Konservasi Hutan Pasca Penambangan PT Kelian Equatorial Mining

Share :

Oleh:
Dr. Ari Wahyudi Hertanto, S.H., M.H.1

 

A. Implementasi Upaya-Upaya Konservasi Hutan

  1. Standar Pengakhiran Tambang PT Kelian Equatorial Mining (KEM)

Kegiatan usaha pertambangan ini merupakan kegiatan usaha yang menyangkut
hajat hidup orang banyak dan walau bagaimanapun juga manusia sangat bergantung
terhadap produk hasil pertambangan, baik yang dikonsumsi maupun yang dipergunakan. Pada intinya tidak ada manusia yang tidak dapat melepaskan dirinya dari ketergantungannya akan produk-produk hasil tambang. Pengusaha dituntut untuk senantiasa dapat mempertanggungjawabkan aktivitas usahanya dalam setiap tahapannya, termasuk dan tidak terbatas, pada saat diakhiri dan pasca-penambangan. Motivasi dari para pengusaha adalah untuk memproduksi sebanyak mungkin produk-produk yang dihasilkannya tetapi sudah barang tentu konsekuensi logis dari aktivitas bisnis adalah berupaya semaksimal mungkin untuk meminimalisir setiap beban biaya yang harus dikeluarkan.2

KEM telah melakukan pemantauan akuatik, rehabilitasi, pengelolaan air dan
pemeliharaan struktur permanen sejak tahun 1990 (pra penambangan) untuk memastikan bahwa bentang alam pasca pengakhiran tambang ditinggalkan dalam keadaan tidak tercemar, aman dan stabil. Standar pengakhiran diperlukan untuk menetapkan apakah dan kapan KEM telah menyelesaikan tugas-tugas pengakhiran dan dapat menyerahkan lokasi tambang kepada pihak-pihak berwenang terkait. Standar-standar pengakhiran dipakai sebagai acuan mengenai kriteria penyelesaian. Perkembangan ke arah penyelesaian diukur berdasarkan indikator kinerja.

Kelompok kerja (Pokja) lingkungan melalui Komite Pengarah Pengakhiran
Tambang (KPPT) telah menetapkan pengaturan prioritas komponen-komponen
pengakhiran mengenai lingkungan, dan hubungan antara standar/peraturan yang ada, kriteria penyelesaian, indikator kinerja dan potensi pemanfaatan lahan.3

1. Penulis adalah pengajar Mata Kuliah Ilmu Negara dan Mata Kuliah Pancasila pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia dan pengajar Mata Kuliah-Mata Kuliah Ilmu Negara, Hukum Perusahaan, Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan dan Hukum Perdata pada Fakultas Hukum Universitas Al Azhar Indonesia.
2. Tim PT KEM, Dokumen Rencana Pengakhiran Tambang PT KEM, Mei 2003, hal.231.
3 Ibid.

Komponen-komponen lingkungan yang diprioritaskan ditetapkan dengan
mempertimbangkan proses pengakhiran dan indikator-indikator lingkungan yang aman dan stabil. Telah ditentukan bahwa operasi dan pemeliharaan yang tepat untuk struktur- struktur rekayasa permanen merupakan langkah pertama yang sangat penting, yang diikuti dengan pembersihan dan penampungan material-material berbahaya atau yang menyebabkan polusi. Ini akan diikuti dengan rehabilitasi/reklamasi, yang memerlukan ditetapkannya bentuk lahan yang stabil yang diikuti oleh revegetasi dengan jenis tanaman-tanaman asli. Kegiatan-kegiatan ini akan memastikan bahwa mutu air permukaan dan air tanah selanjutnya akan sesuai untuk pemanfaatan yang menguntungkan pasca-pengakhiran tambang. Akhirnya, biota air dianggap sebagai indikator terbaik untuk keseluruhan ekosistem yang sehat di KEM karena dekatnya lokasi tambang dan sungai Kelian.4

Pada awalnya penelitian dilakukan untuk menentukan standar-standar yang
sesuai untuk konsumsi manusia dan alternatif penggunaan, misalnya kadar logam pada ikan dan air. Standar-standar ini kemudian disediakan sebagai pedoman atau dipakai sebagai peraturan. Penetapan kriteria penyelesaian terutama didasarkan pada standar- standar dan peraturan penyelesaian, misalnya mangan (Mn) pada 0,5 mg/L diperairan sungai Kelian. Indikator-indikator kinerja akan diukur atau dipantau selama proses pengakhiran untuk menentukan seberapa dekat berbagai parameter ini dengan kriteria penyelesaian. Setelah kriteria penyelesaian dicapai, selanjutnya lokasi tambang siap untuk diserahkan.5

