Oleh: Arief Susijamto Wirjohoetomo, S.H., M.H.[1]
PENDAHULUAN
Undang-Undang Perseroan Terbatas Nomor 1 Tahun 1995 (“UUPT”) mendefinisikan Perseroan Terbatas sebagai suatu badan hukum, yang didirikan berdasarkan perjanjian, melakukan kegiatan usaha dengan modal dasar yang seluruhnya terbagi dalam saham (Pasal 1 ayat (1) UUPT). Perseroan memperoleh status badan hukumnya setelah Akta Pendirian Perseroan disahkan oleh Menteri Kehakiman (Pasal 7 ayat (6) UUPT). Selanjutnya, sebagai badan hukum, Perseroan Terbatas melaksanakan kegiatannya melalui organ-organ yang dimilikinya, yang terdiri dari : Rapat Umum Pemegang Saham, Direksi dan Komisaris (Pasal 1 ayat (2) UUPT).
UUPT menyatakan bahwa kepengurusan Perseroan dilakukan oleh Direksi (Pasal 79 ayat (1) UUPT). Ketentuan ini memberikan konsekuensi hukum, bahwa Direksi bertanggung jawab sepenuhnya atas setiap tindakan kepengurusan Perseroan untuk kepentingan dan tujuan Perseroan, serta mewakili Perseroan baik di dalam maupun di luar pengadilan (Pasal 82 UUPT). Undang-Undang tidak membedakan kewenangan dan tanggung jawab dari masing-masing anggota Direksi terhadap Perseroan. Di sini tanggung jawab dari seluruh anggota Direksi secara bersama-sama (tanggung renteng). Setiap kerugian yang diderita Perseroan atau pemegang saham Perseroan sebagai akibat tindakan (seorang anggota) Direksi, harus dipikul secara bersama-sama oleh seluruh anggota Direksi, kecuali dapat dibuktikan sebaliknya.
Walau demikian, untuk kepentingan praktis, Pasal 83 ayat (1) memungkinkan masing-masing anggota Direksi untuk bertindak untuk dan atas nama dan karenanya mewakili Perseroan, kecuali dalam hal-hal yang ditentukan secara lain dalam UUPT ini dan atau Anggaran Dasar Perseroan.
Meskipun secara umum dikatakan bahwa Direksi berwenang mewakili Perseroan untuk segala hal, di dalam dan di luar pengadilan, namun demikian, UUPT memberikan kemungkinan kepada para pendiri dan atau pemegang saham Perseroan untuk membatasi kewenangan Direksi dalam Anggaran Dasar Perseroan (Pasal 83 ayat (2) UUPT). Namun demikian, perlu diperhatikan bahwa peraturan pembagian tugas dan wewenang dimaksud merupakan tatanan organisasi intern Perseroan dan oleh karena itu hanya mempunyai kekuatan hukum ke dalam yang tidak mengikat pihak ketiga. Oleh karena itu pihak ketiga tidak perlu meneliti apakah anggota direksi tertentu dengna siapa ia berhubungan mempunyai tugas dan wewenang menurut tatan organisasi intern Perseroan. Cukup bagi pihak ketiga mengecek bahwa anggota Direksi yang bersangkutan berwenang mewakili Perseroan sesuai dengan anggaran dasarnya.[2]
Penegasan ini mengandung baik elemen kewenangan maupun elemen kewajibna bagi Direksi. Kewajiban Direksi dalam hal ini ibarat “kendali” terhadap kewenangan penuh yang dimilikinya dalam melaksanakan kepengurusan tersebut. Kendali tersebut pada dasarnya merupakan perwujudan dari prinsip yang dikenal sebagai “fiduciary duties”, yaitu prinsip yang lahir karena tugas dan kedudukan yang dipercayakan kepadanya (Direksi) oleh Perseroan.[3]
Sebagaimana telah disinggung di atas, bahwa Direksi melakukan kepengurusan atas Perseroan, dan bertanggung jawab penuh atas pengurusan tersebut, untuk kepentingan dan dalam mencapai tujuan Perseroan, serta mewakili Perseroan dalam segala tindakannya, baik di dalam maupun di luar pengadilan. Dalam melaksanakan kepengurusan terhadap Perseroan tersebut, UUPT tidak hanya memberikan tugas dan pertanggung jawaban oleh Direksi terhadap Perseroan dan para pemegang saham Perseroan, melainkan juga terhadap setiap pihak (ketiga) yang berhubungan hukum, baik langsung maupun tidak langsung dengan Perseroan.
