Pernyataaan Kepailitan

Share :

Tanya:

Pengasuh rubrik hukum yang saya hormati,

Saya ada pertanyaan seputar masalah kepailitan. Seperti yang kita ketahui bersama bahwa dalam dunia usaha, suatu perusahaan tidak selalu berjalan dengan baik. Perubahan keadaan keuangan sudah barang tentu merupakan faktor yang menentukan dalam proyeksi usaha suatu perusahaan kedepannya. Setiap perusahaan yang berdiri dan menjalankan kegiatan usahanya dipastikan tidak dapat steril dari keadaan berutang. Permasalahannya adalah tidak selamanya sebuah perusahaan dapat melakukan pembayaran terhadap utang-utangnya ataupun beritikad baik untuk membayar utang-utang yang dimilikinya. Kepailitan tidak hanya terjadi pada perusahaan melainkan dapat pula terjadi pada orang perorang yang juga melakukan usaha atau bahkan mereka yang tidak melakukan usaha tetapi menciptakan utang-utang bagi kepentingan diri yang bersangkutan.

Pertanyaan saya hal-hal atau substansi-substansi hukum apa saja yang dibenarkan untuk diajukan peninjauan kembali? Selain daripada itu apakah dikenal istilah renvoi dalam proses peradilan kepailitan? Apakah terhadap putusan peninjauan kembali dapat dilakukan upaya hukum atasnya?

Mohon bantuan dan jawabannya.

Terima kasih banyak.

Cahyadi – Kebon Jeruk

Jawab:

Keadaan perusahaan yang masih memiliki kemampuan untuk membayar utang-utangnya lazim dikenal dengan istilah solvable. Sebaliknya, perusahaan yang tidak mampu membayar utang-utangnya lagi disebut insolvable atau insolvent. Keadaan tidak mampu membayar utang-utangnya lagi ditandai dengan keadaan berhenti membayar. Keadaan seseorang atau perusahaan (debitur) yang telah berhenti membayar utang-utangnya, tanpa menyebutkan sebab-sebabnya, dapat ditafsirkan bahwa keadaan tersebut belum tentu terjadi dikarenakan debitur memang tidak mampu untuk membayar utang-utangnya atau karena justru debitur ternyata tidak mau membayar utang-utangnya. Oleh karenanya dasar yang perlu diperhatikan dalam hal ini adalah berkenaan dengan itikad baik dari si debitur. Prinsipnya utang adalah utang dan oleh karenanya dengan alasan apapun juga debitur yang bersangkutan melekat erat dengan kewajiban untuk melunasi utang-utangnya dimaksud.

Pernyataan tersebut di atas merupakan pembuka terhadap pertanyaan yang saudara ajukan kepada kami. Selanjutnya menjawab pertanyaan saudara maka kiranya dapat kami sampaikan, bahwa proses beracara pada penyelesaian perkara kepailitan skemanya dibuat berbeda dari proses penyelesaian perkara pada sebuah perkara perdata umum. Berdasarkan UU No.4 tahun 1998 dalam ketentuan Pasal 4 ayat (1)-nya menentukan:

“permohonan pernyataan pailit diajukan kepada Pengadilan melalui panitera.”

Selanjutnya dalam ketentuan Pasal 8 ayat (1)-nya UU No.4 tahun 1998 dinyatakan sebagai berikut:

“upaya hukum yang dapat diajukan terhadap putusan atas permohonan pernyataan pailit adalah kasasi ke Mahkamah Agung.”

Lebih jauh lagi dalam ketentuan Pasal 11 UU No.4 tahun 1998 dinyatakan sebagai berikut:

“terhadap putusan atas permohonan pernyataan pailit yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, dapat diajukan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung.”

Sehubungan dengan upaya hukum hukum luar biasa, yaitu Peninjauan Kembali dibutuhkan dengan syarat khusus yaitu adanya bukti baru (novum) yang belum disampaikan dan diperlihatkan selama peradilan yang jika ditemukan/diperlihatkan akan mengubah keputusan Pengadilan, tentang Peninjauan Kembali diatur dalam pasal 23 undang-undang No.14 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman juncto Pasal 66 Undang-Undang No.14 tahun 1985 jo Undang-undang No.5 tahun 2004 tentang Mahkamah Agung.

