Pengorganisasian PT Menurut UU PT No 1/1995

Share :

Pengorganisasian PT Menurut UU PT No 1/1995 dan NBW: Perbandingan Kedudukan (Tugas dan Tanggung Jawab) Direksi berdasarkan Undang-Undang No. 1 Tahun 1995 dan BW Baru Belanda Serta Aplikasi Konsep Fiduciary Duties

Oleh: Arief Susijamto Wirjohoetomo, S.H., M.H.

PENDAHULUAN

Pada dasarnya, pengorganisasian Perseroan Terbatas (“Perseroan”) menurut UU PT No.1 Tahun 1995 (“UU PT”) dan BW Baru Belanda (“NBW”) adalah hampir sama, yaitu berdasarkan tiga organ : Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS), Direksi dan Komisaris. Karena luasnya permasalahan di sekitar organ-organ Perseroan, maka makalah ini bermaksud untuk memfokuskan pembahasan hanya mengenai salah satu organ Perseroan, yaitu Direksi, dimana akan diulas perbandingan kedudukan Direksi sebagaimana diatur dalam UU PT dan NBW, serta aplikasi konsep Fiduciary Duties Direksi di dalam ke dua aturan tersebut.

UU PT mendefinisikan Perseroan sebagai suatu badan hukum, yang didirikan berdasarkan perjanjian, melakukan kegiatan usaha dengan modal dasar yang seluruhnya terbagi dalam saham (Pasal 1 ayat 1 UU PT). Perseroan memperoleh status badan hukumnya setelah Akta Pendirian Perseroan disahkan oleh Menteri Kehakiman (Pasal 7 ayat 6 UU PT).

Suatu perseroan terbatas berdiri atas dasar perjanjian oleh dua atau lebih orang dengan akta resmi atau akta notaris, sesuai Pasal 7 ayat (1) dan pada ayat (2)  yang mewajibkan setiap pendiri untuk memiliki bagian saham pada saat perseroan didirikan.

Selanjutnya, sebagai badan hukum, Perseroan melaksanakan kegiatannya melalui organ-organ yang dimilikinya, yang terdiri dari (i) Rapat Umum Pemegang Saham (“RUPS”), (ii) Direksi dan (iii) Komisaris (Pasal 1 ayat 2 UU PT).

Sebagai organ Perseroan, Direksi bertanggung jawab penuh atas kegiatan pengurusan Perseroan untuk kepentingan dan dalam mencapai tujuan Perseroan, serta mewakili Perseroan dalam segala tindakannya, baik di dalam maupun di luar pengadilan (Pasal 1 ayat 4 UU PT), dan pengurusan perseroan dilakukan oleh Direksi (Pasal 79 ayat 1). Sedangkan Komisaris Perseroan bertugas untuk melakukan pengawasan secara umum dan atau khusus, serta memberikan nasehat kepada Direksi Perseroan dalam menjalankan Perseroan (Pasal 1 ayat 5 UU PT), dan yang wewenang dan kewajibannya ditetapkan dalam anggaran dasar (Pasal 94 ayat 1).

Selanjutnya RUPS sebagai organ pemegang kekuasaan tertinggi dalam Perseroan, melaksanakan segala hak-hak dan kewajiban-kewajiban serta wewenang dalam Perseroan yang pelaksanaannya tidak diserahkan kepada Direksi dan Komisaris Perseroan (Pasal 1 ayat 3 UU PT).

Doktrin  “Fiduciary Duties yang merupakan salah satu tema terpenting dalam hukum perusahaan, berasal dan berakar dalam hukum Romawi, tetapi banyak dikembangkan dalam sistem hukum Anglo Saxon, kini dengan arus globalisasi masuk menyusupi kedalam berbagai bidang hukum, terutama kedalam hukum perusahaan dengan memperkenalkan tugas “fiduciary” dari Direksi, dan perlakuan khusus dari UU PT mengenai “fiduciary duty” terhadap Direksi.

Kami berpendapat, bahwa pembahasan tentang “Fiduciary Duties” berkaitan dengan Perseroan sesungguhnya adalah pengupasan atau pembahasan tentang kedudukan, wewenang dan tanggung jawab Direksi, yang menerima mandat atas “kepercayaan” memberikan kewajiban yang besar, untuk melaksanakan tugasnya dengan sebaik mungkin dengan itikad baik yang tinggi, penuh tanggung jawab untuk mengelola aset perusahaan dan sepenuhnya untuk kepentingan tujuan perusahaan, melebihi kepentingan pribadinya.[1] (Munir Fuady 2002: 34)

Konsep “fiduciary duty” menimbulkan hubungan hukum yang disebut hubungan fiduciary  dari suatu perbuatan hukum yang disebut trust. Fiduciary mempunyai jus habendi, hak untuk mengubah harta benda menjadi actual possession, sementara jus disponendi merupakan hak untuk menginstruksikan trustee mengalihkan kepemilikan harta benda kepada pihak pihak yang ditentukan oleh beneficiary sendiri.

