Peran Serta Warga Negara Dalam Pembangunan Hukum Di Indonesia Suatu Kajian Hukum Dasar Sebagai Proses Internalisasi

Share :

Oleh:
Dr. Ari Wahyudi Hertanto, S.H., M.H.

A. Pendahuluan

Masyarakat Indonesia telah mengenyam kemerdekaan lebih dari setengah abad
lamanya. Begitu banyak kemajuan diberbagai bidang yang telah dirasakan dan dinikmati oleh seluruh rakyat Indonesia, yang secara paralel turut diiringi dengan berbagai macam krisis sebagai penyeimbang (ataupun dapat ditafsirkan sebagai suatu konsekuensi konkuren) dari sebuah kemajuan. Tidak pelak bahwa masih ada kelompok-kelompok masyarakat yang menyatakan bahwa kelompoknya hingga saat ini belum merasakan makna dari kemerdekaan maupun pembangunan seutuhnya. Suatu hal yang juga perlu untuk diperhatikan adalah masyarakat kedudukannya dalam sebuah negara adalah subjek dan juga merupakan anggota suatu komunitas tertentu, yang sudah barang tentu memberikan kontribusinya bagi negara, baik secara langsung maupun tidak langsung, baik disadari maupun tidak disadari. Kontribusi dimaksud dapat ditafsirkan dalam tatanan kenegaraan sebagai suatu perubahan yang mengarah pada keadaan yang sifatnya konstruktif maupun destruktif.

Oleh karenanya rakyat merupakan pondasi dari sebuah organisasi kenegaraan
yang dapat dikatakan sebagai sendi-sendi kehidupan dari bertumbuh dan
berkembangnya sebuah negara, ataupun dalam konteks sebaliknya. Pemahaman akan makna kontribusi dimaksud bukan berarti kontribusi melulu dalam bentuk yang makro tetapi juga mikro. Pendekatan secara mikro dilakukan dengan pemahaman layaknya sebuah arloji, sebuah sekrup terkecil sekalipun, yang seringkali diabaikan oleh para pengguna arloji, justru pada kenyataannya memberikan kontribusi yang sangat signifikan demi berfungsinya sebuah arloji secara optimal. Sederhananya adalah jika salah satu baut tersebut berkarat, maka apabila tidak segera diperbaiki akan berakibat terjadinya persebaran karat yang menjadikan fungsi arloji tersebut menjadi terganggu atau bahkan berakibat pada kerusakan total.

Masyarakat Indonesia, yang dalam hal ini juga merupakan bagian dari Negara Indonesia yang notabene sebagai warga negara Indonesia, dalam menciptakan ketertiban umum dan kesusilaan (dalam tatanan penegakan hukum) menurut hemat
penulis memang diperlukan adanya kesadaran hukum yang timbul dalam dalam diri
masing-masing individu anggota masyarakat. Perlu untuk kiranya ditekankan bahwa
dalam rangka menciptakan suatu iklim hukum yang kondusif dan konstruktif mutlak
diperlukan adanya kesadaran hukum. Sebenarnya kesadaran hukum seperti apa yang
dikehendaki dalam menciptakan iklim hukum yang dicita-citakan selama ini? Kesadaran hukum dimaksud salah satu parameternya adalah kesadaran hukum yang bersifat kolektif, dalam konteks yang lebih luas. Luas memiliki suatu pemahaman tidak hanya pada kelompok tertentu, namun diupayakan dalam tingkat regional bahkan dalam tingkat nasional.

Ironis mungkin kata-kata yang terlalu tajam untuk dipergunakan dalam menyikapi
hukum dan masyarakat di Indonesia, tetapi dengan deskripsi sederhana di bawah ini
penulis dapat memberikan suatu penafsiran bagi yang membacanya. Sebagaimana
dikemukakan di atas bahwa Indonesia telah merdeka lebih dari setengah abad lamanya, tetapi yang sangat memprihatinkan adalah masyarakat Indonesia sepertinya tidak memiliki suatu kesadaran hukum yang dapat dikatakan ideal. Beberapa contoh dapat dikemukakan, antara lain lalu lintas ibukota yang semrawut, yang mana kondisi semacam ini dipersamakan atau relevan bila diidentikkan dengan kesemrawutan hukum. Fasilitas umum, layaknya transportasi, komunikasi, olah raga, sanitasi dan lain sebagainya yang hampir sebagian besar tidak dirawat oleh masyarakat, apakah juga merupakan gambaran konkrit yang sebenar-benarnya tentang masyarakat Indonesia saat ini.

Semestinya dalam tatanan sosial kemasyarakatan dapat dibentuk suatu
pemahaman-pemahaman yang sifatnya menanamkan dan menjembatani berbagai
bentuk perbedaan, latar belakang, budaya maupun kebiasaan masyarakat yang satu
dengan yang lainnya. Meskipun secara teoritis telah diketahui bersama bahwa sebagai bangsa yang majemuk yang telah menegara, bangsa Indonesia dalam membina dan membangunan atau menyelenggarakan kehidupan nasionalnya, baik pada aspek politik, ekonomi, sosial budaya maupun pertahanan keamanannya, selalu mengutamakan persatuan dan kesatuan bangsa serta kesatuan wilayah. Untuk itu pembinaan dan penyelenggaraan tata kehidupan bangsa dan negara Indonesia disusun atas dasar hubungan timbal balik antara falsafah, cita-cita dan tujuan nasional, serta kondisi sosial budaya dan pengalaman sejarah yang menumbuhkan kesadaran tentang kemajemukan dan kebhinekaannya dengan mengutamakan persatuan dan kesatuan nasional.

Padahal Proklamasi Kemerdekaan Indonesia dan Mukadimah Konstitusi
Republik Indonesia 1945 sungguhlah dua lembar kertas yang luas dan dalamnya sama dengan samudera politik yang tidak berpantai. Tanggal 22 Juni dan 17 Agustus 1945 adalah 2 saat dalam seluruh sejarah Indonesia yang demikian pentingnya, sehingga suatu rakyat jajahan atas tenaga sendiri dan keinginan berdaulat dapat menyusun kekuatannya untuk membentuk suatu negara merdeka, yang mempunyai pemerintahan yang berdaulat di atas daerah benua kepulauan yang luas dan suatu bangsa yang pada saat itu 75 juta jiwa dan sekarang bertambah menjadi 220 juta jiwa. Tidak ada suatu tokoh asingpun yang memerdekakan bangsa itu, melainkan usaha pergerakan baru berhasil setelah memberontak di bawah penindasan kolonial selama berabad-abad dan setelah berjuang setelah berpuluh-puluh tahun dalam pergerakan kemerdekaan. Maka tanggal 22 Juni 1945 pertama kalinya suara pejuang mulai didengungkan dan dituliskan, dan pada tanggal 17 Agustus 1945 maka Rakyat Indonesia memutuskan rantai perbudakan dengan membentuk negara yang merdeka Republik Indonesia. Perputaran nasib yang begitu besarnya berkumandang di atas dunia dan di seluruh jaman sejarah, sehingga isi surat permakluman kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1945 menjadilah sumber hidup dengan amanat yang tidak ternilai harganya bagi rakyat Indonesia turun temurun.

Amanat yang demikian besar adalah tanggung jawab yang tidak hanya dibebankan pada para pemimpin, melainkan pada seluruh warga negara Indonesia. Semangat kemerdekaan sepertinya telah terdegradasi, bahkan untuk generasi muda mungkin tidak memiliki suatu pemahaman tentang sejarah perjuangan bangsa. Segala sesuatunya hanya dihidupkan dalam suasana seremonial tanpa makna khusus yang
tersirat. Padahal momentum yang mengubah nasib sejarah bangsa ini seharusnya
jangan sekali-kali diabaikan, karena bangsa yang besar adalah mereka-mereka yang
menghargai jasa perjuangan para pejuangnya. Upaya-upaya yang dapat dilakukan
adalah dengan merefleksikan diri kita pada semangat juang para founding fathers, yaitu jiwa untuk senantiasa menjaga, melestarikan, mempertahankan, mengisi dan
mempertanggungjawabkan kemerdekaan.

Melalui pemaparan tersebut di atas, maka tulisan ini akan mengkritisi tentang peran warga negara sebagai bagian dari masyarakat dalam rangka menciptakan pembangunan hukum dalam rangka melestarikan hukum dasar. Sudut tinjauannya akan dilakukan secara umum dengan menggunakan pendekatan teoritis dan historis, yang harapannya dapat dipergunakan sebagai bahan internalisasi agar setiap warga negara menyadari peran pentingnya dalam kehidupan sosial kemasyarakatan dan andil yang diberikannya kepada negara.