Perseroan yang merupakan badan hukum atau “artificial person” mampu bertindak melakukan perbuatan hukum melalui “wakilnya”. Oleh karena itu Perseroan juga merupakan subyek hukum, yaitu subyek hukum mandiri (“persona standi in judicio).3 Perseroan bisa mempunyai hak dan kewajiban dalam hubungan hukum.
Perseroan sebagai badan dan subyek hukum mempunyai hak dan kewajiban. Hak dan kewajiban Perseroan dilaksanakan oleh organ Perseroan yaitu Direksi Perseroan Selanjutnya Direksi bertanggung jawab penuh atas pengurusan Perseroan. Artinya, secara “fiduciary” harus melaksanakan “standard of care”. Jadi disini terdapat “Confidential Relation” antara Perseroan sebagai badan hukum dengan pengurus sebagai “natural person” yang dibebankan tugas dan kewajiban berdasarkan “fiduciary”, yang dilaksanakan untuk kepentingan dan tujuan Perseroan. Oleh karena itu, Direksi melakukan tugas dan kewajiban atau tindakan hukum berdasarkan kemampuan serta kehati-hatian (duty of skill and care) yang diperlukan untuk mewujudkan kepentingan dan tujuan Perseroan.[4]
URAIAN SINGKAT TENTANG DOKTRIN-DOKTRIN MODERN HUKUM PERUSAHAAN
Kepengurusan Perseroan yang antara lain meliputi pengurusan sehari-hari, dilakukan oleh Direksi. Keberadaan Direksi dalam suatu Perseroan merupakan suatu keharusan atau dengan kata lain Perseroan wajib memiliki Direksi, karena Perseroan sebagai “artificial person” tidak dapat berbuat apa-apa tanpa adanya bantuan dari anggota Direksi sebagai “natural person”. [5]
Adapun permasalahan yang kemungkinan akan timbul adalah bagaimana “Peranan Perseroan Dalam Mengantisipasi Globalisasi Dikaitkan Dengan Kemungkinan Pengaruh Hukum Asing Terhadap Pelaksanaan UUPT di Masa Yang Akan Datang”, adalah sebagai berikut:
- Fiduciary Duty
Fiduciary Duty adalah suatu doktrin yang berasal dari sistem hukum Common Law yang mengajarkan bahwa antara Direktur dengan Perseroan terdapat hubungan fiduciary. Sehingga pihak Direktur hanya bertindak seperti seorang trustee atau agen semata-mata, yang mempunyai kewajiban mengabdi sepenuhnya dan dengan sebaik-baiknya kepada Perseroan. UUPT tidak menyebut dengan jelas-jelas diberlakukannya prinsip Fiduciary Duty ini. Oleh karenanya, dalam menghadapi dan mengantisipasi arus globalisasi ini, sangat diperlukan bagi Perseroan agar lebih berperan dengan memberlakukan prinsip Fiduciary Duty secara penuh dan keseluruhan.
- Corporate Opportunity
Prinsip Corporate Opportunity sebenarnya juga sebagai konsekuensi dari pemberlakuan prinsip Fiduciary Duty. Doktrin Corporate Opportunity mengajarkan bahwa Direktur harus lebih mengutamakan kepentingan Perseroan daripada kepentingan pribadi terhadap transaksi yang menimbulkan “conflict of interest”. [6]
Seorang Direktur tidak boleh mengambil keuntungan-keuntungan tersembunyi atau terselubung dari suatu transaksi Perseroan. Jika misalnya baik Perseroan maupun pribadi Direktur sama-sama dapat melakukan suatu transaksi bisnis yang tentunya dapat membawa profit, maka transaksi tersebut harus diberikan kepada Perseroan. Karena kepentingan Perseroan haruslah lebih didahulukan.