Mengingat sebagaimana ditegaskan dalam penjelasan atas Pasal 82 dan Pasal 100 ayat (2) UU PT, dinyatakan bahwa pengurusan Perseroan sebenarnya hanya dapat dilakukan oleh Direksi. Direksi sebagai organ Perseroan pada prinsipnya hanya bertanggung jawab terhadap Perseroan, dan bukan kepada pemegang saham secara perorangan. Yang mewakili Perseroan untuk menerima pertanggung jawaban dalam hal ini adalah RUPS, yaitu organ yang memegang kewenangan tertinggi dalam Perseroan.

Pada ketentuan di dalam BW Baru Belanda (“NBW”), Pasal 2.65 mengatur mengenai persyaratan pendirian Perseroan dimana dikatakan bahwa Perseroan harus didirikan dengan akte notaries, dengan ancaman tidak sah kalau tidak demikian. Bila hal tersebut tidak dipenuhi, maka Perseroan yang telah didirikan tidak akan mendapat pengesahan dari Menteri Kehakiman dan tidak dianggap sebagai Badan Hukum[2] (Rochmat Soemitro, 1993:41).

NBW Pasal 2.64 pada pokoknya menyatakan bahwa badan hukum ialah suatu badan yang dapat mempunyai harta kekayaan, hak serta kewajiban seperti orang secara pribadi, dan badan hukum dapat melakukan perbuatan hukum, mengadakan perjanjian melalui pengurus yang ditetapkan, sehingga perbuatan pengurus perseroan harus dianggap sebagai tindakan dan perbuatan Perseroan dan tentang perbuatannya Perseroan bertanggung jawab dengan seluruh harta kekayaannya.  Pengurus untuk pertama kali ditetapkan oleh pendiri, dan selanjutnya oleh RUPS (NBW Pasal 2.129).

Dalam hal pengurusan Perseroan oleh Direksi, kami menemukan sedikit perbedaan pengaturan antara UU PT dan NBW.  Pada dasarnya, di dalam UU PT, Direksi Perseroan diserahi pekerjaan dalam kedudukannya sebagai pengurus, akan tetapi pada NBW tidak selamanya demikian, karena menurut NBW, ada kalanya pangkat Direksi diberikan kepada orang yang tidak melakukan pekerjaan pengurus, sedangkan pekerjaan pengurus diserahkan kepada suatu dewan pengurus.[3]

Selanjutnya, berdasarkan ketentuan NBW Pasal 2130, ayat (4) disebutkan bahwa yang dimaksud dengan pengurus, hanyalah mereka yang diangkat oleh RUPS untuk waktu tertentu, baik bergaji atau tidak, untuk memimpin dan anggaran dasar dapat juga menunjuk orang lain yang diberi wewenang untuk mewakili Perseroan Terbatas.

Dalam tulisan ini akan dibahas tugas dan tanggung jawab Direksi sebagai pemeran utama di dalam menjalankan Perseroan menurut UU PT dan NBW, dan pengaruh doktrin Fudiciary Duties di dalam pelaksanaannya di dalam Perseroan.

PENGERTIAN DAN KETENTUAN KETENTUAN PERSEROAN TERBATAS PADA UU PT DAN NBW TERMASUK PENERAPAN DOKTRIN FIDUCIARY DUTIES PADA DIREKSI.

Pembahasan akan kami mulai dengan melihat ketentuan-ketentuan dasar mengenai pengertian Perseroan dan kewenangan serta tugas dan tanggung jawab Direksi, serta penerapan doktrin “Fiduciary Duties” pada Direksi selaku organ Perseroan yang bertanggung jawab penuh atas pengurusan Perseroan, ditinjau dari UU PT dan NBW.

Pengertian

Kata Perseroan dalam pengertian umum adalah perusahaan atau organisasi usaha. Sedangkan Perseroan adalah salah satu bentuk organisasi usaha atau badan usaha yang ada dan dikenal dalam sistem hukum dagang Indonesia.

