Perkawinan Antar Agama Dan Perkawinan Campuran: Suatu Tinjauan Yuridis

Share :

Oleh: Dr. Ari Wahyudi Hertanto, S.H., M.H.
(dikutip dari berbagai sumber)

A. Pendahuluan

Perspektif orang dalam memandang perkawinan sebagai suatu lembaga yang
sakral ataupun sebaliknya merupakan topik yang tidak pernah habis untuk dibahas.
Demikian pula halnya dengan perkara perkawinan antara mereka yang berbeda
agama dan bagaimana pelaksanaan prosesinya juga merupakan salah satu dari sekian banyak polemik seputar perkawinan. Eksistensi Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UUP) adalah tertib hukum yang disusun berdasarkan falsafah negara dan mencabut hukum perkawinan lama sejauh materi hukumnya telah diatur olehnya. Asas Bhinneka Tunggal Ika dalam kehidupan beragama mengandung makna setuju berbeda dalam agama, namun bersatu dalam bangsa dan negara. Dalam negara hukum berdasar Pancasila diakui adanya pluralitas hukum perkawinan.

UUP telah mendudukkan hukum agama pada kedudukan fundamental,
sehingga di Indonesia ada pluralitas hukum perkawinan. Dari segi sejarah hukum dan
perundang-undangan, pembentukan undang-undang perkawinan nasional dalam
rangka pengamalan Pancasila. Pemahaman terhadap undang-undang perkawinan
khususnya tentang perkawinan antar agama harus dilandasi kesadaran:

  1. Bahwa Negara Republik Indonesia adalah negara berdasar atas hukum
    dengan Pancasila sebagai cita hukum (rechts-idee) dan Undang-Undang
    Dasar 1945 sebagai konstitusi;
  2. Bahwa “negara menjamin kemerdekaan penduduk untuk memeluk agama
    masing-masing dan beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.”
  3. Wawasan Nusantara

Dalam Hukum Antar Tata Hukum (HATAH) dikenal hubungan Hukum
Antar Tata Intern dan Hukum Antar Tata Hukum Ekstern. Dari segi sejarah hukum,
sebelum lahir Undang-Undang Perkawinan ada berbagai bentuk Perkawinan antar
agama ialah: Internasional, antar tempat, antar agama dan antar golongan. Dalam
Hukum Antar Tata Hukum berlaku kaidah dasar hukum suami berlaku bagi
hubungan antar tata hukum. Dengan menunjuk kepada Aturan Peralihan
sebagaimana ditentukan dalam Pasal 67 dan Pasal 66 UUP, karena ketentuan tentang
pelaksanaan Perkawinan antar agama belum ada maka Pasal 6 GHR masih berlaku.

Perkawinan antar agama memerlukan perhatian khusus karena menyangkut masalah:

  1. Tertib hukum dan kepastian hukum;
  2. Pemahaman terhadap undang-undang nasional;
  3. Pengamalan hukum sesuai dengan cita hukum dalam wawasan Nusantara; dan
  4. Kerukunan hidup antara umat beragama di bidang hukum.

UUP dibentuk berdasar Pancasila, memberikan kedudukan kuat pada hukum
agama (Pasal 2 ayat (1)). Karena diakui kemerdekaan untuk beragama dan menjamin negara terhadap pemelukan agama-agama oleh penduduk Indonesia (Pasal 29 Undang-Undang Dasar 1945 jo Undang-Undang No.1/PNPS/1965), maka timbul masalah apakah UUP merupakan satu undang-undang nasional yang tidak
mengandung unifikasi hukum, namun pluralitas hukum perkawinan. Karena rumusan
Pasal 2 ayat (1) UUP, maka dalam masyarakat timbul istilah “perkawinan antar
agama.” Karena rumusan Pasal 57 UUP kurang tegas setelah, maka bagaimanakah
pengertian Perkawinan antar agama menurut UUP dan berbagai aspek hukumnya.

Ada yang memahami Pasal 57 UUP hanya memuat Perkawinan antar agama
antar warganegara saja, maka timbul masalah vakum hukum dan vakum pelayanan
hukum. Terjadinya pelaksanaan perkawinan sesama warganegara Indonesia yang
memeluk agama yang berlainan di luar negeri sebagai upaya hukum karena tidak
mendapatkan pelayanan hukum di dalam negeri; upaya hukum demikian
menimbulkan masalah apakah perkawinan tersebut sah menurut hukum Indonesia,
karena Undang-Undang Perkawinan menentukan perkawinan warganegara Indonesia
di luar negeri “tidak boleh melanggar ketentuan-ketentuan UUP (Pasal 56 UUP)”.

Ketentuan inilah selama ini menjadi pembahasan oleh kalangan hukum,
sebab tidak semuanya menyetujui ketentuan hukumnya, walaupun saat ini telah ada
yurisprudensi No.51 K/AG/1999 sebagai acuan untuk membahas ketentuan menyangkut pembagian terhadap harta warisan antara penduduk muslim dan non
muslim sebagai acuan.

B. Hubungan Hukum yang Timbul dari Hukum

Bangsa Indonesia adalah bangsa yang sangat majemuk, baik masyarakatnya
yang terdiri dari berbagai macam suku bangsa dan agama serta kepercayaan kepada
Tuhan Yang Maha Esa, budaya, bahasa, adat-istiadat dan lain sebagainya. Faktor
kemajemukan semacam ini dibidang hukum keluarga, khususnya dibidang hukum
perkawinan sebenarnya bukan merupakan barang baru. Terlepas dari perkembangan
dan perubahan budaya global yang terjadi dalam menyikapi perspektif pasangan
hidup, perkawinan tetap dipandang sebagai suatu ritual sakral yang dilandasi dengan
pemikiran yang bersifat keagamaan, hukum, adat-istiadat, budaya dan didalamnya
turut melekat aspek hak asasi manusia. Oleh karenanya pada prakteknya tidaklah
mudah atau sulit untuk dapat dihalang-halangi prosesi tersebut untuk tidak dilakukan.

Pemahaman semacam ini memberikan suatu penafsiran yang luas.
Bilamana diartikan secara sempit dapat dikatakan bahwa terhadap mereka
yang telah menjalin hubungan asmara yang mendalam, tidak tertutup kemungkinan
bahwa hukum agama maupun hukum manusia dilampaui oleh mereka. Bahkan tidak
tertutup kemungkinan bagi mereka untuk melakukan upaya-upaya hukum maupun
upaya penggelapan hukum. Namun demikian, dampak yang timbul dari perkawinan
tersebut timbul sesudah dilangsungkannya perkawinan. Salah satu bidang yang tidak
jarang menjadi permasalahan adalah dibidang kewarisan.

