Perjanjian Perkawinan, Apa Itu?

Share :

Pertanyaan:

D-Lead yth.,

Apakah yang dimaksud dengan Perjanjian Perkawinan? Hal-hal apa saja yang perlu untuk diperhatikan dalam penyusunan Perjanjian Perkawinan?

(Pertanyaan dari Rafisya Akbar)

Jawaban:

Janji kawin merupakan janji-janji sepasang kekasih yang sedang memadu kasih, dan mungkin sudah mengarah kepada perkawinan, sebagaimana diatur di dalam Pasal 58 KUHPerdata mengenai janji kawin, Pasal 13 Kompilasi Hukum Islam yang mengatur mengenai peminangan. Pada prinsipnya janji kawin tidak menimbulkan akibat hukum, kecuali kalau persiapan sudah demikian lanjut. Inti pasal 58 KUHPerdata dan Pasal 13 Kompilasi Hukum Islam pada prinsipnya dapat dikatakan sama, artinya mengatur tentang hal yang sama.

Undang-undang Perkawinan tidak mengatur mengenai hal ini. Dalam praktek, timbul masalah, apakah janji kawin dengan demikian dapat menimbulkan akibat hukum, mengingat di dalam Undang-Undang Perkawinan tidak diatur? Ada pendapat yang menyatakan bahwa janji kawin dapat menimbulkan akibat hukum. Namun menurut hemat kami, perlu dipikirkan lebih mendalam mengenai akibat janji kawin dan pengaturannya di dalam Undang-undang Perkawinan, karena pada prinsipnya hukum keluarga merupakan bidang hukum yang tidak dapat dinilai dengan uang, berbeda dengan hukum kekayaan.

Mengenai perkawinan sebagai perjanjian, meskipun unsur syarat sahnya perkawinan ialah adanya kata sepakat. Pasal 28 KUHPerdata dan Pasal 6 ayat 1 Undang-undang Perkawinan, namun perkawinan adalah berbeda dengan perjanjian sebagaimana diatur di dalam Buku III KUHPerdata, yang mengenal prinsip atau asas kebebasan berkontrak. Dalam perkawinan tidak ada kebebasan sama sekali untuk memperjanjikan hak dan kewajiban suami-isteri, benar ada kata sepakat, namun kata sepakat tersebut diikuti dengan prinsip untuk tunduk pada ketentuan Undang-undang Perkawinan, dan tidak ada kesempatan menyimpanginya.

Dalam pengertian perjanjian perkawinan, maka dapat dikatakan bahwa Undang-undang Perkawinan tidak mengatur secara tegas apakah perjanjian perkawinan tersebut harus dibuat dalam bentuk akta otentik atau tidak, demikian juga dalam hal dilakukan perubahan atas perjanjian perkawinan tersebut. Hal yang diisyaratkan di dalam pasal 29 Undang-undang Perkawinan ayat (1) adalah bahwa: kedua belah pihak atas persetujuan bersama dapat mengadakan perjanjian tertulis yang disahkan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan.

Pengertian tertulis tersebut dapat diartikan dibuat secara akta otentik ataupun dibuat dengan akta di bawah tangan, namun perjanjian perkawinan harus disahkan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan. Apa yang dimaksud dengan tertulis dan disahkan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan menimbulkan berbagai pendapat dikalangan para ahli hukum mengenai hal tersebut.

Hal ini berbeda dengan pengaturan dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata seperti dalam pengaturannya dalam pasal 139 KUHPerdata, dan pasal 147 KUHPerdata, dimana pada pasal yang disebutkan terakhir menyebutkan bahwa Setiap perjanjian perkawinan harus dibuat dalam bentuk akta notaris sebelum perkawinan dilangsungkan.

Lebih lanjut Pasal 148 KUHPerdata paragraph 1 KUHPerdata menentukan bahwa: Segala perubahan dalam perjanjian perkawinan, yang sedianyapun boleh diadakan sebelum perkawinan, tak dapat diselenggarakan dengan cara lain, melainkan dengan akta dan dalam bentuk yang sama, seperti akta perjanjian itu dulupun dibuatnya.

Sedangkan dalam pasal 29 ayat (2) Undang-undang Perkawinan, tidak dapat kita jumpai rumusan yang secara tegas mengatur mengenai hal itu, namun dapat disimpulkan bahwa:

  1. Perjanjian perkawinan tidak boleh melanggar batas-batas hukum, disini adalah jika dikaitkan dengan perkawinan itu sendiri adalah perjanjian perkawinan tidak boleh berisi hal-hal yang bertentangan dengan pengaturan hubungan suami-isteri dalam perkawinan itu sendiri, seperti kewajiban suami-isteri dalam menegakkan rumah tangga, kewajiban orang tua terhadap anak;
  2. Perjanjian perkawinan tidak boleh melanggar agama, artinya isi perjanjian perkawinan tidak boleh bertentangan dengan agama yang mereka anut itu;
  3. Perjanjian perkawinan tidak boleh melanggar kesusilaan.