Bentuk Perseroan merupakan bentuk yang lazim dan banyak dipakai dalam dunia usaha di Indonesia karena Perseroan merupakan asosiasi modal dan badan hukum yang mandiri.

Menurut NBW, Perseroan ialah: [4] (Rochmat Soemitro 1993:6)

  1. Persekutuan atau perseujuan antara dua orang atau lebih untuk meneyerahkan atau memusatkan sesuatu, barang, uang atau tenaga dengan maksud untuk mengusahakan itu dan membagi keuntungan yang didapatnya.
  2. Dengan modal perseroan yang tertentu yang terbagi atas saham saham.
  3. Para persero ikut serta dalam modal itu dengan mengambil satu saham atau lebih
  4. Melakukan perbuatan perbuatan hukum dibawah nama yang sama dengan tanggung jawab yang semata mata terbatas pada modal yang mereka setorkan.

UU PT dalam Pasal 1 ayat (1) memberi pengertian atau definisi tentang Perseroan, pada pokoknya menyatakan bahwa Perseroan adalah suatu badan hukum yang didirikan berdasarkan perjanjian, melakukan kegiatan usaha dengan modal dasar yang seluruhnya terbagi dalam saham, dan memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam UU PT serta peraturan pelaksanaannya.  Selanjutnya, disebutkan dalam Pasal 7 ayat (2) bahwa Perseroan Terbatas merupakan perjanjian antara dua orang atau lebih.

Sedangkan di dalam NBW Pasal 2.21. ditentukan bahwa definisi Perseroan adalah (i) persekutuan, yaitu persetujuan antara dua orang atau lebih untuk menyerahkan atau memusatkan sesuatu, barang, uang atau tenaga dengan maksud untuk mengusahakan itu dan membagi keuntungan yang didapatnya, (ii) dengan modal Perseroan yang tertentu yang terbagi atas saham-saham, (iii) para pesero ikut serta dalam modal itu dengan mengambil satu saham atau lebih, dan (iv) melakukan perbuatan-perbuatan hukum di bawah nama yang sama, dengan tanggung jawab yang semata-mata terbatas pada modal yang disetorkan (Pasal 2.65 BW Belanda).

Dengan demikian, tidak terdapat perbedaan yang kuat dalam hal pengertian Perseroan antara UU PT dan NBW.

Kewenangan Direksi

Di dalam UU PT, Pasal 79 ayat (1) dan Pasal 82 pada pokoknya menyatakan bahwa kepengurusan Perseroan dilakukan oleh Direksi. Ketentuan ini memberikan konsekuensi hukum, bahwa Direksi bertanggung jawab sepenuhnya atas setiap tindakan kepengurusan Perseroan untuk kepentingan dan tujuan Perseroan, serta mewakili Perseroan baik di dalam maupun di luar pengadilan. UU PT tidak membedakan kewenangan dan tanggung jawab dari masing-masing anggota Direksi terhadap Perseroan (bersifat kolegial). Di sini tanggung jawab Direksi adalah tanggung jawab dari seluruh anggota Direksi secara bersama-sama (tanggung renteng). Setiap kerugian yang diderita Perseroan atau pemegang saham Perseroan sebagai akibat tindakan (seorang anggota) Direksi, harus dipikul secara bersama-sama oleh seluruh anggota Direksi, kecuali dapat dibuktikan sebaliknya.

Sebagai bagian dari tugas perwakilannya, Pasal 83 ayat (1) UU PT memungkinkan masing-masing anggota Direksi untuk bertindak untuk dan atas nama dan karenanya mewakili Perseroan, kecuali dalam hal-hal yang ditentukan secara lain dalam UU PT dan atau Anggaran Dasar Perseroan.

UU PT juga membatasi kewenangan Direksi dalam melakukan pengurusan Perseroan dimana Direksi hanya dapat menjalankan roda perseroan sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan yang tertulis dalam Anggaran Dasar.  Pasal 88 UU PT mewajibkan Direksi untuk meminta persetujuan RUPS untuk perbuatan-perbuatan tertentu (seperti penjaminan utang).  Demikian pula, Pasal 84 ayat UU PT melarang anggota Direksi yang mempunyai benturan kepentingan untuk mewakili Perseroan baik di dalam maupun di luar Pengadilan.