Agama adalah kepercayaan yang mutlak, berdasarkan kebenaran yang tidak
dapat dibantah. Hal pokok dari agama ialah Tuhan dan peraturan Tuhan. Tujuan
didikan Tuhan kepada umat manusia ialah berbuat baik dan berbuat keadilan
melaksanakan perintah Tuhan.

Didalam praktek kita mengetahui akan adanya prinsip yang berbeda dari
tujuan agama dan hukum, antara lain, agama mengatur tentang tata kehidupan baik
lahir maupun bathin secara hakiki, sedangkan peraturan perundangan hanya bersifat
mengatur kehidupan lahir secara formal, artinya sepanjang orang bertindak sesuai
dengan peraturan perundangan yang berlaku, maka orang tersebut sudah dapat dinilai telah bertindak tertib. Sebaliknya dia akan menerima sanksi hukum manakala
melakukan pelanggaran hukum yang dapat dibuktikan secara konkrit. Tetapi
terhadap pelanggaran yang tersembunyi atau sulit pembuktiannya, maka peraturan
perundangan tidak dapat menjatuhkan sanksi hukum kepadanya.

Tindakan-tindakan manusia yang dinilai salah dapat dilindungi oleh hukum,
karena manusia sebagai pembuat hukum mengetahui letak kelemahan hukum dan
mencari celah-celah yang memungkinkan untuk diterobos demi menghindar dari
tuntutan hukum, meskipun pada kenyataannya berbuat kesalahan.

  1. Sebelum berlakunya hukum nasional
    Sebelum ada perangkat hukum nasional yang mengatur tentang hukum
    keluarga, khususnya bidang perkawinan, maka yang berlaku adalah hukum
    peninggalan kolonial Belanda, yaitu berkenaan dengan lingkup hukum
    keluarga yang diatur dalam Buku I KUHPer. Norma dalam Buku I KUHPer
    tersebut mengatur hak dan kewajiban seseorang yang bersumber pada ikatan
    perkawinan, mengenai hak dan kewajiban suami-isteri, harta kekayaan
    perkawinan, Perwalian, pengampuan, dan sebagainya.

    Isi Buku I tentang Orang yaitu pengaturan bahwa orang (naturlijk person)
    sebagai subyek hukum, dan hukum keluarga. Antara judul dengan isinya
    tidak sesuai. Tentang orang dapat diartikan dalam arti luas dan dalam arti
    sempit. Dalam arti sempit orang hanya meliputi norma yang mengatur hak
    dan kewajiban seseorang sebagai subyek hukum. Dalam arti luas orang
    meliputi orang sebagai subyek hukum dan hukum keluarga.

    Hubungan yang timbul sebagai akibat dari perkawinan adalah timbulnya harta dalam perkawinan, sebagaimana J. Satrio memberikan istilah dan pembatasan, hukum harta perkawinan adalah peraturan hukum yang mengatur akibat-akibat perkawinan terhadap harta kekayaan suami-istri yang melangsungkan perkawinan. Mengingat perkawinan adalah lembaga hukum yang merupakan pokok daripada hukum keluarga, maka dari istilah hukum harta perkawinan sudah dapatlah disimpulkan adanya hubungan yang erat
    antara hukum harta perkawinan dengan hukum keluarga dengan kata “harta” – dalam istilah hukum harta perkawinan mempersangkakan adanya hubungan dengan hukum kekayaan (vermorgensrecht). Akibat perkawinan terhadap persoon suami istri adalah timbulnya hubungan hukum antara suami istri, yang muncul karena hukum kekeluargaan.

    Hubungan hukum menimbulkan hak dan kewajiban, hak dan kewajiban yang muncul disini adalah hak dan kewajiban yang bersifat persoonlijk/pribadi yang dapat diniliai dengan uang atau lebih tepat tidak mempunyai nilai ekonomis. Disamping itu perkawinan mempunyai akibat-akibat hukum lain, yang walaupun sama-sama timbul dari hubungan kekeluargaan (familie betrekkingen), tetapi juga mempunyai ciri khusus lain, yaitu bahwa hak dan
    kewajiban yang timbul di sini mempunyai nilai uang/ekonomis.

    Karena hukum harta perkawinan adalah hukum kekayaan keluarga (familie vermorgenrecht), maka hukum kekayaan disini mengandung segi publik; maksudnya adalah,d dalam hukum keluarga kepentingan umum lebih banyak berbicara daripada hukum kekayaan.
  2. Perkawinan menurut agama Islam
    Perkawinan menurut agama Islam, ialah pelaksanaan, peningkatan dan penyempurnaan ibadah kepada Allah dalam hubungan antara dua jenis manusia, pria dan wanita yang ditakdirkan oleh Allah satu sama lain saling memerlukan dalam kelangsungan hidup kemanusiaan untuk memenuhi nalurinya dalam hubungan seksuil, untuk melanjutkan keturunan yang sah serta mendapat kebahagiaan dan kesejahteraan lahir bathin bagi keselamatan keluarga, masyarakat dan negara serta keadilan dan kedamaian baik dalam
    kehidupan dunia maupun akhirat.

Perkawinan menurut agama Islam, ialah pelaksanaan, peningkatan dan penyempurnaan ibadah kepada Allah dalam hubungan antara dua jenis manusia, pria dan wanita yang ditakdirkan oleh Allah satu sama lain saling memerlukan dalam kelangsungan hidup kemanusiaan untuk memenuhi nalurinya dalam hubungan seksuil, untuk melanjutkan keturunan yang sah serta mendapat kebahagiaan dan kesejahteraan lahir bathin bagi keselamatan keluarga, masyarakat dan negara serta keadilan dan kedamaian baik dalam kehidupan dunia maupun akhirat.

Dalam pada itu, perkawinan yang disyariatkan agama ialah mempunyai beberapa segi, diantaranya ialah:

a. segi ibadah;
b. segi hukum;
c. segi sosial.

