Bisakah Masyarakat Menggugat Dampak Perubahan Iklim?

Share :

Bisakah Masyarakat Menggugat Akibat Dampak Perubahan Iklim?

Perubahan iklim bukan merupakan bencana alam yang datang tanpa sebab, melainkan dikarenakan juga andil manusia. Beragam aktivitas yang menghasilkan karbon kemudian  mengakibatkan efek gas rumah kaca (GRK) yang kemudian menjadi awal mula permasalahan global ini. Penggunaan energi batu bara menjadi salah satu kegiatan manusia yang menghasilkan zat karbon yang dimaksud. Oleh karena itu dibutuhkan kesadaran masyarakat serta langkah konkret dalam upaya mitigasi dan adaptasi perubahan iklim.

Isu perubahan iklim merupakan permasalahan yang menjadi trending topic akhir-akhir ini. Masalah perubahan iklim sudah menembus pola pikir masyarakat awam, tidak lagi pada perbincangan akademis saja. Berdasarkan temuan Litbang Kompas pada 8-11 Agustus 2023, terdapat sekitar 52,8 persen responden mengetahui isu pemanasan global yang menyebabkan perubahan iklim. Ditambah lagi masyarakat saat ini telah merasakan dampak dari perubahan iklim, seperti fenomena cuaca ekstrim berupa intensitas curah hujan yang tinggi, peningkatan temperatur di beberapa daerah, dan kekeringan berkepanjangan yang menyebabkan kerugian ekonomi karena terganggunya aktivitas pertanian dan bidang produksi lainnya. Cuaca ekstrim sebagai contohnya, sesuai dengan data BMKG wilayah Jakarta dan sekitarnya akan terkena hujan dengan intensitas yang cukup tinggi, setelah periode kemarau yang cukup panjang dari biasanya.  Hal ini sekaligus menjadi bentuk kemajuan pemahaman masyarakat Indonesia mengenai urgensi perubahan iklim dan transisi energi.

Langkah mitigasi perubahan iklim tentu dapat dilakukan dengan banyak cara. Ragam cara tersebut meliputi mitigasi yang dilakukan oleh pemerintah dengan pemberlakuan kebijakan transisi energi. Kedua, inisiatif masyarakat untuk menjalankan aktivitas rendah karbon seperti menggunakan transportasi publik dan pemakaian barang-barang yang tidak sekali pakai. Langkah-langkah tersebut yang cukup umum kita ketahui sebagai mitigasi perubahan iklim.

Kesadaran akan isu perubahan iklim dapat dibuktikan pula melalui berbagai upaya hukum yang dilayangkan oleh warga masyarakat, organisasi lingkungan hidup, ataupun pemerintah sebagai pihak yang terkena dampak perubahan iklim dalam kehidupannya sehari-hari. Upaya hukum tersebut merupakan salah satu bentuk keseriusan mitigasi dan adaptasi terhadap akibat negatif perubahan iklim dalam beberapa tahun terakhir.  Namun hal ini menimbulkan pertanyaan terkait bagaimana isu perubahan iklim dapat di bawa ke pengadilan dan bagaimana cara yang tepat untuk membawa isu tersebut sehingga hadir putusan yang sesuai dengan doktrin in dubio pro natura. Dengan doktrin tersebut, sekalipun hakim memiliki keragu-raguan akan bukti dalam persidangan, hakim tetap mengedepankan perlindungan lingkungan dalam putusannya.

1. Bentuk Litigasi Perubahan Iklim

Gugatan atau litigasi perubahan iklim dapat dipilah ke dalam beberapa klasifikasi bentuk berdasarkan penempatan gagasan tersebut dalam gugatan. Seperti yang dikatakan Peel dan Osofsky (2015), litigasi perubahan iklim tidaklah melulu menempatkan perubahan iklim sebagai dasar gugatan diajukan. Menurut Peel, terdapat beberapa klasifikasi gugatan yang termasuk litigasi perubahan iklim yang ditempatkan dalam lingkaran konsentris.

Litigasi Perubahan Iklim menurut Peel dan Osofsky (2015)

Klasifikasi pertama yaitu perubahan iklim sebagai isu sentral. Penggugat menggunakan isu perubahan iklim sebagai pokok gugatan mereka. Ciri khas yang terdapat dalam kategori ini ialah penggunaan terminologi seputar fenomena perubahan iklim yang cukup komprehensif. Contohnya masyarakat menggugat pemerintah daerah atas kenaikan suhu lingkungan di suatu kota atau kabupaten.

