Konsep Pencatatan Sipil

Share :

Pencatatan sipil merupakan hak setiap warganegara dalam arti hak memperoleh akta otentik sebagai alat bukti yang sah dari pejabat negara bahkan sebagai hak atas asas-usul seseorang. Masih jarang warga yang menyadari betapa pentingnya sebuah akta bagi dirinya dalam menopang perjalanannya dalam “mencari kehidupan”.

Pencatatan sipil merupakan proses pencatatan peristiwa penting dalam kehidupan manusia. Proses tersebut dimulai dari:

  1. Terjadinya peristiwa penting;
  2. Pencatatan peristiwa penting dengan menggunakan metode verifikasi dan validasi;
  3. Penerbitan akta dan penjagaan data atas arsipnya.

Munculnya UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, walaupun tujuan undang-undang ini baik bagi semua warganegara mengenai sahnya suatu perkawinan menurut hukum Negara, memberikan perlindungan bagi semua WNI memperoleh perlindungan melalui pencatatan perkawinan-nya sesuai dengan agama yang dipeluk masing-masing warganegara.

Pasal 1 UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan menyebutkan bahwa perkawinan ialah ikatan lahir dan batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

Kemudian Pasal 11 tersebut dipertegas kembali yang  justru membuktikan sebagai adanya perlindungan terhadap hak asasi melalui pencatatan perkawinan tersebut yang dibuktikan dalam bentuk akta/buku nikah dari instansi negara/pemerintah yang berwenang.

Secara lengkap, Pasal 2 ayat (1) dan (2) UU No. 1 Tahun 1974 sebagai berikut:

Ayat (1): Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.

Ayat (2): Tiap-tiap perkawinan di catat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Seyogyanya membaca suatu pasal undang-undang haruslah secara utuh. Artinya, pasal 2 tersebut  harus dibaca secara menyeluruh mencakup ayat (1) dan ayat (2) sekaligus. Sebab apabila yang dilaksanakan hanya menyangkut ayat (a) saja, walaupun menurut hukum agama memang sudah sah (Pasal 4 Kompilasi Hukum Islam), tetapi masih menyisakan persoalan hukum seperti:

  • Belum dianggap sah menurut UU No. 1 Tahun 1974 sebagai hukum Negara;
  • Anak-anak yang dilahirkan dalam perkawinan semacam itu tidak memiliki hubungan hukum (keperdataan) dengan si ayah. Anak-anak hanya memiliki hubungan hukum dengan si ibu (Pasal 43 UU No 1/1974);
  • Akibatnya, anak-anak tidak berhak mewarisi harta ayah biologisnya sendiri. Sebagaimana dimaksud dalam Pasal 186 Kompilasi Hukum Islam yang berbunyi “anak yang lahir di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan saling mewaris dengan ibunya dan keluarga pihak ibunya.”
  • Perkawinan semacam itu tidak dilindungi oleh Negara/pemerintah dalam bentuk pemberian akta kawin/buku nikah oleh pejabat yang berwenang (KUA).
  • Bagi anak-anak yang dilahirkan di dalam perkawinan tersebutakta lahirnya akan menyebutkan bahwa status anak sebagai “anak luar nikah”. Status anak yang demikian tentunya akan membawa dampak psikologis bagi anak mengenai asal-usul anak. Ketentuan ini jelas ditegaskan oleh Pasal 42 UU No. 1/1974 tentang Perkawinan: “anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalamatau sebagai akibat perkawinan yang sah.”

Berbeda dalam hal anak yang dilahirkan secara sah sebagai akibat perkawinan yang sah pula, dimana akta kelahirannya hilang karena sesuatu hal, instansi pencatat kelahiran mengeluarkan akta kelahiran bagi anak yang bersangkutan, setelah ada penetapan Pengadilan tentang asal-usul seorang anak setelah diadakan pemeriksaan yang teliti berdasarkan bukti-bukti yang memenuhi syarat.

Negara pemerintah melalui UU No 1 Tahun 1974 sudah cukup memberikan perlindungan terhadap hak asasi warganegaranya untuk membentuk keluarga maupun hak meneruskan keturunannya sebagaimana yang diatur dalam Pasal 10 UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.