Sebagaimana hukum-hukum yang lain yang ditetapkan dengan tujuan tertentu sesuai dengan tujuan pembentukannya demikian pula dengan syariat Islam, yang mensyariatkan perkawinan dengan tujuan-tujuan tertentu pula. Diantara tujuan-tujuan itu ialah:

a. Melanjutkan keturunan yang merupakan sambungan hidup dan penyambung cita-ita, membentuk keluarga dan keluarga-keluarga dibentuk umat, ialah umat Nabi Muhammad S.A.W., umat Islam.
b. untuk menjaga diri dari perbuatan-perbuatan yang dilarang Allah mengerjakannya.
c. untuk menimbulkan rasa cinta antara suami dan istri, menimbulkan rasa kasih sayang antara orang tua dan anak-anaknya dan adanya kasih sayang antara sesama anggota-anggota keluarga. Rasa cinta dan kasih sayang dalam keluarga ini akan dirasakan pula dalam masyarakat atau umat, sehingga terbentuklah umat yang diliputi cinta dan kasih sayang.
d. untuk menghormati sunnah Rasulullah S.A.W. Beliau mencela orang- orang yang berjanji akan berpuasa setiap hari, akan bangun dan beribadah setiap malam dan tidak akan kawin-kawin.
e. untuk membersihkan keturunan, keturunan yang bersih yang jelas ayah, kakek dan sebagainya hanya diperoleh dengan perkawinan. Dengan demikian akan jelas pula orang-orang yang bertanggung jawab terhadap anak-anak yang akan memelihara dan mendidiknya sehingga menjadilah ia muslim yang dicita-citakan. Karena itu Agama Islam mengharapkan zina, tidak mensyariatkan poliandri (seorang
wanita mempunyai suami lebih dari satu), menutup segala pintu yang mungkin melahirkan anak-anak di luar perkawinan yang tidak jelas.

Hukum perkawinan secara prinsip telah menata dan mengatur tentang syarat- syarat dan rukun perkawinan dengan berlandaskan pada firman Allah S.W.T dalam Al Quran, yang sudah barang tentu tidak akan berubah satu daripada ketentuannya untuk sepanjang masa, dan Al Hadits.

Adapun dalam ketentuan Agama Islam mengatur tentang rukun perkawinan, yaitu merupakan ketentuan-ketentaun yang harus dipenuhi dalam melangsungkan perkawinan. Rukun perkawinan Islam terdiri atas:

a. harus ada calon suami dan istri, atau wakilnya;
b. harus ada wali dan calon istri, atau wakilnya;
c. harus ada dua orang saksi laki-laki Islam yang telah memenuhi syarat- sarat;
d. adanya ijab qabul.

Adapun syarat-syarat perkawinan Islam adalah sebagai berikut:
a. adanya persetujuan dari kedua calon suami istri dan wali calon istri;
b. beragama Islam, cukup dewasa dan sehat pikirannya;
c. tidak ada hubungan kekeluargaan sedarah yang terlampau dekat;
d. tidak ada hubungan semenda;
e. tidak ada hubungan sepersusuan;
f. calon istri tidak terikat dalam suatu tali perkawinan;
g. tidak ada perbedaan agama antara calon suami dan calon istri.

Sehubungan dengan ketentuan perbedaan agama, syarat-syarat dalam perkawinan Islam tentang tidak adanya perbedaan agama antara calon suami dan istri tersebut di atas hanya mutlak bagi para wanita yang beragama Islam. Sebagaimana difirmankan dalam Al Quran Surat Al-Um, Rasulullah mengharamkan perkawinan antara wanita Islam dengan pria yang non Islam.

Para ulama sepakat untuk mengharamkan wanita muslimah dinikahi oleh laki-laki yang bukan muslim. Apakah laki-laki itu ahli kitab atau pun penyembah berhala atau seorang atheis sekalipun. Keharamannya mutlak dan secara tegas disebutkan di dalam Al-Quran Al-Karim.

“Dan janganlah kamu menikahkan laki-laki musyrik (dengan wanita muslimah) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mu’min lebih baik dari orang musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran”. (QS. Al-Baqarah : 221).

Bila seorang wanita muslimah menikah dengan laki-laki non muslim, baik ahli kitab maupun yang lainnya, maka hukumnya haram. Bila mereka melakukan hubungan suami istri, maka itu merupakan zina. Dan konsekuensi hukum lainnya adalah anak yang dilahirkannya meski memeluk Islam, tapi tidak bisa berwali kepada ayahnya lantaran beda agama.

Begitu juga konsekuensi hukumnya sampai kepada masalah hukum waris.
Dimana para ulama umumnya mengatakan bahwa perbedaan agama mengakibatkan tidak bisa saling mewarisi. Artinya, istri yang muslimah tidak bisa mewarisi harta suaminya yang bukan Islam dan sebaliknya suami pun tidak bisa mewarisi harta istrinya.

Pria Islam yang ingin menikah dengan wanita yang beragama Yahudi dan Kristen, yaitu wanita-wanita yang berpegang teguh kepada kitab suci Taurat dan Kitab suci Injil dapat diperkenankan (tidak dilarang) asal pihak laki-laki Islam itu kuat imannya, rajin ibadahnya, baik moralnya dan mempunyai wibawa dalam rumah tangga, dapat membina rumah tangga serta mendidik istrinya sehingga lambat lain bisa menerima agama Islam dan menjalankannya dengan baik.

Oleh karenanya terdapat tiga prinsip pokok pandangan agama Islam terhadap masalah perkawinan antara pemeluk agama Islam dengan orang-orang yang bukan beragama Islam, yaitu:

a. melarang perkawinan umat Islam dengan orang-orang yang beragama
menyembah berhala, polytheisme, agama-agama yang tidak mempunyai kitab suci, dengan kaum atheis;
b. melarang perkawinan antara wanita Islam dengan pria bukan Islam.
c. mengenal perkawinan antara laki-laki muslim dengan wanita bukan
muslim yang ahli kitab, terdapat tiga macam pendapat, yaitu:

1) melarang secara mutlak;
2) memperkenankan secara mutlak;
3) memperkenankan dengan syarat, yaitu apabila pria muslim itu kuat imannya.