Sedangkan di dalam NBW khususnya Pasal 2.129 dan Pasal 2130, yang masih mengacu kepada BW lama Belanda, ditentukan bahwa pada dasarnya direkturlah yang bertindak sebagai kuasa dari Perseroan yang mewakili Perseroan baik di luar maupun di dalam pengadilan.  BW Belanda Lama Pasal 51 juga mengatur mengenai benturan kepentingan dimana Direksi tidak diperkenankan melakukan tugasnya apabila terdapat benturan kepentingan antara kepentingan Direksi dan Perseroan.[5]

Demikian pula mengenai pengurusan, pada NBW pekerjaan pengurusnya dapat diberikan kepada direktur.  Akan tetapi hal ini tidak harus demikian, karena ada kalanya pangkat direktur diberikan kepada orang yang tidak melakukan pekerjaan pengurus, sedangkan pekerjaan pengurus diserahkan kepada suatu dewan pengurus.

Tugas dan Tanggung Jawab Direksi Dalam Perseroan

Penyusunan tugas dan tanggung jawab Direksi dalam UU PT terdapat dalam beberapa pasal terpisah. Pasal 82 UU PT menyebutkan bahwa Direksi bertanggung jawab penuh atas pengurusan Perseroan serta mewakili Perseroan baik di dalam maupun di luar pengadilan.  Pasal 85 ayat 1 mewajibkan Direksi dengan itikad baik dan penuh tanggung jawab menjalankan tugas untuk kepentingan dan usaha Perseroan. Selanjutnya, pasal 86 ayat (1 a) dan (1b) mewajibkan Direksi untuk membuat dan memelihara Daftar Pemegang Saham, risalah RUPS, risalah Rapat Direksi, menyelenggarakan pembukuan Perseroan dan hal lain yang bersifat operasional Perseroan.

Sedangkan di dalam NBW, tugas dan tanggungjawab Direksi diatur secara terpisah, yaitu untuk tugas atau kewajiban pengurus/Direksi diatur dalam Pasal 2.130 NBW, sedangkan tanggung jawab diatur dalam Pasal 2.139.

Menurut NBW Pasal 2.130, kewajiban pengurus/Direksi dapat dibagi dalam 3 (tiga) bagian, yaitu [6]:

  1. Mengurus harta kekayaan Perseroan,
  2. Mengemudi usaha-usaha Perseroan; dan
  3. Mewakili Perseroan di dalam dan di luar pengadilan. Adapun tanggung jawab pengurus/Direksi Perseroan.

Sedangkan tanggung jawab Direksi dalam NBW masih mengacu kepada BW lama Belanda, yaitu berdasarkan ketentuan Pasal 2.139 BW Belanda, yang pada pokoknya menyatakan bahwa tanggung jawab pengurus dapat dibagi dalam 2 bagian, yaitu (i) tanggung jawab keluar, terhadap pihak ketiga, dan tanggung jawab ke dalam[7] (Rochmat Soemitro :1993,41).

Prinsip Fiduciary Duty

Badan Hukum senantiasa tergantung dari wakil, yang lazim dinamakan Pengurus, untuk memperoleh hak dan kewajibannya. Ketergantungan tersebut menjadi sebab mengapa antara badan hukum dan pengurusnya lahir hubungan fidusia dimana pengurus selaku pihak yang dipercaya bertindak dan menggunakan wewenangnya hanya untuk kepentingan Perseroan semata-mata[8] (Phillip Lipton and Abraham Herszberg, Understanding Common Law, hal. 296, 1992).  Konsep Fiduciary Duty menimbulkan hubungan hukumyang disebut hubungan Fiduciary dari suatu perbuatan hukum yang disebut Trust.  Dengan demikian. Prinsip Fiduciary Duty berlaku bagi Direksi dalam menjalankan tugasnya baik dalam fungsinya sebagai manajemen, maupun fungsinya sebagai wakil Perseroan.

Bertitik tolak pada ketentuan-ketentuan dasar tentang Perseroan dan hal-hal yang berhubungan dengan “Fiduciary Duties” pada Direksi selaku organ Perseroan yang bertanggung jawab penuh atas pengurusan Perseroan, apabila ditinjau dari sudut pandang UU PT dan NBW.

PEMBAHASAN

Letak Perbedaan dan Persamaan Pengaturan Tentang Tugas dan Tanggung Jawab Direksi Perseroan ditinjau dari UU PT dan NBW

Pengaturan tentang tugas dan tanggung jawab Direksi di dalam Perseroan menurut UU PT diatur di dalam Pasal 79 ayat (1) dan Pasal 82, yang pada pokoknya menegaskan bahwa kepengurusan Perseroan dilakukan oleh Direksi dan bahwa Direksilah yang bertugas mewakili Perseroan di dalam dan di luar pengadilan. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa Direksi mempunyai tugas dan wewenang ganda, yaitu melaksanakan pengurusan dan menjalankan perwakilan Perseroan.