- Self Dealing
Yang dimaksud dengan doktrin Self Dealing adalah setiap transaksi yang dilakukan antara Direktur Perseroan dengan Perseroan itu sendiri. Baik dilakukan langsung oleh Direktur yang bersangkutan, ataupun secara tidak langsung, misalnya melalui saudara-saudaranya.
Krusialnya transaksi berbentuk Self Dealing ini adalah adanya conflict of interest antara kepentingan Direktur itu sendiri dengan kepentingan Perseroan. Namun, di dalam UUPT, tidak ditemukan doktrin tentang Self Dealing ini diberlakukan. Untuk itu, dimasa yang akan datang sangat diperlukan untuk memberlakukan prinsip Self Dealing untuk sebagai salah satu doktrin bagi Perseroan dalam menghadapi era globalisasi.
- Business Judgement Rule
Agak melawan arus dengan prinsip Fiduciary Duty, dikenal pula apa yang disebut dengan Business Judgement Rule. Business Judgement Rule ini mendalilkan bahwa seorang Direktur tidak dapat dimintakan tanggung jawabnya secara pribadi atas tindakannya yang dilakukan dalam kedudukannya sebagai Direktur, yang dia yakini sebagai tindakan terbaik buat Perseroan dan dilakukannya secara jujur, beritikad baik dan tidak bertentangan dengan hukum yang berlaku.Sungguhpun tindakan tersebut ternyata keliru atau tidak menguntungkan atau bahkan merugikan Perseroan. Dengan demikian bahkan pengadilan pun atau Rapat Umum Pemegang saham tidak boleh melakukan “second guess” terhadap keputusan bisnis (business judgement) dari Direktur.
Di dalam UUPT tidak terdapat tanda-tanda dalam UUPT untuk memberlakukan business judgement rule ini. Oleh karena itu, dimasa yang akan datang, business judgement rule sangat diperlukan sebagai salah satu prinsip yang harus dijalankan oleh Perseroan dalam menjalankan kebijakannya.
- Piercing the Corporate Veil
Kata “piercing” berarti mengoyak atau menembus, sementara kata “veil” berarti kerudung atau cadar. Maka ungkapan piercing the corporate veil secara harafiah berarti cadar badan hukum dikoyak atau ditembusi. Dalam penerapannya ke dalam ilmu hukum Perseroan, doktrin Piercing the Corporate Veil berarti bahwa hukum tidak memberlakukan prinsip terpisahnya tanggung jawab dan harta kekayaan badan hukum dari tanggung jawab dan harta benda pemegang sahamnya, sungguhpun secara de jure seluruh persyaratan yang harus dipenuhi oleh suatu Perseroan untuk dapat menjadi suatu badan hukum telah sempurna dilakukannya. Jadi cadar yang membatasi badan hukum dengan pemegang sahamnya dapat dikoyak. Dengan demikian, berdasarkan doktrin Piercing the Corporate Veil ini, kemungkinan pemegang saham dalam hal-hal tertentu ikut bertanggung jawab sampai kepada harta pribadinya atas tindakan yang dilakukan oleh dan atas nama Perseroan sendiri.
Doktrin Piercing the Corporate Veil ini bertujuan untuk menghindari hal-hal yang tidak adil terutama bagi pihak luar Perseroan dari tidnakan sewenang-wenang atau tidak layak yang dilakukan atas nama Perseroan, baik yang terbit dari suatu transaksi dengan pihak ketiga ataupun yang timbul dari perbuatan menyesatkan atau perbuatan melawan hukum.
Doktrin Piercing the Corporate Veil ini sangat diperlukan oleh suatu Perseroan dalam menghadapi dan mengantisipasi arus globalisasi yang sangat kuat.
- Derivative Action
Derivative Action merupakan gugatan yang dilakukan oleh seorang atau lebih pemegang saham untuk memberlakukan “Cause of Action” dari Perseroan. Artinya, gugatan yang seharusnya dilakukan oleh dan atas nama Perseroan, dilakukan oleh satu atau lebih pemegang saham atas nama Perseroan. Yang digugat itu siapa saja, seperti Direktur atau pihak ketiga. Karena itu, jika gugatannya tersebut berhasil, maka hasil dari gugatan tersebut menjadi milik Perseroan, bukan milik pemegang saham.
