Kedudukan Yuridis MOU dan LOI

Share :

Pertanyaan:

D-Lead yth.,

Bagaimanakah kekuatan mengikat dari Memorandum of Understanding (MoU) dan Letter of Intent (LoI)?

(Pertanyaan dari Vanya)

Jawaban:

Memorandum of Understanding (MoU) dan Letter of Intent (LoI) merupakan produk hukum pada negara-negara yang menganut sistem common law. Konsep tersebut kemudian berkembang dalam praktek di Indonesia dalam hampir setiap bentuk kerjasama, baik yang dilakukan oleh pemerintah maupun pihak swasta. Dapat dipastikan bahwa produk hukum tersebut tidak lagi asing maupun baru. Namun, beberapa kalangan masih meragukan tentang kekuatan mengikat dari MoU maupun LoI itu sendiri dalam implementasinya. Kesan ambigu dan ketidakpastian tersebut menimbulkan suatu polemik, tetapi ada juga beberapa kalangan yang justru sama sekali tidak menganggap hal tersebut sebagai suatu permasalahan.

Selayaknya proses asimilasi, MoU dan LoI juga mengalami proses yang sama. Proses tersebut mungkin tepat bila disebut dengan istilah Indonesiasi sebuah produk hukum. Contoh konkrit dari bentuk asimilasi tersebut utamanya dalam pemberian istilah dari konsep ataupun produk hukum dimaksud. Oleh karenanya tidak jarang dijumpai antara lain istilah-istilah, nota kesepahaman, nota kesepakatan, memorandum kesepahaman, kesepakatan bersama dan lain sebagainya. Seperti halnya Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) juga menerapkan pola yang sama terhadap para obligornya dalam rangka penyelesaian upaya penyelesaian hutang-hutangnya atau bahkan pemerintah yang juga telah menandatangani MoU ataupun LoI dengan negara-negara lain di berbagai bidang.

Polemik timbul seputar kekuatan mengikat dari MoU dan LoI tersebut, sehingga pertanyaan tersebut merupakan pemicu dari berbagai macam pertanyaan lainnya. Seperti jikalau tidak terdapat kekuatan mengikat mengapa perlu dibuat MoU ataupun LoI tersebut. Mengingat bahwa Indonesia menganut sistem hukum Eropa Kontinental, yaitu dengan menggunakan pola-pola dogmatis, dimana dalam sebuah transaksi dapat segera dibuat perumusan kehendak para pihak dalam sebuah perjanjian. Dengan kata lain tidak diperlukan adanya suatu kendaraan perantara sebelum dirumuskannya kehendak para pihak sebelum dibuatnya perjanjian. Hal mana tidak lain dikarenakan segala sesuatu hal yang belum atau tidak diatur dalam perjanjian akan dikembalikan pada bagaimana ketentuan perundang-undangan yang lebih tinggi, khususnya terhadap peristiwa(-peristiwa) yang terjadi dalam secara formal belum diatur dalam perjanjian yang dibuat oleh para pihak yang bersangkutan.

Berbeda halnya dengan sistem common law, dimana dalam sebuah perjanjian harus telah mengatur secara terinci segala sesuatu hal yang akan diatur termasuk segala kemungkinan yang akan terjadi akibat dari ditandatanganinya sebuah perjanjian. Atas dasar pemikiran yang demikian, maka diperlukan adanya suatu kendaraan sebagai perantara yang secara umum mengatur tentang komitmen bersama dari para pihak untuk mengatur kehendak maupun pertemuan pemikiran antara para pihak didalamnya (meeting of the minds among the parties thereto). MoU maupun LoI memfasilitasi para pihak dalam merumuskan butir-butir pokok tentang kerangka kerjasama yang akan dibangun untuk kemudian akan dirumuskan secara lebih komprehensif dalam sebuah perjanjian.

MoU dan LoI sangat diperlukan dalam sistem common law, dikarenakan perjanjian yang dibuat oleh para pihak tersebut harus memuat segala sesuatunya secara terinci, bahkan tidak tertutup kemungkinan terhadap aspek-aspek yang termasuk dalam kategori potensial untuk terjadi. Salah satunya adalah hal-hal yang memiliki potensi sebagai pencetus konflik ataupun perselisihan. 