B. Hubungannya dengan Teori-Teori Umum Tentang Negara

George Wilhelm Friedrich Hegel (1770-1831) menyatakan bahwa tujuan negara
adalah negara itu sendiri. Negara itu adalah “person” yang mempunyai kemampuan
sendiri dalam melaksanakan “idee” umum. Negara dapat memelihara dan
menyempurnakan dirinya sendiri. Maka kewajiban tertinggi manusia adalah menjadi
warga suatu negara dengan baik. Disini negara ditempatkan sebagai sesuatu yang
agung dan tinggi, negara menjadi tujuan kehidupan manusia itu sendiri. Dengan kata
lain negara itu tidak punya tujuan, karena ia sendiri merupakan tujuan. Rumusan
tersebut sebenarnya secara umum meninjau tentang tujuan negara, yang pada
hakekatnya mencoba untuk menelaah tentang tentang eksistensi sebuah tujuan negaradengan negara itu sendiri.

Namun demikian pendapat Hegel ini banyak ditanggapi lain. Negara tetap harus
memiliki tujuan, karena negara harus diposisikan sebagai alat atau wadah untuk
mencapai tujuan-tujuan umat manusia. Oleh karena itu negara harus dapat mewujudkan tujuan-tujuan tertentu dari suatu komunitas manusia dalam geografis tertentu itu untuk menjaga kelangsungan hidupnya. Sehingga dapat dipahami bahwa tujuan-tujuan negara itu dapat berbeda berdasarkan situasi, kondisi dan sejarah dari masing-masing negara yang terbentuk itu.

Terlepas dari adanya pertentangan yang mengemuka, hal yang menarik yang
dikemukakan oleh Hegel adalah selain mempersonifikasikan negara, tetapi juga
mengenai manusia sebagai kontributor utama dari sebuah organisasi yang bernama
negara. Artinya, manusia sebagai mahluk sosial memang menghendaki adanya suatu
wadah manajemen kemasyarakatan, yang dapat menaungi dan memberikan segala
sesuatu yang diperlukannya sebagai suatu bentuk simbiosis mutualis. Penafsiran yang dapat diberikan adalah manusia adalah yang melahirkan ide dari sebuah tujuan untuk terbentuknya negara dan manusia itu sendiri memiliki kemampuan untuk menjalankan ide tersebut secara konkrit. Dengan kata lain eksistensi warga negara adalah lahir dari ide manusia yang menghendaki hal yang sedemikian itu untuk terjadi. Apabila manusia memiliki kemampuan untuk menjalankan ide, maka manusia jugalah yang memiliki kemampuan untuk menghancurkannya.

Apabila kita menilik kembali pada era perjuangan fisik yaitu pada awal abad XIX, dimana perjuangan kemerdekaan bangsa Indonesia mulai bersifat universal atau
meliputi seluruh wilayah Indonesia. Kondisi ini dapat dilihat dari terbentuknya organisasi Boedi Oetomo yang berdasar pada asas nasionalisme, lahirnya Sumpah Pemuda pada tanggal 28 Oktober 1928 dan tahap selanjutnya adalah pernyataan kemerdekaan rakyat Indonesia tanggal 17 Agustus 1945. Pada saat Proklamasi Kemerdekaan terjadi suatu samenval van momentum, yaitu pada saat yang bersamaan selain terbentuk negara Indonesia sekaligus terbentuk pula bangsa/natie Indonesia. Penggunaan kata atas nama berarti mewakili seluruh rakyat dalam wilayah Indonesia saat itu dari Sabang sampai Merauke. Seluruh proses ini menunjukkan bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang mempunyai kesadaran untuk membentuk negara ( natie ).

Sejak tanggal 17 Agustus 1945 tidaklah saja rakyat Indonesia mengemudikan
nasibnya sendiri dan menutup zaman penghinaan dan penjajahan, melainkan juga
memulai peperangan kemerdekaan, yang membela konstitusi, kemerdekaan
kebangsaan dan kedaulatan negara Republik Indonesia.

Isi naskah Proklamasi kemerdekaan berarti melukiskan ketetapan hati masyarakat Indonesia, supaya revolusi dan mahayuda kemerdekaan itu berhasil penuh mencapai kemenangan dalam menegakkan Republik Indonesia atas kemerdekaan seratus persen. Suara rakyatlah yang memproklamasikan kemerdekaan, dan kekuasaan
rakyatlah Indonesialah yang berpindah ke dalam tangan Negara Republik Indonesia
Merdeka, sehinga rakyat Indonesialah yang menggugurkan dari kedua belah bahunya
segala bentuk penjajahan asing dan feodalisme nasional untuk menjalankan revolusi
dan peperangan kemerdekaan, sebagai akibat penyorakan rakyat yang membentuk dan mendapat kedaulatan negara pada tanggal 17 Agustus 1945. Lemah kerasnya desakan musuh dan turun naiknya kemenangan perjuangan rakyat hanyalah dapat diukur dengan kemerdekaan penuh, seperti diingini rakyat dalam Proklamasi 17 Agustus dan Deklarasi 22 Juni 1945. Bangsa Indonesia memerdekakan dirinya pada tanggal 17 Agustus ialah dengan kesadaran untuk selama-lamanya.

Dapat dibayangkan bahwa dalam kondisi yang sangat terbatas, terutama dalam
kaitannya dengan informasi dan teknologi, para founding fathers telah berhasil
mengantarkan generasi-generasi berikutnya agar dapat menghirup udara kemerdekaan. Sebuah slogan yang akrab di telinga kita yang disampaikan oleh Bung Karno sang proklamator, yang mengatakan “kuantar kau ke pintu gerbang” merupakan sebuah kalimat yang memiliki makna yang sangat mendalam. Tetapi justru setelah merdeka pada kebanyakan generasi muda justru tidak menyikapi hal tersebut sebagai suatu hal yang memiliki makna yang sedemikian besar. Kemerdekaan yang diperoleh melalui pengorbanan, tenaga, pemikiran dan darah dari manusia-manusia pendahulu mereka tidak serap dan dihayati. Padahal yang seharusnya dilakukan adalah bagaimana tongkat estafet yang diserahterimakan dari generasi terdahulu kepada mereka, sebagai wujud amanat tertinggi, dapat dijaga, dipertahankan dan dilestarikan dengan sebaik-baiknya.

Sesuatu hal lain yang tidak kalah menarik untuk diangkat dan mungkin pada
generasi sekarang pemahaman konsep ini telah mengalami degradasi, yaitu dalam teori kenegaaraan kita mengenal beberapa sarjana yang mengupas masalah unsur bangsa. Dr. Hertz, menyatakan bahwa dinamika suatu bangsa dapat dilihat dari perkembangan kesadaran bernegara atau kesadaran nasional dari bangsa tersebut, yang meliputi empat macam unsur, yaitu :

  1. Keinginan akan kesatuan. Menurut Ernest Renan keinginan akan kesatuan
    merupakan satu–satunya unsur kesadaran nasional dari suatu bangsa.
  2. Keinginan untuk mencapai kemerdekaan.
  3. Keinginan untuk mencapai keaslian bangsa, terlepas dari pengaruh asing.
  4. Keinginan akan kehormatan, yang merupakan rasa hormat pada para pahlawan
    bangsa/negara.

Selanjutnya Rousseau menyatakan bahwa bangsa dapat dibagi dalam dua
golongan yaitu Citoyen dan Suyet. Citoyen, merupakan golongan yang menetukan
suara terbanyak dari rakyat (volonte generale) yang merupakan keputusan–keputusan negara. Jadi merupakan golongan yang bersifat aktif (status aktif). Sedangkan suyet merupakan golongan yang tunduk pada kehendak suara terbanyak, sehingga bersifat pasif (status pasif). Teori lainnya dikemukakan oleh G. Jellinek yang menyatakan bahwa bangsa apabila dilihat secara individual merupakan warga negara. Ia harus dilihat sebagai suatu ikatan dengan negara yang menimbulkan hak dan kewajiban serta yang membedakannya dengan warga negara asing. Sehubungan dengan hal tersebut, Jellinek mengemukakan teori status warga negara, yaitu:

  1. Status negatif, yaitu bahwa negara tidak boleh mengganggu hak asasi warga.
    Dalam sistem negara yang bercorak liberal hal ini merupakan status warga
    negara, yang terpenting yang kemudian dikembangkan dengan konstruksi hak
    asasi adalah penting bagi kewenangan penyelenggara negara. Status positif
    diusahakan masing-masing sehingga yang kuat yang menang. Di negara kita,
    akibat penjajahan, status positif menjadi lebih penting, dan mempertahankan
    status negatif adalah sejauh menunjang secara efektif pelaksanaan status positif.
  2. Status positif, bahwa setiap warga berhak mendapatkan kemakmuran dari
    negara. Status ini sebenarnya merupakan status yang didambakan oleh rakyat,
    artinya sebagai warga negara kita berhak memperoleh sesuatu yang positif dari
    organisasi negara kita, dalam hal ini terutama yang berhubungan dengan
    kemakmuran dan kesejahteraan. Negara tidak boleh pasif melainkan harus
    secara positif memberi sesuatu dan tidak membiarkan rakyat mengurus dirinya
    sendiri dalam hal kesejahteraan dan kemakmuran (liberalisme dan etatisme).
  3. Status aktif, yaitu hak setiap warga untuk turut aktif dalam setiap kegiatan
    kenegaraan. Merupakan golongan Citoyen dalam teori Rousseau. Pelaksanaan
    hak dan kewajiban yang paling utama tersebut, status aktif terjelma dalam
    bentuk kegiatan ikut serta dalam pemilihan umum. Jadi dahulu kemungkinannya
    adalah seorang hanya satu kali selama 5 tahun ikut aktif dalam organisasi
    negara, namun sekarang dengan digulirkannya pilkada maka tidak lagi menjadi
    demikian, tetapi perlu diperhatikan bahwa selebihnya warga negara yang
    bersangkutan tetap berada dalam ketiga status lainnya. Kegiatan pemilihan
    umum tersebut hatus kita lihak sebagai penjelamaan fungsi integrasi dari negara,
    sehingga negara benar-benar ada bagi rakyat. Dalam sejarah kenegaraan di
    negara-negara lain, seringkali terjadi karena minimnya realisasi ketiga ketiga
    status warga negara lainnya tadi, maka pelaksanaan status aktif, mengalami
    suatu ekses atau degradasi yaitu diperjualbelikannya (suara). Praktek semacam
    ini dilansir telah berlangsung subur di Indonesia, yang seharusnya di Indonesia
    tidak boleh dimungkinkan suatu pemilihan umum dimana suara itu dibeli, karena
    hal ini jelas-jelas akan merusak citra kehidupan bernegara.
    Sedapat mungkin pada hari tersebut seorang warga negara ikut dalam kegiatan
    kenegaraan dengan melaksanakan status aktifnya secara minimum. Hal ini
    harus menjadi target dari setiap orang yang hidup dalam organisasi negara
    Republik Indonesia, jadi bukan merupakan target pemerintah, bukan pula
    didasari oleh target partai-partai politik maupun target pihak-pihak lainnya.
    Dengan demikian sesuai dengan apa yang ditetapkan dalam Undang-Undang
    Dasar 1945 bahwa kita harus senantiasa mencerdaskan kehidupan bangsa,
    maka kita harus menjelaskan kepada rakyat tentang hal ihwal bernegara dalam
    struktur organisasi negara Republik Indonesia. Untuk itu perlu dipahami dasar- dasarnya.
    Langkah selanjutnya setelah menjelaskan dan meminta agar seluruh rakyat (ikut)
    sadar sebagai warga negara untuk memanfaatkan status aktifnya, ialah
    mengusahakan agar rakyat memahami dasar-dasar dari organisasi negara kita
    telah dituangkan di dalam Undang-Undang Dasar 1945. Dasar yang pertama
    ialah sistem hukum dasar, yang dimaksudkan di sini ialah apakah yang menjadi
    dasar dari seluruh kegiatan kenegaraan di negara kita ini. Dasar kegiatan di sini
    ialah dasar operasional yang disandarkan pada dasar-dasar fundamental yaitu
    dasar negara, yang tidak lain adalah Pancasila.
    Sistem hukum dasar kita menentukan bahwa sebagai dasar utama dari kegiatan
    kenegaraan ialah Undang-Undang Dasar 1945 yang disebutkan sebagai hukum
    dasar tertulis. Hal ini ditunjukkan oleh Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945
    yang diantaranya menyebutkan “…maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan
    Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia….” Dengan
    demikian sesuai dengan sistem hukum dasar kita, maka Undang-Undang Dasar
    1945 merupakan dasar lebih lanjut dari hak dan kewajiban kenegaraan para
    warga negara, setelah hak dan kewajiban kenegaraan yang telah dipaparkan
    sebelumnya di atas, yang erat hubungannya dengan pembentukan negara dan
    penyusunan penyelenggaraan negara sebagai wakil dari rakyat.
    Disamping itu kegiatan kenegaraan dapat pula didasarkan kepada hukum dasar
    tidak tertulis, ialah aturan-aturan dasar yang timbul dan terpelihara dalam praktek
    penyelenggaraan negara walaupun tidak ditulis. Yang memuat tentang struktur
    kekuasaan dalam pemerintahan, agenda pemerintah, maupun tahap-tahap daru
    hukum dasar tidak tertulis yang membentuk kalender ketatanegaraan.
    Hukum dasar tidak tertulis pada prinsipnya menentukan pelaksanaan lebih lanjut
    hak dan kewajiban kenegaraan dari para warga negara. Dua hal yang perlu
    dijelaskan dalam hal ini, ialah hukum dasar tidak tertulis yang dimaksudkan
    dalam Undang-Undang Dasar kita, harus dibedakan antara hukum tidak tertulis
    lainnya dengan yang tidak langsung berhubungan dengan soal kenegaraan,
    misalnya yang tumbuh diantara sesama warga negara dalam kehidupan sehari- hari.
    Keduanya, suatu kegiatan kenegaraan yang didasarkan kepada hukum dasar
    tidak tertulis, tidak boleh ditumbuhkan tanpa memperhatikan hukum dasar
    tertulis, yang diutamakan sebagai yang telah dipaparkan terlebih dahulu pada
    bagian ini di atas dan tidak boleh menyimpang dari dasar negara. Hal ini dahulu
    dijelaskan dalam Penjelasan Undang-Undang Dasar 1945 yang berbunyi antara
    lain: “… pokok-pokok pikiran ini (yang terkandung dalam Pembukaan)
    mewujudkan cita-cita hukum (Rechts Idee) yang menguasai Hukum Dasar
    Negara, baik hukum tertulis (Undang-Undang Dasar) maupun hukum yang tidak
    tertulis.”
  4. Status pasif, Setiap warga harus tunduk pada perintah atau keputusan negara.
    Dalam teori Rousseau merupakan golongan Suyet. Di Jerman pernah kepatuhan
    ini menjadi kepatuhan berdasarkan disiplin yang mati. Di negara kita kepatuhan
    ini harus membentuk suatu disiplin nasional yang didasarkan kepada Pancasila.
    Dibidang hukum realisasinya secara konkrit ialah kepatuhan kepada hukum yang
    baik, yang bersumber kepada Pancasila. Status warga negara pasif ini perlu,
    kalau tidak organisasi negaranya tidak akan berjalan. Karena, kalau semua mau
    menjadi pemimpin maka siapa yang akan dipimpin, sehingga pada hakekatnya
    tanpa mematuhi status pasif, maka kita kembali kepada status tidak bernegara.

Apabila penulis mundur lebih jauh kebelakang dan kemudian melihat keadaan
sekarang dapat dikatakan, bahwa dalam dinamikanya manusia telah menorehkan warna tersendiri dalam terbentuknya negara dan warganya. Bilamana dilihat dari tipe negara wajar bilamana penulis mengadopsi apa yang dikatakan menurut Aristoteles, yaitu tentang adanya tiga bentuk negara berdasar jumlah orang yang yang memerintah, yaitu:

  1. Monarkhi/Kerajaan, yaitu pemerintahannya dilaksanakan oleh satu orang untuk
    kepentingan seluruh rakyat. Apabila orang yang memerintah kemudian
    melaksanakan pemerintahan untuk kepentingannya sendiri maka bentuk
    monarkhi berubah atau merosot menjadi tirani/diktatur.
  2. Aristokrasi, yaitu pemerintahan oleh sekelompok orang misalnya para ahli filsafat
    atau para cendekiawan yang merupakan orang yang baik-baik, dan
    melaksanakan pemerintahan untuk kepentingan rakyat. Apabila sekelompok
    orang yang memerintah ini melaksanakan pemerintahan untuk kepentingan
    kelompoknya sendiri, maka bentuk aristokrasi akan merosot menjadi Oligarchie. Dalam hal ini pemerintahan dilaksanakan untuk kepentingan orang-orang yang
    kaya, dan bentuk pemerosotannya adalah Plutokrasi.
  3. Politeia, yaitu pemerintahan oleh seluruh orang untuk kepentingan seluruh
    rakyat. Apabila pemerintahan dilaksanakan oleh orang-orang yang sama sekali
    tidak tahu masalah pemerintahan, maka bentuk politeia akan berubah/merosot
    menjadi Demokrasi.

Dengan demikian adanya enam bentuk negara menurut teori Aristoteles yaitu
berdasar pada jumlah orang yang memerintah (quantity government of) dan adanya
pemerosotan bentuk negara dari bentuk yang baik/ideal (good form of government)
menjadi bentuk negara yang tidak baik (bad form of government).

