Pengertian Dissenting Opinion

Share :

Tinjauan Sederhana Terhadap Dissenting Opinion

Oleh: Ari Wahyudi Hertanto

Sekilas tentang Dissenting Opinion

Terminologi dissenting opinion menjadi bukan hal baru dikalangan masyarakat pada umumnya dan khususnya bagi kelompok masyarakat yang merupakan komunitas hukum yang memang secara tatanan keilmuan telah mempelajari teori-teori maupun aplikasinya dalam bidang hukum. Prinsip dari adanya dissenting opinion adalah dikaranekan adanya suatu perbedaan yang terjadi, yang di Indonesia isu ini mengemuka secara ekslusif di bidang hukum pidana. Pemahamannya adalah berkenaan dengan perbedaan pendapat antara majelis hakim yang ada sehubungan dengan kasus yang ditanganinya (yaitu sebagaimana yang terjadi di Indonesia), dan perbedaan antara putusan yang dibuat oleh majelis hakim yang menangani suatu kasus tertentu dengan majelis hakim lainnya yang menangani kasus tertentu lainnya.

Meskipun bukan merupakan suatu hal yang baru dalam tatanan teori maupun praktek hukum, tetapi yang ingin disampaikan dalam tulisan ini adalah berkenaan dengan upaya untuk memberikan suatu perspektif tentang penggunaan maupun dampak dari penggunakan mekanisme dissenting opinion tersebut. Tidak lain tujuannya adalah untuk memperkaya khasanah hukum dengan menyikapi kondisi yang terjadi pada saat ini, dan agar tercipata suatu kondisi yang sangat kondusif dalam rangka menegakan supremasi hukum di Indonesia.

Proses yang harus ditempuh dalam rangka tercapainya penegakan supremasi hukum merupakan suatu perjalanan panjang dan pekerjaan yang berkesinambungan, yang bukan secara khusus berada dipundak pemerintah dan aparat penegak hukum saja, melainkan peran serta masyarakat juga memiliki andil yang sangat fundamental. Peran masyarakat sudah barang tentu berkaitan dengan pembekalan, yang manifestasinya adalah pemberian informasi-informasi hukum, dimana dalam kerangka logika hukumnya mereka nantinya akan memahami arti penting dari penegakan hukum. Sehingga sasaran utamanya adalah tercipta suatu kesadaran hukum dalam tatanan komunal dan bukan parsial. Apabila keadaan ini dapat tercapai maka pemerintah dapat membangun sinergi dalam rangka penciptaan hukum dan penegakan hukum dalam pola yang sangat kondusif bersama-sama dengan aparat hukum dan masyarakat.

Sejarah kenegaraan pun menunjukan bahwa pengertian kegiatan tersebut merupakan salah satu upaya konkrit dalam mewujudkan demokratise rechtsstaat, yang secara berkesinambungan selalu berkembang sesuai dengan tingkat kecerdasan suatu bangsa. Oleh karenanya berpangkal tolak pada perumusan sebagai yang digariskan oleh pembentuk undang-undang dasar kita Indonesia ialah negara yang berdasar atas hukum dengan anggapan bahwa pola yang diambil tidak menyimpang dari pengertian negara hukum pada umumnya, disesuai dengan keadaan di Indonesia. Artinya digunakan dengan ukuran pandangan hidup maupun pandangan bernegara kita.

Indonesia Negara yang Berdasar atas Hukum

Penjelasan Undang-Undang Dasar 1945 (sebelum amandemen) ditegaskan bahwa Negara Indonesia berdasar atas hukum (Rechtstaat) tidak berdasar atas kekuasaan belaka (Machstaat). Dalam suatu Negara yang mengetengahkan wawasan Negara yang berdasar atas hukum (rechtsstaat), dan sekaligus menganut wawasan pemerintahan yang berdasarkan yang berdasarkan atas sistem konstitusi, pemenuhan ketentuan-ketentuan dalam Konstitusi merupakan suatu kewajiban yang harus dilaksanakan.

