Kedudukan KUHPerdata terhadap Undang-undang

Share :

Bagaimana cara seorang yuris menyikapi kedudukan KUHPerdata terhadap Undang-Undang?

 

Merujuk kepada pendapat Subekti, ia menyatakan bahwa Pembentuk Undang-undang Nasional telah secara implisit mengakui Kitab Undang-undang Hukum Perdata sebagai Undang-undang. Hal ini atas dasar pemikiran karena Kitab Undang-undang Hukum Perdata telah dicabut dengan Undang-undang.

Sebagai contoh adalah Undang-undang Nomor 5 tahun 1960 tentang Pokok Agraria (“UUPA”) yang secara tegas telah mencabut ketentuan Buku II KUHPerdata, yang mengatur mengenai tanah. Hal yang sama juga berlaku pada ketentuan Buku I tentang Perkawinan yang diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata sepanjang telah diatur secara tegas dalam Undang-undang No. 1 tahun 1974, maka dinyatakan tidak berlaku. Selain itu, ketentuan mengenai hipotik dalam KUHPerdata telah dinyatakan tidak berlaku oleh Undang-undang No. 4 tahun 1996 tentang Hak Tanggungan.

Namun, terdapat pendapat yang berbeda dengan pendapat Subekti, yaitu pendapat Sahardjo. Ia menyatakan bahwa Kitab Undang-undang Hukum Perdata dianggap tidak layak disetarakan dengan Undang-undang. Dengan alasan, KUHPerdata disusun pada masa kemerdekaan dimana nilai-nilai diskriminatif masih melekat dan dibuat berdasarkan landasan pengaturan yang tertuang di dalam pasal 131 jo. 163 Indische Staatsregeling (“IS”).

Sehubungan dengan hal tersebut, Sahardjo berpendapat bahwa Kitab Undang-undang Hukum Perdata adalah bukan Kitab Undang-undang (wetboek), melainkan merupakan buku hukum (rechtsboek) yang isinya kumpulan hukum kebiasaan. Berdasarkan pendapat Sahardjo tersebut, Mahkamah Agung mengeluarkan Surat Edaran No. 3 tahun 1963, yang ditujukan kepada para hakim, yang isinya menyatakan tidak berlaku beberapa ketentuan dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata, antara lain pasal 108,110, 1460, dan sebagainya dari KUHPerdata.

 Namun, hal ini menimbulkan pertanyaan kembali mengenai kedudukan SEMA terhadap KUHPerdata. Mengenai persoalan tersebut, Subekti mengemukakan bahwa Surat Edaran Mahkamah Agung pada prinsipnya tidak dapat mencabut atau menyatakan tidak belaku ketentuan-ketentuan di dalam B.W., karena B.W. oleh Pembentuk Undang-undang telah diakui sebagai undang-undang, sebagaimana telah diuraikan tersebut di atas.

Selanjutnya, Sahardjo menyatakan bahwa Yurisprudensi atau keputusan hakimlah yang nantinya mencabut ketentuan undang-undang, bukan Surat Edaran Mahkamah Agung tersebut. Surat Edaran Mahkamah Agung, hanyalah merupakan pedoman bagi para hakim di dalam memutuskan perkara, untuk dapat menyesuaikannya dengan alam kemerdekaan.

Scroll to Top
Open chat
1
Selamat datang di D-LEAD ada yang bisa kami bantu ?