Pertanyaan:
Saya adalah pengusaha yang bergerak dibidang properti dan mengadakan kerjasama dengan perusahaan Malaysia. Dalam rangka menindaklanjuti bisnis kami maka para pemegang saham perusahaan saya telah menandatangani kesepakatan bersama dengan pihak perwakilan usaha Malaysia tersebut; tetapi ternyata setelah berjalan kurang lebih 5 (lima) bulan ternyata terhadap isi maupun ketentuan salah satu ketentuan dalam kesepakatan bersama terdapat perbedaan penafsiran oleh pihak kesatu dan pihak kedua; dan dengan timbulnya perbedaan persepsi dalam menafsirkan klausul Kesepakatan Bersama dimaksud, maka timbul permasalahan hukum yang berkaitan dengan komitmen dan status dari para pihak yang mengikatkan diri dalam Kesepakatan Bersama. Oleh karena itu mohon saya diberitahu tentang bagaimana solusi dari permasalahan ini dan bagaimanakah kedudukan kesepakatan bersama atau memorandum of understanding menurut hukum Indonesia.
Salam
(Erick – Karawaci)
Jawab:
Dalam hal terjadinya maupun adanya perbedaan penafsiran dalam suatu perjanjian, maka bentuk-bentuk penafsiran terhadap perjanjian dimaksud sebagaimana ketentuan Buku III KUHPerdata secara umum diatur dalam pasal 1342 sampai dengan pasal 1351.
Merujuk pada ketentuan Pasal 1343 KUHPerdata, yang menentukan bahwa: “Apabila kata-kata dalam suatu perjanjian dapat diberikan berbagai macam penafsiran, harus dipilihnya menyelidiki maksud kedua belah pihak yang membuat perjanjian itu, daripada memegang teguh arti kata-kata menurut huruf.” Merujuk pada ketentuan Pasal 1344 KUHPerdata, menentukan bahwa: “Jika suatu janji dapat diberikan dua macam pengertian, maka harus dipilihnya pengertian yang sedemikian yang memungkinkan suatu pelaksanaan”.
Lebih jauh lagi merujuk pada ketentuan Pasal 1345 KUHPerdata, menentukan bahwa: “Jika suatu kata-kata dapat diberikan dua macam pengertian, maka harus dipilih pengertian yang paling selaras”.
Pada dasarnya kesepakatan bersama secara umum dan kesepakatan bersama ini secara khusus dapat menimbulkan suatu permasalahan, dimana sepanjang pengetahuan kami permasalahan dimaksud adalah sebagai berikut:
- Apakah suatu kesepakatan bersama merupakan suatu perjanjian?
- Apakah suatu kesepakatan bersama merupakan suatu Memorie of Understanding?
Lazimnya kesepakatan bersama hanya mengatur mengenai hal-hal yang bersifat umum, yang kemudian diikuti dengan perjanjian yang mengatur secara rinci, dimana di dalam perjanjian dimaksud akan dirumuskan dan dimuat seluruh hak dan kewajiban para pihak.
Dalam hal ini terdapat beberapa pendapat yang antara lain menyatakan sebagai berikut:
- Kesepakatan bersama bukan merupakan suatu perjanjian, karena kesepakatan bersama adalah suatu wacana yang dituangkan dalam suatu rencana. Sehingga dalam hal ini kesepakatan bersama belum merupakan suatu kondisi yang dapat dilaksanakan sepenuhnya, melainkan masih memerlukan tindakan pelaksanaan yang tertuang dalam suatu perjanjian, dan belum dapat menimbulkan konsekuensi hukum bagi para pihak yang mengingkarinya.
- Kesepakatan bersama merupakan suatu perjanjian (agreement is agreement), apabila implikasi kesepakatan bersama ini telah diwujudkan dalam tindakan hukum yang menimbulkan hak dan kewajiban bagi pihak-pihak yang menandatanganinya. Sehingga segala bentuk pengingkaran terhadap kesepakatan bersama dapat dituntut ganti rugi berdasarkan pengingkaran dari kewajiban yang seharusnya dilaksanakan dan/atau yang tidak sesuai dengan kesepakatan bersama yang telah ditandatangani.
Secara umum sistem hukum Indonesia tidak mengenal konsep Memorandum of Understanding, melainkan konsep tersebut lahir dan diadopsi oleh para praktisi maupun konsultan hukum Indonesia dari Common Law System.
Sistem hukum Indonesia yang berasal dari Eropa Kontinental bersifat dogmatis, dimana apabila suatu ketentuan hukum yang telah dibuat dan ternyata terdapat hal-hal yang tidak termuat di dalamnya akan tunduk pada ketentuan yang lebih tinggi tingkatan hierarkhinya. Oleh karenanya terhadap suatu perjanjian yang tidak memberikan suatu penafsiran yang lengkap maupun terdapat hal-hal yang tidak diatur, maka terhadap perjanjian dimaksud akan merujuk dan menundukan diri pada ketentuan hukum yang lebih tinggi, yaitu dalam hal ini adalah Undang-Undang.
Oleh karenanya dalam penafsiran perjanjian, harus diteliti maksud para pihak yang membuat perjanjian sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang diatur dalam KUHPerdata, sehingga memungkin suatu perjanjian untuk dapat dilaksanakan.
Berdasarkan Kesepakatan Bersama kami cenderung untuk berpendapat bahwa Kesepakatan Bersama tersebut telah menimbulkan suatu konsekuensi hukum. Sehingga terhadap pengingkaran pelaksanaan kesepakatan bersama itu dapat dikenakan sanksi ganti rugi atas cidera janji atau wanprestasi, dengan kualifikasi bahwa terdapat salah satu atau dengan dipenuhinya unsur-unsur cidera janji atau wanprestasi dimaksud.
Hal ini dengan turut memperhatikan maksud dari para pihak yang menandatangani Kesepakatan Bersama, dan usaha-usaha yang telah dilaksanakan dalam rangka mewujudkan Kesepakatan Bersama. Dengan perlu adanya pengertian dan pemahaman bersama bahwa apabila setelah Kesepakatan Bersama itu tidak ditindaklanjuti dengan suatu perjanjian yang lebih rinci. Namun, kesepakatan bersama itu telah sebagian atau sepenuhnya dilaksanakan, dan merupakan landasan bagi para pihak untuk mengikatkan dirinya satu sama lain. Sehingga dengan demikian menimbulkan suatu akibat hukum terhadap para pihak yang menandatangani Kesepakatan Bersama, maka setiap konsekuensi hukum yang timbul dapat dimintakan pertanggungjawabannya kepada para pihak. Terlebih lagi apabila sampai berakibat timbulnya kerugian, maka terhadap beban tersebut dapat dituntut kepada pihak yang telah mengingkarinya.