Indikator-indikator kinerja tertentu tidak dimasukan dalam peraturan yang ada
misalnya mangan (Mn) dan konsentrasi total padatan tersuspensi (TSS) dalam mutu air untuk budidaya ikan para anggota Pokja lingkungan telah membuat rekomendasi untuk indikator-indikator ini setelah meninjau ulang laporan-laporan penelitian yang relevan dan standar-standar yang relevan yang berlaku di Indonesia. Indikator-indikator kinerja ini kemudian disahkan oleh KPPT.6

Hukum Tata Lingkungan dalam hal ini memiliki peran sebagai instrumentarium
yuridis bagi penataan lingkungan hidup. Ia mengatur tatanan kegunaan (bestemming), dan kegunaan (gebruik) lingkungan secara bijaksana untuk berbagai keperluan, sehingga demikian dengan pengaturan tersebut tujuan hukum lingkungan dapat diwujudkan melalui tata cara konkrit dalam rangka melestarikan kemampuan lingkungan yang serasi dan seimbang untuk menunjang pembangunan yang berkesinambungan bagi peningkatan kesejahteraan manusia.7

Dalam rangka pengaturan tata kegunaan dan penggunaan lingkungan, HTL perlu
memperhatikan asas-asas umum pemerintahan yang baik (general principles of good
administration), yang dikategorikan dalam 13 asas, yaitu:8


4 Akibatnya, biota air ditetapkan menjadi komponen dengan prioritas tertinggi untuk kriteria
penyelesaian dan indikator kinerja, yang diikuti oleh mutu air, rehabilitasi, material-material berbahaya dan struktur-struktur rekayasa permanen. Singkatnya, jika ikan di sungai Kelian berlimpah, beraneka ragam dan aman untuk dikonsumsi manusia, hal ini mengindikasikan bahwa lokasi tambang telah ditinggalkan dalam keadaan yang stabil dan tidak mengandung pencemaran.
5 Ibid., hal.232.
6 Ibid.
7 Koesnadi Hardjasoemantri, Hukum Tata Lingkungan, hal.45.
8 Ibid, hal 46.

a. Asas kepastian hukum (principle of legal security);
b. Asas keseimbangan (principle of proportionality);
c. Asas kesamaan (principle of equality);
d. Asas bertindak cermat (principle of carefulness);
e. Asas motivasi untuk setiap keputusan pangreh (principle of motivation);
f. Asas jangan mencampur adukan kewenangan (principle of misuse of competence);
g. Asas permainan yang layak (principle of fairplay);
h. Asas keadilan atau kewajaran (principle of reasonableness or prohibition of arbitrariness);
i. Asas menanggapi harapan yang ditimbulkan (principle of meeting raised
expectation);

j. Asas meniadakan akibat-akibat suatu keputusan yang batal (principle of undoing
the consequenses of annulled decision);

k. Asas perlindungan atas pandangan hidup (secara hidup) pribadi (principle of
protecting the personal way of live);

l. Asas kebijakan (sapientia);
m. Asas penyelenggaraan kepentingan umum (principle of public service).

KEM berketetapan untuk mengikuti setiap dan seluruh ketentuan baik dalam
tatanan nasional maupun internasional dalam rangka kegiatan pengakhiran tambang.
Penulis telah melakukan penelitian lapangan dan berdasarkan hasil temuan yang
diperoleh adalah KEM secara faktual berupaya semaksimal mungkin untuk memberikan segala yang paling baik yang dapat diusahakan oleh pihaknya sebelum dilakukan serah terima kepada pemerintah Indonesia.

Perusahaan memperoleh hak untuk melakukan eksploitasi terhadap suatu
wilayah tertentu dari hutan di Indonesia berdasarkan hak yang diberikan oleh pemerintah yang berbentuk pinjam pakai kawasan kehutanan. Secara umum dapat dibedakan antara pinjam pakai dengan kompensasi dan pinjam pakai tanpa kompensasi. Secara umum prosedur pinjam pakai tersebut diuraikan dalam pemaparan di bawah ini. Tujuannya tidak lain agar terdapat suatu pemahaman secara umum tentang prosiding pinjam pakai dalam konteks peninjauan terhadap kewajiban-kewajiban KEM.