Teori Aristoteles banyak dianut oleh para sarjana pada masa itu antara lain
Polybios. Hanya menurut Polybios bentuk negara ideal yang ketiga bukan Politeia tetapi Demokrasi, dan bentuk pemerosotannya adalah Ochlokrasi/Mobocracy atau bahkan menjadi semakin buruk yaitu menjadi Anarchie (anarkhi), yaitu suatu kondisi dimana tidak ada pemerintahan lagi (kacau balau). Dengan demikian teori bentuk negara menurut Polybios dengan bentuk pemerosotannya adalah, Monarkhi–Tirani/Diktatur, Aristokrasi–Oligarchie/Plutokrasi, dan Demokrasi–Ochlokrasi. Menurut Polybios pada bentuk Monarkhi yang merupakan bentuk negara tertua, pemerintahan dipegang oleh seseorang yang mempunyai beberapa keunggulan tertentu. Dengan demikian ia mendapat kepercayaan rakyat untuk melaksanakan tugas pemerintahan. Ia kemudian melaksanakan tugas pemerintahan untuk kepentingan rakyat. Akan tetapi keturunannya ternyata tidak melaksanakan tugas untuk kepentingan rakyat tetapi untuk kepentingannya sendiri dan bertindak sewenang-wenang.

Pada saat ini Monarkhi telah bergeser menjadi Tirani dan rakyat hidupnya
menjadi tertindas. Selanjutnya muncul sekelompok orang yang berani dan bersifat baik melawan penguasa yang kejam dan merebut kekuasaannya. Sekelompok orang ini kemudian memegang kekuasaan pemerintahan untuk kepentingan umum sehingga bentuk negara bergeser dari Tirani menjadi Aristokrasi. Meskipun demikian dalam perkembangannya para aristokrat ternyata tidak lagi melaksanakan tugas pemerintahan untuk kepentingan rakyat, tetapi untuk kepentingan kelompoknya sendiri. Bentuk negara bergerak lagi dari Aristokrasi menjadi Oligarkhi. Pada bentuk ini tidak dijumpai keadilan sehingga rakyat memberontak dan mengambil alih kekuasaan sehingga bentuk Oligarkhi bergeser menjadi Demokrasi.

Kekuasaan pemerintahan kemudian dipegang oleh rakyat untuk seluruh rakyat
melalui sistem perwakilan. Akan tetapi para wakil rakyat ini pada akhirnya juga tidak
memperhatikan kepentingan umum, sehingga negara menjadi kacau dan bentuk
Demokrasi bergeser menjadi Okhlokrasi. Dalam keadaan kacau muncul seorang yang
kuat dan berani yang ingin memperbaiki keadaan dan ia kemudian mengambil alih
kekuasaan. Orang ini kemudian memerintah dengan baik dan sangat memperhatikan
kepentingan rakyat, sehingga bentuk Okhlokrasi kembali pada bentuk awal yaitu bentuk negara Monarkhi.

Suatu hal yang menarik adalah demokrasi oleh Aristoteles dianggap sebagai
bentuk pemerosotan dan tidak halnya dengan anggapan yang digagas oleh Polybios.
Sebagaimana yang telah diketahui secara umum bahwa definisi demokrasi adalah
sebuah bentuk kekuasaan (kratein) dari/oleh dan untuk rakyat (demos). Menurut konsep demokrasi, kekuasaan menyiratkan arti politik dan pemerintahan, sedangkan rakyat beserta warga masyarakat didefinisikan sebagai warga negara. Kenyataannya, baik dari segi konsep maupun praktek, demos menyiratkan makna diskriminatif. Demos bukanlah rakyat keseluruhan, tetapi hanya populus tertentu, yaitu mereka yang berdasarkan tradisi atau kesepakatan formal mengontrol akses ke sumber-sumber kekuasaan dan bisa mengklaim kepemilikan atas hak-hak prerogatif dalam proses pengambilan keputusan yang berkaitan dengan urusan publik atau pemerintahan.

Melalui pemaparan tersebut di atas Aristoteles beranggapan bahwa kekacauan
timbul dikarenakan landasan berpijaknya kekuasaan dari, oleh dan untuk rakyat, dimana kekacauan timbul dikarenakan adanya sekelompok masyarakat yang menganggap dirinya lebih mengetahui makna demokrasi dibanding dengan kelompok lainnya. Apabila pranata demokrasinya tidak sejalan dengan alur pranatanya maka dianggap tidak demokrasi. Berbagai kelompok bertindak selalu untuk dan atas nama demokrasi tetapi justru pola-pola yang dijalankan adalah cara yang sangat tidak demokratis. Aristoteles menganggap demokrasi yang dianggap sebagai bentuk pemerosotan adalah demokrasi sebagaimana tersebut karena titik tolak permasalahan pada akhirnya adalah mengerucut pada konteks kekuasaan.

Hal yang menarik untuk diperhatikan adalah jenjang demokrasi sebagaimana
yang digagas oleh Aristoteles tersebut dapat dikatakan melihat hubungan antara
demokrasi sebagai sebuah konsep dan hubungannya dengan masyarakat sebagai
pelaksana konsep. Melalui perbedaan perspektif antara Aristoteles dengan Polybios,
maka dapat dikatakan bahwa konsep demokrasi pada prinsipnya merupakan gagasan
yang hidup, mati, tumbuh dan berkembangnya lebih dikarenakan pada manusianya
yang memiliki kuasa untuk mempergunakan demokrasi sebagai instrumen. Menyikapi
demokrasi sebagai pemerosotan, maka semestinya masyarakat Indonesia dapat
menyadari bahwa saat ini bangsa Indonesia tengah berada dalam tatanan yang
mengarah ke arah yang mana.

Kembali pada konteks demokrasi yakni dalam perkembangan zaman modern,
ketika kehidupan memasuki skala luas, tidak lagi berformat lokal, dan demokrasi tidak lagi diwujudkan dalam bentuk partisipasi langsung, masalah diskriminasi dalam kegiatan politik tetap berlangsung meskipun prakteknya berbeda dari pengalaman yang terjadi di masa Yunani kuno. Tidak semua warga negara dapat langsung terlibat dalam perwakilan. Hanya mereka saja yang karena sebab tertentu dapat seperti kemampuan membangun pengaruh dan menguasai suara politik yang terpilih sebagai wakil. Sementara sebagian besar dari rakyat hanya dapat puas jika kepentingannya terwakili. Mereka tidak memiliki kemampuan dan kesempatan yang sama untuk mengefektifkan hak-hak mereka sebagai warga negara.

Dalam teori kenegaraan negara hukum selalu dikaitkan dengan negara
demokrasi. Hal ini dikarenakan untuk menghindari praktek dari teori demokrasi Jean
Jacques Rousseau yang membuka peluang untuk menimbulkan demokrasi yang absolut melalui sistem suara terbanyaknya (monopoli suara terbanyak), sehingga
mengesampingkan suara minoritas. Suara terbanyak dalam sistem demokrasi
merupakan bentuk politik bukan yuridis. Untuk mencegah timbulnya ekses dari sistem demokrasi maka digunakan sistem negara hukum. Dengan negara hukum diharapkan hak asasi warga menjadi lebih terjamin. Selain daripada itu sejarah kenegaraan menunjukkan bahwa apabila kekuasaan tertinggi semata-mata berada pada rakyat tanpa suatu pembatasan, memungkinkan terjadinya absolute democratic, yang tidak berbeda sifatnya dengan kekuasaan tidak terbatas pada satu orang (diktator), maupun pada sekelompok orang (diktator proletariaat).

Oleh karena itu dapatlah dipahami rumusan mengenai hal ini dalam kalimat
bunyi terakhir alinea ke-4 Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 yang berbunyi:
“…yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan Rakyat dengan berdasarkan kepada Ketuhanan Yang Maha Esa, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.” Dengan demikian sila-sila Pancasila telah sedemikian rupa membatasi kemungkinan timbulnya demokrasi absolut.

C. Warga Negara dan Pembangunan Hukum di Indonesia suatu Internalisasi

Kilas balik dalam Konstitusi Republik Indonesia tahun 1959 tersebut pada pasal
permulaan “Republik Indonesia yang merdeka dan berdaulat ialah suatu negara hukum.” Kalimat yang demikian didapat juga dalam Konstitusi RIS 1949 dalam Pasal 1 ayat (1) dan mukadimahnya (kalimat ke-4). Dalam konstitusi 1945 dahulu tidak ditegaskan dengan pasti, bahwa negara Republik Indonesia ialah negara hukum; tetapi pengertian yang sedemikian didapat dari pada Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 (kalimat 4); “Maka disusunlah Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu dalam sautu undang0- undang dasar negara Indonesia” jadi negara Republik Indonesia ialah suatu negara hukum yang berkonstitusi yang dituliskan. Keadaan ini ialah suatu kemajuan bagi perkembangan dan pertumbuhan hukum di tanah Indonesia.

Adapun dasar-dasar negara Indonesia menurut Undang-Undang Dasar 1945 itu
memang disesuaikan dengan peradaban, iklim dan tinjauan hidup bangsa Indonesia,
dan didalamnya akan terdapat beberapa kemenangan kemanusiaan, walaupun tidak
sempurna dan tidak cukup terjamin. Walau bagaimanapun juga, maka konstitusi
Indonesia itu dalam beberapa hal berusaha menurutkan jejak dan langkah revolusi yang memberi jiwa kepada dinamika sejarah dunia.