Dari isi ketentuan Pasal 8, Pasal 11, dan Pasal 28 ayat (1) UU No.4/1998, terdapat dua kemungkinan upaya hukum yang dapat ditempuh oeh para pihak yang tidak puas terhadap putusan pernyataan kepailitan, yaitu upaya hukum kasasi dan peninjauan kembali. Dalam Pasal 8 ayat (1) UU No.4/1998 dinyatakan bahwa upaya hukum yang dapat dilakukan terhadap putusan atas permohonan pernyataan pailit adalah kasasi ke Mahkamah Agung. Selanjutnya, Pasal 11 UU No.4/1998 dinyatakan terhadap putusan atau permohonan pernyataan pailit yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dapat diajukan peninjauan kembali ke Mahkamah Agung. Berikutnya, dalam Pasal 286 ayat (1) UU No.4/1998 dinyatakan, terhadap putusan Pengadilan Niaga yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dapat diajukan peninjauan kembali ke Mahkamah Agung.

Adapun yang menjadi alasan-alasan permohonan kasasi atas putusan pernyataan kepailitan tidak jauh berbeda dengan alasan-alasan permohonan kasasi atas putusan perkara perdata sebagaimana diatur dalam Pasal 30 Undang-Undang No.14 tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, yaitu karena:

  • Tidak berwenang atau melampaui batas wewenang;
  • Salah menerapkan atau melanggar hukum yang berlaku;
  • Lalai memenuhi syarat-syarat yang diwajibkan oleh peraturan perundang-undangan yang mengancam kelalaian itu dengan batalnya putusan yang bersangkutan.

Peninjauan kembali merupakan upaya hukum luar biasa terhadap putusan perkara kepailitan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Alasan peninjauan kembali pada putusan perkara kepailitan diatur tersendiri dalam Pasal 286 ayat (2) UU No.4/1998 yang menyatakan bahwa permohonan peninjauan kembali dapat dilakukan apabila:

  • Terdapat bukti tertulis baru yang penting, yang apabila diketahui pada tahap persidangan sebelumnya, akan menghasilkan putusan yang berbeda; atau
  • Pengadilan Niaga yang bersangkutan telah melakukan kesalahan berat dalam penerapan hukum.

Lebih lanjut lagi UU No.4/1998 mengatur tentang tata cara pemeriksaan peninjauan kembali terhadap putusan Pengadilan Niaga yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap diatur dalam Pasal 287 sampai dengan Pasal 289.

Dalam kaitannya dengan peninjauan kembali, perlu diperhatikan ketentuan Pasal 66 Undang-Undang No.14 tahun 1985 yang menyatakan bahwa permohonan peninjauan kembali dapat diajukan hanya satu kali saja dan hal ini tidak menangguhkan atau menghentikan pelaksanaan putusan pengadilan. Sementara itu permohonan peninjauan kembali ini juga dapat dicabut selama belum diputus dan dalam hal sudah dicabut permohonan peninjauan kembali itu dan oleh karenanya tidak dapat diajukan kembali.

Pencocokan piutang-piutang merupakan salah satu bagian penting yang harus ditempuh dalam perkara kepailitan. Untuk menyelesaikan verifikasi utang-piutang di antara kreditur dan debitur pailit, maka diselenggarakanlah rapat panitia kreditur di bawah pimpinan hakim pengawas. Selain untuk menyelenggarakan rapat verifikasi, panitia kreditur juga mengadakan rapat-rapat lain sepanjang diperlukan. Pada tahap ini dapat terjadi pengakuan terhadap piutang-piutang, bantahan piutang-piutang, piutang yang diakui secara bersyarat, piutang yang diakui secara pro memori, dan piutang lainnya. Renvoi merupakan salah satu instrumen yang disinggung dalam praktek pencocokan piutang-piutang.

Istilah renvooi dikenal dalam hukum kepailitan di Indonesia, disamping Hukum Perdata Internasional (HPI), yang kemudian diterjemahkan menjadi “penunjukkan kembali.” Istilah renvooi berasal dari kata renvoa.

Dalam HPI, masalah renvoi ini timbul karena ada aneka warna sistem HPI. Renvoi mempunyai hubungan erat dengan persoalan prinsipiil, yaitu apakah HPI merupakan hukum yang supranasional atau nasional. Bila HPI dianggap bersifat supranasional, tentunya tidak ada tempat bagi renvoi. Kaidah-kaidah HPI yang termasuk dalam sistem tertib supranasional mempunyai kekuatan hukum yang tidak menghiraukan apakah pembuat undang-undang nasional mengoper serta menolak renvoi. Kaidah-kaidah HPI menurut pandangan ini berasal dari tertib hukum yang lebih tinggi dari tata tertib pembuat undang-undang nasional. Dengan demikian tidak akan terjadi suatu konflik antara sistem-sistem hukum.

