Pertanggungan Terhadap Pertanggung Jawaban Direksi Directors Liabilities Insurance: ditinjau dari Undang-undang No. 1 Tahun 1995 dan Prinsip-prinsip Umum dalam Asuransi

Share :

Oleh: Arief Susijamto Wirjohoetomo, S.H., M.H.[1]

PENDAHULUAN

Undang-Undang Perseroan Terbatas No. 1 Tahun 1995 (“UUPT”) mendefinisikan Perseroan Terbatas (“Perseroan”) sebagai suatu badan hukum, yang didirikan berdasarkan perjanjian, melakukan kegiatan usaha dengan modal dasar yang seluruhnya terbagi dalam saham (Pasal 1 ayat 1 UUPT). Perseroan memperoleh status badan hukumnya setelah Akta Pendirian Perseroan disahkan oleh Menteri Kehakiman (Pasal 7 ayat 6 UUPT).

Suatu perseroan terbatas berdiri atas dasar perjanjian oleh dua atau lebih orang dengan akta resmi atau akta notaaris, sesuai Pasal 7 ayat (1) dan pada ayat (2)  mewajibkan setiap pendiri untuk memiliki bagian saham pada saat perseroan didirikan.

 Selanjutnya sebagai badan hukum, Perseroan melaksanakan kegiatannya melalui organ-organ yang dimilikinya, yang terdiri dari (i) Rapat Umum Pemegang Saham (“RUPS”), (ii) Direksi dan (iii) Komisaris (Pasal 1 ayat 2 UUPT).

Sebagai organ Perseroan, Direksi bertanggung jawab penuh atas kegiatan pengurusan Perseroan untuk kepentingan dan dalam mencapai tujuan Perseroan, serta mewakili Perseroan dalam segala tindakannya, baik di dalam maupun di luar pengadilan (Pasal 1 ayat 4 UUPT), dan pengurusan perseroan dilakukan oleh direksi (Pasal 79 ayat 1). Sedangkan Komisaris Perseroan bertugas untuk melakukan pengawasan secara umum dan atau khusus, serta memberikan nasehat kepada Direksi Perseroan dalam menjalankan Perseroan (Pasal 1 ayat 5 UUPT)., dan yang wewenang dan kewajibannya ditetapkan dalam anggaran dasar (Pasal 94 ayat 1).

Selanjutnya RUPS sebagai organ pemegang kekuasaan tertinggi dalam Perseroan, melaksanakan segala hak-hak dan kewajiban-kewajiban serta wewenang dalam Perseroan yang pelaksanaannya tidak diserahkan kepada Direksi dan Komisaris Perseroan (Pasal 1 ayat 3 UUPT).

UUPT lebih banyak memberikan pengaturan mengenai tugas, kewajiban dan tanggung jawab Direksi. Ketentuan dan pengaturan yang tegas mengenai tugas, kewajiban dan pertanggung jawaban Direksi tersebut cukup mengkhawatirkan mereka yang duduk dalam jajaran Direksi, untuk hal ini khususnya ketentuan mengenai pertanggung jawaban pribadi atas seluruh harta kekayaan masing-masing anggota Direksi.

Apabila kita melihat pada rumusan yang diberikan dalam ketentuan Pasal 85 ayat (2) UUPT, UUPT tidak membedakan pertanggung jawaban yang disebabkan oleh kesalahan maupun kelalaian Direksi dalam menjalankan tugasnya, Ini berarti disengaja atau tidak, setiap anggota Direksi tetap bertanggungjawab sepenuhnya terhadap setiap kerugian yang diderita oleh setiap pihak yang berkepentingan.

Asuransi, dalam definisi yang umum, dapat dikatakan merupakan suatu bentuk perjanjian (pertanggungan) dimana salah satu pihak (penanggung) berjanji untuk membayar sejumlah uang pertanggungan kepada pihak lainnya (tertanggung) dalam hal suatu peristiwa yang dipertanggungkan terjadi selama masa pertanggungan. Peraturan perundang-undangan di bidan gasuransi tidak membatasi macam dan jenis tanggungan yang dapat diasuransikan. Ini berarti setiap kerugian (pribadi) Direksi Perseroan, yang terjadi sebagai akibat berlakunya ketentuan Pasal 85 ayat (1) UUP dapat pula diasuransikan.