Barangsiapa mempelajari konstitusi Indonesia, maka pelajarannya barulah mendekati kesempurnaan, jika kalimat-kalimat dalam mukadimah dan segala pasal dibaca dengan menempatkan apa yang dibaca ke dalam suasana sejarah penulisan dan keterangan-keterangannya pada waktu teks dibuat, dan dihubungkan dengan puncak- puncak kemenangan revolusi yang bergelora dalam 180 tahun ini, serta diartikan menurut bahasa dan lembaga yang mungkin terjadi disekelilingnya, walaupun tidak tertulis. Konstitusi Indonesia serupalah dengan segala konstitusi (loi constitutionelle) di atas dunia, yang menjadi sebagian dari hukum dasar (droit constitutionelle) yang ditulis oleh tangan menurut peradaban yang tersusun dalam suasana merdeka dan berdaulat, serta ditambah dengan bagian kebiasaan yang akan tejadi dan tidak tertulis sesudah penulisan pasal-pasalnya yang sejajar dengan dasar dan garis-garis besar konstitusi itu.

Seperti yang telah dipaparkan sebelumnya, dan seperti terbukti lagi, maka
Undang-Undang Dasar 1945 ialah konstitusi Negara Indonesia, yang berdaulat dan
mempunyai kemerdekaan yang penuh dan sempurna. Segala undang-undang itu
menjanjikan suatu negara hukum, yaitu negara yang menjalankan pemerintahan tidak menurut kemauan orang-orang yang memegang kekuasaan, melainkan menurut aturan yang tertulis dan dibuat oleh badan-badan perwakilan dengan cara dan jalan yang sah.

Itulah dasar negara merdeka yang berkonstitusi: that laws and not men shall
govern – bahwa undang-undanglah dan bukan manusianya yang harus memerintah.
Dasar ini mengandung arti, bahwa apabila suatu kekuasaan yang dilakukan oleh
seorang pegawai atau jawatan negara mendapat bantahan, maka haruslah dibuktikan
dari undang-undang manakah kekuasaan itu diambil, dan tiap-tiap undang-undang yang berlaku haruslah pula dibuat secara sah, tulisan dengan lisan ke daerah-daerah dan kepada lapisan rakyat. Piagam Jakarta tidaklah diubah atau diombang-ambingkan oleh Badan Penyelidikan atau Badan Persiapan Kemerdekaan Angkatan Jepang, melainkan dengan segala kebersihan disiarkan dengan resmi pada tanggal 19 Agustus 1945, dua hari sesudah Kemerdekaan Indonesia diproklamasikan. Pada hari itu maka Piagam Jakarta disiarkan sebagai Mukadimah atau Preambule Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Merdeka.

Sesuatu negara sebaiknya berdasarkan atas hukum dalam segala hal, sudah
didambakan sejak Plato menulis “Nomoi,” E. Kant memaparkan prinsip-prinsip Negara
Hukum (formil), J. Stahl mengetengahkan Negara Hukum (material), Dicey mengajukan Rule of Law. Ringkasnya, merupakan suatu negara yang ideal pada abad ke-20 ini, jika segala kegiatan kenegaraan didasarkan pada hukum.

Sejarah kenegaraan menunjukkan bahwa pengisian pengertian tersebut selalu
berkembang sesuai dengan tingkat kecerdasan suatu bangsa. Berpangkal tolak pada
perumusan sebagai yang digariskan oleh pembentuk-pembentuk Undang-Undang
Dasar kita, yaitu Indonesia ialah negara yang berdasar atas hukum, dengan rumusan
rechtstaats; dengan anggapan bahwa pola yang diambil tidak menyimpang dari
pengertian negara hukum pada umumnya (genusbegrip), yang disesuaikan dengan
keadaan di Indonesia. Artinya dipergunakan dengan ukuran pandangan hidup maupun pandangan bernegara kita.

Sementara pada saat yang bersamaan cara memerintah negara kita haruslah
berdasar atas sistem konstitusional (hukum dasar) dan tidak berdasarkan kekuasaan
yang tidak terbatas, demikianlah aturan pokok kedua dalam sistem pemerintahan negara. Ketentuan ini menjadi pegangan dasar pula dalam masalah kelembagaan
negara yang menjalankan pemerintahan tersebut.

Didalam sistem hukum dasar kita, dianut prinsip bahwa kelembagaan negara
baik secara langsung maupun tidak langsung, ditetapkan dengan undang-undang. Di
dalam Undang-Undang Dasar juga ditentukan bahwa undang-undang dibuat oleh
Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat, sehingga dapatlah dikatakan bahwa undang- undang adalah bentuk yuridis, yang maksimal dapat dicapai untuk mencerminkan suatu demokrasi. Hal ini nampak pula dalam penegasan bahwa tidak ada produk hukum yang disebut undang-undang bila tidak mendapat persetujuan dari Dewan Perwakilan Rakyat. Dengan demikian besarlah peranan daripada aliran-aliran dalam masyarakat, sebagai wadah pengorganisasian kepentingan-kepentingan yang ada, sesuai dengan dinamika masyarakat yang tidak terlepas pula dengan tingkat kecerdasan bangsa. Sehingga jelasnya bahwa mekanisme kelembagaan secara konstitusionil dijamin sifat demokratisnya dengan memberikan wadah undang-undang dan penetapannya. Sedangkan hasilnya tergantung pada tingkat kecerdasan rakyat dan pengalaman bernegara rakyat serta aliran-aliran yang mewakilinya.

“….Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia
yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan
untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut
melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-undang Dasar Negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/
Perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu Keadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia.” Kalimat yang merupakan bagian dari Pembukaan Undang-Undang Dasar
1945 dan tujuan negara Republik Indonesia ini memiliki makna yang solid, massive, universal, tanpa diskriminasi dan tanpa ada dalih kepentingan kelompok ataupun aliran- aliran manapun. Apabila dimaknai secara seksama maka makin bertambah besarlah khidmad kita kepada saat perputaran sejarah yang diarahkan oleh naskah itu, dan makin bertambah berhargalah tiap-tiap huruf dalam kalimat permakluman tersebut. Suatu kondisi yang sangat memprihatinkan bahwa kebanyakan dari rakyat Indonesia tidak dapat menyelami rumusan yang sedemikian rupa, bukan dalam arti sebagai bentuk pengkultusan, melainkan tantangan yang diberikan kelompok penikmat kemerdekaan adalah tantangan yang maha dahsyat. Karena kemerdekaan diisi tetapi tidak dibarengi dengan semangat juang kemerdekaan, melainkan dengan pola-pola yang mengarah pada disintegrasi bangsa, kepentingan kelompok dan golongan, terhanyut dalam aliran- aliran yang menganggu stabilitas keutuhan dan kesatuan bangsa, maupun anasir-anasir lainnya.

Sebagai negara berdasar atas hukum, Indonesia mempunyai sejarah ketatanegaraan dalam Undang-Undang Dasar. Suatu Undang-Undang Dasar bagaimanapun baiknya tidak akan lepas dari kekurangan-kekurangan. Kekurangan tersebut biasanya mulai disadari karena perkembangan zaman dan masyarakat. Oleh karena itu, Undang-Undang Dasar memuat cara mengubah Undang-Undang Dasar tersebut. Dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia sejak tahun 1945 sampai dengan tahun 2002, Indonesia telah mengalami delapan kali perubahan Undang-Undang Dasar, yaitu:

Periode I : Tanggal 18 Agustus 1945 sampai dengan 27 Desember 1949 : Undang-Undang Dasar 1945;
Periode II : Tanggal 27 Desember 1949 sampai dengan 17 Agustus 1950 : Konstitusi Republik Indonesia Serikat;
Periode III : Tanggal 17 Agustus 1950 sampai dengan 5 Juli 1959 : Undang-Undang Dasar Sementara Republik Indonesia;
Periode IV : Tanggal 5 Juli 1959 sampai dengan 19 Oktober 1999 : Undang-Undang Dasar 1945;
Periode V : Tanggal 19 Oktober 1999 sampai dengan 18 Agustus 2000 : Undang-Undang Dasar 1945 beserta perubahan I;
Periode VI : Tanggal 18 Agustus 2000 sampai dengan 9 November 2001 :
Undang-Undang Dasar 1945 beserta perubahan I dan II;
Periode VII : Tanggal 9 November 2001 sampai dengan 10 Agustus 2002 :
Undang-Undang Dasar 1945 beserta perubahan I, II dan III;
Periode VIII : Tanggal 10 Agustus 2002 : Undang-Undang Dasar 1945
beserta perubahan I, II, III dan IV.