UUPT tidak membuka kemungkinan diberlakukannya Derivative Action, akan tetapi, dimasa yang akan datang, perlu kiranya prinsip ini dilaksanakan untuk kepentingan Perseroan.
- Ultra Vires
Doktrin ultra vires mengajarkan bahwa Perseroan tidak dapat melakukan kegiatan di luar dari kekuasaan Perseroan. Kekuasan Perseroan tersebut diperinci dalam anggaran dasarnya. Namun demikian, mengikuti teori tentang pemberian kuasa, maka Direksi akan bertanggung jawab jika Perseroan melakukan kegiatan-kegiatan yang tidak terdapat anggaran dasar. Karena itu berarti Direktur tersebut telah melampaui kewenangan yang diberikan kepadanya oleh anggaran dasarnya.
Doktrin ultra vires ini walaupun berkembang pesat di negara-negara Anglo Saxon, tetapi sebenarnya telah lama juga dianut oleh negara-negara Civil Law termasuk Indonesia. Hanya saja, apa yang diterapkan di negara-negara Anglo Saxon lebih tegas dan terperinci.
- Corporate Ratification
Doktrin Corporate Ratification mengajarkan bahwa Perseroan dapat menerima tindakan yang dilakukan oleh organ lain dalam Perseroan tersebut, sekaligus mengambil-alih tanggung jawab organ lain dimaksud.
Dengan demikian, doktrin Corporate Ratification merupakan salah satu prinsip yang sangat penting bagi Perseroan dalam menghadapi era globalisasi yang akan datang.
Dengan demikian, perlu kiranya UUPT segera dilakukan revisi untuk mengantisipasi derasnya arus globalisasi dewasa ini, dan untuk dapat bersaing dengan perusahaan-perusahaan asing lainnya.
KESIMPULAN
Berdasarkan uraian-uraian yang telah disampaikan pada Bagian I, II, dan III tersebut di atas, maka ditarik kesimpulan hal-hal sebagai berikut :
- Peranan dan kedudukan Perseroan dewasa ini sangat diperlukan dan berfungsi strategis dalam pengembangan sumber daya manusia dan peningkatan produksi.
- Perlunya doktrin-doktrin pada Bagian II di atas diberlakukan secara penuh dan keseluruhan, guna untuk mengantisipasi tantangan-tantangan yang harus dihadapi di era globalisasi dewasa ini.
- Perlunya revisi bagi UUPT, agar dalam menghadapi setiap permasalahan yang dihadapi oleh Perseroan dapat mengikuti perkembangan jaman yang ada dan hasilnya dapat dirasakan oleh para pelaku pasar dan konsumen pasar yang satu sama lain dapat saling menguntungkan.
DAFTAR PUSTAKA
Fred B.G. Tumbuan, Paper tentang “Fiduciary Duties” Direksi PT Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas.
Bambang Kesowo, Paper tentang “Kedudukan Direksi: Suatu Tinjauan Berdasarkan Konsep Fiduciary Duties.
I.G. Rai Widjaja, Hukum Perusahaan Perseroan Terbatas, Jakarta, 1995, Penerbit PT. Megapoin.
I.G. Rai Widjaja, Hukum Perusahaan, Jakarta, 2002, PT. Megapoin.
Munir Fuady, Hukum Perusahaan Dalam Paradigma Hukum Bisnis, Bandung 1995, Penerbit PT. Citra Aditya Bhakti.
C.S.T Kansil dan Christian S.T. Kansil, Kitab Undang-Undang Hukum Perusahaan,, Jakarta, 1999, Penerbit PT. Pradnya Paramita.
[1]Penulis adalah salah seorang partner dari Subarkah, Madurani, Wirjohoetomo, attorney & counselors at law.
[2]Fred B.G. Tumbuan, Paper tentang “Fiduciary Duties” Direksi PT Menurut UUPT, hlm. 7
[3] Bambang Kesowo, Paper tentang “Kedudukan Direksi: Suatu Tinjauan Berdasarkan Konsep Fiduciary Duties, hlm. 3
[4] I.G. Rai Widjaja, Hukum Perusahaan, hlm. 208-209
Munir Fuady, Hukum Perusahaan, hlm. 4-9