Di berbagai negara yang sudah lebih maju pengaturan mengenai hukum Perseroan dan hukum asuransi, pertanggungan atas pertangung jawaban Direksi ini telah cukup lama dikenal. Bahkan pertanggungan tersebut tidak hanya sampai lebel Direksi saja, melainkan juga pada tingkat officer yang dikenal dengan istilah “Director and Officers Liabilities Insurance”.

Di Indonesia, pertanggungan atas pertanggung jawaban Direksi memang belum begitu populer, meskipun menurut informasi yang ada sudah lebih dari 5 (lima) perusahaan yang menutup pertanggungan asuransi demikian untuk anggota Direksinya.

TUGAS DAN KEWAJIBAN DIREKSI

Apabila kita mempelajari ketentuan mengenai tugas dan kewajiban Direksi yang ditentukan dalam UUPT, dapat kita simpulkan bahwa pada prinsipnya UUPT mewajibkan Direksi untuk bertindak profesional, sesuai dengan keahlian yang dimiliki olehnya, untuk melaksanakan kepengurusan Perseroan, dengan itikad baik, untuk kepentingan dan usaha Perseroan.

Dalam teori ilmu hukum Perusahaan, dikenal adanya dua macam fungsi Direksi dalam suatu Perseroan, yaitu (i) Direksi sebagai profesional yang menjalankan tugasnya untuk kepentingan dan usaha Perseroan (duty to exercise care and skill), dan (ii) Direksi sebagai wakil pemegang saham, yang bertugas untuk menjaga kepentingan pemegang saham yang menunjuk dan mengangkatnya sebagai anggota Direksi Perseroan (fiduciary duty).

Apabila kita bandingkan ketentuan yang termuat dalam UUPT dengan teori ilmu hukum Perusahaan, dapat kita lihat bahwa UUPT lebih menekankan pada peran Direksi sebagai profesional yang diharapkan mampu menjalankan tugasnya dengan baik untuk kepentingan dan usaha Perseroan. Walai demikian, secara implisit, dengan melihat pada hak dan kewenangan pemegang saham yang cukup besar terhadap Direksi Perseroan (temasuk didalamnya ketentuan mengenai “derivative suit”) yang diberikan oleh UUPT dapat kita katakan bahwa pada prinsipnya Direksi Perseroan juga dibebankan pada kewajiban untuk tetap menjaga kepentingan dari para pemegang saham yang menunjuk dan mengangkat mereka sebagai Direksi Perseroan.

PELANGGARAN ATAS TUGAS DAN KEWAJIBAN DIREKSI

Sebagaimana telah diuraikan pada Bab II tersebut di atas, tentang tugas dan kewajiban Direksi, maka dapat disimpulkan bahwa setiap pelanggaran atau penyimpangan atas tugas dan kewajiban Direksi tersebut akan menimbulkan akibat pertanggungjawaban Direksi atas kerugian yang diderita oleh tiap-tiap yang berkepentingan.

Penyimpangan dan pelanggaran atas tugas dan kewajiban Direksi tersebut dapat digolongkan ke dalam:

  • Tidak menjalankan tugasnya secara profesional sesuai dengan keahlian yang dimilikinya, yang dalam hal ini dapat meliputi antara lain:
    1. Baik disengaja atau tidak, melakukan pelanggaran atas tugas yang diberikan (breach of duty);
    2. Baik disengaja atau tidak, melalaikan tugas yang seharusnya dijalankan olehnya (omission of duty);
    3. Baik disengaja atau tidak, memberikan pernyataan yang salah (mis-statement);
    4. Baik disengaja atau tidak, memberikan pernyataan yang menyesatkan (misleading statement);
    5. Baik disengaja atau tidak, melakukan penyalahgunaan kewenangan atau kekuasaan sebagai Direksi Perseroan;
    6. Baik disengaja atau tidak, memenuhi janji atau komitmen yang telah diberikan (breach of warranty or authority commitment);
  • Tidak menjalankan tugasnya sebagai wakil pemegang saham dengan baik, yang dapat terjadi dalam bentuk:
    1. Pelanggaran (breach of trust);
    2. Kelalaian (negligence of trust);
    3. Kesalahan (error);

