Prinsip Tanggung Jawab Produk Dalam Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia

Share :

Perlindungan Konsumen di Indonesia

Salah satu bentuk intervensi pemerintah Indonesia untuk kepentingan perlindungan konsumen adalah melalui pembentukan Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen. Undang-undang tersebut merupakan salah satu hasil dari perubahan hukum di Indonesia  yang dipengaruhi beberapa faktor, yaitu faktor sistem politik yang semakin demokratis, yang antara lain ditandai dengan keberanian Dewan Perwakilan Rakyat menggunakan hak inisiatif mengajukan Rancangan Undang-Undang, suatu hak yang sebelumnya tidak pernah digunakan selama kepemimpinan Presiden Soeharto. Selanjutnya, termasuk dalam faktor kualitas kehidupan politik yang demokratis adalah kehadiran Yayasan Lembaga Perlindungan Konsumen Indonesia, dukungan dunia akademisi, dan duduknya aktivis perlindungan konsumen sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia.

Disamping faktor perkembangan sistem politik, faktor kedua yang juga berpengaruh terhadap pembentukan Undang-Undang Perlindungan Konsumen adalah faktor internal (mikro) kepentingan konsumen Indonesia itu sendiri. Pada tahun 1997 misalnya, terjadi kasus kegagalan bedah plastik seorang penyanyi di Taiwan dan Ny. Sulastri yang meninggal korban bedah plastik. Di samping itu, berbagai kasus yang merugikan konsumen tidak diakhiri dengan penyelesaian yang memuaskan konsumen. Dalam kasus Republik Indonesia v. Tan Chandra Helmi dan Gimmun Tanno, yang terkenal dengan kasus “Biskuit Beracun” misalnya, gugatan konsumen hanya dilihat dari aspek pidana dan administrative saja, sehingga korban atau konsumen tidak mendapat kompensasi atau ganti kerugian atas dasar tuntutan perdata.

Demikian pula gugatan konsumen dalam kasus Janizal dkk v. PT. Kentamik Super Internasional, yang terkenal dengan kasus “Perumahan Narogong Indah” pihak pengembang dimenangkan, bahkan pengembang kemudian menggugat balik konsumen karena dinilai melakukan pencemaran nama baik. Kasus-kasus tersebut menjadi pemicu bagi tekanan terhadap produsen.

Faktor ketiga yang turut mendorong pembentukan Undang-Undang Perlindungan Konsumen di Indonesia adalah perkembangan system perdagangan global yang dikemas dalam kerangka World Trade Organization (WTO), maupun program International Monetary Fund (IMF) dan Program Bank Dunia. Keputusan Indonesia untuk meratifikasi Perjanjian Perdagangan Dunia (World Trade Organization WTO) diikuti dengan dorongan terhadap Pemerintah Indonesia untuk melakukan harmonisasi hukum nasional dengan hukum internasional dibidang perdagangan.

Penelitian ini menemukan bahwa tanggung jawab produk sebelum Undang-Undang No. 8 tahun 1999 adalah murni tanggung jawab berdasarkan kesalahan. Prinsip tanggung jawab yang murni berdasarkan kesalahan didasarkan pada ketentuan Pasal 1365 KUH Perdata mengenia Perbuatan Melawan Hukum dan kelalaian yang mengakibatkan wanprestasi berdasarkan ketntuan Pasal 1243 KUH Perdata. Kedua dasar tuntutan tersebut menempatkan unsur kesalahan dan itikad tidak baik produsen sebagai faktor utama lahirnya tanggung jawab seperti halnya ketentuan Pasal 823 ayat (1) KUH Perdata Jerman dan Pasal 709 KUH Perdata Jepang.

Selanjutnya melihat pada konstruksi, struktur dan sistematika Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, penulis berpendapat bahwa undang-undang tersebut menerapkan suatu prinsip tanggung jawab berdasarkan kesalahan dengan beban pembuktian terbalik.

Dalam Undang-Undang  No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen terdapat 3 (tiga) pasal yang menggambarkan sistem tanggung jawab produk dalam hukum perlindungan konsumen di Indonesia, yaitu ketentuan Pasal 19, Pasal 23, dan Pasal 28 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.

Pasal 19 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen merumuskan tanggung jawab produsen sebagai berikut:

  1. Pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran, dan/atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan.
  2. Ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa pengembalian uang atau penggantian barang dan/atau jasa yang sejenis atau setara nilainya, atau perawatan kesehatan dan/atau pemberian santunan yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
  3. Pemberian ganti rugi dilaksanakan dalam tenggang waktu 7 (tujuh) hari setelah tanggal transaksi.
  4. Pemberian ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak menghapuskan kemungkinan adanya tuntutan pidana berdasarkan pembuktian lebih lanjut mengenai adanya unsur kesalahan.
  5. Ketentuan sebagaimana dimaksud ayat (1) dan ayat (2) tidak berlaku apabila pelaku usaha dapat membuktikan bahwa kesalahan tersebut merupakan kesalahan konsumen.

