Prinsip Kekerabatan Dalam Masyarakat Hukum Adat

Share :

Masyarakat hukum adat memiliki tatanan adat yang khas yang menjadikan mereka sebagai masyarakat hukum adat dengan corak yang khas pula. Hal yang mengakibatkan adanya keragaman corak tersebut adalah karena dianutnya perbagai macam prinsip kekerabatan, yang melandasi tidak hanya terhadap segala aspek kehidupan keperdataannya saja, namun juga mempengaruhi  segi-segi kehidupan yang bersifat publik-pemerintahannya.

Pada dasarnya prinsip kekerabatan – yang menjadi landasan bagi hubungan kekerabatan itu- terbentuk karena adanya suatu keyakinan bahwa mereka berasal dari satu hubungan darah yang sama. Misalnya, sama-sama berasal dari satu nenek atau kakek moyang yang sama (kerabat konsanguinal), atau karena adanya hubungan perkawinan di antara mereka (kerabat ‘afinal’).

Dinutnya konsep kerabat konsanguinal tersebut – dalam literatur hukum adat –  dijadikan landasan bagi berlakunya pelbagai macam cara orang dalam menentukan garis keturunannya (principles of descent) yang pada dasarnya terdiri dari:

  1. Patrilineal descent, yang menghitung hubungan kekerabatan hanya melalui garis laki-laki saja, misalnya masyarakat Batak, Bali, Timor, dan Ambon;
  2. Matrilineal descent, yang menghitung hubungan kekerabatan hanya melalui garis yang perempuan saja, misalnya pada masyarakat Minangkabau;
  3. Bilateral descent yang memperhitungkan hubungan kekerabatan dari kedua belah pihak, yaitu laki-laki dan perempuan, misalnya pada masyarakat Jawa, Toraja, dan Dayak.

Prinsip-prinsip kekerabatan tersebut di atas melahirkan pula adanya pelbagai macam bentuk perkawinan yang berbeda. Prinsip garis keturunan Patrilineal, misalnya, akan melahirkan bentuk perkawinan Jujur; Matrilineal akan mengakibatkan lahirnya bentuk perkawinan Semendo, dan prinsip garis keturunan yang Bilateral akan melahirkan bentuk perkawinan Bebas.

Ketiga bentuk perkawinan yang dilahirkan dari ketiga prinsip garis keturunan (principles of descent) itu kemudian juga mengakibatkan timbulnya hubungan dan akibat hukum yang berbeda pula yang meliputi:

  1. Penentuan status seorang suami/istri serta hak-hak dan kewajibannya masing-masing;
  2. Penentuan status anak dan keturunannya, hak-haknya serta hubungan hukumnya dengan orang tua dan dengan keluarga orang tuanya.

Sebagai subyek hukum yang melahirkan adanya aturan-aturan adat yang kemudian disebut juga sebagai hukum adat itu – sesuai dengan prinsip kekerabatannya yang dianutnya tersebut, maka semua orang dalam masyarakat adat tersebut, maka semua orang dalam masyarakat adat tersebut mengetahui secara pasti status dan hubungan hukum yang bagaimanakah yang ada pada setiap anggota masyarakatnya itu. Seorang anak yang baru lahir misalnya, atau bahkan sejak ia masih dalam kandungan ibunya, telah diketahui dengan pasti status hukumnya dan juga mengenai hubungan hukum apa saja yang ada atau yang akan timbuk kemudian antara anak tersebut dengan orang tuanya dan dengan keluarga dari orang tuanya tersebut dan bahkan juga hubungannya dengan masyarakatnya.

TERANG DAN TUNAI

Di samping adanya prinsip kekerabatan seperti yang telah diuraikan di atas, masyarakat adat menerapkan pula suatu mekanisme yang dapat menjamin keabsahan dan/atau juga keterbukaan (disclosure) terhadap adanya suatu perbuatan atau terjadinya suatu peristiwa penting lainnya.

Dalam tatanan hukum adat terhadap pebuatan  atau peristiwa  yang dianggap sangat penting, karena menyangkut masalah perolehan, pencapaian, dan peralihan atau perubahan status hukum antara orang perorangan itu dengan hak-hak kebendaan yang telah, sedang atau yang akan dimilikinya, haruslah dilakukan secara transparan dan terbuka. Misalnya pada perbuatan atau peristiwa perkawinan, kelahiran, adopsi, penghibahan, jual beli tanah, dan lain sebagainya, bahkan juga pada peristiwa kematian, seperti pepatah adat Minangkabau yang berbunyi: “Kaba’ baiak baimbauan, kaba’ buruak bahamburan”.

Dalam pengejewantahan lebih lanjut terhadap pepatah adat itu secara lebih normatif diterjemahkan ke dalam suatu mekanisme adat yang dikenal dengan prinsip Terang dan Tunai yag diterapkan terutama pada semua perbuatan atau tindakan yang mengikat para pihak atau pihak lain dalam masyarakat.