 

Masalah Perceraian

Masalah lain dapat dicatat dalam hal perceraian. Perceraian akan dicatat dalam akta setelah mendapat putusan Pengadilan. Dalam hal perceraian ini pun muncul mekanisme yang berbeda bagi mereka yang beragama lain selain Islam.

Bagi pasangan yang beragama Islam, perceraian dilakukan di Pangadilan Agama. Sedangkan untuk agama lain dari Islam, perceraian dilakukan di Pengadilan Negeri. Bagaimana dengan pencatatannya selama ini? Perbedaan pelaksanaann perkawinan akan membawa akibat perbedaan pencatatan dalam perceraian.

Tentunya bagi mereka yang melangsungkan perkawinan di Kantor Urusan Agama (KUA), semestinya pencatatan perceraiannya pun setelah melalui putusan Pengadilan dilakukan oleh pegawai pencatat KUA. Berdasar pemantauan kami selama ini, setelah perceraian diproses oleh Pengadilan/Mahkamah tersebut mengeluarkan akta tentang perceraian yang bersangkutan tanpa ada kewajiban untuk mencatatkan di KUA.

Hal itu menimbulkan kesan seolah-olah tidak ada koordinasi antara Pengadilan/Mahkamah dengan instansi yang mencatat perkawinannya. Untuk kepentingan administrasi kependudukan, maka seyogianya ada kesatuan data dari KUA maupun kantor catatan sipil. Karena keseluruhan data baik mereka yang beragama Islam maupun yang non Islam menjadi data kependudukan. Demikian pula bagi data-data kelahiran maupun kematian, seluruhnya harus tercatat rapi pada Kantor Catatan Sipil tidak berbeda dengan data yang ada di Dinas Kependudukan.

Selain masalah pencatatan kelahiran, perkawinan dan perceraian, fungsi catatan sipil masih mencakup peristiwa penting dalam kehidupan seseorang seperti kematian, pengakuan, dan pengangkatana anak.

 

Akta Kematian

Selama ini mengenai kematian penduduk “Bumiputera” belum pernah diatur, sekalipun di dalam ordonansi produk kolonial. Hal tersebut pada riwayatnya pada zaman kolonial penduduk “Bumiputera” dianggap warga negara kedua. Semasa hidupnya saja tidak memperoleh perlindungan atas hak-haknya, apalagi setelah meninggal. Tetapi hal semacam itu tidak boleh dibiarkan berlarut-larut.

Semua WNI mempunyai kedudukan yang sama, mempunyai hak, dan kewajiban yang sama pula. Oleh karenanya, demi kepastian hukum, baik bagiyang meninggal maupun ahli warisnya, seyogianya pemerintah juga mencatat kematian yang dilaporkan kepada instansi catatan sipil dan harus diterbitkan “akta kematian”. Banyak manfaat akta kematian tersebut, sebagai bukti otentik yang sah bahwa seseorang telah meninggal, juga sebagai bukti di pengadilan yang terkait untuk menentukan siapa-siapa yang menjadi ahli warisnya, dan selanjutnya untuk menentukan besaran warisan bagi para ahli waris yang bersangkutan.

Tentunya soal pengadilan mana yang berwenang akan tergantung pada agama yang dipeluk oleh yang bersangkutan. Mahkamah Syariah/ Pengadilan Agama bagi mereka yang non-muslim.

Khusus bagi peristiwa pengakuan anak, akan terjadi apabila disetujui oleh si Ibu. Akibat pengakuan tersebut, si anak memiliki hubungan hukum dengan si ayah (walaupun tidak terjadi perkawinan yang sah). Jadi sistem pencatatan sipil meliputi kegiatan yang dijalankan secara:

  • Berkelanjutan; penyelenggaraannya adalah secara terus menerus sepanjang manusia masih hidup.
  • Permanen; pelayanan pencatatan dilakukan untuk seluruh peristiwa yang penting sepanjang manusia hidup yang sifatnya memang universal dan menyeluruh, dan;
  • Wajib atas peristiwa penting yang terjadi sebagai asas pencatatannya.
Scroll to Top
Open chat
1
Selamat datang di D-LEAD ada yang bisa kami bantu ?