Perkawinan dengan Warga Negara Asing

Share :

Tanya:

Saya bertemu dengan seorang berkewarganegaraan Saudi Arabia dan jatuh cinta. Kami merencanakan untuk menikah secepatnya dan rencananya setelah menikah kami akan tinggal di Saudi Arabia. Dia sudah apply marriage visa tetapi belum ada keputusan dari pemerintahnya sampai sekarang. yang ingin saya tanyakan.

  1. Bisakah kami dapat menikah sebelum visa saya di setujui?
  2. Apabila kami memenuhi prosedure pernikahan dan mempunyai surat2 yang lengkap yang telah di ketahui oleh kedubes Arab Saudi. Apakah pernikahan kami nanti akan legal. walaupun visa tinggal saya belum di setujui?
  3. Idenya dia adalah Dia ingin kami menikah kontrak untuk sementara dan tidak perlu melaporkan ke kedutaan karena ini akan berproses sangat lama. dan untuk dapat kesana saya menggunakan visa kerja. Setelah marriage visa kami disetujui baru kami mengurus pernikahan resmi. sebenarnya saya kurang setuju dengan ide ini. karena saya takut tidak mendapat kekuatan hukum. Apa yang harus saya lakukan?? saya sangat bingung…terima kasih atas solusi dan bantuannya. (Annisya – Kemang)

Jawab:

Suatu perkawinan yang telah dilangsungkan oleh pasangan suami-isteri harus memenuhi syarat materiil (mengenai pribadi yang melangsungkan perkawinan), maupun syarat formil (syarat yang mendahului dan menyertai dilangsungkannya perkawinan), sebagaimana diatur di dalam Undang-undang Perkawinan, Undang-undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan (“Undang-undang Perkawinan”), dan Peraturan Pemerintah No.9 tahun 1975 tentang ketentuan Pelaksana Undang-undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan.

Berdasarkan ketentuan Pasal 57 Undang-undang Perkawinan menentukan bahwa perkawinan campuran adalah:

  1. Perkawinan yang dilangsungkan di Indonesia;
  2. Antara seorang warga negara Indonesia dengan warga negara asing.

Berdasarkan lingkup perkawinan campuran maka perkawinan tersebut hanya dapat dilakukan jika telah dipenuhi persyaraatan yang mengenai diri pribadi masing-masing yang akan melangsungkan perkawinan, demikian juga persyaratan mengenai tata cara perkawinan. Syarat mengenai diri pribadi yang harus dipenuhi ialah bahwa bagi warga negara Indonesia harus memenuhi persyaratan yang diatur atau ditentukan dalam Undang-undang Perkawinan. Sedangkan bagi orang asing harus memenuhi persyaratan yang ditentukan oleh hukum negara yang bersangkutan. Untuk membuktikan bhwa persyaratan tersebut telah dipenuhi, mereka hatus dapat menunjukkan surat keterangan yang diberikan oleh pejabat yang berwenang untuk itu,menurut hukumnya yang menerangkan bahwa yang bersangkutan telah memenuhi syarat (Pasal 60 ayat (2) Undang-undang Perkawinan).

Bila keterangan tersebut belum ada, maka perkawinan tidak dapat dilangsungkan. Jika pejabat yang bersangkutan menolak untuk memberikan surat keterangan tersebut, maka atas permintaan yang berkepentingan Pengadilan memberikan keputusan dengan tidak beracara serta tidak boleh dimintakan banding lagi tentang soal apakah penolakan pemberian surat keterangan tersebut beralasan atau tidak.

Oleh karenanya paparan tersebut di atas telah menjawab pertanyaan pertama. Sedangkan untuk pertanyaan kedua, yaitu dengan turut memperhatikan uraian tersebut di atas sudah barang tentu apabila tidak dipenuhi persyaratan yang ditentukan oleh Undang-undang Perkawinan (baik Indonesia maupun dari negara asal warga negara asing), maka dalam tatanan hukum negara/hukum nasional jelas berdampak bahwa perkawinan tersebut tidak dapat dikatakan secara serta merta sah.

Berkenaan dengan pertanyaan ketiga sehubungan dengan kawin kontrak (dimana menurut hukum kontrak adalah sama dengan perjanjian) dapat dikatakan bahwa ada 3 istilah dalam hukum nasional tentang perkawinan yang perlu diperhatikan yaitu janji kawin, perjanjian perkawinan dan perkawinan sebagai perjanjian.

Janji kawin merupakan janji-janji sepasang kekasih yang sedang memadu kasih, dan mungkin sudah mengarah kepada perkawinan. Undang-undang Perkawinan tidak mengatur mengenai hal ini. Dalam praktek, timbul masalah, apakah janji kawin dengan demikian dapat menimbulkan akibat hukum, mengingat di dalam Undang-Undang Perkawinan tidak diatur.

Perjanjian perkawinan, maka dapat dikatakan bahwa Undang-undang Perkawinan tidak mengatur secara tegas apakah perjanjian perkawinan tersebut harus dibuat dalam bentuk akta otentik atau tidak, demikian juga dalam hal dilakukan perubahan atas perjanjian perkawinan tersebut. Hal yang diisyaratkan di dalam pasal 29 Undang-undang Perkawinan ayat (1) adalah bahwa: kedua belah pihak atas persetujuan bersama dapat mengadakan perjanjian tertulis yang disahkan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan.

Perkawinan sebagai perjanjian, meskipun unsur syarat sahnya perkawinan ialah adanya kata sepakat. Pasal 28 KUHPerdata dan Pasal 6 ayat 1 Undang-undang Perkawinan, namun perkawinan adalah berbeda dengan perjanjian sebagaimana diatur di dalam Buku III KUHPerdata, yang mengenal prinsip atau asas kebebasan berkontrak. Dalam perkawinan tidak ada kebebasan sama sekali untuk memperjanjikan hak dan kewajiban suami-isteri, benar ada kata sepakat, namun kata sepakat tersebut diikuti dengan prinsip untuk tunduk pada ketentuan Undang-undang Perkawinan, dan tidak ada kesempatan menyimpanginya.

Menikah kontrak dalam hal ini tidak diatur dalam hukum nasional, namun cukup akrab dalam lingkup hukum agama (kawin mut’ah) dan hukum adat. Oleh karenanya dalam kawin kontrak terdapat hal-hal yang tidak dapat dilindungi oleh hukum seperti, dan terbuka peluang untuk terjadinya:

  1. Pelanggaran batas-batas hukum, yaitu berkaitan dengan hal-hal yang bertentangan dengan pengaturan hubungan suami-isteri dalam perkawinan itu sendiri, seperti kewajiban suami-isteri dalam menegakkan rumah tangga, kewajiban orang tua terhadap anak;
  2. Pelanggaran terhadap hukum agama;
  3. Pelanggaran terhadap kesusilaan.

Undang-undang Perkawinan dalam hal ini berupaya untuk memberikan perlindungan bagi warga negara Indonesia, sehingga dapat tercipta suatu kepastian hukum bagi masyarakatnya.

Scroll to Top
Open chat
1
Selamat datang di D-LEAD ada yang bisa kami bantu ?