Lebih dalam lagi merujuk pada pendapat yang dinyatakan oleh Muhammad Yamin sehubungan dengan hal ini menyebutkan bahwa “oléh sebab itu maka dalam negara dan masjarakat Indonesia jang berkuasa pada hakékatnya bukannja manusia lagi, seperti berlaku dalam negara-negara Indonésia lama atau dalam negara asing jang mendjalankan kekuasaan pendjadjahan sebelum hari Proklamasi, melainkan warga Indonésia sendiri dalam suasana kemerdékaan jang dikuasai semata-mata oléh peraturan negara berupa perundang-undangan jang dibuatnja sendiri. Dasar negara-hukum tak sama dengan negara hukum-adat atas hukum-agama, dan sangat berlainan dengan negara-kekuasaan atau negara-polisi, karena dalam Republik Indonésia peraturan negara jang tertulislah jang memerintah: that laws and not men shall govern. Sjarat negara hukum itu terdapat dalam kalimat kata pembuka Undang-undang Dasar 1945 jang berbunji: maka disusunlah Kemerdékaan Kebangsaan Indonésia itu dalam suatu Undang-undang Dasar Negara Indonésia. Djadi jang mendjadi sumber hukum jang memantjarkan segala peraturan negara ialah Proklamasi kemerdékaan itu sendiri. Sedjak hari Proklamasi maka mulailah perkembangan hukum nasional jang tertulis.”

Sebagai negara yang berdasar atas hukum, sebagaimana yang telah dirumuskan dalam perubahan terhadap Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 1 ayat (3), Negara Republik Indonesia telah menempatkan diri dalam jajaran rechtsstaat yang material/sosial atau negara yang berdasar atas hukum dalam arti sebagai negara kesejahteraan atau verzorggingsstaat. Hal ini terlihat dalam alinea ke empat Pembukaan UUD 1945 yang merumuskan sebagai berikut:

“…untuk membentuk suatu pemerintahan negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, keadilan sosial…”

Untuk membangun suatu masyarakat yang memiliki tingkat kesadaran hukum yang proporsional, yaitu tatanan yang idealnya dicapai sebelum mencapai sebuah tingkat kesadaran hukum yang tinggi, maka diperlukan suatu sarana komunikasi maupun media informasi yang objektif dalam menyampaikan pandangan-pandangan tentang posisi atau reposisi kajian-kajian teoritis dan aplikatif dalam bidang hukum dalam tatanan seobjektif mungkin. Dengan demikian masyarakat dalam menyikapi suatu permasalahan hukum tidak melulu mengekor pada publikasi-publikasi media informasi yang secara tidak langsung ataupun langsung bertujuan untuk membentuk suatu opini publik, yang mana opini publik yang terbentuk itu ternyata menyesatkan. Akibat ketiadaan pembekalan informasi hukum tersebut masyarakat memiliki keyakinan yang seyakin-yakinnya secara tidak beralasan.

Tingkat wawasan pengetahuan masyarakat yang berbeda-beda, termasuk didalamnya wawasan tentang hukum, menjadikan sinergi yang diharapkan dapat tercipta justru menjadi sebaliknya. Gambaran umum dari keadaan masyarakat dan hukum di Indonesia saat ini dapat diilustrasikan seperti keadaan lalu lintas di Jakarta yang semrawut dan tidak beraturan. Sehingga baik pemerintah, aparat maupun anggota-anggota masyarakat pastilah mengalalmi kesulitan untuk melakukan identifikasi tentang akar permasalahan serta bagaimana upaya penyelesaian yang jitu.

Topik dissenting opinion ini juga merupakan satu aspek hukum yang juga perlu untuk dikritisi agar tidak terbentuk suatu opini yang keliru dikalangan masyarakat. Karena masyarakat mulai memiliki suatu persepsi bahwa dissenting opinion adalah suatu rekayasa hukum, yang bukannya berupaya menegakkan supremasi hukum disebabkan media tersebut justru memberikan kesempatan bagi para terdakwa korupsi, yang tidak jarang termasuk dalam kategori koruptor-koruptor kakap, terlepas dari jeratan pidana.

Popularitas Dissenting Opinion Pada Kasus-Kasus Pidana

Dissenting opinion bukan istilah asing lagi bagi masyarakat Indonesia. Istilah ini mencuat dikarenakan kasus-kasus (korupsi) yang ditangani oleh Mahkamah Agung. Padahal dissenting opinion sebenarnya tidak melulu didominasi oleh lingkup hukum pidana semata. Hal ini dikarenakan setiap manusia sudah barang tentu tidak akan luput dari silang pendapat. Bidang ilmu hukum menyikapi hal silang pendapat sebagai suatu keadaan yang wajar dikarenakan suatu perbedaan dipandang sebagai suatu kultur yang telah memasyarakat. Perbedaan, lazimnya dikarenakan pandangan, kepentingan, kehendak ataupun atas rasa keadilan, yang tidak jarang seseorang atau suatu institusi memperjuangkan apa yang diyakininya secara maksimal. Hukum menjembatani upaya-upaya perbedaan pendapat tersebut dengan maksud dan tujuan agar tidak tercipta deadlock, karena dikhawatirkan justru akan menimbulkan ketidakpastian hukum. Upaya ini harus didukung sepenuhnya, tetapi timbul pertanyaan sampai seberapa jauh upaya ini relevan untuk diberikan dukungan.