Pada lingkup hukum kepailitan diatur tentang renvoi pada ketentuan Pasal 118 UU No.4/1998 bahwa apabila ada pembantahan piutang-piutang oleh kurator atau BHP maupun debitur pailit dalam rapat verifikasi, sedangkan hakim pengawas tidak dapat mendamaikannya, hakim pengawas akan menunjuk para pihak atau memerintahkan dari kedua belah pihak untuk menghadap ke suatu sidang pengadilan. Pengembalian penyelesaian pembantahan seperti ini dinamakan renvoi.

Adapun isi dari ketentuan Pasal 118 UU No.4/1998 adalah sebagai berikut:

  1. Apabila ada pembantahan, sedangkan Hakim Pengawas tidak dapat mendamaikan kedua belah pihak, dan sekedar perselisihan itu tidak telah berada dalam pemeriksaan pengadilan, maka Hakim Pengawas akan menunjuk pihak-pihak tadi ke suatu sidang pengadilan yang ditentukan dengan tidak diperlukannya suatu panggilan.
  2. Para pengacara yang mewakili pihak-pihak tersebut, harus menerangkan perihal perwakilan itu pada pembukaan perkara tersebut di muka sidang.
  3. Perkara tersebut diperiksa secara singkat.
  4. Apabila kreditur yang meminta akan pencocokan piutangnya tidak menghadap pada sidang yang telah ditentukan itu, maka dianggapnya bahwa ia telah menarik kembali permintaannya tersebut. Apabila pihak yang melakukan melepaskan pembantahannya, dan hakim harus mengakui piutang yang bersangkutan.
  5. Para kreditur yang pada rapat pencocokan piutang tidak melakukan pembantahan tidak diperbolehkan menggabungkan diri maupun mengetengahkan diri dalam perkara yang bersangkutan.”

Renvoi semestinya dilakukan sebelum memasuki tahap pemeriksaan. Sedangkan prosesnya harus dilakukan dihadapan dan disaksikan oleh para pihak yang berperkara ataupun dihadapan para kuasa hukumnya. Hal mana, yang dapat penulis jadikan sebagai referensi adalah sesuai dengan ketentuan tentang renvoi pada peraturan jabatan notaris, dimana untuk melakukan renvoi harus dilakukan oleh notaris dihadapan para pihak yang berkepentingan secara langsung ataupun dihadapan para kuasa hukumnya. Sedangkan, apabila merujuk pada ketentuan Pasal 118 tersebut di atas secara tegas dinyatakan, bahwa perselisihan itu tidak telah berada dalam pemeriksaan pengadilan, sehingga putusan renvoi prosedur dalam perkara perkara No.02/Pailit/2003/PN.Niaga.SBY semestinya patut dipertanyakan keabsahannya, maupun argumentasi dari dikeluarkannya putusan renvoi prosedur dimaksud.

Lazimnya renvoi dimaksud pada praktek juga dapat dilakukan oleh Majelis Hakim Tinggi, dalam hal meminta tentang kejelasan duduk perkara kepailitan yang substansial, yaitu dengan mengembalikan berkas ke Pengadilan Niaga untuk dilakukan klarifikasi oleh para pihak yang berperkara ataupun oleh kuasa hukumnya. Alasan dari dilakukannya pengembalian berkas dimaksud karena pada tingkat Mahkamah Agung tidak melakukan proses pemeriksaan ataupun proses pembuktian layaknya persidangan pada tingkat pertama.

Bagaimana dengan renvoi menurut hukum acara perdata? Secara umum kembali pada ketentuan Reglemen Acara Perdata pada ketentuan Pasal 127-nya yang menyatakan:

“Penggugat berhak untuk mengubah atau mengurangi tuntutannya sampai saat perkara diputus, tanpa boleh mengubah atau menambah pokok gugatan.”

Penyebutan renvoi  sebagaimana merujuk pada Reglemen Acara Perdata tidak semata-mata muncul, melainkan penulis memperhatikan ketentuan Pasal 284 UU No.4/1998 ayat (1) yang menentukan sebagai berikut:

“Kecuali ditentukan lain dengan undang-undang, hukum acara perdata yang berlaku diterapkan pula terhadap Pengadilan Niaga.”

Sederhananya adalah renvoi dilakukan pada perkara-perkara perdata umum salah satunya dalam hal terjadi kesalahan dalam penulisan atau typography error. Selanjutnya, renvoi boleh dilakukan sepanjang tidak merubah pokok dasar gugatan dan dengan didasari pada kebijakan majelis hakim, yaitu terhadap disetujui atau tidaknya upaya renvoi dimaksud. Artinya, majelis hakim akan menilai apakah dengan diadakannya renvoi dimaksud akan menimbulkan suatu perubahan mendasar atas suatu dalil atau sebaliknya. Dengan kata lain renvoi tidak boleh dilakukan terhadap posita maupun petitum.