Terkait dengan hukum menikah antara agama, berdasarkan firman Allah SWT di atas, para ulama sepakat menetapkan kebolehan laki-laki muslim untuk menikahi wanita dari kalangan ahli kitab, baik yahudi maupun nasrani. Tetapi selain wanita ahli kitab, hukumnya tetap haram. Yaitu wanita pemeluk agama berhala seperti Konghuchu, Hindu, Budha, Shinto dan lainnya. Sedangkan bila sebaliknya, para ulama sepakat mengharamkan wanita muslimah dinikahi oleh laki-laki non muslim, baik dari kalangan ahli kitab maupun agama penyembah berhala.

Namun meski pun laki-laki muslim secara hukum dihalalkan untuk menikahi wanita ahli kitab baik dari kalangan yahudi atau nasrani, tidak berarti harus ditempatkan pada posisi prioritas utama. Sebab selain urusan kehalalan dari segi hukum, tetap harus ada banyak pertimbangan lainnya. Seperti masalah pendidikan anak yang seharusnya diserahkan kepada seorang ibu yang muslimah, agar sejak dini anak itu bisa dididik dengan pendidikan Islam yang benar. Rasulullah SAW memerintahkan kita untuk menikahi wanita karena agama dan kesholehannya, meski dibolehkan juga untuk mempertimbangkan hal lainnya seperti kecantikan, keturunan dan kekayaan. Karena dengan bekal agama dan kesholehannya, iman kita lebih terjaga dan anak-anak kita akan mendapatkan pendidikan Islami sejak dini tanpa banyak hambatan.

Tapi bila istri berbeda agama, sulit membayangkan bisa terbentuk keluarga yang islami. Susah untuk bisa menyelenggarakan makan sahur bersama, atau shalat berjamaah sekeluarga atau mengaji bersama.

Karena itulah kemudian ada sebagian ulama yang masih belum bisa menerima kebolehan laki-laki muslim menikahi wanita ahli kitab. Misalnya pendapat Ibnu Umar ra yang mengatakan bahwa wanita nasrani itu musyrik. Selain itu ada Ibnu Hazm yang mengatakan bahwa tidak ada yang lebih musyrik dari orang yang mengatakan bahwa tuhannya adalah Isa A.S. Sehingga untuk itu mereka menyamaratakan saja untuk mengharamkan lakilaki muslim menikahi wanita ahli kitab.

3. Menurut agama Katolik

Dalam agama kristen banyak terdapat aliran, seperti Katolik, Protestan dan lain sebagainya, akan tetapi walaupun terdapat aliran-aliran dalam agama Kristen, sumber ibadah dan tata cara kehidupannya tetap bersumber pada Alkitab, baik pada perjanjian baru maupun perjanjian lama.

Dipandang dari segi Alkitab, bahwa perkawinan menurut agama Kristen secara umum, adalah perkawinan sebagai perbuatan suci yang ditetapkan oleh Tuhan dan perkawinan sebagai peraturan monogami. Perkawinan sebagai peraturan suci yang ditetapkan oleh Tuhan, yaitu perkawinan sebagai tata tertib suci, yang ditetapkan oleh Tuhan, Khalik langit dan bumi, di dalam peraturan suci itu diatur-Nya hubungan antara pria dan wanita. Dan perkawinan sebagai peraturan monogami, bahwa perkawinan yang digambarkan dalam Alkitab sebagai suatu penyerahan seorang wanita kepada seorang laki-laki, atau penyerahan wanita kepada seorang laki-laki untuk seumur hidupnya. Menurut ajaran Katolik, bahwa perkawinan adalah suatu
Sakramen. Agama Katolik mendasarkan ajaran itu berdasarkan Alkitab (Efesus 5. 25-33).

Maka dari itu agama Katolik memandang perkawinan sebagai sesuatu yang suci, serta persatuan cinta dan hidup antara seorang pria dan wanita, adalah merupakan persatuan yang luhur. Perkawinan merupakan persetujuan antara seorang laki-laki dengan seorang wanita untuk saling mengikatkan diri sampai salah seorang dari mereka meninggal dunia dan hanya pada seorang itu saja untuk memperoleh keturunan. Oleh karena itu, untuk dapat melangsungkan perkawinan menurut agama Katolik, pada masing-masing pihak harus mengandung:

a. untuk setia hanya pada satu orang saja;
b. sampai kematian pihak lain;
c. untuk memperoleh keturunan.

Salah satu saja dari ketiga unsur tersebut tidak dipenuhi, maka perkawinan dianggap batal dari sejak semula. Disamping hal tersebut di atas ada tiga hal lagi yang harus dipenuhi untuk dapat melangsungkan perkawinan Katolik secara sah, yaitu:

a. adanya persetujuan;
b. tidak ada halangan yang mengakibatkan perkawinan tidak sah dan menurut hukum Illahi;
c. perkawinan harus dilakukan menurut aturan gereja.

Salah satu halangan yang dapat mengakibatkan perkawinan tidak sah, yaitu perbedaan ibadat/agama. Gereja Katolik umumnya menganggap bahwa perkawinan antara seorang yang beragama Katolik dengan orang yang bukan Katolik, tidak merupakan yang ideal.

Keharmonisan hidup perkawinan dan kelengkapan pendidikan anak itu sangat sulit dibina apabila ada perbedaan tata nilai hidup antara suami dan istri. Oleh karena itu, Gereja Katolik menganjurkan kepada anggota-anggotanya untuk mencari teman hidup yang berkeyakinan sama. Tetapi walaupun demikian Gereja Katolik cukup realistis, yaitu bahwa Uskup dalam hal-hal tertentu dapat memberikan dispensasi terhadap perkawinan antar agama. Dispensasi hanya diberikan apabila ada harapan akan terbinanya suatu keluarga yang baik dan utuh, pemeliharaan pastorial sesudah perkawinan dapat diteruskan.

Dispensasi akan diberikan apabila pihak yang bukan Katolik mau berjanji:

a. bahwa ia tidak akan menghalang-halangi pihak yang Katolik untuk melaksanakan imannya;
b. bahwa ia bersedia mendidik anak-anaknya secara Katolik.

Sebaliknya pihak yang Katolik juga harus berjanji bahwa:

a. ia tetap setia pada keyakinannya sebagai orang Katolik dalam perkawinannya;
b. bahwa ia bersedia mendidik anak-anaknya secara Katolik.

4. Menurut Agama Protestan

Pandangan agama Protestan mengenai perkawinan yang juga berdasarkan
Alkitab antara lain ialah:

a. perkawinan sebagai suatu bentuk persekutuan hidup.
b. perkawinan mempermiskin dan merusakkan, jika perkawinan dipandang dari sudut persetubuhan semata-mata.