Dari berbagai kasus-kasus pidana (korupsi) yang sampai pada tingkat Mahkamah Agung, perbandingan antara yang dapat dipidana dengan yang tidak dapat dipidana merupakan pemandangan yang masih memprihatinkan. Para  koruptor yang jelas-jelas merugikan negara tetap dapat menikmati kehidupan layaknya orang yang tidak memiliki kesalahan apapun. Sehingga penulis memandang perlu untuk memperhatikan tentang konsep strafbaarheid (tindak pidana) secara teoritis dan kepada pelakunya dapat dipidana. Menurut tulisan Prof. Satochid Kartanegara, S.H., dikatakan bahwa yang dimaksud dengan strafbaarheid dari suatu delik adalah: (1) pelanggaran atau perkosaan kepentingan hukum (schending ofkrenking van een rechtsbelang); (2) sesuatu yang membahayakan kepentingan hukum (het in gevaar brongen van een rechtsbelang).

Rechtsbelang dalam hal ini diartikan sebagai kepentingan hukum, dan menurut beliau yang dimaksud dengan kepentingan hukum adalah: (1) hak-hak (rechten); (2) hubungan (rechtsvetrekkingen); (3) keadaan (toestanden); (4) bangunan masyarakat (sociale instellingen). Selanjutnya menurut beliau terdapat tiga macam kepentingan hukum yang memiliki keterkaitan yang signifikan, yaitu: (1) kepentingan perseorangan (individuelebelangen); (2) kepentingan masyarakat (maatschappelijkebelangen); dan kepentingan negara (statebelangen).

Uraian tersebut kami pandang penting untuk dijabarkan karena kami mencoba untuk menarik benang merah, dan sekalipun dikenal tiga macam kepentingan hukum tersebut, akan tetapi sebenarnya kepentingan hukum itu tidak dapat dipisah-pisahkan. Ini disebabkan, karena suatu kepentingan hukum itu baru dapat dianggap sebagai kepentingan perseorangan, bila kepentingan itu juga merupakan kepentingan masyarakat. Kepentingan hukum yang demikian itu adalah: (1) jiwa (leven); (2) badan (lijf); (3) kehormatan (eer); (4) kemerdekaan (vrijheid); (5) harta benda (vermorgen).

Adapun yang mengenai kepentingan hukum bagi masyarakat adalah ketentraman dan keamanan, sementara itu yang menjadi kepentingan hukum bagi negara adalah keamanan negara. Dengan demikian, pada hakekatnya kepentingan-kepentingan itu tidak dapat dipisahkan. Dengan menunjuk suatu kepentingan perseorangan akan tampak bahwa didalamnya tentu tersimpul pula kepentingan masyarakat, dan demikian pula sebaliknya.

Penulis mengutip tulisan Prof. Soetandyo Wignjosoebroto dalam bukunya Hukum – Paradigma, Metode dan Dinamika Masalahnya yang secara ekslusif membahas tentang hukum dan sistem ekonomi. Fungsi hukum di dalam market economy jelas berbeda sekali dengan fungsi hukum dalam planned economy. Kebebasan berkontrak tentu saja tak akan dapat lagi dikukuhi penuh-penuh, sehingga aktivitas ekonomi dan aktivitas bisnis pada dasarnya lalu tak lagi dikuasai oleh kaidah-kaidah hukum yang privaatrechtelijk, melainkan publikrechtelijk. Di sini hukum cenderung akan dipakai sebagai pemberi kewenangan-kewenangan baru kepada pemerintah (dan segenap aparatnya), atau juga sebagai pemberi legitimasi-legitimasi pada setiap tindakan pemerintah (dan segenap aparatnya) itu.

