Komentar atas Hak Penguasaan atas Tanah Dalam Sistem Undang-Undang Pokok Agraria di Indonesia

Share :

Oleh: Arief Susijamto Wirjohoetomo, S.H., M.H.[1]

 PENDAHULUAN

Tanah merupakan suatu faktor sangat penting dalam kehidupan suatu masyarakat, terlebih-lebih di lingkungan masyarakat Indonesia yang sebagian besar penduduknya menggantungkan kehidupan dari tanah. Dalam rangka pembangunan nasional untuk mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 (“UUD 1945”) tanah juga merupakan salah satu modal utama, baik sebagai wadah pelaksanaan pembangunan maupun sebagai faktor produksi untuk menghasilkan komoditas-komoditas perdagangan yang sangat diperlukan guna meningkatkan pendapatan nasional. Kedudukan tanah dalam pembangunan nasional itu juga merupakan amanat dari Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat No. III/MPR/1999 tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara yang antara lain memberi amanat bahwa “Penataan penguasaan tanah oleh negara diarahkan agar pemanfaatanya dapat mewujudkan kemakmuran keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, sedangkan penataan penggunaan tanah perlu memperhatikan hak-hak rakyat atas tanah, fungsi sosial hak atas tanah, batas maksimum pemilikan tanah, termasuk berbagai upaya untuk mencegah pemusatan penguasaan tanah agar makin terwujud sistem pengelolaan pertanahan yang terpadu, serasi, efektif dan efisien”.

Di dalam sistem hukum nasional kita sebagaimana halnya dengan hukum tanah, maka harus sejalan dengan konstitusi yang berlaku di negara kita, yakitu berdasarkan UUD 1945. Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 adalah sebagai dasar hukum politik pertanahan nasional dengan satu tujuan yaitu untuk sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat dengan mekanisme penguasaan oleh negara yang kemudian dijabarkan lebih lanjut antara lain dalam Pasal 1, 2 dan 3 Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria (“UUPA”). Jadi penguasaan, pengaturan dalam penggunaan dan penguasaan tanah seyogyanya tidak boleh lari jauh dari tujuan yang diamanahkan konstitusi negara kita.

UUPA berpedoman pada suatu prinsip bahwa untuk menuju cita-cita yang diamanahkan oleh Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 itu tidak perlu dan tidak pada tempatnya apabila negara (sebagai organisasi kekuasaan dari seluruh bangsa Indonesia) menjadi pemilik dalam arti keperdataan atas bumi, air dan kekayaan alam lainnya, tetapi yang tepat adalah negara sebagai Badan Penguasa demikian pengertian yang harus dipahami oleh pelaksana kekuasaan negara dan aparat-aparatnya serta seluruh masyarakat mengenai arti kata Negara dalam ketentuan Pasal 2 ayat 1 UUPA, yang pada pokoknya menyatakan “Bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya pada tingkatan yang tertinggi dikuasai oleh Negara. Sehingga dengan demikian pengertian dikuasai dalam pasal tersebut tidak boleh diartikan dimiliki, tetapi harus diartikan sebagai kewenangan yang diberikan kepada negara sebagai organisasi kekuasaan tertinggi dari bangsa Indonesia yang berupa (i) mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaannya, (ii) menentukan dan mengatur hak-hak yang dapat dipunyai/dimiliki atas (bagian atas) bumi, air dan ruang angkasa, (iii) menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum mengenai bumi, air dan ruang angkasa.

UUPA juga bertujuan untuk (i) meletakkan dasar-dasar bagi penyusunan hukum agraria nasional, yang akan merupakan alat untuk membawakan kemakmuran, kebahagiaan dan keadilan bagi negara dan rakyat, terutama rakyat tani, dalam rangka menuju masyarakat yang adil dan makmur, (ii) meletakkan dasar-dasar untuk mengadakan kesatuan dan kesederhanaan dalam hukum pertanahan, dan (iii) meletakkan dasar-dasar untuk memberikan kepastian hukum mengenai hak-hak atas tanah bagi rakyat seluruhnya.

UUPA berpangkal pada pendirian, bahwa untuk mencapai apa yang ditentukan dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945, tidak perlu dan tidaklah pula pada tempatnya, bahwa bangsa Indonesia ataupun negara bertindak sebagai pemilik tanah. Adalah lebih tepat jika negara, sebagai organisasi kekuasaan dari seluruh rakyat (bangsa) bertindak selaku badan penguasa. Dari sudut inilah harus dilihat arti ketentuan Pasal 2 ayat (1) UUPA yang menyatakan bahwa “bumi, air dan ruang angkasa, temasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, pada tingkatan yang tertinggi dikuasai oleh negara”. Sesuai dengan pangkal pendirian tersebut di atas perkataan “dikuasai” dalam pasal ini bukanlah berarti dimiliki.