Hal tersebut di atas menyebabkan timbulnya berbagai penafsiran di kalangan para ahli hukum, karena Undang-undang Perkawinan tidak menentukan secara tegas mengenai bentuk pembuatannya, maka ada yang menyatakan tidak perlu dengan akta otentik, artinya dengan akta di bawah tangan perjanjian perkawinan juga bisa dibuat, tetapi pendapat lain menyatakan bahwa perjanjian perkawinan tersebut perlu dibuat dalam bentuk akta otentik, di depan notaris. Pendapat ini di dasarkan pada pertimbangan kepentingan suami-isteri, misalnya dalam hal suami-isteri melakukan usaha, dalam hal  akan mendirikan perusahaan atau perseroan terbatas, tentunya tidak bisa hanya diadakan dalam bentuk akta di bawah tangan akan tetapi lebih baik dalam bentuk akta otentik, usaha tersebut ialah untuk meng antisipasi dalam pailitnya salah seorang suami-isteri, dan juga dalam hal suami-isteri mengadakan perjanjian dibidang hukum kekayaan dengan pihak ketiga, berdasarkan usaha yang dilakukannya.

Jadi mengenai masalah apakah perjanjian perkawinan harus dibuat dalam bentuk akta otentik (notaries), atau tidak  Pasal 29 ayat 1 Undang-undang Perkawinan tidak mensyaratkan bahwa perjanjian perkawinan harus dibuat dalam bentuk akta otentik, pasal tersebut hanya menentukan bahwa kedua pihak atas persetujuan bersama dapat mengadakan perjanjian tertulis yang disahkan oleh pejabat yang berwenang dan isinya mengikat pihak ketiga. Dalam ilmu hukum terdapat perbedaan pendapat, ada yang berpendapat tidak perlu otentik tetapi ada pendapat yang menyatakan bahwa sebaiknya perjanjian perkaiwnan dibuat dalam bentuk otentik. Dalam praktek, notaris membuat dalam bentuk otentik jika pasangan suami-isteri berkecimpung didunia business atau dunia usaha, yakni untuk mengantisipasi terjadinya kepailitan, salah seorang dari suami-isteri tersebut.

Dalam Undang-undang Perkawinan mengenai kekuatan pembuktian perjanjian perkawinan, bila dilakukan tanpa atau dengan bantuan notaris, tidak terdapat pengaturannya. Dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata (BW) hal tersebut dapat dilihat di dalam Pasal 1868 Kitab Undang-undang Hukum Perdata (BW), Pasal 1870 Kitab Undang-undang Hukum Perdata (BW), yakni mempunyai kekuatan pembuktian sempurna, jika akta perjanjian perkawinan dibuat dalam bentuk akta otentik. Jika perjanjian perkawinan dibuat dalam bentuk akta di bawah tangan kekuatan pembuktiannya dapat dilihat dalam Pasal 1976, 1875, 1877 K.U.H.Perdata, juga dapat dilihat dalam Pasal 1880 KUHPerdata. Akta perjanjian perkawinan tersebut harus diakui terlebih dahulu tanda tangannya (1876), dan jika di akui maka akta tersebut mempunyai kekuatan pembuktian sempurna seperti akta otentik (Pasal 1875 K.U.H.Perdata), dan jika dibantah, maka akta tersebut baru merupakan permulaan pembuktian, yang harus dibuktikan dengan alat bukti lain. (Pasal 1877 Kitab Undang-undang Hukum Perdata).

Menurut hemat kami, Undang-undang Perkawinan di dalam Undang-undang Perkawinan, Undang-undang No.1 tahun 1974, sebaiknya juga dibuat di dalam bentuk akta otentik, karena di dalam pasal 29 disebutkan dibuat dalam bentuk tertulis yang isinya mengikat pihak ketiga. Rumusan isinya mengikat pihak ketiga, jika pihak ketiga terkait mengisyaratkan bahwa perjanjian perkawinan sebaiknya dibuat dalam bentuk akta otentik.

Dalam hal perjanjian perkawinan dilakukan di luar negeri, apakah perjanjian perkawinan itu berlaku di Indonesia dan kapan waktu untuk melapor atau disahkan oleh PPP? Di dalam Undang-undang Nasional belum ada peraturan yang mengatur mengenai hal ini. Namun perlu diperhatikan atau diusulkan agar perjanjian perkawinan yang dilakukan di luar negeri, dibuat dalam suatu akta otentik.

Berbeda dengan KUHPerdata yang lebih jelas mengatur hal-hal yang tidak boleh diperjanjikan dalam perjanjian perkawinan tersebut, antara lain diatur dalam pasal 140, 141, 142, 143 KUHPerdata. Mengenai hal ini ada pendapat yang menyatakan bahwa perjanjian perkawinan boleh berisi mengenai apa saja, sehingga isinya bisa sangat luas, namun ada pendapat lain yang menyatakan bahwa perjanjian perkawinan jika tidak dapat ditafsirkan lain, dan tidak diatur secara tegas dalam undang-undang sebaiknya hanya mengenai hal-hal yang berkaitan dengan harta kekayaan atau harta benda perkawinan (pendapat Prof. Sardjono, SH.), sedangkan Nurnazly Sutarno, SH. berpendapat yang dapat diperjanjikan dalam perjanjian perkawinan hanyalah hal-hal yang berkaitan dengan harta yang dibawa suami-isteri yang merupakan harta pribadi masing-masing, mengenai harta bersama tidak dapat diperjanjikan lain, karena undang-undang tidak menentukan kemungkinan mengenai hal itu.

Demikian jawaban dari kami, semoga dapat membantu.

Sumber: Darmabrata, Wahyono. dan Ari Wahyudi Hertanto, Penelitian tentang the Development of Civil Registration in Indonesia. Jakarta: Deutsche Gesselschaft Fuer Technische Zusammenarbeit GmbH (GTZ) Good Governance in Population Administration, 2004.

Kategori
Scroll to Top
Open chat
1
Selamat datang di D-LEAD ada yang bisa kami bantu ?