Ketentuan Pasal 19 ini kemudian dikembangkan pada Pasal 23 yang menyatakan:

Pelaku usaha yang menlak dan/atau tidak memberi tanggapan dan/atau tidak memenuhi ganti rugi atas tuntutan konsumen sebagaimana dimaksud dalam pasal 19 ayat (1), ayat (2), ayat (3),
dan ayat 4), dapat digugat melalui badan peyelesaian sengketa konsumen atau mengajukan ke badan peradilan di tempat kedudukan konsumen.

Rumusan Pasal 23 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen  nampaknya muncul berdasarkan dua kerangka pemikiran, yaitu pertama, bahwa Pasal 19 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen menganut prinsip praduga lalai/bersalah (presumption of negligence). Prinsip ini berangkat dari asumsi bahwa apabila produsen tidak melakukan kesalahan, maka konsumen tidak mengalami kerugian, atau dengan rumusan lain, apabila konsumen mengalami kerugian, berarti produsen telah melakukan kesalahan. Sebagai konsekuensi dari prinsip ini, maka Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Prlindungan Konsumen menerapkan batas waktu pembayaran ganti kerugian 7 (tujuh) hari setelah tanggal transaksi. Dilihat dari konteks Pasal 23, maka batas waktu 7 (tujuh) hari tidak dimaksudkan untuk menjalani proses pembuktian, tetapi hanya memberikan kesempatan pada produsen untuk membayar atau mencari solusi lain, termasuk penyelesaian sengketa melalui pengadilan.

Pemikiran kedua yang terkandung dalam Pasal 23 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen adalah produsen tidak membayar ganti kerugian dalam batas waktu yang telah ditentukan. Sikap produsen ini membuka peluang bagi konsumen untuk mengajukan tuntutan ke Pengadilan atau penyelesaian sengketa melalui Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen.

Ketentuan lanjutan yang relevan dengan Pasal 23 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen adalah rumusan Pasal 28 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yang berbunyi sebagai berikut:

Pembuktian terhadap ada tidaknya unsur kesalahan dalam gugatan ganti kerugian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19, Pasal 22, dan Pasal 23 merupakan beban dan tanggung jawab pelaku usaha.”

Rumusan Pasal inilah yang kemudian dikenal dengan sistem pembuktian terbalik. Penulis berpendapat bahwa rumusan Pasal 23 memperlihatkan bahwa prinsip tanggung jawab yang juga dianut dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen adalah prinsip praduga untuk selalu bertanggung jawab (presumption of liability principle). Prinsip ini merupakan salah satu modifikasi dari prinsip tanggung jawab berdasarkan kesalahan dengan beban pembuktian terbalik.

Oleh karena itu, penulis berkesimpulan bahwa secara keseluruhan, Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 menganut prinsip tanggung jawab berdasarkan kesalahan dengan dua modifikasi, yaitu pertama prinsip tanggung jawab berdasarkan praduga bersalah/lalai atau produsen sudah dianggap bersalah, sehingga tidak perlu dibuktikan kesalahannya (presumption of negligence) dan kedua adalah prinsip untuk selalu bertanggung jawab dengan beban pembuktian terbalik (presumption of liability principle). Jelas, bahwa konstruksi hukum yang demikian menggambarkan adanya kemajuan dari sistem tanggung jawab sebelumnya. Namun belum sepenuhnya menganut prinsip tanggung jawab mutlak sebagaimana yang secara tegas-tegas dirumuskan dalam beberapa hukum positif di negara lain. Hal ini tergambar pula dalam pendapat akhir ketika memberikan persetujuan terhadap Rancangan Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen yang menyatakan:

dalam Undang-Undang ini, dimasukkan pasal yang memungkinkan adanya pembuktian terbalik baik dalam hal pidana maupun perdata. Hal ini merupakan suatu terobosan baru di dunia hukum negara kita di era reformasi. Perkembangan tersebut menunjukkan bahwa Indonesia masih dalam tingkat modifikasi terhadap prinsip tanggung jawab berdasarkan kesalahan, satu langkah dibelakang prinsip tanggung mutlak”.