Tata cara pengajuan permohonan pinjam pakai kawasan hutan diatur dalam Pasal
10 Keputusan Menteri Kehutanan No.55/Kpts-II/1994 tentang Pedoman Pinjam Pakai
Kawasan Hutan, dimana KEM pada saat pengajuannya tidak merujuk pada ketentuan
dari Keputusan Menteri dimaksud tetapi dalam tata cara penyelesaiannya sudah barang tentu KEM berkewajiban untuk memperhatikan ketentuan-ketentuan yang diatur didalamnya. Mengingat tidak terdapat ketentuan yang secara khusus mengatur tentang penyelesaian pinjam pakai tersebut dalam KK. Namun demikian, secara garis besar ketentuan yang terakhir merubah hal-hal yang sifatnya substansial dan mendasar serta berupaya agar perubahan tidak terjadi secara radikal. Bahkan terhadap prosedur yang dipandang masih relevan tetapi membutuhkan optimalisasi pelayanan, maka sudah barang tentu akan diadakan penyesuaian yang sifatnya lebih konstruktif dan kondusif.

Perjanjian pinjam pakai dengan tanpa kompensasi diberikan maksimal untuk
jangka waktu 5 tahun, terhitung sejak ditandatangani pinjam pakai dan dapat
diperpanjang, tetapi perlu untuk diperhatikan bahwa KK ditandatangani oleh KEM
dengan pemerintah. Terhadap tahapan-tahapan dalam pengusahaan tambang sudah
barang tentu tidak dapat dibatasi hanya dalam kurun waktu 5 tahun. Sudah barang tentu jangka waktu tersebut dapat dikatakan perusahaan belum melakukan operasinya. Sehingga antara perjanjian pinjam pakai terdapat sinergi dengan KK yang dibuat oleh dan antara KEM dengan pemerintah. Berikut ini adalah uraian tentang ketentuan dan prosiding pinjam pakai kawasan hutan, yaitu:9

a. Pinjam pakai kawasan hutan
1) Pasal 5 ayat (5) Peraturan Pemerintah No.33 tahun 1970 tentang Perencanaan Hutan. Pasal 5 ayat (5) berbunyi:
“perubahan batas kawasan hutan yang telah ditetapkan dengan berita
acara tata batas harus dilakukan dengan Surat Keputusan Menteri
Kehutanan.”
Dalam penjelasannya disebutkan bahwa perubahan batasan kawasan
hutan meliputi penghapusan, perluasan atau pengurangan.
Ada 2 pengertian yuridis penghapusan (pengurangan), yaitu: arti de jure
dan arti de facto. Pengurangan dalam arti de jure adalah pengurangan
terhadap luas kawasan hutan yang ada menjadi lebih sempit. Contohnya,
penukaran kawasan hutan dengan tanah milik. Sedangkan pengurangan
dalam arti de facto adalah pengurangan terhadap penggunaan kawasan
hutan yang ada dan tidak mengakibatkan kekurangannya luas kawasan
hutan. Contohnya pinjam pakai dan pemakaian tanah secara liar.
2) Keputusan Direktur Jenderal Kehutanan No.64/Kpts/DJ/1978 tentang
Pedoman Tanah Kawasan Hutan.
3) Keputusan Menteri Kehutanan No.338/Kpts-II/1990 tentang Penugasan
Sekretaris Jenderal Departemen Kehutanan untuk dan atas nama Menteri
Kehutanan Menandatangani Surat-Surat Pemberian Izin Pinjam Pakai
Kawasan Hutan.
4) Keputusan Menteri Kehutanan No.55/Kpts-II/1994 tengan Pedoman
Pinjam Pakai Kawasan Hutan.