Jadi perkawinan menurut agama Protestan, adalah suatu persekutuan hidup yang meliputi keseluruhan hidup, yang menghendaki laki-laki dan perempuan yang telah kawin supaya dua jenis kelamin yang berbeda menjadi satu. Satu di dalam kasih pada Tuhan, satu di dalam kasih mengasihi, satu dalam kepatuhan, satu dalam menghayati kemanusiaan mereka, dan satu dalam memikul beban pernikahan.

Dengan demikian maka perkawinan itu menjadi suatu kesempatan untuk memberi jawab kepada soal mereka masing-masing di segala lapangan kehidupan, suatu kesempatan untuk layan-melayani dan penyerahan diri sepenuhnya kepadanya masing-masing mencapai kebahagiaan dalam perkawinan.

Walau dikatakan agama Protestan tidak melarang umatnya kawin dengan orang yang bukan beragama Protestan, akan tetapi pada prinsipnya agama Protestan menghendaki perkawinan seagama. Hal ini dapat diketahui bahwa tujuan utama menurut agama Protestan dalam perkawinan adalah kebahagiaan, dan kebahagiaan akan sulit tercapai kalau tidak seiman dan sama agama.

Oleh karena itu agama Protestan memandang perkawinan sebagai perwujudan kasih Allah kepada manusia di dalam persekutuan kasih yang paling dalam antara seorang pria dan seorang wanita. Perkawinan merupakan suatu perkawinan yang dikehendaki oleh Tuhan sendiri. Perkawinan akan melahirkan keluarga, sebagai persekutuan jemaat terkecil dalam gereja, yang mempunyai jabatan untuk menyebarkan cinta kasih Allah kepada seluruh umat manusia. Menurut gereja Protestan, suatu perkawinan baru dapat dilangsungkan di gereja apabila telah memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:

a. adanya persetujuan dari kedua calon mempelai;
b. kedua calon mempelai tidak terikat perkawinan dengan orang lain;
c. sekurang-kurangnya salah seorang beragama Protestan;
d. sekurang-kurangnya salah seorang merupakan anggota jemaat gereja yang bersangkutan.

Suatu perkawinan baru dapat dilangsungkan di gereja yang berarti disahkan
menurut hukum gereja, perkawinan sebelumnya telah disahkan menurut negara di kantor catatan sipil. Demi kesejahteraan perkawinan, gereja menganjurkan kepada umatnya untuk mencari pasangan hidup yang seagama dengan mereka. Tetapi walaupun demikian, karena menyadari bahwa umatnya hidup bersama-sama dengan pemeluk agama lainnya, gereja tidak melarang umatnya untuk menikah dengan orang-orang yang bukan beragama Protestan.

Perkawinan antara seorang Protestan dengan bukan Protestan dapat dilangsungkan di gereja (Protestan) apabila pihak yang bukan Protestan membuat surat pernyataan bahwa ia tidak berkeberatan perkawinannya dilaksanakan di gereja Protestan.

5. Menurut Agama Hindu dan Budha.

Dalam membahas pandangan agama Hindu dan Budha tentang masalah perkawinan antar agama ini, bahwa agama Hindu dan Budha merupakan Bhinneka Tunggal Ika yang mempunyai prinsip yang sama dalam hukum perkawinan. Bagi masyarakat Hindu dan Budha, perkawinan mempunyai arti dan kedudukan yang khusus dalam dunia kehidupan mereka.

Berdasarkan kitab Manusmriti, perkawinan bersifat religius dan obligatoir karena dikaitkan dengan kewajiban seseorang untuk mempunyai keturunan dan untuk menebus dosa-dosa orang tua dengan menurunkan seorang putra. Perkawinan (wiwaha) di identikkan dengan sakramen (samskara) sehingga lembaga perkawinan tidak terpisah dari hukum agama. Wiwaha samskara itu wajib hukumnya, dan harus memenuhi syarat-syarat yang ditentukan oleh hukum agama (Dharma). Perkawinan sebagai suatu sakramen adalah suatu ritualia yang memberikan kedudukan sah tidaknya suatu perkawinan sehingga suatu perkawinan yang tidak disakralkan dianggap tidak mempunyai akibat hukum. Didalam kitab Manadharma Sastra III (20), disebutkan secara definitif delapan sistem perkawinan Hindu.

Manadharma Sastra III (20) berbunyi: “Hai manusia perhatikanlah olehmu sekarang, semua perihal delapan cara perkawinan yang sudah dilakukan oleh keempat polongan Warnasamskara, sebahagian dan membawa pahala dan sebahagian lagi dapat menimbulkan azab derita, baik selagi hidupnya maupun kelak sesudah mati.

Di dalam Manawadharma Sastra III (21) disebutkan bahwa kedelapan sistem
perkawinan itu adalah Brahmana Wiwaha, Daiwa Wiwaha, Resi Wiwaha atau
Arsa Wiwaha, Prajapti Wiwaha, Asura Wiwaha, Ghandara Wiwaha, Raksasa
Wiwaha, dan Paisaca Wiwaha.

Dari delapan sistem perkawinan Hindu itu, tidak ada satupun mengenai perkawinan antar agama. Apakah dengan disebutkannya kedelapan sistem perkawinan Hindu secara definitif di dalam Manawadharma Sastra III (21) berarti diluar ke delapan hal tersebut tidak diakui dan tidak diperbolehkan lagi?

Mengenai hal tersebut agama Hindu mengatakan bahwa: “…yang harus diperhatikan dalam melakukan sebuah tata perkawinan menurut hukum Hindu ialah bahwa suatu perkawinan menurut hukum Hindu hanya dapat disahkan berdasarkan hukum Hindu kalau antara kedua mempelai itu telah menganut agama yang sama, yaitu Hindu.”

Bagi pengesahan suatu perkawinan menurut hukum Hindu tidak ada suatu escape clause yang memungkinkan bagi Brahmana untuk melakukan pengesahan upacara perkawinan yang ia lakukan kalau antara kedua mempelai itu terdapat perbedaan agama, dan karena itu lazim ditempuh dalam hal seperti itu ialah melalui catatan sipil. Bahwa apabila kedua calon mempelai berbeda agama, maka Brahmana (pendeta) baru mau mengesahkan perkawinan tersebut kalau pihak yang bukan Hindu itu telah disuddhikan (disahkan) sebagai pemeluk agama Hindu dan mendatangani Sudi Vadhani (surat pernyataan masuk agama Hindu).