Batasan Direksi melaksanakan pengurusan Perseroan meliputi seluruh perbuatan hukum yang tercakup dalam maksud dan tujuan serta kegiatan usaha Perseroan sebagaimana hal itu dimuat di dalam anggaran dasar Perseroan yang bersangkutan. Dengan demikian Direksi adalah organ melalui mana Perseroan mengambil bagian dalam lalu lintas hukum sesuai maksud dan tujuannya. Ini pula yang menjadi sumber kewenangan Direksi untuk dan atas nama Perseroan melakukan perbuatan-perbuatan hukum dengan pihak ketiga atau dengan kata lain, mewakili Perseroan di dalam dan di luar pengadilan.  Kewenangan kepengurusan tersebut dipercayakan oleh Undang-Undang kepada Direksi untuk kepentingan Perseroan sebagai badan hukum yang mempunyai eksistensi sendiri selaku subyek hukum mandiri (persona standi in judicio)[9].

Kepengurusan oleh Direksi tidak terbatas pada memimpin dan menjalankan kegiatan rutin sehari-hari. Direksi berwenang dan wajib mengambil inisiatif dan membuat rencana masa depan Perseroan dalam rangka mewujudkan maksud dan tujuan Perseroan. Sebagaimana diketahui maksud dan tujuan Perseroan merupakan batas ruang lingkup kecakapan bertindak Perseroan.

Berdasarkan ketentuan UU PT, Pasal 79, ayat (1), Pasal 82, dan Pasal 85 pada pokoknya menentukan bahwa tugas, wewenang dan tanggung jawab Direksi dalam dalam melaksanakan pengurusan dan tugas perwakilan Perseroan adalah secara tanggung renteng atau dengan kata lain tugas, wewenang dan tanggung jawab kepengurusan dan perwakilan Direksi harus dilaksanakan secara bersama-sama (kolegial). Lebih jauh lagi, dalam hal kepailitan yang diakibatkan oleh kelalaian Direksi dalam menjalankan tugasnya, maka Pasal 90 UU PT menyatakan bahwa setiap anggota Direksi bertanggung jawab secara tanggung renteng apabila kekayaan Perseroan tidak mencukupi kewajibannya.

Dengan berbagai macam variasi yang mungkin ditemui dalam praktek, pada dasarnya dapat dikatakan bahwa pada hampir semua negara, setiap perbuatan hukum yang dilakukan oleh mereka yang patut diduga mewakili Perseroan, harus diterima dan diperlakukan sebagai perbuatan hukum Perseroan sepenuhnya. Demikian pula ketiadaan pemenuhan akan syarat-syarat pembatasan kewenangan yang berlaku tidak membatalkan perbuatan hukum tersebut, perbuatan hukum tersebut dianggap tetap mengikat Perseroan. Ini berarti Perseroan harus menanggung segala akibat hukumnya, walaupun dalam hal-hal tersebut di atas, “syarat subyektif” sahnya perbuatan hukum tersebut sebenarnya tidak terpenuhi. Dan oleh sebab itu pula, untuk menciptakan kepastian hukum mengenai kewenangan bertindak Direksi untuk dan atas nama Perseroan, pada banyak negara telah diberlakukan mekanisme disclosure tertentu, yang mewajibkan Perseroan yang bersangkutan untuk mengumumkan kewenangan bertindak dari Direksi, termasuk pihak-pihak lainnya yang ditunjuk atau diberi kuasa untuk bertindak untuk dan atas nama Perseroan, serta pembatasan kewenangan-kewenangannya. Ketentuan disclosure ini diharapkan dapat mengurangi seminimal mungkin resiko-resiko hukum yang tidak diharapkan.

Sementara itu, di dalam NBW tentang hal yang sama di atas masih mengacu pada BW lama Belanda, yang pada pokoknya menentukan tentang kewajiban Direksi adalah mengurus harta kekayaan Perseroan, mengemudi usaha Perseroan dan mewakili Perseroan di dalam dan di luar Pengadilan.

