Modal Keilmuan Yang Harus Dimiliki Oleh Praktisi Hukum

Share :

Pertanyaan:

D-Lead yth.,

Apa saja ilmu atau informasi yang harus dikuasai oleh seorang praktisi hukum yang bekerja pada suatu law firm?

(Pertanyaan dari Nivi Esther)

Jawaban:

Informasi yang harus dimiliki oleh seorang praktisi hukum tidak hanya terbatas pada bidang keilmuannya saja, melainkan dituntut untuk lebih luas lagi. Hal mana dikarenakan para praktisi hukum dituntut untuk memiliki integritas dan kapabilitas terhadap perkembangan yang terjadi di berbagai sektor kemasyarakatan. Oleh karenanya tidak jarang dalam persebaran tugas berdasarkan jobdesk masing-masing praktisi, yang berkenaan dengan penguasaan informasi dapat dibedakan sebagai berikut:

  • Bidang litigasi, yang meliputi:
    1. peradilan perdata;
    2. peradilan pidana;
    3. peradilan niaga;
    4. peradilan agama;
    5. peradilan militer;
    6. peradilan pajak;
    7. peradilan perselisihan hubungan industrial;
    8. peradilan tata usaha negara;
    9. Arbitrase;
    10. alternatif penyelesaian sengketa;
    11. dan lain sebagainya.
  • Bidang non-litigasi, yang meliputi bidang-bidang sebagai berikut:

korporasi (lingkup bidang hukum perusahaan);

  1. penanaman modal asing;
  2. perbankan;
  3. lembaga pembiayaan;
  4. pasar modal;
  5. perdagangan lokal/internasional;
  6. kontraktor;
  7. industri kecil/menengah/besar;
  8. pertambangan;
  9. minyak dan gas bumi;
  10. dan lain sebagainya.

Rumpun pembidangan tersebut masih terdapat cabang-cabang turunannya, yang bahkan relevan apabila dikatakan bahwa cabang-cabang turunan tersebut justru memiliki tingkat kompleksitas tersendiri. Selanjutnya, pembidangan-pembidangan tersebut di atas jelas memiliki konsekuensi logis, bahwa seorang praktisi hukum dituntut untuk memiliki wawasan yang luas. Wawasan dimaksud adalah wawasan yang tidak terbatas pada bidang sosial melainkan juga pada bidang-bidang eksakta. Kemampuan seorang praktisi hukum terhadap suatu bidang tertentu lazimnya timbul berdasarkan intuisi ataupun minat dari diri yang bersangkutan, yang kemudian oleh pihak manajemen kantor hukum disikapi sebagai suatu potensi yang dimiliki oleh seorang praktisi hukum. Perlu kiranya untuk disampaikan bahwa pada pelaksanaannya pembidangan-pembidangan pada lingkup praktisi hukum secara umum hanya dibedakan 2 (dua), yaitu: (1)  litigasi; dan (2) non-litigasi. Oleh karenanya para praktisi hukum dituntut untuk memilih salah satu dari bidang tersebut atau terjun di kedua bidang dimaksud secara bersamaan. 

Dalam praktek juga dijumpai adanya kantor-kantor hukum yang menerapkan pembidangan-pembidangan tersebut, yang lazimnya seringkali diterapkan pada bidang non-litigasi. Tetapi di lain pihak terdapat kondisi yang terjadi dilapangan dimana para praktisi yang telah memilih minat konsentrasi keahlian hukum yang akan dijalankan. Selanjutnya, justru sebagai profesional dirinya dituntut untuk dapat menguasai seluruh bidang-bidang turunan yang ada. Alasannya adalah sebuah kantor hukum semaksimal mungkin berupaya untuk tetap menerima pekerjaan yang diberikan oleh kliennya, sepanjang masih berada dalam jalur hukum maupun latar belakang tuntutan terhadap diperlukannya eksistensi praktisi hukum. Pada saat ini yang terjadi selain ada beberapa kantor hukum yang menciutkan spesialisasinya, tetapi demikian pula sebaliknya banyak pula yang melakukan ekspansi spesialisasi penanganan kasusnya.

Penerapan pola pembidangan-pembidangan atau divisi-divisi tersebut sebenarnya dalam rangka untuk dapat menjerat pasar yang terdapat pada sektor-sektor yang khusus. Semisal sektor pertambangan, kontraktor, perbankan, pasar modal. Di lain pihak di bidang litigasi juga dijumpai hal serupa seperti bagi Kantor Hukum yang menguasai perkara kepailitan, masalah industrial, perceraian, tindak pidana korupsi, dan lain sebagainya, yang biasanya terbangun dikarenakan pembentukan benchmark oleh para partner-nya, yang tidak jarang dengan memberikan pernyataan di media massa bahwa kantor hukumnya adalah ahli dibidang penanganan kasus-kasus tersebut.

Apabila berbicara tentang masalah penanganan kasus memang tidak terdapat suatu keharusan yang menyatakan bahwa semua kasus harus diterima dan dikerjakan oleh Kantor Hukum. Seiring dengan berkembangnya teknologi dan praktek-praktek di masyarakat yang akhirnya bersinggungan dengan bidang hukum. Di lain pihak kantor hukum, dalam kondisi-kondisi tertentu, diperkenankan untuk menolak klien/perkara dengan berbagai alasan, seperti dikarenakan kasusnya memiliki unsur penggelapan hukum, penipuan, pemerasan, pendirian perseroan terbatas yang bidang usahanya bertentangan dengan hukum (misalnya: perjudian) atau bahkan dikarenakan biaya jasa hukumnya tidak sesuai dengan hasil negosiasi para pihak. 

Demikian jawaban dari kami, semoga dapat membantu.

Sumber: Hertanto, Ari Wahyudi. Kantor Hukum: Pendirian dan Manajemennya (Teori dan Praktik). Jakarta: Sinar Grafika, 2016.

 

Scroll to Top
Open chat
1
Selamat datang di D-LEAD ada yang bisa kami bantu ?