Dari penjelasan tersebut di atas dapat dimengerti bahwa agama Hindu melarang umatnya melakukan perkawinan antar agama.

Sebenarnya upacara perkawinan antar mereka yang beda agama tidaklah terlalu bermasalah dalam Agama Buddha. Hanya saja, memang disarankan untuk satu agama. Hal ini tentu ada sebabnya. Permasalahan bukan pada upacara perkawinannya, namun kehidupan dalam perkawinan itu sendiri.

Banyak permasalahan yang timbul karena perkawinan beda agama. Salah satunya adalah pemilihan lokasi pemberkahan perkawinan itu sendiri, menurut agama yang pria atau wanita. Kalau hal ini sudah dapat diselesaikan dengan baik, maka berikutnya akan timbul masalah seputar kegiatan kebaktian setiap hari Minggu, akan pergi ke tempat ibadah agama si pria atau wanita. Kalaupun masalah ini bisa diselesaikan, maka jika memiliki anak, akankah dididik menurut agama si bapak atau si ibu? Jika masalah ini sudah bisa diselesaikan dengan baik pula, maka apabila si ayah dan ibu semakin tua serta sakit-sakitan, akankah didoakan menurut agama si sakit ataukah yang sehat?

B. Pengertian Perkawinan Antar Agama menurut Perundang-Undangan

Bidang hukum perkawinan telah mengalami unifikasi dengan berlakunya
UUP, dimana didalam Pasal 1-nya menyatakan:

“Perkawinan merupakan suatu ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan
seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah
tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan yang Maha Esa, yang
menyatakan bahwa perkawinan hanya dapat dilakukan antara seorang pria dan
seorang wanita”

Perkawinan tersebut akan diakui sah oleh negara bilamana pelaksanaannya
adalah memperhatikan ketentuan dari Pasal 2 UUP, yaitu sebagai berikut:

  1. Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.
  2. Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Perkawinan berdasarkan bunyi UUP harus dilaksanakan menurut hukum agama dan kepercayaan dari mempelai yang akan melangsungkan pernikahan tersebut, dan selanjutnya untuk yang beragama Islam maka pencatatannya dilakukan di Kantor Urusan Agama, sedangkan untuk yang non-muslim pencatatannya dilakukan dihadapan Kantor Catatan Sipil.

Dalam perundang-undangan pengertian perkawinan antara agama tidak ditemukan, baik dalam perundang-undangan yang mengatur tentang perkawinan sebelum UUP seperti halnya dalam GHR (Regeling op de Gemengde Huwelijken) Stb. 1898. No.158 dan HOCI (Huwelijks ordonantie Christen Indonesiers) Stb.1933 No.74, maupun dalam UUP.

Dalam UUP sendiri pengertian perkawinan antar agama tidak diketemukan yang ada hanyalah perkawinan campuran yang terdapat dalam Pasal 57 UUP yang menyatakan bahwa perkawinan campuran itu suatu perkawinan antara dua orang yang ada di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satunya berkewarganegaraan Indonesia. Melihat pengertian di atas jelas bahwa pengertian perkawinan campuran di dalam undang- undang perkawinan hanya memandang dalam pengertian yang lebih khusus.

Rumusan dalam Pasal 57 mengenai apa yang dimaksud dengan perkawinan campur dapat juga diketemukan dalam peraturan perundang-undangan sebelum UUP yaitu peraturan tentang perkawinan campuran yang terdapat dalam GHR. Peraturan mengenai perkawinan campuran yang terdapat dalam GHR dapat diberlakukan berdasarkan ketentuan Pasal 66 UUP yang memberikan suatu kelonggaran, yaitu agar tidak tercipta suatu kondisi kekosongan hukum. Untuk lebih mendapat gambaran yang lebih tegas antara peraturan perkawinan campuran yang terdapat dalam GHR dengan peraturan perkawinan campuran yang terdapat dalam UUP, maka berikut akan dijabarkan lebih lanjut mengenai kedua peraturan tersebut.

Dalam rumusan perkawinan campuran menurut GHR Pasal 1 adalah perkawinan antara orang-orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan. Selanjutnya GHR menyatakan bahwa apabila seseorang perempuan yang akan melakukan perkawinan campuran selama perkawinan itu belum putus makaia
akan tunduk kepada hukum yang berlaku bagi suaminya baik dilapangan hukum
publik maupun hukum sipil (Pasal 2 GHR). Pasal ini sepanjang berkaitan dengan
soal kewarganegaraan yang berakibat pada perubahan hukum yang berlaku
terhadapnya maka telah terhapus dengan ketentuan Pasal 58 dan Pasal 59 ayat (1)
UUP.

Pasal 58 UUP menyatakan bahwa bagi orang-orang yang berlainan kewarganegaraan yang melakukan perkawinan campuran dapat memperoleh kewarganegaraan suami/istrinya dan dapat pula kehilangan kewarganegaraannya menurut cara-cara yang ditentukan dalam Undang-Undang Kewarganegaraan Republik Indonesia yang berlaku. Pasal 59 ayat (1) menyatakan kewarganegaraan yang diperoleh sebagai akibat perkawinan atau putusnya perkawinan menentukan hukum yang berlaku, baik mengenai hukum publik maupun hukum perdata.

Dalam kaitan dengan Pasal 58 dan Pasal 59 UUP Zain Badjeber mengatakan:

“Bahwa undang-undang kewarganegaraan sebagai yang dimaksudkan oleh pasal
tersebut ialah Undang-Undang No.62 tahun 1958 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia, yang dalam Pasal 47 ayat 1-nya menyatakan bahwa seoorang perempuan asing yang kawin dengan seorang warga negara RI memperoleh kewarganegaraanRI apabila pada waktu itu ia dalam satu tahun setelah perkawinan berlangsung menyatakan keterangan untuk itu, kecuali jika ia dengan memperoleh kewarganegaraan RI masih mempunyai kewarganegaraan lain, dalam hal keterangan tidak boleh dinyatakan. Sebaliknya jika seorang perempuan warga negara RI kawin dengan orang asing menurut Pasal 8 ayat 1 maka ia akan kehilangan kewarganegaraan RI-nya apabila dan pada waktu ia dalam satu tahun setelah perkawinan berlangsung menyatakan keterangan untuk itu kecuali apabila ia dengan kehilangan kewarganegaraan RI itu menjadi tanpa kewarganegaraan.

