Makna dan Fungsi Itikad Baik dalam Kontrak

Share :

Walaupun itikad baik menjadi asas yang paling penting dalam hukum kontrak dan diterima dalam berbagai system hukum, tetapi hingga kini doktrin itikad baik masih merupakan sesuatu yang controversial. Perdebatan utama yang timbul di sini adalah berkaitan dengan apa yang sebenarnya yang dimaksud dengan itikad baik. Dalam kenyataanya sangat sulit menemukan pengertian yang jelas tentang itikad baik tersebut. Allan E. Farnsworth bahkan menyatakan, di mana doktrin itikad baik diterima, maka di situ pasti timbul perbedaan dalam mengartikan itikad baik tersebut. Akibatnya tidak makna tunggal itikad baik dan berkembang banyak definisi itikad baik.

Hal itu dapat dipahami, karena pengaturan itikad baik dalam hukum kontrak sangat minim. Bahkan di Negara-negara Civil Law yang memasukkan ketentuan itikad baik ke Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang hanya mengatur sedikit saja. Contohnya Pasal 242 GBG, Pasal 1134 ayat (3) Civil Code Perancis, dan 1374  ayat (3) BW Belanda (lama) serta pasal 1338 ayat (3) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) Indonesia, hanya menyebutkan bahwa semua kontrak dilaksanakan dengan itikad baik. Tidak ada penjelasan lebih lanjut apa yang dimaksud dengan itikad baik tersebut.  Kalaupun ada ketentuan yan mencoba mendefinisikan ketentuan itikad baik tersebut, tetapi definisi itu pun masih juga menimbulkan kebingungan. Oleh karena itu, untuk dapat memahami makna itikad baik dalam praktik peradilan. Bahkan, menurut J. Satrio, ketentuan pengaturan itikad baik tersebut merupakan ketentuan yang ditujukan kepada pengadilan. Dikatakan demikian karena sengketa mengenai itikad baik dalam prakteknya hampir selalu dimintakan penyelesaiannya kepada pengadilan. Dengan demikian, perkembangan doktrin itikad baik lebih merupakan hasil kerja pengadilan daripada legislatif yang berkembang secara kasus demi kasus. Hakim memegang peranan penting dalam menafsirkan atau memperluas ajaran itikad baik tersebut. Akibatnya, makna dan standar itikad baik lebih disandarkan pada sikap dan pandangan hakim yang berkembang secara kasus demi kasus. Dalam hukum kontrak Amerika Serikat akhirnya berkembang dua standar itikad baik yakni standar subjektif dan standar objektif. Akibat adanya perbedaan standar ini, dalam kenyataanya penerapan itikad baik dapat tidak konsisten atau selalu berubah-ubah. Penafsiran makna itikad baik dalam kenyataannya sangat beragam yang bergantung pada sikap dan pemahaman hakim terhadap doktrin itikad baik itu sendiri.

Dengan demikian penerapan itikad baik dalam kontrak masih menimbulkan sejumlah permasalahan. Ketentuan itikad baik dalam kontrak tersebut pengertiannya masih abstrak, sehingga dalam penerapannya masih memerlukan penafsiran hakim yang berkembang secara kasus demi kasus.

Di negeri Belanda, penafsiran itikad baik dalam kontrak oleh pengadilan muncul dalam perkara Hengsten Vereniging v. Onderlinge Paarden en Vee Assurantie (Artist de Laboureur Arrest), HR 9 Februari 1923, NJ 1923, 676. menurut Hoge Raad, itikad baik ini merupakan doktrin yang merujuk kepada kerasionalan dan kepatutan yang hidup dalam masyarakat. Dengan demikian lahir pandangan yang menyatakan bahwa Hoge Raad telah menyamakan itikad baik dengan kerasionalan dan kepatutan. Penafsiran yang demikian itu erat kaitannya dengan ketentuan Pasal 1375 BW Belanda (lama) yang menyebutkan:

“Overeenkomsten verbinden niet alleen tot datgene het welk uitdrukkelijk bij dezelve bepaald is, maar ook tot al hetgeen dat, naar den aard van dezelve overeenkomsten,door de billijkheid, het gebruik, of de wet, wordt goverderd”.