Diterimanya doktrin law as.is a tool of social engineering di negeri-negeri berkembang yang menganut tradisi civil law (seperti Indonesia dewasa ini) sesungguhnya akan bermakna secara implisit diterimanya ide sentralisasi kontrol terhadap seluruh bidang kehidupan – baik yang bisnis maupun yang non bisnis – berdasarkan hukum. Di sini regulasi akan berganda-ganda, sampai cenderung ke taraf terjadinya over regulation terhadap hampir seluruh aspek kehidupan masyarakat bangsa, sampai-sampai gampang timbul kesan bahwa hukum itu kini tidak lagi memiliki kedudukan supremasi, melainkan sudah terdegradasi cuma sebagai instrumen kontrol di tangan pemerintah (yang sudah terlalu terobsesi pada suksesnya pembangunan). Maka asas rule of the law tak lagi dipahami dalam praktik, dan terdistorsi menjadi suatu realitas rule (of the ruler) by law. Pada kenyataannya hal itu terjadi di Indonesia dan perangkat hukum pidana dibuat sedemikian rupa menjadi seolah-olah impoten dan tidak memiliki kekuatan dalam menentang segala bentuk kejahatan tingkat tinggi atau dominasi kekuasaan. Asumsinya adalah teori yang dilansir oleh Pound dan aktualisasinya di Indonesia sesuai dengan kekhawatiran yang telah jauh sebelumnya diprediksikan.

Perspektif Implementasi

Ada satu hal yang menarik untuk diperhatikan, menurut Jaksa Mere yang penulis jumpai dalam acara Eksaminasi Surat Dakwaan Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat Nomor Register Perkara 146/Pid.B/2001/PN.JKT.PST. Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor Register Perkara 1146/Pid.B/2001/PN.JKT.PST. Putusan Mahkamah Agung Nomor Registrasi Perkara 1696 K/Pid/2002 Dalam Perkara Tindak Pidana Korupsi dengan Terdakwa Samadikun Hartono, dimana pada kesempatan itu penulis menggagas bahwa sebenarnya dalam melakukan investigasi terhadap ada tidaknya tindak pidana dalam kasus melalui pendekatan-pendekatan sebagaimana yang ditentukan oleh Undang-undang No.1 tahun 1995, yaitu dalam kerangka fiduciary duty, terdapat kewajiban bagi direksi untuk melaporkan saham yang dimilikinya atau dimiliki keluarga, baik dalam dalam perseroan yang bersangkutan atau perseroan lainnya, sebagaimana diatur dalam Pasal 87 UUPT. Artinya mencoba untuk melakukan in-depth investigation dengan menggunakan segala ketentuan peraturan yang ada dan berlaku serta mengoptimalkannya agar pelaku tindak pidana (korupsi) dapat dihukum setimpal dengan perbuatannya.

Masyarakat Indonesia maupun kalangan bisnis internasional perlu kiranya untuk mengetahui bahwa sebagian besar perusahaan-perusahaan raksasa di Indonesia berdiri dalam bentuk perusahaan keluarga, dimana para pemegang saham memiliki hubungan keluarga dengan direksi dan/atau komisaris atau dengan orang-orang yang memegang posisi kunci dalam anak perusahaan dan/atau perusahaan terafiliasi. Tidak jarang dijumpai adanya pemilik suatu perusahaan yang tidak menghendaki status kepemilikannya atas suatu perusahaan diketahui oleh pemerintah atau umum. Oleh karenanya dikenal suatu sebutan special purpose vehicle (SPV) yang kadang dipergunakan oleh beberapa pengusaha, yaitu dengan mendirikan suatu perusahaan di negara yang dikenal sebagai tax haven countries, yang oleh karenanya pemerintah sekalipun tidak dapat melakukan infiltrasi terhadap kerahasiaan manajemen dalam perusahaan. Selanjutnya juga tidak jarang dijumpai adanya pemegang saham yang tidak terdaftar, yang terkadang bertindak sebagai bayangan dari eksekutif dalam menyokong setiap keputusan manajerial dari suatu perusahaan. Situasi semacam ini mengakibatkan pemerosotan moral dikalangan para pelaku bisnis, menambah resiko perusahaan dan menurunkan nilai perusahaan. Fakta tersebut juga mengakibatkan beralihnya dan hengkangnya investor asing dari Indonesia dan dipergunakan sebagai alasan lain, selain alasan tidak adanya kepastian hukum.