9. Salim, H.S., Dasar-Dasar Hukum Kehutanan, Sinar Grafika, Jakarta, 2003, hal.104-112.

Yang dimaksud dengan pinjam pakai kawasan hutan adalah penggunaan
atau sebagaian kawasan hutan baik yang telah ditunjuk maupun yang telah
ditetapkan kepada pihak lain untuk pembangunan di luar sektor kehutanan tanpa
mengubah status, peruntukkan dan fungsi kawasan hutan tersebut (Pasal 1 ayat
(1) Keputusan Menteri Kehutanan No.55/Kpts-II/1994 tentang Pedoman Pinjam
Pakai Kawasan Hutan). Sedangkan menurut R. Soeroso yang diartikan dengan pinjam kawasan hutan adalah:

“suatu persetujuan dimana pihak yang berwenang atas kawasan hutan (c.q.
Menteri Kehutanan) atas dasar kebijaksanaan dan untuk kepentingan umum,
memberikan izin kepada pihak lain untuk mempergunakan sebagaian dari
kawasan guna kepentingan tertentu dan dalam jangka waktu tertentu serta
syarat-syarat tertentu serta dituangkan dalam suatu perjanjian yang
sebelumnya telah disepakati bersama.”

Ada 6 unsur yang dapat dikemukakan sebagai perbandingan dari kedua definisi
di atas, yaitu:
1) adanya persetujuan Menteri Kehutanan;
2) adanya pihak peminjam (penerima izin);
3) untuk kepentingan umum;
4) ditentukan jangka waktunya;
5) pemohon memenuhi syarat-syarat tertentu; dan
6) dituangkan dalam surat perjanjian yang dibuat antara pemohon dengan
Menteri Kehutanan atau pejabat yang diberi wewenang untuk itu.

Tujuan pinjam pakai kawasan hutan adalah untuk:
1) membatasi dan mengatur penggunaan sebagian kawasan hutan untuk kepentingan umum terbatas atau untuk kepentingan lainnya di luar sektor
kehutanan tanpa mengubah status, fungsi, dan peruntukkannya; dan
2) menghindari terjadinya enclove (pendudukan) tanah oleh rakyat didalam
kawasan hutan.

Sifat pinjam pakai kawasan hutan bersifat sementara. Pinjam pakai kawasan
hutan dibagi menjadi 2 macam, yaitu pinjam pakai dengan tanpa kompensasi dan
pinjam pakai dengan kompensasi.

Yang dimaksud dengan kepentingan umum terbatas adalah kepentingan seluruh
lapisan masyarakat yang pelaksanaan kegiatan pembangunannya dilakukan dan
dilaksanakan oleh instansi pemerintah serta tidak digunakan untuk mencari
keuntungan, untuk keperluan pembuatan jalan umum, saluran pembuangan air,
saluran pengairan, fasilitas pemakaman umum, fasilitas keselamatan umum
repeater telekomunikasi, stasiun pemancar radio, stasiun relay televisi,
penampungan dan saluran pipa air bersih (Pasal 1 ayat (3) Keputusan Menteri
Kehutanan No.55 /Kpts-II/1994 jo. Pasal 1 ayat (3) Keputusan Presiden No.55
tahun 1993 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk
Kepentingan Umum).

Sedangkan kawasan hutan yang dapat diserahkan penggunaannya kepada pihak
lainnya hanya terbatas pada kawasan hutan produksi.

b. Tata Cara Pengajuan dan Penyelesaian Pinjam Pakai Kawasan Hutan

Pemohon atau badan hukum/instansi yang ingin memanfaatkan kawasan hutan
untuk kepentingan umum terbatas harus mengajukan permohonan pinjam pakai
kepada Menteri Kehutanan, melalui Kepala Kantor Wilayah Departemen
Kehutanan setempat sepanjang menyangkut areal diluar wilayah kerja Perum
Perhutani dengan tembusan kepada Kepala Dinas Kehutanan Daerah Tingkat I
atau Kepala UPT atau melalui Direktur Utama Perum Perhutani atau Kepala Unit
Perum Perhutani dengan tembusan kepada Kepala Kantor Wilayah Departemen
Kehutanan Propinsi.

Surat permohonan harus dilampirkan hal-hal sebagai berikut:
1) peta lokasi dan luas kawasan hutan yang dimohon;
2) rencana penggunaan dan rencana kerja;
3) rekomendasi Gubernur Kepala Daerah Tingkat I setempat;
4) pernyataan kesanggupan untuk menanggung seluruh biaya sehubungan
dengan permohonan tersebut.

Berdasarkan surat permohonan surat pinjam pakai kawasan hutan beserta
lampirannya itu, maka Menteri Kehutanan dapat menolak atau menyetujui
permohonan tersebut. Namun, sebelum memberikan persetujuan Menteri
Kehutanan terlebih dahulu dapat meminta saran/pertimbangan teknis kepada
pejabat eselon I terkait dalam lingkup Departemen Kehutanan.