Prinsip “Hak Menguasai Negara” yang ditetapkan oleh Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 dan Pasal 2 ayat (1) UUPA di atas, kewenangan yang tersimpul di dalamnya dijelaskan oleh Pasal 2 ayat (2) UUPA. Pasal 2 ayat (2) UUPA dimaksud, menyatakan bahwa hak menguasai dari negara tersebut memberi wewenang untuk (i) mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa tersebut, (ii) menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi, air dan ruang angkasa, dan (iii) menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa.

HAK PENGUASAAN ATAS TANAH DALAM SISTEM UUPA

Dasar hak menguasai dari negara adalah tujuan yang hendak dicapai oleh bangsa dan negara  sebagaimana ketentuan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945, yaitu untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Hal ini diperjelas kembali di dalam Pasal 2 ayat (3) dan (4) UUPA yang pada pokoknya adalah (i) wewenang yang bersumber pada hak menguasai dari negara digunakan untuk mencapai sebesar-besar kemakmuran rakyat dalam arti kebahagian, kesejahteraan dan kemerdekaan dalam masyarakat dan negara hukum Indonesia yang merdeka, berdaulat, adil dan makmur, dan (ii) hak menguasai dari negara tersebut di atas pelaksanaannya dapat dikuasakan kepada daerah-daerah swatantra dan masyarakat-masyarakat hukum adat, sekedar diperlukan dan tidak tidak bertentangan dengan kepentingan nasional, menurut ketentuan-ketentuan peraturan pemerintah.

Berdasarkan kepada hak menguasai dari negara, ditentukan bermacam-macam hak atas tanah, hak atas air dan hak atas ruang yang dapat diberikan kepada orang atau badan hukum.

Pasal 4 UUPA dalam hal ini menyatakan bahwa (i) atas dasar hak menguasai dari negara ditentukan adanya bermacam-macam hak atas permukaan bumi, yang disebut tanah yang dapat diberikan kepada dan dipunyai oleh orang-orang baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama dengan orang-orang lain serta badan-badan hukum, (ii) hak-hak atas tanah memberi wewenang untuk mempergunakan tanah yang bersangkutan, demikian pula tubuh bumi dan air serta ruang yang ada di atasnya sekedar diperlukan untuk kepentingan yang langsung berhubungan dengan penggunaan tanah itu dalam batas-batas menurut undang-undang ini dan peraturan-peraturan hukum lain yang lebih tinggi, dan (iii) selain hak-hak atas tanah ditentukan pula hak-hak atas air dan ruang angkasa.

Dengan berpedoman kepada tujuan tersebut di atas, negara dapat memberikan tanah yang demikian itu keapda seseoarang atau badan hukum dengan sesuatu hak menurut peruntukan, dan keperluannya, misalnya hak milik, hak guna usaha hak guna bangunan atau hak pakai atau memberikannya dalam pengelolaan kepada suatu badan penguasa (departemen, jawatan atau daerah swantantra untuk dipergunakan bagi pelaksanaan tugasnya masing-masing.

Hak pengelolaan sebagai bagian dari hak-hak penguasaan atas tanah yang kini berlaku di Indonesia, tidak dapat dipisahkan begitu saja dari hak-hak penguasaan atas tanah pada umumnya. Hak-hak penguasaan atas tanah pada umumnya.

Prinsip hak menguasai negara di dalam peraturan perundang-undangan untuk pertama kali ditetapkan dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 dan Pasal 2 ayat (1)  UUPA yang pada pokoknya  (i) mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa tersebut, (ii) menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi, air dan ruang angkasa, dan (iii) menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum anatara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa.

Berdasarkan kepada prinsip negara kesatuan yang ditetapkan oleh UUD 1945, maka hak menguasai negara itu berada pada pemerintah pusat. Hal ini berarti bahwa pemerintah daerah tidak berwenang melakukan tindakan dalam bidang keagrariaan jika tidak ditunjuk atau mendapat delegasi wewenang dari pemerintah pusat.