Terang artinya, bahwa suatu perbuatan hukum itu harus dilakukan di hadapan pejabat yang berwenang yaitu kepala adat. Dengan demikian keabsahan mengenai lahirnya atau berubahnya status hukum seseorang dengan segala akibatnya itu diakui, dijamin, dan kelaigus dilindungi. Di samping itu pula dengan dipenuhi prinsip ini, maka unsur publisitas dari perbuatan tersebut juga terpenuhi, dimana semua orang dalam masyarakata tersebut – yang dalam hal ini diwakili oleh kepala adatnya – mengetahui secara pasti terjadinya suatu perbuatan/tindakan tersebut dengan segala akibat hukum yang menyertainya.

Tunai artinya bahwa, suatu perbuatan/tindakan dianggap telah selesai dilakukan dengan telah dilakukannya perbuatan/tindakan itu secara nyata. Dengan kata lain, bahwa lahirnya dan/atau diperolehnya suatu status hukum atau hubungan hukum yang baru itu adalah pada ketika perbuatan/tindakan tersebut selesai dilakukan.

Pada perbuatan pengangkatan anak (adopsi) misalnya, hukum menganggap telah terjadi peralihan hubungan hukum antara anak angkat tersebut dengan orang tua angkatnya – yang kini menjadi orang tua kandung bagi anak angkat tersebut – dan putusnya hubungan hukum antara anak angkat itu dengan orang tua kandungnya sendiri adalah segera seketika setelah diterimanya barang-barang pemberian adat dari calon orang tua angkat tersebut oleh orang tua kandung anak yang diangkat tersebut. Pemberian atau saling memberi barang-barang secara adat (tukar tanda) tersebut dilakukan dalam suatu upacara atau pesta adat yang memang khusus diadakan untuk maksud tersebut yang disaksikan oleh kepala adatnya dan dihadiri oleh semua anggota masyarakatnya.

BUDAYA HUKUM

Berbeda halnya dengan Sistem Hukum Barat (BW) dengan latar belakang budaya tulisan, dimana segala sesuatu itu dinyatakan – khusunya sesuatu yang berkaitan dengan aturan-aturan hukum – dalam bentuknya yang tertulis. Kepastian hukum – pada tradisi hukum Eropa kontinental – hanya dapat dicapai manakala suatu norma hukum itu telah lebih dahulu ada dan tertulis di dalam pasal-pasal perundang-undangan yang bersangkutan. Pada tradisi hukum ini hukum diartikan sebagai undang-undang, dan undang-undang selalu diberi bentuk tertulis. Hanya dengan sedemikian itu, maka kepastian hukum dapat dicapai. Dalam negara kebangsaan yang menganut budaya hukum(tertulis) semacam itulah, lembaga pencatatan sipil ini muncul. Segala produk yang dihasilkan dari kegiatan yang dilakukan oleh lembaga ini secara hukum akan dipandang sebagai bukti yang paling otentik, jika tidak dapat kita katakan sebagai satu-satunya alat bukti.

Dalam konteks masyarakat hukum adat – tentunya juga dalam konteks kita sebagai bangsa – yang berlaku justru keadaan yang sebaliknya, bahwa kita tidak menganut budaya hukum (tertulis) tersebut, melainkan budaya lisan. Bahwa segala tingkah laku yang telah melembaga menjadi adat istiadat – termasuk pengaturan dan pelembagaan yang menyangkut norma-norma hukumnya – disampaikan atau dipelihara melalui media lisan yang diteruskan secara turun temurun kepada generasi selanjutnya. Proses pelembagaan terhadap aturan-aturan tata tertib kehidupan dalam masyarakatnya – termasuk hal-hal yang menyangkut  tentang hak-hak dan kewajiban yang dipunyai yang dipunyai oleh anggota masyarakatnya itu – dilakukan secara lisan atau secara bertutur, “warih nan dijawek” (Minangkabau).

Tidak dianutnya budaya tulisan dalam adat istiadat dan juga tentunya dalam budaya hukum kita – berpengaruh pada sistem hukum yan berlaku yang mengatur mengenai tata tertib masyarakat kita dalam segala aspek kehidupan. Dalam arti bahwa masyarakat kita tidak menulis tetapkan adat istiadat yang mempunyai  sifat hukum itu dalam bentuk peraturan tertulis dalam peraturan perundang-undagan dan yang kemudian dibukukan (dikodifikasikan). Sebagaio konsekuensinya maka, terhadap semua peristiwa penting yang dialami oleh orang perorangan dalam masyarakat tidak pula dilakukan pencacatan yang berbentuk suatu pendokumentasian ke dalam bentuk akta. Kelahiran seseorang misalnya, seringkali ditandai dengan adanya kejadian-kejadian alam yang terjadi pada saat orang yang bersangkutan lahir, dan bukannya ditandai dengan adanya pencatatan secara tertulis atas kelahiran tersebut.

Scroll to Top
Open chat
1
Selamat datang di D-LEAD ada yang bisa kami bantu ?