Dari berbagai saran/pertimbangan dan/atau laporan dari tim pertimbangan
Departemen Kehutanan, maka Direktur Jenderal Inventarisasi dan Tata Hutan
menyampaikan kepada Menteri Kehutanan. Berdasarkan saran/pertimbangan
dan/atau laporan itu, Menteri Kehutanan dapat memberikan keputusan menolak
atau menyetujui permohonan pemohon.

c. Hak dan Kewajiban Pemohon

Apabila permohonan disetujui dengan cara pinjam pakai tanpa kompensasi oleh
Menteri Kehutanan, maka kepada pemohon dibebani beberapa kewajiban yang
harus dilakukan, sehubungan dengan adanya permohonan tersebut. Ada 6
kewajiban yang harus dilakukan oleh pemohon, yaitu:
1) membayar ganti rugi nilai tegakan atas hutan tanaman atau pungutan
berupa iuran hasil hutan dan dana reboisasi atas tegakan hukum alam;
2) menanggung biaya pengukuran, pemetaan, dan pemancangan tanda batas
atas kawasan hutan yang dipinjam;
3) menanggung biaya reboisasi dan reklamasi atas kawasan hutan yang
dipinjam;
4) membuat dan menandatangani perjanjian pinjam pakai;
5) membantu menjaga keamanan di dalam dan disekitar kawasan hutan yang
dipinjam;
6) memberikan kemudahan bagi aparat kehutanan baik pusat maupun daerah
sewaktu melakukan pengawasan dilapangan. Yang menjadi hak pemohon adalah menerima kawasan hutan yang telah ditentukan oleh Menteri Kehutanan.

d. Penandatanganan perjanjian pinjam pakai kawasan hutan

Apabila Menteri Kehutanan memberikan persetujuan atas permohonan pemohon,
serta pemohon telah melakukan kewajiban yang telah ditentukan, maka tahap
selanjutnya adalah penandatanganan perjanjian pinjam pakai kawasan hutan.

Perjanjian pinjam pakai dengan tanpa kompensasi ditandatangani oleh pemohon
bersama Kepala Kantor Wilayah Departemen Kehutanan setempat untuk
kawasan hutan diluar wilayah kerja Perum Perhutani; dan/atau antara pemohon
dengan Direktur Utama Perum Perhutani untuk wilayah kerja Perum Perhutani.

Sejak ditandatangani perjanjian tersebut, maka sejak saat itu timbullah hak dan
kewajiban kedua belah pihak, sebagaimana telah dikemukakan pada uraian
terdahulu.

f. Jangka Waktu dan Perpanjangan Izin Pinjam Pakai

Jangka waktu dan perpanjangan izin pinjam pakai kawasan hutan diatur dalam
Pasal 18 dan Pasal 19 Keputusan Menteri Kehutanan No.55/Kpts-II/1994
tersebut di atas.

Tata cara perpanjangan pinjam pakai kawasan hutan secara umum diatur sebagai
berikut, permohonan perpanjangan pinjam pakai kawasan hutan diajukan kepada
Kantor Wilayah Departemen Kehutanan dan/atau Direktur Utama Perum
Perhutani dan tembusannya disampaikan kepada Menteri Kehutanan.
Permohonan itu baru dipertimbangkan setelah diadakan evaluasi atas penerapan
pinjam pakai tersebut. Biaya evaluasi dibebankan kepada pemohon.

Wewenang untuk menerbitkan izin perpanjangan pinjam pakai kawasan hutan
khusus untuk kepentingan umum terbatas diberikan oleh Direktur Utama Perum
Perhutani untuk wilayah kerja Perum Perhutani; dan/atau Kepala Kantor Wilayah
Departemen Kehutanan untuk kawasan hutan yang bukan wilayah kerja Perum
Perhutani. Sedangkan wewenang untuk memberikan izin perpanjangan pinjam
pakai kawasan hutan bukan untuk kepentingan umum terbatas dilakukan oleh
Direktur Jenderal Inventarisasi Tata Guna Hutan

g. Berakhirnya dan Pembatalan Perjanjian Pinjam Pakai Kawasan Hutan

Ada 2 cara berakhirnya perjanjian pinjam pakai kawasan hutan karena: tenggang
waktu pinjam pakai berakhir atau karena dibatalkan oleh Menteri Kehutanan.
Alasan Menteri Kehutanan membatalkan perjanjian pinjam pakai kawasan
karena pemegang izin pinjam pakai:

1) tidak menggunakan kawasan hutan tersebut sesuai dengan ketentuan yang
tercantum dalam surat persetujuan dan/atau perjanjian pinjam pakai;
2) memindahtangankan kawasan hutan yang dipinjam kepada pihak lain
tanpa persetujuan Menteri;
3) tidak memenuhi kewajibannya pada waktu yang telah ditentukan
sebagaimana yang tertera dalam surat perjanjian pinjam pakai yang telah
dibuat dan ditandatangani oleh yang bersangkutan;
4) meninggalkan kawasan hutan yang dipinjam sebelum perjanjian pinjam
pakai berakhir (Pasal 20 Keputusan Menteri Kehutanan No.55/KptsII/1994)

Pinjam pakai dengan kompensasi diatut dalam Keputusan Menteri Kehutanan
No.55 tahun 1994 tersebut di atas. Ada dua hal yang diatur dalam Keputusan
tersebut, yaitu pinjam pakai kawasan hutan tanpa kompensasi dan dengan
kompensasi. Yang dimaksud dengan pinjam pakai dengan kompensasi adalah
pinjam pakai atas sebagian kawasan hutan baik yang telah ditunjuk maupun yang
telah ditetapkan dengan membebani peminjam untuk menyediakan dan
menyerahkan tanah kawasan hutan kepada Departemen Kehutanan untuk
dijadikan kawasan hutan.

Pinjam pakai dengan kompensasi dapat diberikan untuk kegiatan pembangunan
yang bersifat komersial yang dilaksanakan oleh instansi pemerintah, Badan
Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah, koperasi dan swasta komersial.
Tata cara mengajukan permohonan dan pemrosesannya mengikuti prosedur
pinjam pakai tanpa kompensasi atau prosedur biasa sebagaimana telah
dipaparkan di atas.

Pemohon yang menerima tanah pinjam pakai kawasan hutan dengan kompensasi
dibebani kewajiban:

1) membayar ganti rugi senilai tegakan atas hutan tanaman atau pungutan
berupa iuran hasil hutan dan dana reboisasi atas tegakan hutan alam;
2) menanggung biaya pengukuran, pemetaan, dan pemancangan tata batas
atas kawasan hutan yang dipinjam;
3) mereklamasi kawasan hutan yang telah dipergunakan tanpa menunggu
berakhirnya kegiatan;
4) menyediakan dan menyerahkan tanah lain kepada Departemen Kehutanan
yang clear and clean sebagai kompensasi atas kawasan hutan yang dipinjam;
5) menanggung biaya penataan batas atas tanah kompensasi;
6) menanggung biaya reboisasi atas lahan kompensasi;
7) membuat dan menandatangani perjanjian pinjam pakai;
8) membantu menjaga keamanan didalam dan disekitar kawasan hutan yang
dipinjam;
9) memberikan kemudahan bagi aparat kehutanan sewaktu melakukan
pengawasan di lapangan (Pasal 14 ayat (2) Keputusan Menteri Kehutanan
No.55/Kpts-II/1994).

Selanjutnya, sinergi dari kebijakan pinjam pakai tersebut dibentuk dengan turut
memperhatikan ketentuan UULH. Pasal 12 UULH berbunyi sebagai berikut:
“ketentuan tentang konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya
ditetapkan dengan undang-undang.”
Dalam penjelasannya tertera: “pengertian konservasi sumber daya alam hayati
dan ekosistemnya mengandung 3 aspek, yaitu:

a. perlindungan sistem penyangga kehidupan;
b. pengawetan dan pemeliharaan keanekaragaman jenis tumbuhan dan
satwa serta ekosistemnya pada matra darat air dan udara;
c. pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya.