Selain pelanggaran-pelanggaran sebagaimana disebutkan di atas, UUPT juga menambahkan satu macam pelanggaran khusus yang harus dihindari oleh Direksi Perseroan, khusus dalam hal terjadinya pertentangan kepentingan, yaitu sebagaimana diatur dalam Pasal 84 UUPT, yaitu pada pokoknya dalam Pasal 84 UUPT dimaksud melarang “perwakilan” anggota Direksi dalam hal (i) terjadi perkara di depan pengadilan antara Perseroan dengan anggota Direksi yang bersangkutan, dan (ii) anggota Direksi yang bersangkutan mempunyai kepentingan yang bertentangan dengan kepentingan Perseroan.

UUPT hanya mengatakan bahwa, dalam hal tidak ditentukan lain dalam Anggaran Dasar Perseroan, maka untuk melaksanakan perbuatan atau tindakan hukum tersebut di atas diperlukan adanya suatu RUPS, yang akan memutuskan siapa yang berhak dan berwenang untuk mewakili Perseroan. Ketentuan tersebut dimasukkan dengan tujuan untuk memperkecil kemungkinan terjadinya pelanggaran dan penyimpangan terhadap profesionalisme Direksi dalam menjalankan Perseroan, sehingga kepentingan Perseroan tetap dapat terjaga, sekaligus kepentingan pemegang saham tetap dapat terpelihara dengan baik.

SIFAT PERTANGGUNG JAWABAN DIREKSI

Menurut ketentuan Pasal 82 UUPT, Direksi sebagai suatu organ, memiliki pertanggung jawaban yang penuh atas terselenggaranya pengurusan Perseroan dengan baik, untuk kepentingan dan tujuan Perseroan, serta merupakan satu-satunya organ dalam Perseroan yang berwenang untuk mewakili Perseroan baik di dalam maupun di luar pengadilan. Dari rumusan tersebut, dapat disimpulkan bahwa UUPT mengakui adanya pertanggung jawaban kolegial (tanggung renteng) antara seluruh anggota Direksi yang ada. UUPT tidak membedakan pertanggung jawaban antara satu anggota Direksi dengan anggota Direksi lainnya, Walau demikian, dengna tujuan praktis sebagaimana ditentukan di dalam Pasal 83 ayat (1) UUPT, kecuali dinyatakan lain dalam UUPT dan atau Anggaran Dasar Perseroan, setiap anggota Direksi berhak dan berwenang mewakili Perseroan (Pasal 83 ayat (1) UUPT).

Kewajiban bahwa setiap anggota Direksi wajib dengan itikad baik dan penuh tanggung jawab menjalankan tugas untuk kepentingan dan usaha Perseroan (Pasal 85 ayat (1) UUPT) merupakan suatu hal yang tidak dapat ditawar-tawar lagi. Dan oleh karena itu, untuk menegaskan kembali tugas dan tanggung jawab tersebut, ketentuan Pasal 85 ayat (2) UUPT menyatakan bahwa setiap kesalahan dan atau kelalaian yang dibuat oleh Direksi Perseroan dalam menjalankan tugasnya akan membawanya kepada pertanggung jawaban pribadi atas seluruh harta kekayaannya.

GUGATAN PERTANGGUNG JAWABAN DIREKSI

Berkaitan dengan gugatan atas Direksi dalam menjalankan tugas dan kewajibannya untuk kepentingan Perseroan, pada prinsipnya gugatan yang diajukan oleh pemegang saham lebih banyak berhubungan dengan kurangnya keterbukaan informasi (disclosure) yang wajib disampaikan dan dilaporkan secara berkala oleh Direksi kepada pemegang saham Perseroan. Kurangnya informasi ini, dapat berupa tidak hanya pemberian informasi yang salah (mis-statement), pemberian informasi yang menyesatkan (misleading statement), penipuan (fraudulant act), melainkan juga meliputi juga segala macam penyembunyian informasi, maupun insider trading information (pemberian informasi) secara tidak adil kepada semua pemegang saham. Selain pemegang saham, dan Perseroan (baik melalui pemegang saham dalam bentuk derivative suit, maupun Perseroan pribadi), pihak ketiga lainnya yang berkepentingan diberikan pula hak seumumnya untuk menggugat (masing-masing) Direksi pribadi, dalam hal Direksi tersebut telah melampaui batas kewenangan yang diberikan oleh UUPT dan atau Anggaran Dasar Perseroan, yang mengakibatkan dirugikannya pihak ketiga tersebut. Bentuk kerugian ini kadangkala dapat dikompensasi dalam bentuk gugatan perdata (materiil), namun demikian tidak menutup kemungkinan pemberian sanksi pidana, dan dalam hal tertentu dapat pula disertai dengan pemberian sanksi administratif.

