak-hak yang kurang lebih serupa dengan yang terdapat di dalam dua puluh satu pasal pertama Deklarasi Universal. Konvensi tersebut tidak memuat hak ekonomi dan hak sosial; hak-hak ini dialihkan ke dalam Perjanjian Sosial Eropa (European Social Covenant), dokumen yang mengikat para penandatangannya untuk mengangkat soal penyediaan berbagai tunjangan ekonomi dan sosial sebagai tujuan penting pemerintah.

Sejumlah kalangan mengusulkan agar suatu pernyataan hak asasi internasional di
PBB hendaknya tidak berhenti menjadi sekadar suatu deklarasi melainkan juga tampil
sebagai norma-norma yang didukung oleh prosedur penegakan yang mampu
mengerahkan tekanan intemasional terhadap negara-negara yang melanggar hak asasi manusia secara besar-besaran. Rencana yang muncul di PBB adalah meneruskan Deklarasi Universal dengan perjanjian-perjanjian yang senada. Naskah Perjanjian Internasional (International Covenants) diajukan ke Majelis Umum guna mendapatkan persetujuan pada tahun 1953. Untuk menampung usulan mereka yang meyakini bahwa hak ekonomi dan hak sosial bukan merupakan hak asasi manusia yang sejati atau bahwa hak-hak tersebut tidak dapat diterapkan dalam cara yang sama dengan penerapan hak-hak sipil dan politik, dua perjanjian dirancang, yaitu Perjanjian Hak-hak Sipil dan Politik (Covenant on Civil and Political Rights) serta Perjanjian Hak-hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya (Covenant on Economic, Social, and Cultural Rights).

Lantaran permusuhan dalam era Perang Dingin saat itu, dan tamatnya dukungan
bagi perjanjian hak asasi manusia yang dibuat Amerika Serikat, gerakan yang didasarkan pada Perjanjian Internasional ditangguhkan dalam waktu yang lama. Perjanjian itu belum juga disetujui Majelis Umum sampai 1966. Selama tahun-tahun tersebut ketika Perjanjian itu tampaknya tak berpengharapan, PBB mengeluarkan sejumlah perjanjian hak asasi manusia yang lebih terbatas yang bersangkutan dengan topik-topik yang relatif tidak kontroversial seperti pemusnahan suku bangsa / genosid, perbudakan, pengungsi, orang- orang tanpa kewarganegaraan, serta diskirminasi. 8 Perjanjian-perjanjian ini umumnya ditandatangani oleh sejumlah besar negara — walau tidak ditandatangani oleh Amerika Serikat — dan lewat mereka PBB mulai memetik sejumlah pengalaman untuk menjalankan perjanjian-perjanjian hak asasi manusia.

Pada selang waktu antara Deklarasi Universal yang terbit pada tahun 1948 dan
persetujuan akhir Majelis Umum bagi Perjanjian Intemasional yang keluar pada tahun
1966, banyak negara Afrika dan Asia yang baru terbebas dari kekuasaan penjajah,
memasuki PBB. Negara-negara ini umumnya bersedia mengikuti upaya berani untuk
menegakkan hak asasi manusia, namun mereka memodifikasikannya guna mewakili
kepentingan dan kebutuhan mereka sendiri: mengakhiri kolonialisme, mengutuk
eksploitasi negara-negara Barat terhadap negara-negara sedang berkembang, serta
menghancurkan apartheid dan diskriminasi rasial di Afrika Selatan. Perjanjian yang lahir pada tahun 1966 itu menyatakan kebutuhan-kebutuhan tersebut: keduanya berisi paragraf-paragraf yang serupa yang menegaskan hak setiap bangsa untuk menentukan nasib sendiri dan untuk mengontrol sumber-sumber alam mereka sendiri. Hak atas kekayaan pribadi dan atas ganti rugi untuk kekayaan yang diambil oleh negara, yang tercantum dalam Deklarasi Universal, dihapuskan dari Perjanjian itu.

Setelah persetujuan dari Majelis Umum keluar pada tahun 1966, Perjanjian itu
memerlukan tanda tangan dari tiga puluh lima negara untuk diikat di dalam daftar para penandatangan. Negara ketiga puluh lima menerakan tandatangan pada tahun 1976, dan Perjanjian itu kini berlaku sebagai hukum internasional.

Laporan Tahunan Tentang Praktek Hak Asasi Manusia – 2004

Dikeluarkan oleh Biro Demokrasi, Hak Asasi Manusia, dan Buruh 28 Pebruari 2005.