Dalam pengertian konservasi tersebut di atas termasuk pula perlindungan jenis
hewan yang tata cara hidupnya tidak diatur oleh manusia, tumbuh-tumbuhan
yang telah menjadi langka atau terancam punah, dan hutan lindung.”
Pada tanggal 10 Agustus 1990 telah diundangkan Undang-Undang No.5 tahun
1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Dalam
Pasal 1 dicantumkan antara lain pengertian sebagai berikut:10

“a. Sumber daya alam hayati adalah unsur-unsur hayati di alam yang terdiri
dari sumber daya alam nabati (tumbuhan) dan sumber daya alam hewani
(satwa) yang bersama dengan unsur non hayati disekitarnya secara
keseluruhan membentuk ekosistem.
b. Konservasi sumber daya alam hayati adalah pengelolaan sumber daya
alam hayati yang pemanfaatannya dilakukan secara bijaksana untuk
menjamin kesinambungan persediaannya dengan tetap memelihara dan
meningkatkan kualitas keanekaragaman dan nilainya.
c. Ekosistem sumber daya alam hayati adalah sistem hubungan timbal balik
antara unsur dalam alam, baik hayati maupun non hayati yang saling
tergantung dan pengaruh mempengaruhinya.
d. kawasan suaka alam adalah kawasan dengan ciri khas tertentu, baik di
darat maupun diperairan yang mempunyai fungsi pokok sebagai kawasan
pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya
yang juga berfungsi sebagai wilayah sistem penyangga kehidupan.
e. Cagar alam adalah kawasan suaka alam yang karena keadaan alamnya
mempunyai kekhasan tumbuhan, satwa, dan ekosistemnya atau ekosistem
tertentu yang perlu dilindungi dan perkembangannya berlangsung secara
resmi. dan seterusnya…”

Pasal 2 menetapkan, bahwa konservasi sumber daya alam hayati dan
ekosistemnya berasaskan pelestarian kemampuan dan pemanfaatan sumber daya
alam hayati dan ekosistemnya secara serasi dan seimbang.
Tujuan konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya, menurut Pasal 3
adalah mengusahakan terwujudnya kelestarian sumber daya alam hayati serta keseimbangan ekosistemnya sehingga dapat lebih mendukung upaya peningkatan
kesejahteraan masyarakat dan mutu kehidupan manusia. Pasal 4 menyatakan, bahwa konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya merupakan tanggung jawab dan kewajiban pemerintah serta masyarakat.

Pasal 5 menyatakan, bahwa konservasi sumber daya alam hayati dan
ekosistemnya dilakukan melalui kegiatan:
a. perlindungan sistem penyangga kehidupan;
b. pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya;
c. pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya.

Dalam pasal 6 ditetapkan, bahwa sistem penyangga kehidupan merupakan satu
proses alam dari berbagai unsur hayati dan non hayati yang menjamin kelangsungan kehidupan mahluk.

Pasal 11 menyatakan, bahwa pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa
beserta ekosistemnya dilaksanakan melalui kegiatan:
a. pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya;
b. pengawetan jenis tumbuhan dan satwa.

Pasal 37 menetapkan tentang peran serta rakyat, yaitu ayat (1) menyatakan
bahwa peran serta rakyat dalam konservasi sumber daya alam hayati dan
ekosistemnya diarahkan dan digerakan oleh pemerintah melalui berbagai
kegiatan yang berdaya guna dan berhasil guna. Ayat (2) menyatakan, bahwa
dalam mengembangkan peran serta rakyat pemerintah menumbuhkan dan
meningkatkan sadar konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya di
kalangan rakyat melalui pendidikan dan penyuluhan.

Pasal 38 mengatur tentang penyerahan urusan dan tugas pembantuan dalam
rangka pelaksanaan konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya dari
pemerintah pusat kepada pemerintah daerah sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang No.34 tahun 2004 tentang Otonomi Daerah.


10 Koesnadi Hardjasoemantri, Op.Cit., hal.198-201.

KEM menyatakan bahwa perusahaannya beritikad baik dengan mematuhi dan
sepenuhnya tunduk pada ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku dalam pengakhiran tambang, yaitu dengan menyusun standar-standar pengakhiran yang diprioritaskan, sebagaimana dipaparkan dalam tabel sebagai berikut:11