Kontrak tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang secara tegas dinyatakan di dalamnya, tetapi juga segala sesuatu yang menurut sifat kontrak, diharuskan oleh kapatutan, kebiasaan, atau undang-undang.

Dengan penafsiran itikad baik oleh Hoge Raad tersebut, telah ada rujukan bahwa itikad baik harus mengacu kepada kerasionalan dan kepatutan, tetapi rujukan tersebut belum membuat kekaburan itikad baik menjadi jelas. Pengertian kepatutan sebagai salah satu bentuk keadilan masih sangat abstrak dan sarat dengan perdebatan filosofis.

 

Keabstrakan dan ketidakjelasan makna itikad baik dirasakan pula di Amerika Serikat. Section 1-203 UCC menentukan: “Every contract or duty within this Act imposes an obligation of good faith in its performance or enforcement”. Kemudian Section 1-209 (19) mendefinisikan itikad baik sebagai honesty in fact or transaction. Section 2-103 (1) mendefinisikan itikad baik dalam kasus suatu perdagangan sebagai honesty in fact and the observance of reasonable commercial standard of fair dealing in the trade. Section 205 The Restatement of Contract (Second) menentukan : “every contract imposes upon breach party a duty of good faith and fair dealing in its performance and its enforcement”. Kewajiban itikad baik yang dibebankan UCC dan diakui pula oleh The Restatement of Contract (second) dikaitkan dengan pelaksanaan kontrak. Walaupun telah ada ketentuan yang memberikan penjelasan otentik itikad baik tersebut, tetapi oleh banyak kalangan akademisi dan pengadilan masih dirasakan belum jelas.

Mengingat ketidakjelasan pengertian dan standar itikad baik tersebut di atas, H.G. van der Werf menyebutkan adanya pertentangan mengenai eksistensi asas itikad baik. Bagi mereka yang berpikir positif, itikad baik berguna dalam mempertahankan hak-hak perdatanya, karena itikad baik dalam dapat memberikan penyelesaian atas pertikaian kontrak tidak melalui teknis yuridis. Artinya, itikad baik menjadi sarana atau jembatan antara hak perdata di satu pihak sebagai sistem dogmatis yuridis,  di lain pihak hak perdata sebagai sarana keadilan untuk penyelesaian sengket adalam masyarakat. Sebaliknya, bagi yang berpikir skeptis, itikad baik tidak ada manfaatnya, yang digambarkan seperti kapal tanpa kemudi, dia diombang-ambingkan oleh yurisprudensi. Lembaga hukum ini tidak memiliki pedoman sebagai dasar untuk menguji hubungan yang timbul, juga tidak memiliki arah dan tujuan. Implikasi lebih jauh dari kejadian di atas, mengakibatkan adanya pendapat yang menyatakan bahwa makna itikad baik itu dapat mengancam prinsip kepastian hukum.

Dalam hukum kontrak, itikad baik memiliki tiga fungsi. Itikad baik dalam fungsinya yang pertama mengajarkan bahwa seluruh kontrak harus ditafsirkan sesuai dengan itikad baik. Fungsi kedua adalah fungsi menambah (aanvullende werking de goede trouw).

Penafsiran kontrak harus didasarkan pada Itikad Baik

Suatu kontrak terdiri dari serangkaian kata. Oleh karena itu, untuk menetapkan isi kontrak, perlu dilakukan penafsiran, sehingga dapat diketahui dengan jelas maksud para pihak dalam kontrak. Menurut Corbin, penafsiran atau interprestasi kontrak adalah proses di mana seseorang memberikan makna terhadap suatu simbol dari ekspresi yang digunakan oleh orang lain. Simbol yang lazim digunakan adalah kata-kata, baik satu per satu maupun kelompok, oral ataupun tertulis. Suatu perbuatan dapat juga menjadi simbol yang dapat dilakukan interpretasi. Menurut A. Joanne Kellermenn, penafsiran kontrak adalah penentuan makna yang harus ditetapkan dari pernyataan-pernyataan yang harus ditetapkan dari pernyataan-pernyataan yang dibuat oleh para pihak dalam kontrak dan akibat-akibat hukum yang timbul karenanya.