UUD 1945 sebagaimana yang telah dilakukan amandemen terhadapnya
sebanyak 4 kali menegaskan pada bagian Pembukaannya bahwa salah satu tujuan
utama Negara Indonesia adalah untuk memajukan kesejahteraan umum. Penegasan di atas tidak terlepas dari pokok pikiran yang terkandung didalam pembukaan itu, yaitu bahwa negara hendak mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Dari berbagai macam bentuk pemaparan tersebut di atas sebenarnya telah dipergunakan suatu pengertian sebagai acuan pokok ajaran dasar wawasan nusantara sebagai geopolitik Indonesia, yaitu cara pandang dan sikap bangsa Indonesia mengenai diri dan lingkungannya yang serba-beragam dan bernilai strategis dengan mengutamakan persatuan dan kesatuan wilayah dan tetap menghargai serta menghormati kebhinekaan dalam setiap aspek kehidupan nasional untuk mencapai tujuan nasional.

Dalam hasil Perubahan Ketiga Undang-Undang Dasar 1945 dalam Pasal 1 ayat
(3)-nya menyatakan “Negara Indonesia adalah Negara Hukum.” Menurut Prof. Jimly
Asshiddiqie dikatakan bahwa ketentuan yang menegaskan bahwa Indonesia adalah
negara hukum tidak terdapat dalam rumusan pasal-pasal Undang-Undang Dasar 1945, melainkan hanya dalam Penjelasan Undang-Undang Dasar 1945. Konsep Negara Hukum ini disebut dalam Penjelasan Undang-Undang Dasar 1945 dengan istilah rechtsstaat yang diperlawankan dengan machtsstaat yang terang-terangan ditolak oleh para perumus undang-undang dasar. Akan tetapi karena belum tercantum dalam pasal, sedangkan Penjelasan Undang-Undang Dasar 1945 direncanakan akan dihapus dari naskah resmi Undang-Undang Dasar, maka ketentuan tentang Negara Hukum ini perlu ditegaskan dalam Pasal. Rumusan yang tegas menyatakan bahwa Indonesia adalah Negara Hukum juga terdapat dalam Konstitusi RIS 1949 dan UUDS 1950.

Cara memerintah di negara kita, haruslah berdasarkan atas sistem konstitusional (hukum dasar), dan tidak berdasarkan kekuasaan yang tidak terbatas, demikianlah aturan pokok kedua dalam sistem pemerintahan negara sebagai disebutkan dalam Undang-Undang Dasar 1945. Ketentuan ini menjadi pegangan dasar pula dalam masalah kelembagaan negara, yang menjalankan pemeintahan tersebut. Di dalam
sistem hukum dasar kita, dianut prinsip bahwa kelembagaan negara baik secara
langsung maupun tidak langsung, ditetapkan dengan undang-undang yang dibuat oleh Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat, sehingga dapatlah dikatakan bahwa undang- undang adalah bentuk yuridis, yang maksimal dapat dicapai untuk mencerminkan suatu demokrasi. Hal ini nampak pula dalam penegasan bahwa tidak ada produk hukum yang disebut undang-undang bila tidak mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.

Dengan demikian besarlah peranan aliran-aliran masyarakat, sebagai wadah
pengorganisasian kepentingan-kepentingan yang ada, sesuai dengan dinamika
masyrakat yang tidak terlepas pula dari tingkat kecerdasan bangsa. Jelaslah bahwa
mekanisme kelembagaan negara secara konstitusional dijamin sifat demokratisnya
dengan memberikan wadah undang-undang dalam penetapannya. Sedangkan materi
undang-undang tegantung pada tingkat kecerdasan rakyat dan pengalaman rakyat
bernegara serta aliran-aliran yang mewakilinya.

Mengenai kelembagaan negara di dalam sistem hukum dasar kita ialah bahwa
sifat, bentuk maupuan kewenangan-kewenangan yang pokok, telah ditetapkan dalam
Undang-Undang Dasar. Walaupun tidak berdasarkan trias politica, namun pembedaan
dan penentuan kewenangan-kewenangan telah dirumuskan dengan tegas dan tidak
dapat ditiadakan dengan undang-undang, ataupun produk-produk perundang-undangan yang lebih rendah. Penentuan hubungan fungsional yang serasi di antara lembagalembaga negara tersebut, dalam gerak kegiatan kenegaraan merupakan suatu langkah berikut yang haus ditentukan oleh rakyat melalui wakil-wakilnya. Lembaga-lembaga negara tertinggi dan lembaga negara tinggi lainnya menurut Undang-Undang Dasar kita ialah Majelis Permusyawratan Rakyat, Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat, Badan Pengawas Keuangan dan Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, sedang walaupun bukan merupakan lembaga negara tertinggi, namun karena sifat khususnya, ditentukan pula dalam Undang-Undang Dasar ialah hal ikhwal menteri (kementerian), dan pemerintah daerah.

Jika suatu negara yang berdasarkan atas hukum mendambakan suatu tertib
hukum, merupakan suatu yang wajar dan mutlak. Ada pun bentuk ketertiban yang paling sederhana dan tetap merupakan suatu hal yang harus dilaksanakan ialah pencegahan tindaian-tindakan kriminal baik secara preventif maupun secara represif.
Penyelenggaraan kegiatan “rust en orde”, dikembangkan menjadi pelaksanaan
keamanan dan ketertiban masyarakat, yang kemudian dilengkapi dengan
penyelenggaraan kepentingan umum.

Tahap selanjutnya ialah bahwa pelaksanaan tugas-tugas tersebut di atas
haruslah sesuai dengan keinginan rakyat yang disalurkan dalam bentuk undang- undang, sehingga munculah pemerintahan yang berdasarkan undang-undang semata- mata. Tertib hukum sedemikian walaupan tegas mencerminkan keinginan rakyat, namun dalam praktek kenegaraan menimbulkan kelambanan dalam gerak kenegaraan. Orang tidak menyukai wettenstaat. Langkah-langkah untuk kelancaran selanjutnya adalah menentukan produk-produk hukum lain, selain dari undang-undang dalam suatu pertingkatan kewenangan yang bersumber pada kekuasaan tertinggi pada rakyat, yang di Indonesia didasarkan pada Pancasila. Dengan demikian kita jumpai suatu pertingkatan hukum sebagaimana diatur di dalam Undang-Undang Dasar yang secara serempak dapat melayani pembangunan sesuai dengan gerak iramanya sebagai berikut: Undang-undang yang dibentuk oleh Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang yang dibuat oleh Presiden dalam hal kepentingan yang memaksa, Peraturan Pemerintah yang dibuat oleh Presiden untuk menjalankan Undang-undang sebagaimana mestinya, Keputusan Presiden dalam menjalan kekuasaan pemerintah menurut Undang-Undang Dasar, Keputusan Menteri dalam hal membantu Presiden memimpin Departemen- Pemeirntahan, dan lain sebagainya. Kesemuanya ini membentuk suatu (pertingkatan) tata hukum nasional yang mensyaratkan pula suatu teknik perundang-undangan dan proses perundang-undangan yang demokratis.

Di samping suatu ketertiban hukum yang tercermin dalam suatu pertingkatan
hukum yang memadai, diperlukan suatu jaminan kepatuhan kepada hukum kecuali,
suatu prinsip kedaulatan hukum yang secara formil telah terumus di dalam Undang- Undang Dasar kita.

D. Pelestarian Nilai Sebagai Upaya Warga Negara dalam Pembangunan Hukum

Penulis mengadopsi dari pendapat yang dikemukakan oleh Prof. M. Solly Lubis,
yang sangat kritis dalam menyikapi masa depan bangsa dalam hubungannya dengan
pemahaman hukum dasar negara. Oleh karenanya pendekatan yang dilakukan adalah
melalui pelestaran nilai-nilai. Nilai-nilai dan prinsip-prinsip (asas) yang terkandung dalam Undang-Undang Dasar 1945 itu, yakni: nilai-nilai filosofis dan asas-asas yang terdapat dalam Undang-Undang Dasar itu dan bersumber pada Pancasila.

  1. Yang perlu difahami lebih dulu tentunya ialah hakikat Pancasila yang merupakan
    pandangan hidup, jiwa, kepribadian bangsa Indonesia, dasar negara, dan
    sebagai moral pembangunan serta nilai-nilai dan asas-asas yang terkandung di
    dalamnya, misalnya: asas kekeluargaan, asas persatuan, asas keadilan sosial,
    perikemanusiaan, kerakyatan keseimbangan, keserasian, keselrasan, dan lainlain.
  2. Di samping itu, perlu lebih dulu difahami ketentuan-ketentuan yang menyangkut
    struktur organisasi negara terutama tentang hakikat sistem pemerintahan
    presidensial yang dianutnya.
  3. Ketentuan lainnya, ialah yang sifat politis dan operasional dan berfokus pada
    “tujuan nasional” yang tercanum dalam Undang-Undang Dasar 1945 itu (alinea
    IV Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, yaitu: “melindungi segenap bangsa
    Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan
    kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan
    ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan
    keadilan sosial). Tegasnya, ada 3 aspek yang harus dilestarikan, yakni:

a. Aspek filosofis, berupa nilai-nilai dan prinsip-prinsip (asas).
b. Aspek struktural, berupa sistem pemerintahan.
c. Aspek politis, yakni tujuan negara (Nasional)

Pada prinsipnya, karena nilai-nilai filosifis dan asas-asas yang terkandung
secara padat dalam Pancasila yang menjadi dasar filsafat negara, maupun sistem
pemerintahan presidensial yang lebih stabil itu, juga tujuan nasional yang mencerminkan segala aspirasi dan gagasan-gasasan dari masyarakat kita yang berbhineka itu, adalah bersumber pada cita-cita dan pandangan hidup masyarakat bangsa kita, maka seyogyanyalah nilai-nilai dan asas-asas itu kita pertahankan karena dinilai lebih tepat, lebih ampuh untuk menjadi landasan-landasan yang jaminan kelangsungan hidup dan perjuangan bangsa untuk melaksanakan usaha pembangunan mencapai masyarakat yang adil dan makmur.