Saat ini MoU dan LoI nampaknya sudah menjadi tren yang umum berlaku di Indonesia. Namun demikian berbagai penafsiran yang mengemuka menurut hemat penulis juga penting untuk senantiasa diperhatikan. Terutama berkaitan dengan pemahaman seseorang atau siapapun juga terhadap MoU dan LoI itu sendiri. Apakah kedudukannya hanya sekedar komitmen awal (preliminary engagement) atau sudah dianggap sebagai bentuk alternatif dari perikatan atau bahkan sudah dianggap sebagai suatu bentuk perikatan. 

Mengenai kedudukan Yuridis MoU dan LoI, ada dua pendapat, yaitu:

  1. MoU/LoI merupakan Gentlement Agreement, pendapat ini mengajarkan bahwa MoU/LoI hanya merupakan salah satu bentuk dari Gentlement Agreement saja, sehingga dianggap kekuatan hukum yang tidak sama dengan perjanjian biasa walaupun MoU/LoI tersebut dibuat secara notariil. Dalam hal ini kekuatan hukum MoU/LoI hanya dianggap berkekuatan moral, (moral obligation) saja sehingga tidak mempunyai enforcement secara hukum dan pihak yang wanprestasi tidak dapat digugat di pengadilan hanya dianggap tidak bermoral. 
  2. MoU/LoI merupakan Agreement, terdapat suatu anggapan bahwa sekali suatu perjanjian dibuat dan ditandatangani, apapun bentuknya, baik secara lisan maupun tertulis, pendek atau panjang, lengkap atau detail, di bawah tangan atau notariil tetap dianggap suatu perjanjian dan karenanya mempunyai kekuatan hukum yang mengikat para pihak yang menandatanganinya seperti layaknya suatu bentuk perjanjian sehingga seluruh pasal-pasal tentang hukum perjanjian dapat diberlakukan kepadanya.

Dalam hal ini berarti jika terdapat pihak yang wanprestasi maka pihak lainnya dapat menggugatnya di pengadilan menggunakan hukum yang berlaku.

Pendapat lainnya juga mengatakan lazimnya MoU/LoI hanya mengatur mengenai hal-hal yang bersifat umum, yang kemudian diikuti dengan perjanjian yang mengatur secara rinci, dimana di dalam perjanjian dimaksud akan dirumuskan dan dimuat seluruh hak dan kewajiban para pihak. Dalam hal ini terdapat beberapa pendapat yang antara lain menyatakan sebagai berikut:

  1. Kesepakatan bersama bukan merupakan suatu perjanjian, karena kesepakatan bersama adalah suatu wacana yang dituangkan dalam suatu rencana. Sehingga dalam hal ini kesepakatan bersama belum merupakan suatu kondisi yang dapat dilaksanakan sepenuhnya, melainkan masih memerlukan tindakan pelaksanaan yang tertuang dalam suatu perjanjian, dan belum dapat menimbulkan konsekuensi hukum bagi para pihak yang mengingkarinya.
  2. Kesepakatan bersama merupakan suatu perjanjian (agreement is agreement), apabila implikasi kesepakatan bersama ini telah diwujudkan dalam tindakan hukum yang menimbulkan hak dan kewajiban bagi pihak-pihak yang menandatanganinya. Sehingga segala bentuk pengingkaran terhadap kesepakatan bersama dapat dituntut ganti rugi berdasarkan pengingkaran dari kewajiban yang seharusnya dilaksanakan dan/atau yang tidak sesuai dengan kesepakatan bersama yang telah ditandatangani.

Demikian jawaban dari kami, semoga dapat membantu.

Sumber: Hertanto, Ari Wahyudi, Aspek-Aspek Hukum Dalam Praktek Bisnis, Cetakan Pertama, 2010, Penerbit Rizkita.

 

Scroll to Top
Open chat
1
Selamat datang di D-LEAD ada yang bisa kami bantu ?