Asas itikad baik memegang peranan penting dalam penafsiran kontrak. Beberapa sistem hukum, seperti yang memegang peranan penting dalam penafsiran kontrak. Beberapa sistem hukum, seperti hukum kontrak Jerman memiliki ketentuan yang mewajibkan bahwa kontrak harus ditafsirkan sesuai dengan itikad baik. Pasal 157 BGB menyatakan bahwa semua kontrak harus ditafsirkan sesuai dengan itikad baik. Dalam beberapa sistem hukum lainnya, seperti hukum kontrak Belanda, peranan itikad baik dalam penafsiran kontrak dibangun oleh pengadilan. Jika kontrak harus ditafsirkan sesuai dengan itikad bai, maka setiap isi kontrak harus ditafsirkan secara fair dan patut.

Pada waktu yang lalu dianut pendapat baik di kalangan sarjana maupun peraturan perudang-undangan bahwa penafsiran kontrak hanya diperlukan untuk sesuatu yang tidak jelas. Jika isi kontrak telah jelas, maka tidak ada atau tidak diperlukan penafsiran. Sehubungan dengan hal ini Pasal 1378 BW (lama) Belanda menentukan bahwa jika kaat-kata telah jelas, tidak diperkenankan untuk menyimpang daripadanya dengan jalan penafsiran (indeen de bewoordingen eener overeenkomst duidelijk zijn, mag men daarvan door uitlegging niet afwijken). Sekarang ini dianut paham bahwa dalam penafsiran kontrak tidak lagi dibedakan antara isi kontrak yang jelas dan yang tidak jelas, bahkan terhadap kata-kata yang tanpak jelas dapat dilakukan penafsiran dengan mengarahkannya pada kehendak para pihak atau kehendak khusus yang relevan untuk menentukan makna yang mereka maksud.

Selain ketentuan diatas, BW (lama) dan KUHPerdata Indonesia masih memberikan beberapa pedoman lagi dalam penafsiran suatu kontrak. Misalanya Pasal 1379 BW (lama) Belanda menentukan bahwa kata-kata suatu kontrak dapat diberikan berbagai macam penafsiran, harus dipilih penafsiran yang meneliti maksud kedua belah pihak yang membuat kontrak itu daripada memegang teguh kata-kata tersebut secara literal (letterlijk) dengan demikian kontrak harus diberikan penafsiran yang paling sesuai dengan kehendak atau maksud para pihak, walaupun artinya harus menyimpang dari kata-kata darikontrak. Disini terlihat bahwa teori kehendak (historis-psikologis) dijadikan dasar penafsiran kontrak. Penafsiran kontrak menurut ajaran ini tidak lain daripada menetapkan kehendak dari orang yang melakukan tindakan hukum. Dalam kenyataannya ajaran ini menimbulkan berbagai kesulitan. Hal tersebut disebabkan karena kehendak merupakan gejala psikologis yang tidak dapat dilihat dengan panca indera. Hal ini berlainan dengan ajaran penafsiran normatif. Titik pandang aliran ini adalah bukan pada kehendak subjektif para pihak yang menjadi objek penafsiran. Penafsiran ini menurut aliran ini adalah menetapkan tindakan nyata dan menetapkan akibat-akibat hukum yang timbul karenanya.

Pasal 1380 BW (lama) Belanda menentukan bahwa jika suatu janji dapat diberikan dua macam, maka harus dipilih pengertian yang ini masih berdasarkan penafsiran pada teori kehendak. Hanya di sini ada fokus perhatian diarahkan pada penafsiran yang menafsirkan kontrak sedapat mungkin dengan maksud para pihak yang memungkinkan kontrak dapat dilaksanakan.