PERLINDUNGAN HUKUM DIREKSI DALAM BENTUK ASURANSI

Dengan semakin meningkatnya tuntutan profesionalisme Direksi dalam menjalankan tugasnya dan pertanggung jawaban yang dibebankan dalam berbagai macam ketentuan hukum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku, sangat dirasakan perlunya perlindungan bagi tiap-tiap anggota Direksi atas setiap pertanggung jawaban yang dibebankan oleh peraturan perundang-undangan tersebut terhadap diri Direksi, ditambah dengan makin meningkatnya kesadaran hukum masyarakat akan hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang melekat pada diri masyarakat yang diberikan oleh hukum yang berlaku, dan makin banyaknya gugatan perdata yang diajukan secara individual atas setiap perbuatan melanggar hukum yang dilakukan oleh suatu pihak terhadap pihak lainnya, maka pertanggungan terhadap pertanggung jawaban Direksi tersebut terasa semakin diperlukan dalam kondisi saat ini.

Adapun alasan-alasan yang diperkirakan turut mempengaruhi perlunya perlindungan hukum terhadap Direksi dalam menjalankan tugas dan kewajibannya terhadap Perseroan dengan melalui penutupan perlindugna asuransi adalah:

  1. Perubahan persepsi terhadap pertanggung jawaban Direksi yang makin dipertegas dengan berlakunya UUPT;
  2. Makin meningkatnya kompleksitas kegiatan dunia usaha, termasuk didalamnya kegiatan-kegiatan yang berhubungan dengan operasional, pembiayaan, merger, akuisisi, konsolidasi, maupun pengeluaran saham baru, yang benar-benar memerlukan, tidak hanya suatu profesionalisme tetapi juga rasa aman bagi Direksi dalam mengambil setiap keputusan penting yang berhubungan dengan pengembangan usaha Perseroan;
  3. Meningkatnya peran sarjana hukum litigasi, dan maraknya gugatan ganti rugi atas perbuatan melanggar hukum. Munculnya gugatan perdata ini bagi seorang Direksi, dalam konteks luas maka akan habisnya seluruh harta kekayaan pribadinya.
  4. Makin terbukanya dunia usaha, di mana Direksi dibebankan pada kewajiban untuk lebih bersifat terbuka (disclosure), seperti dapat dilihat dari ketentuan-ketentuan hukum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku, makin jelasnya pelaksanaan peraturan perundang-undangan tersebut, dan makin meningkatnya kesadaran hukum masyarakat;

Adapun bentuk perlindungan hukum yang terhadap Direksi atas tugas, kewajiban dan tanggung jawab Direksi harus mencakup sekurang-kurangnya hal-hal seperti (i) perlindungan terhdap breach of trust dari pemegang saham, demikian juga breach of duty, yang meliputi pelanggaran atas tugas, kelalaian, kesalahan karena tidak melaksanakan tugas, kesalahan dalam memberikan keterangan, memberikan keterangan yang dapat menyesatkan, melakukan pelanggaran atas jaminan yang diberikan dalam rangka pelaksanaan jabatannya, termasuk penyalahgunaan jabatan.

Selain hal-hal tersebut, dengan berprinsip bahwa tujuan penutupan pertanggungan adalah untuk melindungi pertanggung jawaban pribadi (mengurangi tanggung jawab pribadi) masing-masing anggota Direksi, yang timbul dalam rangka penyelenggaraan dan atau pelaksanaan tugasnya, maka ada baiknya jika pertanggungan tersebut dapat meliputi juga seluruh ongkos-ongkos dan biaya-biaya litigasi yang timbul sehubungan dengan pembelaan yang harus dilakukan oleh Direksi atas tiap-tiap gugatan pertanggung jawaban yang harus diajukan terhadapnya.