Jenis kedua yaitu litigasi dengan perubahan iklim sebagai isu periferal. Dalam pengajuan gugatan, permasalahan perubahan iklim ditempatkan bukan sebagai dasar gugatan tetapi sebagai implikasi dari sebuah tindakan. Misalnya, gugatan terhadap lahan gambut yang berdampak pelepasan gas rumah kaca berupa karbon.

Klasifikasi ketiga dan keempat yang tidak begitu kuat, yakni menempatkan perubahan iklim sebagai salah satu motivasi karena isu yang timbul. Walaupun tidak begitu kentara, Peel dan Osofsky tetap mengkategorikan ini sebagai upaya litigasi perubahan iklim.

2. Kendala dan Prospek Gugatan Perbuatan Melawan Hukum dalam Litigasi Perubahan Iklim

Ketentuan Perbuatan Melawan Hukum (PMH) dalam konteks lingkungan hidup di Indonesia diatur dalam Pasal 87 ayat (1) UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, dengan menyebutkan bahwa setiap pengusaha bertanggung jawab jika melakukan PMH berupa pencemaran atau perusakan lingkungan yang menimbulkan kerugian bagi orang lain, dia wajib untuk bertanggung jawab mengganti kerugian atas tindakannya tersebut.

Di sisi lain, dalam suatu gugatan PMH diperlukan syarat-syarat yang harus terpenuhi tergugat agar terbukti PMH. Syarat-syarat tersebut diantaranya: (1) adanya suatu pebuatan, ditandai dengan melakukan atau tidak melakukan sesuatu; (2) perbuatan adalah tindakan melawan hukum; (3) menimbulkan kerugian bagi orang lain; (4) hubungan kausalitas antara perbuatan yang melanggar hukum; (5) adanya unsur kesalahan (fault). Dari persyaratan tersebut terlihat sulitnya membuktikan kontribusi kegiatan pihak tergugat dalam peningkatan efek rumah kaca atau dampak perubahan iklim lainnya. Selain itu gugatan juga harus menyertakan bukti yang menunjukkan relasi antara kerugian yang diderita dengan perbuatan tergugat. Dengan kata lain kesulitan penggugat terletak pada hubungan kausalitas antara kesalahan tergugat dengan kerugian yang diderita penggugat.

Terlepas dari hambatan atau kesulitan diatas, Indonesia memiliki prospek yang baik dalam litigasi perubahan iklim melalui PMH. Contoh kasusnya yakni Kasus Komari dkk. Vs. Walikota Samarinda, putusan kasus tersebut memasukkan salah satu dalil yang membuktikan bahwa tergugat yakni Walikota Samarinda telah berkontribusi terhadap perubahan iklim di Samarinda. Walaupun pokok gugatannya adalah pada pemberian izin pertambangan yang tidak sesuai dengan prosedur. Penerapan gugatan perubahan iklim ini apabila dilihat dari teori klasifikasi diatas termasuk pada gugatan yang menempatkan perubahan iklim sebagai isu periferal atau sekunder. Isu perubahan iklim ditempatkan sebagai tambahan dari fokus gugatan.

Yang ingin ditekankan penulis, kesulitan-kesulitan diatas tidak menjadi halangan gugatan perubahan iklim diajukan. Karena apabila melihat klasifikasi yang disajikan Peel dan Osofsky, justru membuka kesempatan bagi kita yang resah terhadap kebijakan ataupun kegiatan yang berkontribusi terhadap perubahan iklim dengan mengajukan upaya hukum. Dimana kita sebagai warga negara tidak hanya bergantung pada kebijakan pemerintah dalam transisi energi. Melainkan bisa turut serta dalam upaya mitigasi dan adaptasi terhadap isu perubahan iklim.

Sumber:

  1. Zefanya Albrena Sembiring dan Audi Gusti Baihaqie, “Litigasi Perubahan Iklim Privat di Indonesia: Prospek dan Permasalahannya,” Jurnal Hukum Lingkungan Indonesia, Vol. 7, No. 1, 2020.
  2. Jacqueline Peel dan Hari M. Osofsky, Climate Change Litigation: Regulatory Pathways to Cleaner Energy, Cambridge: Cambridge University Press, 2015.
  3. Andri G. Wibisana, Penegakan Hukum Lingkungan Melalui Pertanggungjawaban Perdata, Depok: Badan Penerbit FHUI, 2017.

Ditulis oleh Audi Gusti Baihaqie, S.H., legal intern di Dewi Djalal & Partners.

Scroll to Top
Open chat
1
Selamat datang di D-LEAD ada yang bisa kami bantu ?