            Di samping itu, perdebatan mengenai unsur kelalaian dalam hukum perlindungan konsumen sebenarnya, muncul selama pembahasan Rancangan Undang-Undang Tentang Perlindungan Konsumen. Namun, nampaknya, karena argumentasi yang kurang  kuat, prinsip tanggung jawab dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 kembali menjadi prinsip yang konvensional yaitu mengacu kepada Pasal 1365 KUH Perdata. Ada beberapa pendapat yang dikemukakan ketika pembahasan Rancangan Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen.

            Pendapat pemerintah misalnya, (Dirjen Perdagangan Dalam Negeri Depperindag, Teddy Setiadi menjelaskan).

Pasal 24 ayat (1): “Pelaku usaha yang memproduksi barang yang pemanfaatannya berkelanjutan dalam batas waktu sekurang-kurangnya 1 tahun wajib menyediakan suku cadang dan atau fasilitas purna jual dan memenuhi jaminan atau garansi sesuai yang diperjanjikan”.

Pasal 24 ayat (2): “pelaku usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertanggung jawab atas tuntutan ganti rugidan atau gugatan konsumen sepanjang pelaku usaha tersebut: (a) tidak atau lalai menyediakan suku cadang dan atau fasilitas perbaikan; (b) Tidak atau gagal memenuhi jaminan atau garansi yang diperjanjikan.”

            Selanjutnya, Anggota DPR Ridwan Sani dari FKP mengemukakan pendapatnya sebagai berikut:

“Terima kasih pak ketua. Kami apa yang disarankan pemerintah itu cukup bagus, karena inimemang banyak terjadi jualnya tapi tidak ada garansi kalau istilah kita sehari-hari. Jadi Pasal 24 yang diusulkan pemerintah ini, ini kami ingin melihat ayat ke (2). Pada ayat (2)nya pelaku usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertanggung jawab atas tuntutan ganti rugi dan atau gugatan konsumen sepanjang pelaku usaha tersebut tidak atau lalai. Nah yang ini kami dari Dewan seperti yang dijelaskan oleh rekan kami yang terdahulu tadi diminta penjelasan kepada Pemerintah mengenai sekurang-kurangnya satu tahun, kalau kami ingin menambahkan adalah kata lalai, kenapa kita tidak mau tegas-tegas saja, tidak menyediakan suku cadang, sebab kalau lalai ini berkelitnya luar biasa, dan ini kalau menurut pendapat kami ini makanan dari pihak pengacara, dia menafsirkan istilah lalai itu bagaimana? Sebab pelaku usaha lalai karena lalainya apa? Itu macam-macam alasannya, alasannya mungkin barang itu dari pabriknya belum datang karena ada kelambatan di Tanjung Priok. Mungkin kontinennya rudak dan lain-lain, jadi gagal juga. Jadi demikian juga tidak atau gagal memenuhi jaminan atau garansi yang diperjanjikan, karena di ayat (1) di atas tegas-tegas katakan, harus dijamin berikan jaminan garansinya, kalau tidak anda tidak bisa memperdagangkan itu di Indonesia, jadi lalai itu gagal itu saran dari Dewan ini terutama mengenai lalai ini jangan dimasukkan Pak, kita yang tegas-tegas saja karena dengan demikian kita akan dapat memproduk satu hukum yang memang benar-benar menjamin kepentingan daripada konsumen supaya nanti pihak pengusaha jangan berkilah. Terima kasih Pak Ketua.”

Pendapat anggota DPR Ridwan Sani ini kemudian ditanggapi oleh Rosediana suharto mewakili pemerintah sebagai berikut:

“Pertama-tama mungkin kita mulai dengan sekurang-kurangnya satu tahun, memang dalam garansi dan purna jual itu biasanya untuk barang-barang tertentu itu ada yang 1 tahun, ada yang maximal sampai 5 tahun life-timenya biasanya diberikan garansi, makin laku jualannya, jadi seperti kita kalau mengadakan tender biasanya kita minta kepada mereka minimal garansi spare part sesuai dengan life time mesin itu satu tahun. Tapi ada yang menawarkan 7 tahun, ada yang menawarkan 6 tahun, akan kita pilih yang lebih lama tentunya, tapi oleh sebab itu ditulis minimal  1 tahun karena pada umumnyaalat-alat yang dipakai dalam rumah tangga itu 1 tahun. Kemudian yang kedua kualitas purna jual, itu mereka harus tanya, jadi jangan nanti mereka menjual jamsetelah mereka kembali kepada mereka, mereka tidak bisa memasang spare partnya tidak ada tekhnisnya.”

Scroll to Top
Open chat
1
Selamat datang di D-LEAD ada yang bisa kami bantu ?