Pasal 1381 BW (lama) Belanda memberikan pedoman lain. Menurut ketentuan ini, kontrak harus ditafsirkan sedemikian rupa sehingga artinya paling selaras dengan sifat kontrak tersebut. Setiap jenis kontrak mempunyai ciri-ciri sendiri. Oleh karena itu, sangat logis jika kontrak-kontrak tertentu ditafsirkan sesuai dengan khas kontrak itu. Kesemuanya itu dilakukan dengan memperhatikan kaitan janji satu dengan semua bagian kontrak lainnya. Tanpa adanya ketentuan inipun orang akan melakukan cara kerja seperti itu, karena kata-kata atau suatu tanda baru kelihatan maksudnya kalau ia dikaitkan dengan tanda yang lain. Bahkan dengan keseluruhan isi kontrak yang bersangkutan. Suatu kata berdiri sendiri dapat memiliki makna yang sangat berbeda dibanding jika ia merupakan bagian dari suatu rangkaian atau benda.

Penafsiran kontrak juga harus dilakukan dengan memperhatikan kebiasaan setempat. Demikian pedoman yang diberikan oleh Pasal 1382 BW (lama) Belanda. Dengan demikian ukuran yang digunakan untuk menafsirkan suatu kontrak, ukurannya tidak didasarkan hanya kepada orang yang menafsirkannya juga tetapi juga pandangan masyarakat dari kontrak itu dibuat.

Berlainan dengan BW (lama), BW (baru) Belanda tidak lagi memuat ketentuan-ketentuan penafsiran kontrak. Ketentuan-ketentuan penafsiran kontrak yang terdapat dalam BW (lama) tersebut telah dihilangkan karena sebagian telah dianggap tidak diperlukan dan sebagian lagi dianggap terlalu umum rumusannya., sehingga maknanya tidak tepat. Dengan demikian, penafsiran ini seluruhnya diserahkan kepada dunia peradilan dan ilmu pengetahuan untuk mengembangkan ketentuan dan asas-asas dala penafsiran kontrak.

Ada beberapa prinsip umum penafsiran kontrak yang diterima pengadilan di Belanda sebagai berikut:

  1. Maksud para pihak yang harus diuji daripada sekedar menafsirkan makna literal kata-kata dalam otak;
  2. Ketentuan-ketentuan kontrak harus dipahami dalam makna in which it would have any effect rather than in a sense in which it would have no effect;
  3. Kata-kata kontrak harus diperlakukan sesuai dengan sifat kontrak;
  4. Jika menafsirkan suatu kontrak harus mengingat aspek regional, lokal, professional, dan kebiasaan;
  5. In case of uncertainties (general) conditions crawn up by a professional party are in principle construed in favour of other party, specially when the other party is a consumer;
  6. Persyaratan-persyaratan umum yang tertulis atau ketikan tambahan yang dicetak mengalahkan persyaratan yang dicetak; dan
  7. Suatu argumen a contrario harus digunakan dengan penuh hati-hati

Penyebutan prinsip-prinsip tersebut diatas tidak berarti bahwa daftar tersebut sebagai daftar prinsip penafsiran yang lengkap. Prinsip-prinsip tersebut menyebutkan beberapa pedoman umum penafsiran kontrak umum. Beberapa prinsip-prinsip tersebut di atas sebenarnya diambil dari ketentuan penafsiran dalam BW (lama).

Cara penafsiran yang demikian itu berbeda dengan yang dianut di Amerika Serikat. Jika di dalam sistem Civil Law, hakim dapat langsing menafsirkan kontrak berdasarkan asas itikad baik, sedangkan dalam sistem hukum common law, penafsiran kontrak umumnya diarahakan kepada unsur-unsur yang mengacu kepada para pihak (intention the parties).