Pasal 2 ayat (4) UUPA telah memberikan kemungkinan untuk memberikan suatu hak baru yang namanya ketika itu belum ada. Hak itu merupakan suatu delegasi wewenang pelaksanaan hak menguasai negara kepada negara-negara otonom dan masyarakat hukum adat. Penjelasan Umum II angka (2) UUPA yang juga menyebut Pasal 2 ayat (4) UUPA, juga menyatakan bahwa ada kemungkinan bagi negara untuk  memberikan tanah yang dikuasai negara dalam pengelolaan suatu badan penguasa untuk dipergunakan bagi pelaksanaan tugas masing-masing. Sedangkan landasan hukum hak pengelolaan telah ditetapkan pada Pasal 2 ayat (4) UUPA yang menyatakan bahwa hak menguasai dari negara tersebut di atas pelaksanaannya dapat dikuasakan kepada daerah-daerah swatantra dan masyarakat-masyarakat hukum adat, sekedar diperlukan dan tidak bertentangan dengan kepentingan nasional. Hal ini dipertegas lagi di dalam penjelasan Umum II angka (2) UUPA yang menyatakan bahwa dengan berpedoman pada tujuan yang disebutkan di atas, negara dapat memberikan tanah yang demikian itu kepada seseorang atau badan hukum dengans sesuatu hak menurut peruntukan dan keperluannya, dan pengelolaan kepada suatu badan penguasa untuk dipergukan bagi pelaksanaan tugas masing-masing.

Bertitik tolak dari ketentuan di atas, dapat dirumuskan pengertian hak pengelolaan ini sebagai suatu hak atas permukaan bumi yang disebut dengan tanah yang merupakan pelimpahan wewenang dari pemerintah pusat kepada suatu lembaga pemerintah, atau pemerintah daerah, badan hukum pemerintah atau pemerintah daerah untuk (i) merencanakan peruntukan dan penggunaan tanah yang bersangkutan, (ii) menggunakan tanah tersebut untuk keperluaan pelaksanaan usahanya, dan (iii) menyerahkan bagian-bagian dari tanah itu kepada pihak ketiga menurut persyaratan yang ditentukan oleh pemegang hak pengelolaan tersebut, yang meliputi segi peruntukan, penggunaan, jangka waktu dan keuangannya, dengan ketentuan bahwa pemberian hak atas tanah kepada pihak ketiga yang bersangkutan dilakukan oleh pejabat-pejabat yang berwenang sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku.

Adapun subyek hak pengelolaan itu adalah daerah-daerah swatantra dan masyarakat-masyarakat hukum adat sebagaimana ditentukan di dalam Pasal 2 ayat (4) UUPA. Kemudian di dalam Penjelasan Umum II angka (2) UUPA dijelaskan subyek hak pengelolaan adalah Badan Penguasa yang berupa departemen, jawatan atau daerah swatantra.

Sedangkan hal yang menjadi obyek hak pengelolaan menurut Penjelasan Umum II angka (2) UUPA adalah tanah yang dikuasai langsung oleh negara, yaitu tanah yang dikuasai penuh oleh negara.

Selain daripada itu, berdasarkan ketentuan Pasal 5 ayat (7) huruf (a) Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 5 Tahun 1974, dinyatakan bahwa  bagian-bagian tanah hak pengelolaan itu dapat diserahkan kepada pihak ketiga dengan hak milik, hak guna bangunan atau hak pakai. Kesemua hak-hak ini, baik pengertian, persyaratan maupun jangka waktu dan berakhirnya tunduk kepada sistem UUPA.

III.      KESIMPULAN

Bahwa berdasarkan hal-hal tentang hak pengelolaan atas tanah, dapat disimpulkan sebagai berikut:

  1. Bahwa Prinsip hak menguasai negara di dalam peraturan perundang-undangan untuk pertama kali ditetapkan dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 dan Pasal 2 ayat (1) UUPA yang pada pokoknya  (i) mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa tersebut, (ii) menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi, air dan ruang angkasa, dan (iii) menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum anatara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa.
  2. Bahwa pengertian hak pengelolaan ini sebagai suatu hak atas permukaan bumi yang disebut dengan tanah yang merupakan pelimpahan wewenang dari pemerintah pusat kepada suatu lembaga pemerintah, atau pemerintah daerah, badan hukum pemerintah atau pemerintah daerah untuk (i) merencanakan peruntukan dan penggunaan tanah yang bersangkutan, (ii) menggunakan tanah tersebut untuk keperluaan pelaksanaan usahanya, dan (iii) menyerahkan bagian-bagian dari tanah itu kepada pihak ketiga menurut persyaratan yang ditentukan oleh pemegang hak pengelolaan tersebut, yang meliputi segi peruntukan, penggunaan, jangka waktu dan keuangannya, dengan ketentuan bahwa pemberian hak atas tanah kepada pihak ketiga yang bersangkutan dilakukan oleh pejabat-pejabat yang berwenang sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku.
Scroll to Top
Open chat
1
Selamat datang di D-LEAD ada yang bisa kami bantu ?