Indonesia merupakan suatu negara republik dengan sistem presidential dan tiga
cabang pemerintahan. Presiden adalah kepala negara dan menjabat selama masa
jabatan lima-tahun untuk maksimum dua kali masa jabatan. Pada tanggal 20 Oktober, Susilo Bambang Yudhoyono, presiden pertama yang terpilih secara langsung di negara tersebut, dilantik setelah mengalahkan Presiden Megawati Soekarnoputri yang sedang memegang jabatan. Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), yang bersidang sekali dalam lima tahun, memiliki kekuasaan untuk merubah Undang-Undang Dasar. Urusan legislatif rutin, termasuk mengesahkan perundang-undangan, merupakan tanggung jawab dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Selama tahun ini Pemerintah membuat kemajuan lebih lanjut dalam transisinya dari 3 (tiga) dekade kekuasaan yang menindas dan otoriter ke suatu demokrasi yang lebih pluralistis dan representatif. Negara ini menyelenggarakan pemilihan legislatif yang berhasil dan pemilihan presiden langsung yang bebas, adil, dan aman. Sebelumnya, badan legislatif yang memilih presiden. Pemerintah selanjutnya mengurangi peranan politik formal dari polisi dan militer, yang dalam bulan Oktober melepaskan kursi mereka yang ditetapkan di DPR, pada saat badan legislatif yang baru diambil sumpahnya. Undang-Undang Dasar menetapkan suatu badan peradilan yang independen, namun, di dalam praktek pengadilan tetap terkena pengaruh luar, termasuk dari badan eksekutif.

Tentara Nasional Indonesia (TNI) secara resmi mempunyai tanggung jawab
terhadap pertahanan eksternal, dan Polisi Republik Indonesia untuk keamanan internal; namun di dalam praktek, pembagian tanggung jawab tetap tidak jelas. Bersama-sama keduanya dikenal sebagai satuan keamanan. Militer memainkan suatu peranan dalam masalah keamanan internal, khususnya di daerah-daerah konflik seperti Aceh, Maluku, Sulawesi Tengah, dan Papua (sebelumnya dikenal sebagai Irian Jaya). Terdapat friksi yang besar antara polisi dan TNI, tetapi operasi bersama adalah umum di daerah-daerah konflik. Seorang menteri pertahanan sipil mengontrol militer tetapi di dalam praktek hanya melakukan pengawasan yang terbatas terhadap kebijakan dan operasi TNI. Militer dan polisi terus menggunakan pengaruh politik yang signifikan maupun kekuasaan ekonomi melalui bisnis yang dioperasikan oleh anggota satuan keamanan, wakil dan yayasan mereka. Satuan keamanan memperlihatkan kemauan yang lebih besar untuk meminta pertanggungjawaban terhadap pelanggaran hak asasi manusia di kalangan mereka; selama tahun ini, ratusan prajurit dihadapkan ke depan pengadilan militer, dan lusinan petugas polisi dipecat atau didisiplinkan. Namun, sebagian besar tindakan disipliner tersebut melibatkan petugas berpangkat-rendah dan kadang-kadang petugas berpangkat -menengah yang melakukan kejahatan ringan, seperti pemukulan, dan dalam
beberapa kasus tidak sesuai dengan tindak kejahatannya. Para anggota satuan keamanan terus melakukan banyak pelanggaran hak asasi manusia yang berat, khususnya di daerah- daerah konflik separatis.

Selama tahun ini, ekonomi, yang semakin dikendalikan pasar, diprekirakan
tumbuh sekitar 4,8 persen; namun, hal ini tidak berhasil mengurangi pengangguran atau menyerap sekitar 2,5 juta pencari kerja baru yang memasuki pasar setiap tahun. Jumlah penduduk kira-kira 238 juta. Angka kemiskinan turun dari 27 persen dalam tahun 1999 menjadi 16 persen dalam tahun 2002; namun, meningkat sedikit menjadi kira-kira 17,5 persen selama tahun ini. Perkiraan penghasilan per kapita adalah US$ 867. Permintaan konsumen merupakan kekuatan utama dalam mengendalikan pertumbuhan ekonomi. Pada akhir tahun wilayah Sumatera Utara dilanda gempa bumi dan tsunami, keduanya mengakibatkan sekitar 240.000 orang meninggal dan hilang di Propinsi Aceh dan Sumatera Utara dan menyebabkan kerusakan infrastruktur yang luas di Propinsi Aceh.