Sedangkan hal-hal yang berkaitan dengan pembayaran premi asuransi, sebagai suatu bentuk asuransi, pertanggungan jenis inipun memerlukan pembayaran premi. Tidak ada suatu ketentuan yang mengkiat mengenai pihak yang berkewajiban untuk melakukan pembayaran premi pertanggungan ini. Yang pasti dalam hal ini adalah, bahwa uang pembayaran pertanggungan harus diserahkan, dan untuk kepentingan Direksi (selaku beneficiary). Praktek yang terjadi di negara-negara yang sudah marak menjalankan usaha pertanggungan atas pertanggung jawaban Direksi ini, premi asuransi pada umumnya dibayar bersama oleh Direksi yang bersangkutan dan Perseroan dimana Direksi tersebut menjabat, menurut suatu perbandingan tertentu.

Sebagai suatu bentuk asuransi kerugian yang obyek pertanggungannya lebih bersifat immteriil, tidak ada suatu ketentuan yang membatasi jumlah (uang) pertanggungan. Adalah kehendak dari pihak yang berkepentingan (baik Direksi berkenaan dengan Perseroan) untuk menentukan sendiri besarnya uang pertanggungan yang dikehendaki.

Sebagaimana prinsip asuransi pada umumnya, pada pertanggungan atas pertanggung jawaban Direksi inipun ada yang sudah seharusnya dikecualikan dari pertanggungan yang diberikan. Berdasarkan prinsip-prinsip umum asuransi, hal-hal yang dikecualikan tersebut pada umumnya dapat dikategorikan atas (i) peristiwa yang dipertanggungkan ternyata sudah terjadi, (ii) pelanggaran atas pertanggungan dilakukan dengan disengaja, dan (iii) adanya ketidakjujuran dari Direksi Perseroan, baik pada saat pertanggungan ditutup, maupun selama masa pertanggungan berjalan.

VII      PENUTUP

Berdasarkan hal-hal yang telah diuraikan di atas, dapat disimpulkan bahwa perlindungan dalam bentuk pertanggungan atas pertanggung jawaban Direksi Perseroan memang diperlukan, namun demikian hal ini tetap akan menuntut keprofesionalan dari masing-masing anggota Direksi, dan kejujuran mereka sebagai pengemban tugas dan tanggung jawab Perseroan. Direksi tidak akan dapat memperoleh jaminan pertanggungan jika kerugian yang diderita pemegang saham, Perseroan maupun pihak ketiga yang berkepentingan, yang disebabkan oleh karena kesengajaan dari anggota Direksi, maka kesengajaan itu pada akhirnya harus dapat dibuktikan dan diuji oleh pihak-pihak yang berkompeten untuk itu.

 

DAFTAR PUSTAKA

  1. Direktorat Jenderal Lembaga Keuangan Departemen Keuangan RI, Himpunan Peraturan Perundang-undangan Di Bidang Usaha Perasuransian, Jakarta, 1994.
  2. Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum Sebuah Pengantar, Yogyakarta, 1996, Penerbit Liberty Yogyakarta.
  3. Mochtar Kusumaatmadja, Fungsi dan Perkembangan Hukum Dalam Pembangunan Nasional, Bandung, 1992, Penerbit Bina Cipta.
  4. G. Rai Widjaja, Hukum Perusahaan Perseroan Terbatas, Khusus Pemahaman Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995, Jakarta, 1996, Penerbit Megapoin.
  5. G. Rai Widjaja, Hukum Perusahaan, Jakarta, 2000, Penerbit Megapoin.
  6. Rochmat Soemitro, Hukum Perseroan Terbatas, Yayasan dan Wakaf, Bandung, 1993, Penerbit PT. Eresco.
  7. S.T. Kansil dan Christine S.T. Kansil, Kitab Undang-Undang Hukum Perusahaan, Jilid 1, Jakarta, 1999, Penerbit PT. Pradnya Paramita.
  8. Munir Fuady, Hukum Perusahaan Dalam Paradigma Hukum Bisnis, Bandung, 1999, Penerbit PT. Citra Aditya Bakti.

[1]              Penulis adalah salah seorang partner dari Subarkah, Madurani, Wirjohoetomo, attorney & counselors at law.

Scroll to Top
Open chat
1
Selamat datang di D-LEAD ada yang bisa kami bantu ?