Jaksa Mere pada prinsipnya sepakat mengenai hal ini, tetapi justru pada prakteknya (berdasarkan pengalaman beliau) terdapat kesulitan yang signifikan, yaitu ketentuan tindak pidana korupsi merupakan ketentuan yang bersifat lex specialis terhadap ketentuan pidana nasional, sedangkan pada saat yang bersamaan diajukan pula perangkat perundang-undangan lainnya oleh Jaksa untuk dapat menjerat pelaku. Atas dasar pertimbangan hakim tersebut maka tuntutan yang diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum ditolak. Sehingga, berangkat dari pengalaman tersebut mengakibatkan Jaksa Penuntut Umum memiliki keragu-raguan untuk menggunakan perundang-undangan lainnya yang diasumsikan termasuk dalam kategori lex specialis. Sungguh hal tersebut merupakan hal memprihatinkan.

Berdasarkan hasil perbincangan antara penulis dengan Bapak A.Y. Day, mantan Jaksa, terdapat suatu hal yang menarik tentang dissenting opinion. Berdasarkan pengetahuan dan pengalaman beliau, dikatakan bahwa dissenting opinion yang terjadi di Amerika Serikat mekanismenya tidaklah sama seperti yang terjadi di Indonesia. Sudah barang tentu Amerika Serikat merupakan negara yang menggunakan common law system, yang berlandaskan pada judge made rules dan konsep rule of law.

Mengingat arti penting peranan hakim dalam membangun hukum, maka berbeda dengan Indonesia yang menggunakan sistem Eropa Kontinental, sehingga pada negara-negara yang menganut sistem common law diperlukan adanya persamaan paradigma ataupun wawasan dalam menyikapi kasus-kasus hukum yang terjadi dan terus berkembang. Hukum memang merupakan produk politik yang terbentuk dari peristiwa-peristiwa sosial kemasyarakatan yang terjadi secara berulang-ulang. Peran hakim disini merupakan  ujung tombak  dalam menentukan hukum ataupun sanksi apa yang akan ditegakkan. Apabila terdapat beberapa kasus yang belum memiliki suatu preseden atau putusan hakim yang serupa sebelumnya, maka seluruh hakim berkumpul. Agendanya tidak lain dikarenakan terjadinya dissenting opinion dalam menyikapi suatu kasus yang berkembang.

Dari perdebatan antar para hakim tersebut dengan pendapatnya masing-masing diharapkan akan muncul satu persamaan gagasan dalam menentukan hukum yang akan diterapkan terhadap suatu kasus yang baru. Hasil dari dengar pendapat tersebut pada akhirnya akan dipergunakan secara seragam terhadap kasus-kasus yang sama dan serupa di masa yang akan datang. Tidak tertutup kemungkinan bahwa hasil putusan yang diambil dari dissenting opinion para hakim tersebut akan dipergunakan dalam tingkat negara bagian.

Berbeda dengan hakim di Indonesia, dimana untuk menangani suatu kasus pidana maka dibentuklah suatu majelis, dan tidak tertutup kemungkinan anggota dari majelis tersebut juga menjadi anggota majelis dari kasus-kasus lainnya yang juga memiliki kesamaan dalam substansi perkaranya. Tidak tertutup kemungkinan dalam majelis yang mana dirinya sebagai anggota, terjadi suatu dissenting opinion, dan hakim yang bersangkutan mengeluarkan suatu gagasannya tentang hukum yang patut ditegakkan. Tapi perlu juga diingat bahwa hakim yang bersangkutan juga merupakan anggota dalam majelis hakim untuk kasus-kasus lainnya, dan yang penting untuk diperhatikan sampai seberapa jauh persistensinya terhadap pendapatnya untuk dihadapkan dengan kasus-kasus yang serupa.

Yang terjadi adalah tidak tertutupnya peluang ketidakadaan persistensi dari hakim terhadap pendapat yang dilontarkannya dengan kasus-kasus lain yang ditanganinya. Sehingga dapat dijumpai untuk hakim yang sama melontarkan pendapat yang berbeda pada kasus yang berbeda yang secara prinsip memiliki substansi yang sama. Ada adagium yang menarik untuk disimak ‘jikalau terhadap satu kasus terjadi dissenting opinion dan kasus lainnya juga terjadi dissenting opinion padahal substansinya sama tetapi pendapat yang digagas oleh hakim dalam kasus yang satu dengan yang lainnya berbeda, maka memperbesar kemungkinan terdakwa lolos dari jeratan hukum.’