Lebih lanjut Zain Badjeber mengatakan bahwa:

“seorang pria/wanita disebabkan oleh atau sebagai akibat dari perkawinannya
kehilangan kewarganegaraan RI, ia dapat memperoleh WNI kembali jika dan
para waktu ia setelah perkawinannya terputus menyatakan keterangan untuk itu
satu tahun setelah perkawinan itu terputus dengan ketentuan setelah kembali
memperoleh WNI-nya itu ia tidak mempunyai kewarganegaraan rangkap. Sebaliknya seorang perempuan yang disebabkan oleh atau sebagai akibat perkawinannya memperoleh kewarganegaraan RI ikut suaminya, kehilangan kewarganegaraan itu lagi jika ia setelah perkawinannya terputus menyatakan keterangan untuk itu dalam waktu satu tahun setelah perkawinan terputus (Pasal 11 dan 12 UU No.62 tahun 1958).

Pasal 3 GHR menyatakan bahwa seorang perempuan melakukan perkawinan campuran masih mempunyai kedudukan hukum yang didapatinya dari sebab
perkawinan campuran itu. Keadaan mana bisa berakhir apabila sesudah perkawinannya putus, kawin lagi dengan lelaki lain yang tunduk kepada hukum yang
berlainan dengan hukum yang berlaku bagi suaminya semula atau apabila perempuan itu dalam waktu setahun sesudah putusnya perkawinan itu memberikan keterangan bahwa ia ingin kembali kepada kedudukan hukumnya semula (Pasal 4 GHR).

Keterangan tersebut pada Pasal 4 diberikan kepada Kepala Pemerintahan Daerah tempat kediaman perempuan itu, keternang itu dicatat dalam sautu daftar khusus yang diadakan untuk keperluan itu oleh pegawai tersebut, serta diumumkan dengan selekas mungkin dalam surat kabar resmi (Berita Negara)(Pasal 5 GHR).

Pasal 6 ayat 1 GHR menyatakan bahwa perkawinan campuran yang dilangsungkan menurut hukum yang berlaku untuk suami kecuali izin dari kedua belah pihak bakal mempelai yang seharusnya ada. Pada ayat 2-nya kemudian menyebutkan jika menurut hukum yang berlaku untuk si lelaki tidak ada seorang yang ditentukan untuk mengawasi atau diwajibkan melangsungkan pernikahan itu maka pernikahan itu dilangsungkan oleh Kepala Golongan si lelaki atau wakilnya, dan jika Kepala itu tidak ada maka diawasi oleh Kepala Kampung atau Kepala Desa dimana perkawinan dijalankan.

Jika menurut hukum suami tidak mengharuskan perkawinan itu dibuktikan dengan surat nikah maka orang yang mengadakan perkawinan campuran itu atau di bawah pengawasan mana perkawinan itu diselenggarakan wajib membuat surat nikah menurut model yang ditetapkan oleh Gubernur Jenderal (ayat 3).

Pada Pasal 6 ayat 4 GHR menyatakan bahwa jika orang tersebut tidak dapat
menulis, surat nikah harus ditulis oleh orang yang ditunjuk untuk itu oleh Kepala
Pemerintah Daerah. Selanjutnya dalam ayat 5-nya menyatakan bahwa jika menurut si perempuan berlaku hukum keluarga Eropa sedang untuk si lelaki tidak, maka orang yang mengawinkan atau mengawasi perkawinan itu harus mengirimkan surat nikah itu kepada Pegawai Pencatatan Sipil untuk bangsa Eropa dan bangsa yang disamakan dengan bangsa Eropa di daerah mana perkawinan itu dijalankan, dalam waktu yang akan ditetapkan oleh ordonansi, kemudian surat nikah itu oleh pegawai tersebut dicatat dalam suatu buku pendaftaran yang disediakan untuk itu dan disimpannya

Undang-undang Perkawinan Pasal 60 ayat 1 menyatakan bahwa perkawinan campuran baru dapat dilaksanakan bilamana para pihak telah memenuhi persyaratan
perkawinan sebagaimana ditentukan oleh hukum yang berlaku bagi masing-masing
pihak.

Hal mana haruslah dibuktikan dengan surat keterangan dari mereka yang menurut hukum yang berlaku bagi masing-masing berwenang mencatat perkawinan. Jika pejabat yang bersangkutan menolak untuk memberikan surat keterangan itu, maka atas permintaan yang berkepentingan pengadilan memberikan keputusan dengan tidak beracara serta tidak boleh dimintakan banding lagi tentang soal apakah penolakan pemberian surat keterangan itu beralasan atau tidak (ayat 3). Jika
peradilan memutuskan bahwa penolakan tidak beralasan maka keputusan menjadi
pengganti keterangan yang dimaksud dalam ayat (3) tersebut di atas (ayat 4).

Selain dari syarat-syarat yang telah ditentukan dalam Pasal 60 tersebut di atas, undang-undang perkawinan memerintahkan pula supaya perkawinan campuran
itu dicatat oleh pegawai pencatat yang berwenang (Pasal 61 ayat 1). Bagi mereka
yang melangsungkan perkawinan campuran tanpa memperlihatkan lebih dahulu
kepada pegawai pencatat yang berwenang surat keterangan yang membuktikan
syarat-syarat sebagai ditentukan oleh Pasal 60 UUP di atas, diancam dengan hukuman pidana kurungan selama satu tahun, sedangkan bagi pegawai pencatat yang mencatat perkawinan semacam itu ancaman hukumannya ditingkatkan menjadi
kurungan tiga bulan ditambah pula dengan hukuman jabatan (Pasal 61 ayat 2 dan 3).

Sedangkan dalam GHR syarat-syarat untuk melakukan perkawinan campuran
diatur dalam Pasal 7 dan Pasal 8 GHR. Pasal 7 ayat 1 menyebutkan bahwa perkawinan campuran baru dapat dilaksanakan apabila si perempuan telah memenuhi ketentuan-ketentuan atau syarat-syarat yang ditentukan oleh hukum yang berlaku untuk si perempuan itu.