Catatan hak asasi manusia Pemerintah tetap buruk; walaupun ada perbaikan
dalam beberapa bidang, masalah-masalah serius tetap ada. Petugas Pemerintah terus
melakukan kekejaman, dan yang paling berat di antaranya terjadi di daerah-daerah
konflik separatis. Anggota satuan keamanan membunuh, menganiaya, memperkosa,
memukul, dan secara sewenang-wenang menahan warga sipil serta para anggota gerakan separatis, khususnya di Aceh dan pada tingkat yang lebih kecil di Papua. Beberapa petugas polisi kadang-kadang menggunakan kekuatan yang berlebihan dan kadangkala mematikan dalam menahan tersangka dan dalam usaha untuk memperoleh informasi atau pengakuan. Para perwira militer purnawirawan dan yang masih bertugas aktif, yang diketahui telah melakukan pelanggaran hak asasi manusia berat, menduduki atau dipromosikan ke jabatan-jabatan senior di lembaga pemerintahan dan TNI. Kondisi penjara tetap kejam. Sistem peradilannya korup, yang menambah kegagalan untuk memberikan ganti rugi kepada para korban pelanggaran hak asasi manusia atau meminta pertanggung jawaban para pelaku. Para pelanggar dari satuan keamanan kadang-kadang menggunakan intimidasi dan penyuapan untuk menghindari keadilan. Perselisihan tanah menimbulkan banyak pelanggaran hak asasi manusia. Hal tersebut seringkali melibatkan pengusiran paksa, beberapa diselesaikan dengan kekuatan yang mematikan. Sebagaimana dalam tahun-tahun sebelumnya, Pemerintah memenjarakan beberapa pemrotes damai anti-pemerintah karena “menghina Presiden” atau “menyebarkan kebencian terhadap pemerintah”

Para politikus dan pembesar memperlihatkan keinginan yang lebih besar untuk
mengambil tindakan hukum terhadap organisasi-organisasi berita yang menurut mereka pemberitaannya menghina atau menyerang, dan kecenderungan ini mempunyai suatu akibat yang menakutkan bagi beberapa pemberitaan investigatif. Para anggota satuan keamanan dan kelompok-kelompok lain kadang-kadang membatasi kebebasan berekspresi dengan mengintimidasi atau menyerang wartawan yang tulisannya menurut mereka tidak dapat diterima. Pemerintah membatasi pers asing untuk melakukan perjalanan ke daerah-daerah konflik di Aceh, Papua, Sulawesi dan Maluku. Pihak yang berwenang kadang-kadang mentolerir diskriminasi dan perlakuan kejam terhadap kelompok agama oleh para pelaku-pelaku individual. Pemerintah seringkali membatasi kegiatan organisasi non-pemerintah (LSM), khususnya di Aceh dan Papua. Perempuan menjadi korban kekerasan dan diskriminasi. Mutilasi alat kelamin perempuan (FGM) terjadi di beberapa daerah, walaupun jenis yang dipraktekkan sebagian besar bersifat simbolis.

Pelanggaran seks dan kekerasan terhadap anak tetap merupakan masalah serius.
Perdagangan orang merupakan suatu masalah yang serius. Diskriminasi terhadap orang cacat dan penganiayaan terhadap penduduk asli merupakan masalah. Pemerintah mengizinkan pembentukan dan pengoperasian serikat-serikat pekerja baru, tetapi seringkali gagal untuk menegakkan standar-standar tenaga kerja atau menangani pelanggaran terhadap hak pekerja. Pekerja anak yang dipaksa tetap merupakan masalah yang serius.

Para teroris, orang-orang sipil dan kelompok-kelompok separatis bersenjata juga
melakukan pelanggaran hak asasi manusia yang berat.

Negara ini juga membuat kemajuan yang besar dalam memperkuat demokrasinya. Ada serangkaian tiga pemilihan umum nasional, di mana secara khusus partisipasi pemilih adalah tinggi dan peralihan dari Presiden yang kalah ke Presiden terpilih yang baru berlangsung aman. Militer dan polisi kehilangan kursi mereka yang tidak dipilih di DPR. Pemerintah mengesahkan Undang-Undang Kekerasan Dalam Rumah Tangga, yang menetapkan kekerasan dalam rumah tangga sebagai tindakan kriminal, dan mengambil langkah-langkah untuk menangani perdagangan orang, termasuk menuntut para pelaku dan memperkuat undang-undang anti-perdagangan orang. Pemerintah mengeluarkan suatu keputusan yang mengizinkan pembentukan suatu Dewan Rakyat Papua dengan 40 anggota. Pemerintahan juga mengambil langkahlangkah hukum yang serius untuk mengadili para teroris.

Artikel ditulis oleh Ari Wahyudi Hertanto, S.H., M.H.

Scroll to Top
Open chat
1
Selamat datang di D-LEAD ada yang bisa kami bantu ?