Substansi dari dissenting opinion dalam penjabaran tersebut di atas sangat terlihat berbeda satu sama lain. Padahal tujuan yang ingin dicapai sebenarnya adalah sama untuk terciptanya suatu kepastian hukum. Namun, ternyata dalam aplikasinya kepastian hukum di Indonesia tersebut dapat dikatakan direlativisir dengan adanya dissenting opinion yang bernuansa majemuk dan tidak ada keseragaman.

Pentingnya untuk memaknai bahwa Indonesia menganut sistem Eropa Kontinental adalah dalam rangka memposisikan dissenting opinion menjadi pada tempatnya. Seperti halnya dissenting opinion di Amerika Serikat, sebenarnya yang diperdebatkan oleh para hakim adalah kasusnya. Penekanan terhadap kasus tersebut tidak lain agar tercipta suatu hukum baru yang sebelumnya memang belum ada atau belum secara tegas terdapat undang-undang atau hukum yang mengatur tentang suatu peristiwa hukum. Secara prinsip para hakim dimaksud berpegang teguh pada pemikiran judge made law. Hakim dituntut untuk senantiasa dapat menjawab dan memberikan kepastian hukum terhadap permasalahan-permasalahan yang timbul dalam masyarakat.

Lain halnya dengan sistem Eropa Kontinental yang bersifat dogmatis. Dikatakan demikian karena meskipun dilansir bahwa Indonesia menganut pluralisme hukum, tetapi dalam perundang-undangan masih berlandaskan pada paradigma Eropa Kontinental. Kondisi ini dapat dilihat, yaitu pada sistem peradilan pidana nasional tidak menggunakan sistem juri. Oleh karenanya segala sesuatunya kembali pada ketentuan undang-undang.

Berbicara tentang dissenting opinion, maka apabila hakim di Indonesia hendak menerapkan pola dissenting opinion seharusnya tidak berdasarkan kasus yang ditangani. Seharusnya yang diperdebatkan adalah pasal-pasal dalam undang-undang yang didakwakan kepada terdakwa. Perdebatan dapat terjadi dalam hal relevansi pasal-pasal yang didakwakan berkenaan dengan unsur-unsur pasal tersebut ataupun mengevaluasi ketentuan pasal-pasal dari undang-undang yang bersifat lex specialis yang relevan dengan kasus. Apabila penekanannya pada kasus, maka perlu ditinjau kembali apakah hal ini tidak salah kaprah. Seperti halnya yang telah dikemukakan penulis di atas, bahwa jika demikian adanya maka untuk kasus-kasus yang masih berjalan atau yang akan datang, dan bilamana tidak dilakukan perubahan secara mendasar, masyarakat sudah dapat memprediksi bahwa perbandingan yang tidak dapat dipidana dengan yang dipidana akan terpetakan secara gamblang.

Setelah mekanisme dissenting opinion ala Eropa Kontinental berjalan dengan semestinya, maka hakim dalam hal ini memiliki peran penting dalam mengkritisi suatu perangkat perundang-undangan. Harapan akan terciptanya suatu perundang-undangan yang populis dan berpihak kepada rakyat dapat direalisir berkat peran hakim tersebut. Tolok ukurnya adalah bilamana unsur-unsur dalam pasal yang didakwakan ternyata tidak lagi up to date dengan perkembangan kasus, yang ternyata selanjutnya disusul dengan kasus-kasus yang kurang lebih serupa atau bahkan lebih canggih lagi.

Jika memang demikian faktanya, maka bola tanggung jawab telah bergulir dan tidak lagi berada ditangan hakim, melainkan berada di Mahkamah Konstitusi sebagai super body yang memiliki kewenangan untuk melakukan eksminasi, peninjauan kembali ataupun uji materiil terhadap peraturan perundang-undangan nasional yang dipandang tidak lagi memenuhi tuntutan dan kebutuhan. Apabila keadaan ini dapat tercipta maka harapannya harmonisasi antara hukum, penegakkan supremasi hukum dan antisipasi terhadap globalisasi menjadi kenyataan yang tidak terbatas pada angan-angan utopis belaka. Hal mana dilandaskan pada pemikiran bahwa apakah kita hanya mengenal dissenting opinion saja? Jika demikian dimanakah sejatinya posisi concurent opinion?

Scroll to Top
Open chat
1
Selamat datang di D-LEAD ada yang bisa kami bantu ?