Mengurus harta kekayaan perseroan (beheer), berarti melakukan segala perbuatan sehari-hari dalam memelihara harta kekayaan Perseroan, termasuk melakuan segala perbuatan sehari-hari dalam memelihara harta kekayaan Perseroan, memajukan Perseroan, memperbesar atau memperkecil modal Perseroan dalam batas-batas tertentu, mencari kredit dsb. yang diperlukan untuk melancarkan jalannya perusahaan. Pengurusan Perseroan juga termasuk memberitahukan berkurangnya modal kepada kepaniteraan Pengadilan Negeri setempat, bilamana PT mengalami kerugian sehingga jumlah modal yang tersisa kurang dari 50% modal semula.  Pengurusan ini tidak termasuk mengurus soal likwidasi, menjual serta memberli barang tak tak bergerak, serta soal-soal lain yang tidak termasuk perbuatan sehari-hari.[10]

Mengemudi usaha-usaha perseroan (bestuur) berarti memimpin dan menyalurkan segala perbuatan perseroan ke arah mencapai tujuannya, termasuk kegiatan administrasi, memimpin jalannya perusahaan, dan melakukan panggilan RUPS[11].

Mewakili Perseroan di dalam dan di luar pengadilan maksudnya adalah bahwa Direksi memiliki kuasa yang sah untuk mewakili Perseroan dalam memelihara hubungan dengan luar.  Meskipun terdapat lebih dari satu anggota Direksi, tiap perbuatan seorang Direksi hanya akan dapat dianggap mengikat jika tindakannya itu dapat dianggap sebagai tindakan pengurus seluruhnya; dengan kata lain, tindakan itu harus disetujui oleh anggota pengurus lainnya[12] (Pasal 47 a Belanda Lama, NBW Pasal 2130).

Dengan demikian dapat dilihat bahwa secara prinsip, terdapat persamaan antara UU PT dan NBW, dan bahwa keduanya mengatur secara tersendiri tugas dan tanggung jawab Direksi di dalam Perseroan.  Mungkin terdapat sedikit perbedaan dalam hal penyusunan pasal-pasal mengenai tugas dan tanggung jawab itu sendiri.

Pelaksanaan prinsip “Fiduciary Duties” pada Direksi selaku salah satu organ Perseroan menurut UU PT dan NBW

Berbicara mengenai kedudukan Direksi dalam perspektif prinsip “Fiduciary Duties”, secara konseptual, prinsip “Fiduciary Duties” mengandung 3 (tiga) factor penting, yaitu:

  1. Prinsip yang merujuk kepada kemampuan serta kehati-hatian tindakan Direksi (duty of skill and care).
  2. Prinsip yang merujuk kepada itikad baik dari Direksi untuk bertindak semata-mata demi kepentingan dan tujuan Perseroan (duty of loyalty).
  3. Prinsip untuk tidak mengambil keuntungan pribadi atas suatu opportunity yang sebenarnya menjadi “milik” atau diperuntukkan bagi Perseroan (no secret profit rule – doctrine of corporate opportunity).

Demikian pentingnya prinsip “Fiduciary Duties” ini sehingga pelanggaran terhadap hal tersebut dapat membawa konsekuensi yang berat bagi Direksi, karena ia dapat dimintai pertanggung jawaban secara pribadi terhadap kerugian yang dialami Perseroan akibat tindakannya tersebut.[13]

  • Duty of Skill & Care

Kami melihat bahwa prinsip Duty of Skill and Care diterapkan dalam beberapa Pasal dalam UU PT.  Prinsip ini merujuk kepada kemampuan serta kehati-hatian tindakan Direksi dalam menjalankan fungsinya sebagai manajemen dan wakil Perseroan.  Dalam hal ini, Pasal 79 ayat (3) UU PT menetapkan kriteria orang-orang yang dapat diangkat menjadi Direksi, diantaranya, orang yang mampu melaksanakan perbuatan hukum, tidak pernah dinyatakan pailit, tidak pernah melakukan tindak pidana yang merugikan kuangan negara, dll.  Pasal 82 dan Pasal 85 juga menyebutkan bahwa Direksi bertanggung jawab penuh atas pengurusan Perseroan untuk semata-mata kepentingan Perseroan.  Apabila Direksi lalai – tidak hati-hati – dalam menjalankan tugasnya, maka masing-masing anggota Direksi bertanggung jawab penuh atas kerugian yang diakibatkan oleh kelalaiannya.