Pengalaman di masa lalu telah memberikan pelajaran bagi kita bahwa nilai-nilai
dan asas-asas yang liberal-individualistis, liberal-parlementer tidak membawa kita
kepada kestabilan dan tujuan yang ingin dicapai. Sebagai contoh: asas liberal,
menjuruskan kita kepada kencederungan untuk saling menjatuhkan, baik di bidang
politik, ekonomi, dan sebagainya, sedangkan asas kekeluargaan menjuruskan kita
kepada kecenderungan untuk kerja sama dalam kerukunan, silih asih, silih asah dan silih asuh di bidang politik, ekonomi, sosial-budaya, pertahanan keamanan, kehidupan beragama, dan sebagainya.

Tujuan nasional yang sesuai dengna pandangan hidup kita, hanya dapat dicapai
dengan mempergunakan wahana pemerintahan yang struktur dan sistemnya sesuai
dengan pandangan hidup kita itu. Menurut pengalaman, sistem presidensial yang
demokratis-konstitusional berasas kekeluargaan, lebih sesuai bagi kita daripada sistem ministerial yang liberal-parlementer.

Usaha-usaha pelestarian Undang-Undang Dasar 1945 ini meliputi usaha-usaha
konseptual dan operasional.

  1. Secara konsepsual, antara lain melalui perumusan garis politik kebijaksanaan
    pemerintah (dahulu perumusan GBHN sekarang melalui Program Pembangunan
    Nasional) dan melalui perundang-undangan (yakni pembuatan peraturan- peraturan negara) baik di tingkat pusat maupun di daerah/desa. Melalui perumusan garis politik kebijaksanaan pemerintah, ialah mengusahakan agar nilai-nilai dan asas-asas yang terkandung daam pandangan hidup yang dipadatkan daam Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 itu tercermin dan menjiwai kegiatan pembinaan pemerintahan dan pembangunan kita, seperti dahulu antara lain masuknya asas-asas Pembangunan 7 dalam GBHN kita tahun 1978 yang pada hakikatnya adalah bersumber pada ke lima-lima sila
    dalam Pancasila dan empat pokok fikiran dalam Pembukaan Undang-Undang
    Dasar 1945. Sedemikian pengarus nilai-nilai dan asas-asas itu terhadap konsepsi
    pembangunan kita, sehingga konsepsi itu ingin menerapkan delapan jalur
    pemerataan yang pada hakikatnya adalah pengembangan nilai-nilai dan asas- asas yang bersumber pada Pancasila terutama sila keadilan sosial. Mengembangkan asas-asas itu via GBHN maupun Program Pembangunan Nasional ke dalam Pembangunan sehingga jalan pembangunan itu adil dan merata berarti mengembangkan kehidupan nasional yang sesuai dengan watak dan kepribadian bangsa kita, yang menjunjung nilai-nilai keadilan, kemanusiaan dan kekeluargaan.
  2. Secara operasional, pelestarian nilai-nilai dan asas-asas itu dilakukan, oleh
    aparat pemerintah dan administrasi negara kita dan juga melalui kehidupan
    masyrakat sehari-hari. Operasi pelestarian itu, melalui aparat pemerintahan dan administrasi negara (public administration) ialah melalui badan-badan kekuaasan dan bergerak di bidang legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Dikehendaki, agar aparat legislatif,
    eksekutif dan yudikatif senantiasa berorientasi pada garis kebijaksanaan politik
    yang diperhitungkan telah mewakili dan mencerminkan nilai-nilai dan asas-asas
    yang bersumber pada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Badan legislatif, baik sebelum dan sewaktu mengadakan perumusan undang- undang misalnya, senantiasa berorientasi pada kepentingan masyarakat secara demokratis konstitusional.
    Penelitian, pendekatan dan penanggapan terhadap aspirasi, keluhan dan
    keresahan masyarakat perlu dilakukan oleh wakil-wakil rakyat sebelum
    perumusah undang-undang. Misalnya: agar yang berwenang di bidang legislatif
    itu menyerap nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan, asas kerakyatan dan
    sebagainya, dalam Rancangan Undang-Undang Hukum Acara, Hukum
    Perkawinan, Undang-Undang Pemilu, dan Susunan MPR-DPR-DPRD, Undang- Undang Peradilan Administrasi, Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional,
    Undang-Undang Perburuhan, Undang-Undang Kepegawaian, Undang-Undang
    Kepartaian, Undang-Undang Pemerintahan Daerah dan Desa. Demikian juga
    hendaknya aparat legislatif daerah menanggapi aspirasi masyarakat daerah dan
    menuangkan kebijaksanaan yang serasi dalam Peraturan-peraturan Daerah.
    Jika Undang-Undang yang demikian dilaksanakan, besar kemungkinan
    terdapatnya Undang-Undang yang serasi dan sesuai dengan kepribadian dan
    perasaan keadilan masyarakt bangsa kita. Dengan kata lain: nilai-nilai dan asas- asas itu dioperasikan dalam kehidupan bangsa kita di berbagai bidang.
    Badan-badan lain, seperti pemerintah eksekutif dan yudikatif, misalnya: Kabinet,
    Pemerintah Daerah, Polisi, Jaksa, Hakim, hendaknya bekerja sesuai dengan
    nilai-nilai dan asas-asas nasional yang telah disepakati dalam Pancasila dan
    Undang-Undang Dasar 1945 dan peraturan-peraturan pelaksanaan sepanjang
    bertalian dengan tugas dan kompetensi masing-masing penjabat.
    Operasi pelestarian itu melalui kehidupan masyarakt sehari-hari, antara lain
    dalam kehidupan organisasi-organisasi politik, organisasi massa, pendidikan dan pengajaran, rukun tetangga, hubungan antara kelompok dan golingan sosial yang di tanah air kita. Sikap hormat-menghormati, toleransi, tepo seliro antar kelompok, baik antar kelompok suku, antar kelompok sosio politik, antar kelompok budaya, kerukunan dalam satu kelompok agama secara intern, kerukunan antar kelompok umat beragama yang berlainan, kerukunan antara umat beragama dan pemerintah, merupakan contoh-contoh operasionil pelestarian itu dalam hubungan sehari- hari. Sikap hidup kegotong-royongan, musyawarah, penuntutan hak yang disertai kewajiban bertanggung jawab, keterbukaan menerima kritik, kesediaan mengoreksi fihak sendiri, keberanian mengoreksi secara tertib dan bertanggung jawab, merupakan contoh-contoh pelestarian nilai-nilai dan asas-asas itu. Unit-unit pendidikan dan pengajaran di berbagai tingkat baik formal maupun nonformal, merupakan wadah-wadah pembibitan dan pengembangan pelestarian nilai-nilai dan asas-asas nasional itu. Segi lain yang penting ialah mengusahakan agar unit-unit ini berada dalam suatu sistem pendidikan nasional yang beorientasi pada nilai-nilai dan asas-asas nasional yang dimaksud, sehingga wadah-wadah pendidikan itu benar-benar berfungsi sebagai wadah pelestarian nilai-nilai moral Pancasila dalam rangka pembangunan manusia Indonesia seutuhnya.

Kemantapan nilai-nilai Undang-Undang Dasar 1945 dan kebutuhan yang tidak
dapat disangkal untuk mempertahankan dan mengamankannya sangat jelas dirasakan oleh generasi yang telah terpanggil untuk membelanya bahkan melalui perjuangan fisik. Namun perlu tetap diusahakan agar generasi-generasi yang akan datang tetap dapat menghayati nilai-nilai luhur yang terkandung dalam Undang-Undang Dasar 1945. Ini merupakan tantangan utama yng kita hadapi dalam pelestarian Undang-Undang Dasar 1945 untuk masa selanjutnya. Dalam dunia yang kian menyempit, di mana hubungan antar manusia dan antarbangsa menjadi semakin intensif, membawa masalah-masalah yang semakin saling berkaitan, kita akan dihadapkan kepada pengaruh keanekaragaman pemikiran dan pendekatan yang dapat berlawanan secara hakiki dengan pokok-pokok fikiran yang melandasi Undang-Undang Dasar 1945.