Ketentuan-ketentuan atau syarat-syarat yang dimaksud dalam ayat ini adalah ketentuan-ketentuan yang berhubungan dengan sifat-sifat dan syarat-syarat yang
diperlukan untuk dapat melangsungkan perkawinan termasuk formalitas-formalitas
yang harus dijalankan sebelum perkawinan itu dilangsungkan.

Selanjutnya Pasal 7 ayat 3 menyatakan bahwa telah dipenuhinya syarat-syarat
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat 1 itu haruslah dibuktikan dengan surat
keterangan dari mereka yang menurut hukum berlaku bagi perempuan diwajibkan
mengadakan nikah atau yang kuasa mengadakan nikah dari tempat kediaman si
perempuan.

Bila orang yang demikian itu tidak ada keterangan yang dimaksud dapat dimintakan kepara orang yang ditunjuk kepada Kepala Pemerintahan Daerah ditempat kediaman si perempuan. Pasal 8 GHR menyatakan bahwa bilaman surat keterangan itu tidak diberikan oleh orang-orang sebagai yang dimaksud dalam Pasal 7 ayat 3 yang berkepentingan dapat diminta keputusan pengadilan.

Pengadilan dalam hal ini akan memberikan putusannya setelah memeriksa permohonan itu dengan tidak beracara tentang apakah penolakan pemberian
keterangan itu beralasan atau tidak. Terhadap keputusan pengadilan tersebuttidak
dapat dimintakan banding, jika pengadilan itu memutuskan bahwa penolakan itu
tidak beralasan maka keputusan itu menjadi pengganti keterangan yang dimaksud
pada Pasal 7 ayat 3.

Dalam Pasal 7 ayat 2 GHR menyatakan bahwa perbedaan agama,bangsa atau
asal sama sekali tidak menjadi halangan untuk melangsungkan perkawinan.

Dengan terpenuhinya syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan campuran adalah merupakan hak yang penting dan ini dibuktikan dengan diberikannya ancaman pidana denda bagi siapa saja yang melangsungkan perkawinan dengan tidak memperlihatkan surat keterangan yang membuktikan bahwa syarat-syarat untuk kawin diatur dalam Pasal 7 ayat 3 dan Pasal 8 ayat 2 telah terpenuhi, hal ini ditegaskan dalam Pasal 9 GHR.

Pasal 10 GHR menyatakan bahwa perkawinan campuran yang dilangsungkandi luar Indonesia atau bagian Indonesia yang masih mempunyai pemerintahan sendiri adalah sah jika perkawinan itu dilakukan menurut aturan- aturan yang berlaku di negeri tersebut, dimana perkawinan dilangsungkan asal saja kedua belah pihak tidak melanggar aturan-aturan atau syarat-syarat dari hukum yang berlaku untuk mereka masing-masing tentang sifat dan syarat-syarat yang diperlukan untuk itu.

Pasal 11 dan 12 GHR mengatur mengenai masalah kedudukan anak yang lahir dari perkawinan campuran. Pasal 11 menyatakan bahwa kedudukan anak yang lahir dari perkawinan campuran adalah mengikuti kedudukan hukum bapaknya. Keadaan demikian bahkan tidak dapat dipertikaikan walaupun surat nikah ayah-ibu mereka ada kekurangan syarat-syarat atau bahkan dalam hal tidak adanya surat nikah
tersebutpun kedudukan anak itu tidak dapat dipertikaikan asalkan pada lahirnya
kedua orang tua mereka secara terang hidup sebagai suami istri (Pasal 12).

Pasal 62 UUP mengatur mengenai masalah kedudukan anak yang lahir dari perkawinan campuran yang menyebutkan bahwa dalam perkawinan campuran
kedudukan anak diatur sesuai dengan Pasal 59 ayat 1 dari UUP.

Uraian mengenai pasal-pasal dalam kedua peraturan tersebut di atas memang menunjukkan hal yang sama akan tetapi bilamana diperiksa secara seksama rumusan
antara kedua peraturan tersebut yaitu UUP dan GHR dalam intinya terdapat perbedaan pengertian yang mendasar.

Perbedaan terdapat dalam rumusan Pasal 57 UUP yang dimaksud dengan hukum yang berlainan ialah hukum dari nasionalitas yang berlainan. Dengan demikian perkawinan campuran menurut UUP adalah perkawinan antar bangsa, perkawinan yang sifatnya internasional, hanya menunjukkan perkawinan yang berbeda kewarganegaraan. Sedangkan perkawinan campuran menurut GHR adalah perkawinan antara orang-orang yang di Indonesia tunduk pada hukum-hukum yang
berlainan.

Menurut Soedargo Gautama, istilah perkawinan campuran dalam Pasal 1 GHR mempunyai pengertian sebagai perbedaan pemberlakuan hukum atau hukum yang berlainan dan di dalamnya antara lain dapat disebabkan karena perbedaan kewarganegaraan, kependudukan dalam berbagai region, golongan rakyat, setempat
kediaman atau agama.

Selain dari Pasal 7 GHR menyatakan bahwa perbedaan agama, bangsa atau
keturunan sama sekali bukan jadi penghalang untuk melangsungkan perkawinan,
sedangkan Pasal 2 ayat 1 UUP menyatakan bahwa perkawinan adalah sah bilamana
dilakukan menurut hukum agama dan kepercayaannya.


Berbeda dengan apa yang dikemukakan oleh Bismar Siregar, yang mengemukakan perkawinan campur dalam UUP, dimana menurutnya dikatakan, termasukkah perkawinan campur antar beda iman tergolong perkawinan campur? Sepanjang aqidah dan syariat, firman Tuhan sudah jelas, tergolong perkawinan campur. Boleh suami bertetap pada agamanya dan si istri pun dibenarkan untuk melanjutkan imannya. Membina rumah tangga dimana terdapat dua iman, bukan perkawinan yang ideal yang dimaksud dalam UUP. Jelas rumusannya: “Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk (rumah tangga) yang berbahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa (Pasal 1).

” Bila membaca kedua pasal tersebut di atas maka bila terjadi perkawinan campuran dalam hal ini perkawinan antar pemeluk agama yang berbeda, maka menurut Pasal 7 GHR bisa dilaksanakan akan tetapi bilamana melihat dalam Pasal 2 ayat 1 UUP dan penjelasannya, perkawinan antar agama tidak mungkin dilakukan.

 

 

Scroll to Top
Open chat
1
Selamat datang di D-LEAD ada yang bisa kami bantu ?