Sedangkan di dalam NBW, prinsip Duty of Skill and Care secara tersirat ada dalam Pasal 2.130 mengenai kewajiban Direksi untuk mengurus harta kekayaan Perseroan dan mengemudi usaha Perseroan.  Disebutkan bahwa Direksi wajib untuk mengurus harta Perseroan dengan asumsi bahwa Direksi tersebut haruslah mampu dan cakap dalam melakukan pengurusan harta Perseroan.  Direksi harus memiliki pendidikan dan pengalaman yang memadai dalam rangka melakukan pengurusan harta Perseroan.  Demikian pula kewajiban untuk mengemudi Perseroan yang termasuk memimpin Perseroan dan melakukan kegiatan administrasi tentunya haruslah berdasarkan kemampuan Direksi dan kehati-hatian Direksi dalam bertindak.  Tentunya jika Direksi lalai / tidak hati-hati dalam menjalankan pengurusan kewajibannya, Direksi harus bertanggung jawab kepada Perseroan (dimana ada pasal-pasal di dalam NBW yang memberikan hak kepada pemegang saham Perseroan untuk melakukan tuntutan terhadap Direksi).  Namun tidak seperti UU PT, NBW tidak mengatur kriteria mengenai siapa yang dapat diangkat sebagai direktur atau pengurus.  Menurut kebiasaan, Direksi diangkat atas usul Dewan Komisaris oleh RUPS.[14]

  • Duty Loyalty

Penerapan prinsip Duty of Loyalty merujuk pada sikap Direksi untuk bertindak berdasarkan itikad baik dan semata-mata untuk kepentingan dan tujuan Perseroan.  Hal ini tercermin dalam Pasal 85 ayat (1) yang kembali menegaskan bahwa setiap anggota Direksi wajib dengan itikad baik menjalankan tugasnya.  Kewenangan-kewenangan Direksi juga dibatasi dalam UU PT dimana Direksi hanya dapat menjalankan Perseroan sesuai dengan maksud dan tujuan sebagaimana dimaksud dalam Anggaran Dasar Perseroan. Kewenangan Direksi untuk perbuatan-perbuatan tertentu seperti penjaminan harta Perseroan dsb. dibatasi oleh UU PT pasal 88 yang mewajibkan Direksi untuk mendapatkan persetujuan RUPS.  Pasal 84 juga membatasi kewenangan Direksi untuk mewakili Perseroan apabila ada benturan kepentingan antara Direksi dan Perseroan.  Hal-hal tersebut sejalan dengan spirit dari prinsip Duty of Loyalty yang mengharuskan Direksi mendahulukan kepentingan Perseroan di atas kepentingan pribadi dalam hal transaksi – transaksi yang dilakukan Perseroan.

  • Doctrine of Corporate Opportunity

Doctrine of Corporate Opportunity mewajibkan Direksi untuk tidak mengambil keuntungan secara pribadi (no secret profit rule) atas suatu kesempatan (opportunity) atas suatu keuntungan yang sebenarnya menjadi milik Perseroan[15].  Hal ini sangat jelas tersirat dalam Pasal 85 ayat (1) yang mewajibkan Direksi menjalan tugas untuk kepentingan dan usaha Perseroan, bukan untuk kepentingan pribadi. Dalam Pasal 87 juga disebutkan bahwa setiap anggota Direksi wajib melaporkan kepada Perseroan mengenai kepemilikan sahamnya dan atau keluarganya pada Perseroan tersebut dan perseroan lain.  Ketentuan ini tentunya dikeluarkan untuk menguji adanya benturan kepentingan dalam suatu transaksi antara Direksi dan Perseroan dimana Direksi dapat bertindak untuk kepentingan pribadinya.  Pasal 87 ini juga dimaksudkan untuk mendeteksi posisi Direksi dalam hal terjadi insider trading, dimana Direksi dapat menyalahgunakan informasi yang dimilikinya sebagai “orang dalam” untuk kepentingan pribadinya.

Di dalam NBW, pengaturan mengenai keharusan anggota Direksi untuk melaporkan kekayaannya tidak dijabarkan serinci Pasal 87 UU PT.  Namun moral dan prinsip yang terkandung dalam Pasal 51 Belanda Lama mengenai benturan kepentingan secara implisit menerapkan doctrin of corporate opportunity dikarenakan pasal ini melarang anggota Direksi untuk terlibat transaksi yang mengandung benturan kepentingan.

KESIMPULAN DAN PENUTUP

Dari uraian yang telah diberikan di atas, terlihat bahwa dalam hal kedudukan Direksi sebagaimana diatur dalam UU PT dan NBW pada prinsipnya terdapat banyak kesamaan.  Perbedaan yang ada mungkin hanya dalam pola penyusunan tugas dan kewajiban Direksi.