11 Rencana Pengakhiran Tambang, Op.Cit., hal 237-240.

Komponen yang
diprioritaskan
Peraturan standar yang ada Kriteria penyelesaian Indikator kinerja
Biota Air      
Kekayaan KK (1985)
ANDAL
Survei Rona Awal Akuatik 1990
Jumlah spesies lokal
dari ikan dan udang
yang dapat dimakan
setara dengan nilai- nilai pra penambangan
Jumlah serangga air
(benthos) dan ikan
serta udang (nekton).
Keanekaragaman/
komposisi spesies
KK (1985)
ANDAL
Survei Rona Awal Akuatik 1990
Keanekaragaman dan
komposisi spesies
setara dengan nilai
pra penambangan.
Indeks
keanekaragaman dari
Shannon dan Indeks
kesamaan dari Bray
Curtis untuk
serangga air
(benthos) dan ikan
serta udang (nekton).
Kadar logam pada
daging (tissue) yang
dapat dimakan
Survei Rona Awal Akuatik
1990
Standar Badan Kesehatan
Dunia (1973 dan 1976) ANZECC (1992)
NH dan MRC (1987)
Kadar logam setara
dengan kadar yang
direkomendasikan
atau nilai-nilai latar
belakang
Kadar logam dalam
spesies indikator
pada ikan; kadar
logam pada endapan
Mutu Air      
Air sungai Kelian Kontrak karya (1985)
ANDAL (1990)- Data Rona Awal
Peraturan pemerintah PP82/2002
Mutu air memenuhi
ketentuan PP82/2001
untuk kelas 1 (air
minum yang memerlukan proses), kecuali
Mn (0,5 mg/L) yang
didasarkan pada data
latar belakang
Memenuhi 95% parameter program pemantauan dalam 12 bulan, diikuti dengan pemantauan bulanan selama 5 ta- hun sebelum penyerahan (mis. Mn <0,5 mg/L di perairan tempat pembuangan di lokasi tambang selama > 347 hari dari 365 hari).
Air di saluran
pembuangan
Kontrak karya (1985)
ANDAL (1990)- Data Rona
Awal
SK Gubernur No. 26/2002
Mutu air memenuhi
ketentuan Surat
Keputusan No.
26/2002untuk kelas 1
Memenuhi 95% parameter program pe- mantauan dalam 12
bulan, diikuti dengan
pemantauan bulanan
selama 5 tahun sebelum penyerahan.
Air tanah Komponen yang
diprioritaskan
Peraturan Menteri Kesehatan
N0.416/MENKES/PER/IX/1990 Peraturan standar yang ada
Mutu air memenuhi
ketentuan lima kali
peraturan No.
82/2001 untuk Kriteria penyelesaian
Memenuhi 95% parameter program pe- mantauan dalam 12
bulan, diikuti dengan Indikator kinerja
Danau (Namuk,
Nakan, Lubang
Tambang)
Peraturan Pemerintah
PP82/2002; dan
SK Gubernur No. 26/2002
Mutu air memenuhi
ketentuan PP82/2001
untuk kelas II (budi
daya ikan); Mn(2,0
mg/L)yang
ditetapkan dengan SK
No. 26/2002
Memenuhi 95% parameter program pe- mantauan dalam 12
bulan, diikuti dengan
pemantauan bulanan
selama 5 tahun sebelum penyerahan
Rehabilitasi
Perjanjian pinjam Pakai/KK/ANDAL (1990 dan 1994); Surat Keputusan Menteri Kehutanan dan
Perkebunan No.146/Kpts-II/1999; SK No. 336.K/271/DDJP/1996;Analisis Fungsi Bentang Alam
(CSIRO)
     
stabilitas Faktor Keamanan (Fos) Data
Analisis Fungsi Bentang Alam
(Erosi/Perembesan Air dll)
Faktor keamanan di
lokasi Pembuangan
Limbah > 1,5; Pengelolaan Air (rencana
drainase); Desain Pe- nutup Kering (untuk
pengendalian ARD)
Desain dan pemba- ngunan yang sudah
disetujui dan disertifikasi oleh insinyur
geoteknik; pemba- ngunan rencana drai- nase yang sudah di- setujui; konstruksi
desain penutup yang
sudah disetujui dan
di uji coba; keutuhan
penutup dipelihara
selama 12 bulan se- belum pengakhiran;
parameter analisis
fungsi bentang alam
mengacu ke lokasi
pengendalian selama
2 tahun ke depan.
Kriteria desain lokasi
pembuangan limbah;
peristiwa ARI 200
tahun, 20% aliran air
permukaan dan 80%
aliran air tanah;
kemiringan 3:1 pada
permukaan lokasi
pembuangan; saluran ke bawah pada
lokasi pusat 200 m.
  •  
  •  
Scroll to Top
Open chat
1
Selamat datang di D-LEAD ada yang bisa kami bantu ?