Konstruksi renvoi secara umum telah dipaparkan sebelumnya pada bagian ini. Pemaparan ini dilakukan dengan mempergunakan segala sumber informasi yang dimiliki oleh penulis. Tetapi timbul pertanyaan pada benak penulis dalam hal ini karena keawamannya dalam bidang keilmuan, sehingga mengakibatkan tidak memiliki suatu pengetahuan yang mendasar tentang dasar hukum dari sebuah putusan renvoi prosedur. Ketidakpahaman ini secara justru terjadi secara terstruktur, yaitu mengenai dasar hukum, prosedur maupun tata cara hukum, alasan-alasan yang dijadikan sebagai dasar dari dikeluarkannya sebuah putusan renvoi prosedur, merupakan hal ihwal yang tidak terlintas dalam pemikiran penulis.

Setelah dikeluarkannya putusan renvoi prosedur dimaksud, maka terhadap keberatan yang dilakukan oleh pihak debitur pailit diajukan dengan melakukan proses hukum pada tingkat pertama Pengadilan Negeri Niaga. Asumsi penulis dalam alasan Majelis Hakim menetapkan Pengadilan Niaga sebagai lembaga yang menangani perkara putusan renvoi prosedur adalah dengan memperhatikan ketentuan Pasal 280 UU No.4/1998, yang menyatakan sebagai berikut:

  1. Permohonan pernyataan pailit dan penundaan kewajiban pembayaran utang sebagaimana dimaksud pada Bab Pertama dan Bab Kedua, diperiksa dan diputuskan oleh Pengadilan Niaga yang berada dalam lingkungan Peradilan Umum.
  2. Pengadilan Niaga sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), selain memeriksa dan memutuskan permohonan pernyataan pailit dan penundaan kewajiban pembayaran utang, berwenang pula memeriksa dan memutuskan perkara lain di bidang perniagaan yang penetapannya dilakukan dengan Peraturan Pemerintah.”

Mencermati ketentuan tentang wewenang untuk memeriksa dan memutuskan perkara lain di bidang perniagaan yang tetap berada dalam lingkup kewenangan Pengadilan Niaga, maka timbul pertanyaan tentang relevansinya dengan putusan renvoi prosedur ini.

Kami secara prinsip dapat memahami bahwa terhadap segala perkara yang terkait dengan masalah kepailitan tetap berada di bawah kewenangan Pengadilan Niaga dan bukan dilimpahkan pada Pengadilan Perdata Umum, sepanjang tidak ditentukan lain oleh peraturan perundang-undangan. Namun, kami mengalami ketidakpastian tentang dasar (hukum) dari dilakukannya persidangan pada tingkat pertama yang dilakukan oleh Majelis Hakim dengan berlandaskan pada putusan Renvoi Prosedur. Sepertinya, kami tidak menemukan adanya pertanyaan ataupun sanggahan maupun komentar lainnya tentang putusan renvoi prosedur dimaksud, baik dari tingkat Pengadilan Niaga yang menangani ataupun Mahkamah Agung sehubungan dengan dikeluarkannya putusan dimaksud. Tidak kalah menariknya justru perkara tersebut terus diproses bahkan sampai ditingkat peninjauan kembali perkara. Dengan kata lain semestinya dengan merujuk pada ketentuan Pasal 118 UU No.4/1998, maka sudah semestinya Majelis Hakim mempertanyakan mengapa putusan dimaksud dimasukan setelah lewat waktu dari sidang pemeriksaan.

Sehubungan dengan keadaan semacam itu penulis sudah sewajarnya berasumsi bahwa badan-badan peradilan yang bersangkutan berperilaku seolah-olah putusan renvoi prosedur merupakan sesuatu hal yang lazim dilakukan dalam proses persidangan, khususnya dalam hal ini proses penanganan perkara kepailitan.

Berbicara tentang peninjauan kembali atas putusan peninjauan kembali, sepertinya ketentuan Pasal 66 Undang-Undang No.14 tahun 1985 yang menyatakan bahwa permohonan peninjauan kembali dapat diajukan hanya satu kali saja dan hal ini tidak menangguhkan atau menghentikan pelaksanaan putusan pengadilan, sudah secara tegas menyatakan demikian. (AWH)

Scroll to Top
Open chat
1
Selamat datang di D-LEAD ada yang bisa kami bantu ?