Analisa di atas juga menjelaskan bahwa prinsip-prinsip Fiduciary Duties diterapkan dalam pasal-pasal UU PT dan NBW mengenai tugas dan tanggung jawab Direksi.  Kami mencatat bahwa UU PT secaral lebih eksplisit menekankan doctrine of corporate opportunity dibandingkan dengan NBW dimana UU PT mewajibkan setiap anggota Direksi untuk melaporkan kepada Perseroan mengenai kepemilikan sahamnya dan atau keluarganya pada Perseroan tersebut dan perseroan lain.

Dapat juga digambarkan bahwa “Fiduciary Duties” yang mengikat Direksi dalam menjalankan tugas sebenarnya memberikan keseimbangan antara hal-hal yang dilarang dan dibolehkan untuk dilakukan oleh Direksi. Sehingga, kekhawatiran akan sulitnya kedudukan Direksi berdasarkan UU PT maupun BW Belanda sebenarnya tidak perlu dipermasalahkan. Namun demikian, di dalam UU PT, khususnya yang mengatur masalah kewenangan Direksi, di dalam Penjelasan resmi pasal demi pasal dari UU PT, ternyata masih memerlukan penjelasan lebih lanjut berupa suatu peraturan pelaksanaan, agar tidak menimbulkan kerancuan dan kesalahpengertian lebih jauh mengenai hal-hal tersebut di atas. Dan yang lebih penting lagi, peraturan pelaksanaan dari ketentuan-ketentuan tersebut harus dibuat seadil-adilnya, dengan tidak melupakan perlindungan terhadap pihak ketiga yang beritikad baik, sebagaimana dapat kita lihat pada ketentuan di dalam NBW.

DAFTAR PUSTAKA

  1. Hukum Perusahaan Perseroan Terbatas, Khusus Pemahaman Undang-Undang No. 1 Tahun 1995, I.G. Rai Widjaja, Penerbit Megapoin, Tahun 1996.
  2. Hukum Perseroan Terbatas, Yayasan dan Wakaf, Rochmat Soemitro, Penerbit Eresco Bandung, Tahun 1993.
  1. Kedudukan Direksi: Suatu Tinjauan Berdasarkan Konsep Fiduciary Duties, oleh Bambang Kesowo, Wakil Sekretaris Kabinet-Sekretariat Negara RI, disampaikan pada Panel Diskusi tentang Hubungan antara Pemegang Saham, Direksi dan Komisaris: Hak, Wewenang dan Tanggung Jawabnya, di Jakarta, tanggal 12 Juni 1995.
  2. Fiduciary Duties, Direksi Perseroan Terbatas Menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1995, Fred B.G. Tumbuan, disampaikan pada Panel Diskusi tentang Hubungan antara Pemegang Saham, Direksi dan Komisaris: Hak, Wewenang dan Tanggung Jawabnya, di Jakarta, tanggal 12 Juni 1995.

[1]Munir Fuady , Doktrin Doktrin Hukum Bisnis, tahun  2002.

[2]Hukum Perseroan Terbatas, Yayasan dan Wakaf, Rochmat Soemitro,    Penerbit Eresco Bandung, Tahun 1993. halaman 6

[3]Ibid, hal.41

[4] Ibd, hal.6

[5] Ibid, hal.53

[6]Ibid, hal.42

[7]Ibid, hal.46-48

[8] Fiduciary Duties, Direksi Perseroan Terbatas Menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1995, Fred B.G. Tumbuan, disampaikan pada Panel Diskusi tentang Hubungan antara Pemegang Saham, Direksi dan Komisaris: Hak, Wewenang dan Tanggung Jawabnya, di Jakarta, tanggal 12 Juni 1995.

[9]Fred Tumbuan, hal. 3.

[10]Rochmat Soemitro, hal.42-43

[11]Ibid

[12]Ibid

[13]Kedudukan Direksi: Suatu Tinjauan Berdasarkan Konsep Fiduciary Duties, oleh Bambang Kesowo, Wakil Sekretaris Kabinet-Sekretariat Negara RI, disampaikan pada Panel Diskusi tentang Hubungan antara Pemegang Saham, Direksi dan Komisaris: Hak, Wewenang dan Tanggung Jawabnya, di Jakarta, tanggal 12 Juni 1995, halaman 3.

[14] Rochmat Soemitro, halaman 42-43

[15]Bambang Kesowo, hal. 11

Scroll to Top
Open chat
1
Selamat datang di D-LEAD ada yang bisa kami bantu ?