Dalam penafsiran kontra, Williston membedakan antara primary and secondary rules of interpretation. Primary rules tersebut pengaturannya terdapat dalam Section 230 Restatement of Contract (Second) yang menentukan:

  1. The ordinary meaning of language throughout the country is given to words unless circumstances show that a different meaning is applicable;
  2. Technical term and words of art are given their technical meanings unless the context or a usage which is applicable indicates a different meaning;
  3. A writing is interpreted as a whole and all writings forming part of the same transaction are interpreted together;
  4. All circumstances accompanying the transaction may be taken into consideration, subject in case of integration to the qualification stated in Section 230;
  5. If the conduct of the parties subsequent to a manisfetation of intention indicates that all the parties placed a particular interpretation upon it, that meaning is adopted if a reasonable person could attch it to the manifestation.

Menurut Section 235 The Restatement of Contract (Second), primary rules ini diterapkan baik terhadap transaksi terintegrasi maupun tidak, dan semata-mata hanya sebagai pedoman untuk mencapai hasil akhir, yakni the correct application of the proper standard.

Secondary rules ditemukan dalam Section 236 The Restatement of Contract (Second). The secondary rules ini juga diterapkan baik terhadap transaksi yang terintegrasi maupun bukan, tetapi tidak perlu didalilkan kecuali dimana arti kata atau manifestasi kehendak tetap juga meragukan setelah menerapkan standar interpretasi yang ketat, dibantu oleh primary rules dalam interpretasi.

Corbin tidak membedakan antara primary rules dan secondary rules, standar utama interpretasi yang dipilih Corbin adalah kehendak para pihak yang tidak mensyaratkan bantuan dari primary rules. Dia juga tidak setuju bahwa secondary rules hanya dapat diterapkan dalam hal terdapat arti ganda. Corbin membuat hal itu jelas bahwa aturan interpretasi diambil hanya sebagai suggestive working rules.

Apa yang disebut williston sebagai the secondary rules of interpretation akan tampak memiliki sedikit sekali relevansi penentuan standar interpretasi yang dapat diterapkan apaka suatu mutual standard atau suatu individual standard. Menurut Williston, suatu standar bersama atau standar individual diterapkan jika ada makna ganda dan para pihak memberikan penjelasan terhadap pemahamannya. Menurut Corbin, hal itu dapat diterapkan dalam setiap kasus dimana pihak vansi interpretasi ini hanyalah berkaitan dengan permasalahan dari siapa mengetahui atau hendak mengetahui ambiguitas (Williston) atau siapa mengetahui atau akan mengetahui pemahaman pihak lainnya (Corbin).

Fungsi Menambah

Dengan adanya fungsi ini, itikad baik dapat menambah isi suatu kontrak tertentu dan juga dapat menambah kata-kata ketentuan undang-undang mengenai kontrak itu. Kondisi yang demikian dapat diterapkan apabila hak dan kewajiban yang timbul diantara para pihak secara tegas dinyatakan dalam kontrak.

Fungsi Membatasi dan Meniadakan

Dalam fungsi itikad baik yang katiga adalah fungsi membatasi dan meniadakan. Beberapa pakar hukum sebelum perang berpendapat bahwa itikad baik juga memiliki fungsi ini. Mereka mengajarkan bahwa suatu kontrak tertentu atau syarat tertentu dalam kontrak atau ketentuan undang-undang mengenai kontrak itu dapat dikesampingkan, jika sejak dibuatnya kontrak itu keadaan telah berubah, sehingga pelaksanaan kontrak itu menimbulkan ketidakadilan. Dalam keadaan yang demikian itu, kewajiban kontraktual dapat dibatasi, bahkan ditiadakan seluruhnya atas dasar itikad baik.

Jadi, itikad baik di sini secara eksplisit memberikan kewenangan kepada hakim atas dasar kepatutan dan keadilan untuk merevisi atau bahkan meniadakan seluruh atau sebagian isi dari kontrak mengikuti yurisprudensi di Belanda, maka kepatutan atau keadilan tersebut adalah kepatutan atau keadilan yang berkembang dalam masyarakat.

Scroll to Top
Open chat
1
Selamat datang di D-LEAD ada yang bisa kami bantu ?