Pelanggaran Perjanjian Tidak Tertulis

Share :

Pertanyaan:

Saya adalah pengusaha kelas menengah. Bisnis saya adalah sebagai makelar untuk beberapa proyek yang berprospek dan tidak jarang dari usaha ini saya memperoleh penghasilan yang sangat menguntung kan. Saya ada masalah yaitu rekan bisnis saya tidak membayar jasa saya sebagai makelar. Padahal untuk proyek-proyek yang lalu terhadap pembayaran jasa saya sama sekali tidak bermasalah. Tetapi pada saat pembayaran kelima yang bersangkutan mangkir dan tidak mau membayar kepada saya. Padahal saya sudah memberikan bisnis yang dia inginkan. Saya dirugikan hampir Rp. 500 juta lebih. Dia berdalih bahwa antara saya dan dia tidak terdapat perjanjian apapun. Mohon redaksi kiranya dapat memberi bantuan dan solusi terhadap permasalahan yang saya hadapi. (Johan – Cipinang)

Jawab:

Terhadap masalah yang Bapak hadapi perlu kiranya dipahami terlebih dahulu bahwa antara Bapak dengan rekan usaha Bapak sejatinya telah terdapat sebuah hubungan perjanjian. Secara umum pemahaman orang tentang perjanjian selalu diasosiasikan dengan harus dibuat hitam di atas putih. Artinya, formalitas secara hukum memang dipersyaratkan bahwa suatu perikatan/perjanjian harus dibuat secara tertulis. Pada sisi yang lain, khususnya praktek di masyarakat, perjanjian tidak selalu dibuat secara tertulis.

Salah satu contohnya adalah kasus yang Bapak alami. Namun demikian, Bapak tetap diberikan perlindungan oleh hukum, dimana perjanjian antara Bapak dengan rekanan tetap berada di bawah lingkup hukum keperdataan. Pemahaman sederhana yang dapat diberikan adalah dari peristiwa hukum yang dijalani oleh Bapak telah lahir adanya konsep hak dan kewajiban, dimana secara umum hukum (perdata) selalu beranjak dari hak dan kewajiban. Bapak disatu sisi memiliki kewajiban untuk mencarikan kebutuhan dari rekan Bapak dan Bapak berhak atas pembayaran dari kinerja yang telah Bapak perbuat, sebaliknya rekan Bapak berhak atas objek atau kebutuhan yang dimintakan kepada Bapak dan apabila terlaksana prestasi tersebut, maka dirinya wajib untuk membayar jumlah tertentu kepada Bapak.

Intinya adalah perjanjian antara Bapak dengan rekan Bapak telah terjadi sejak tercapainya kata sepakat untuk para pihak saling mengikatkan diri dan menjalankan hak dan kewajibannya sebagaimana yang ditentukan oleh para pihak. Sesuai dengan ketentuan Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yang secara umum mengatur tentang syarat sahnya perjanjian, yang terdiri dari 4 (empat) macam, yaitu meliputi kata sepakat, cakap, hal tertentu dan kausa yang halal. Tetapi utamanya adalah telah tercapainya kata sepakat antar para pihak.

Bapak dalam hal ini dapat mengajukan gugatan perdata ke Pengadilan Negeri pada domisili hukum rekan Bapak atau Bapak, baik dengan didampingi pengacara ataupun memohon pada lembaga bantuan hukum setempat, untuk memperkarakan kasus ini. Faktor yang dapat dipergunakan untuk mendukung kasus Bapak adalah dengan telah dilakukannya pembayaran oleh rekan kerja Bapak sebanyak 4 (empat) kali. Harapan kami adalah terhadap keempat pembayaran tersebut Bapak telah melakukan dokumentasi yang baik, seperti dengan adanya tanda terima pembayaran berupa kwitansi, surat penagihan atau dokumen(-dokumen) lainnya, yang semaksimal mungkin dapat Bapak kumpulkan untuk dipergunakan sebagai alat bukti dihadapan pengadilan. Dengan adanya alat bukti tadi telah memperkuat kedudukan Bapak, bahwa antara Bapak dengan rekan kerja Bapak telah terdapat hubungan perjanjian. Upaya ini sejalan dengan ketentuan Pasal 1876 KUHPerdata yang menyatakan bahwa “barangsiapa tehadapnya dimajukan suatu tulisan di bawah tangan, diwajibkan secara mengakui atau memungkiri tanda tangannya.” Hal ini dilakukan terhadap alat bukti yang bukan berupa akta otentik, dan sudah barang tentu terhadap pembuktian akta otentik juga turut diatur dalam KUHPerdata.

Selanjutnya apabila dalam proses persidangan ternyata bukti-bukti tersebut masih dianggap kurang cukup, maka upaya lain yang dapat dilakukan adalah dengan memberikan sumpah sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1940 KUHPerdata, yang secara umum menyatakan bahwa “hakim dapat, karena jabatan, memerintahkan sumpah kepada salah satu pihak yang berperkara, untuk menggantungkan putusan perkara pada penyumpahan itu, atau menetapkan jumlah yang akan dikabulkan.”

Scroll to Top
Open chat
1
Selamat datang di D-LEAD ada yang bisa kami bantu ?