Karena itu harus dicegah agar kita tidak menggunakan sistem nilai yang lain –
asing – dalam mengukur pelaksanaan dan kemantapan Undang-Undang Dasar 1945.Jika hal itu terjadi maka dapat melahirkan tuntutan-tuntutan yang tak mungkin terpenuhi, tanpa mengorbankan jiwa dan asas kehidupan bangsa dan negara yang dilandasi oleh Undang-Undang Dasar 1945 itu sendiri. Adalah menjadi tugas kita semua baik generasi tua maupun generasi muda untuk menjamin kelestarian Undang-Undang Dasar 1945, bukan saja sebagai himpunan serangkaian nilai-nilai luhur tetapi juga sebagai pegangan hidup yang akan tetap relevan dalam rangka menghadapi tantangan-tantangan masa depan.

Untuk itu perlu dilaksanakan pewarisan nilai-nilai yang terkandung dalam
Undang-Undang Dasar 1945 kepada generasi ke generasi. Undang-Undang Dasar 1945 sungguh cocok dan mampu memenuhi kebutuhan bangsa Indonesia. Undang-Undang Dasar 1945 memiliki dan memberikan landasan ideal yang luhur dan kuat yang mampu memberikan gairah rangsangan kepada seluruh rakyat Indonesia untuk mencapai kemajuan dan kesejahteraan lahir maupun batin, ialah dasar falsafah Pancasila yang terkandung dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945.

Undang-Undang Dasar 1945 memiliki dan memberikan landasan struktural yang
kokoh yang menjamin stabilitas pemerintahan seperti digambarkan dalam sistem dan
mekanisme pemerintahan dalam pasal-pasal Undang-Undang Dasar 1945. Demikian
juga Undang-Undang Dasar 1945 memiliki dan memberikan landasan operasional yang mampu memberikan pengarahan dinamika yang jelas, dan sesuai dengan
perkembangan keadaan dan kemajuan zaman seperti yang digariskan dalam
mekanisme penyusunan haluan-haluan negara serta ketentuan-ketentuan di berbagai
bidang kehidupan yang tercantum dalam pasal-pasal Undang-Undang Dasar 1945.

Dengan pelaksanaan Undang-Undang Dasar 1945 secara mantap, maka
dapatlah diciptakan stabilitas politik dan pemerintah yang merupakan syarat mutlak bagi berhasilnya pembangunan bangsa dalam rangka mengisi kemerdekaan untuk mencapai cita-cita nasional, masyarakt adil dan makmur berdasarkan Pancasila. Undang-Undang Dasar 1945 memang hanya singkat dan tidak memuat ketentuan-ketentuan yang terperinci. Justru karena hanya singkat dan terdiri dari hanya pokok-pokok itulah terletak kehikmatan, keluwesan, dan ketahanan Undang-Undang Dasar 1945.

Lebih dari itu, Undang-Undang Dasar 1945 juga menampilkan suatu kemampuan untuk dapat menghadapi tantangan tahap pembangunan bangsa kita dengan segala ketahanan dan kestabilan sistem serta kemantapan gerak yang diperlukan. Hukum dasar yang bersifat singkat, padat, utuh, dan luwes; sistem Presidensial dengan mekanisme kepemimpinan nasionalnya yang mantap; pola hubungan kerja sama fungsional yang khas antara lembaga negara; kesemuanya ini memberikan kepastian
akan suatu pemerintahan yang stabil, berwibawa dan kompeten yang merupakan syarat bagi kelancaran tercapainya tujuan-tujuan nasional.

Pemerintahan yang demikian ini dapat lebih menjamin kesinambungan kebijaksanaan serta ketepatan pendekatan menghadapi pelbagai masalah kompleks yang akan timbul pada tingkatan pembangunan bangsa dan perkembangan dunia di masa depan. Bagi kita yang ingin mengetahui, ingin mengerti dan ingin menghayati
Undang-Undang Dasar agar dapat melaksanakannya sebaik-baiknya, kiranya sangat
perlu untuk selalu mengingat dan meresapi pokok-pokok fikiran yang terkandung dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, yang menjiwai pasal-pasal dalam wujud norma-norma yang terkadung dalam Undang-Undang Dasar 1945.

Dengan meresapi pokok-pokok fikiran yang demikian itu, maka dalam
menjalankan pelaksanaan Undang-Undang Dasar 1945, diharapkan akan dapat
memberikan tanggapan yang tepat atas masalah-masalah yang dihadapi sejalan
dengan dinamika perkembangan keadaan tanpa meninggalkan keaslian semangat yang terkandung dalam Undang-Undang Dasar 1945 itu sendiri. Namun, pada akhirnya faktor yang menentukan pada usaha pelestarian dan pemantapan Undang-Undang Dasar 1945 itu adalah manusia. Maka dari itu semangat dan tekad para pemimpin dan penyelenggara pemerintah serta rakyat Indonesia sebagai keseluruhan dalam melestarikan dan menerapkan Undang-Undang Dasar 1945 secara harafiah dan batiniah merupakan syarat mutlak bagi keberhasilan perjuangan kita mewujudkan cita- cita Proklamasi.

Banyak kalangan dari generasi masa kini yang beranggapan bahwa tidaklah
bermanfaat untuk mempelajari Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Satir
memang tetapi untuk menghilangkan dogma semacam itu dibutuhkan kerja keras dan setara dengan konsumsi waktu yang akan dipergunakan. Padahal dipundak mereka terdapat tanggung jawab atas bangsa ini. Sementara itu Pola Penataran P-4 yang ditiadakan justru merupakan cara jitu sosialisasi hukum dasar. Namun sebagaimana digagas oleh Prof. Padmo Wahyono, bahwa kesemuanya dikembalikan kepada manusianya, sehingga bilamana pola-pola yang semula dibangun untuk tujuan konstruktif dan dapat menjembatani permasalahan kemajemukan masyarakat dan struktur geografis Indonesia, tetapi dikarenakan tujuan dari kelompok-kelompok tertentu menjadikan sarana tersebut sebagai ajang kontra produktif atau sekedar alat politik dalam melanggengkan kekuasaan aliran tertentu.

Penataran P-4 menurut hemat penulis adalah terminologi yang diberikan pada
sebuah bentuk pelatihan tentang pemahaman cara pandang hidup berbangsa dan
bernegara bagi seluruh warga negara Indonesia secara umum, yang memiliki
keterkaitan khusus dengan hukum dasar. Pola ini dikembangkan secara nasional dan
dilaksanakan secara berkesinambungan dan dapat mengatasi kendala masyarakat
Indonesia yang plural dari berbagai macam aspek dan latar belakangnya. Instrumen
semacam ini sebenarnya hanya merupakan salah satu kendaraan dari sekian banyak
yang dapat direkayasa sedemikian rupa, yang pada intinya dapat dioptimalkan
pemanfaatannya sebagai media pembelajaran, terutama berkaitan dengan
pembelajaran dan penanaman ide tentang kesadaran hukum kolektif sebagaimana yang telah dipaparkan sebelumnya di atas.


REFERENSI UTAMA

  1. Al Rasid, Harun, Himpunan Kuliah Ilmu Negara Prof. Mr. Djokosutono, Jakarta :
    Ghalia Indonesia, 1982.
  2. Asshididdiqie, Jimly, Konsolidasi Naskah UUD 1945 setelah Perubahan
    Keempat, Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas
    Indonesia, 2002.
  3. Lubis, M. Solly, Pembahasan UUD 1945, Rajawali Press, Jakarta – 1986
  4. Nurtjahjo, Hendra, Politik Hukum Tata Negara Indonesia, Pusat Studi Hukum
    Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2004.
  5. Sumarsono, S, dan Tim Redaksi, Pendidikan Kewarganegaraan, Gramedia
    Pustaka Utama, Jakarta 2004.
  6. Suradji, H., Pularjono dan Tim Redaksi Tata Nusa., Undang-Undang Dasar
    Negara Republik Indonesia UUD 1945 beserta Perubahan ke-I, II, III & IV
    dilengkapi dengan Dekrit 5 Juli 1959, Piagam Jakarta, UUD Sementara,
    Konstitusi RIS, cet.1, Jakarta : PT. Tata Nusa, 2002.
  7. Wahjono, Padmo, Indonesia Negara Berdasarkan atas Hukum, Jakarta: Ghalia
    Indonesia,1982.
  8. Wahjono, Padmo, Kuliah-Kuliah Ilmu Negara, Jakarta: Ind-Hill-Co,1966.
  9. Wahyono, Padmo, Prof., S.H., Indonesia ialah Negara yang Berdasar atas
    Hukum, Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar pada Fakultas Hukum
    Universitas Indonesia, 17 Nopember 1979.
  10. Yamin, Muhammad, Proklamasi dan Konstitusi Republik Indonesia, Ghalia
    Indonesia, 1982.
Scroll to Top
Open chat
1
Selamat datang di D-LEAD ada yang bisa kami bantu ?