Syarat-Syarat Sahnya Suatu Perjanjian

Share :

Pertanyaan:

D-Lead yth.,

Apa saja syarat-syarat sahnya suatu perjanjian menurut KUHPerdata?

(Pertanyaan dari Victor A, Fakultas Hukum Universitas Trisakti)

Jawaban:

Pasal 1320 KUHPer menentukan syarat-syarat untuk sahnya perjanjian dimana pasal tersebut menyatakan untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat, yakni antara lain adalah:

  • Adanya kata sepakat bagi mereka yang mengikatkan dirinya.

Suatu perjanjian itu baru timbul apabila ada kata sepakat kedua belah pihak mengenai hal-hal yang pokok dari apa yang menjadi obyek perjanjian. Sepakat disini maksudnya adalah suatu persesuaian paham dan kehendak antara dua pihak tersebut . Dan apabila dalam pemberian kata sepakat terdapat kekhilafan atau paksaan maka perjanjian tersebut dapat dibatalkan. Kata sepakat juga dikatakan cacat apabila sepakat itu diberikan karena:

  1. Kekhilafan, ialah gambaran yang salah, yang diperoleh salah satu pihak mengenai objek perjanjian atau mengenai diri pihak lain.
  2. Penipuan, penipuan dapat terjadi bilamana terdapat gambaran yang salah (kekhilafan) ditimbulkan dengan sengaja oleh tipu muslihat pihak lain. Tipu muslihat itu dapat berupa rangkaian kebohongan ataupun mendiamkan sesuatu sehingga menimbulkan kekeliruan dari kehendaknya.
  3. Paksaan, yang dimaksud dengan paksaan disini adalah bukan paksaan fisik tetapi berupa paksaan psikis (ancaman). Jika seseorang di bawah paksaan dalam suatu perjanjian, maka perjanjian tersebut dapat dibatalkan.
  • Cakap untuk membuat suatu perjanjian

Pada dasarnya semua orang cakap untuk membuat suatu perjanjian. Yang dimaksud dengan cakap disini adalah cakap menurut hukum.  Artinya setiap orang yang sudah dewasa dan sehat akal pikirannya, pada hakekatnya adalah cakap untuk membuat perjanjian, kecuali orang-orang yang dinyatakan tidak cakap oleh undang-undang, sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1330 KUHPer, yaitu:

  1. Orang-orang yang belum dewasa, menurut Pasal 330 KUHPer tentang kebelum dewasaan seseorang dapat dikatakan belum dewasa apabila orang tersebut belum genap berumur dua puluh satu (21) tahun dan tidak lebih dahulu telah kawin.
  2. Mereka yang di bawah pengampuan, dalam Pasal 433 KUHPer mengenai orang-orang yang berada di bawah pengampuan adalah setiap orang dewasa yang selalu berada dalam keadaan dungu, sakit otak atau mata gelap harus ditaruh di bawah pengampuan.  Seseorang dapat juga ditaruh di bawah pengampuan karena ia pemboros.
  3. Seorang Istri, menurut KUHPer seorang istri dilarang membuat perjanjian karena dianggap tidak cakap melakukan  perbuatan hukum, tetapi sejak di keluarkannya Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No. 3 tahun 1963 tanggal 4 Agustus 1963, maka Mahkamah Agung menyatakan tidak berlaku lagi Pasal 108 dan 110 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tentang wewenang seorang istri untuk melakukan perbuatan hukum dan untuk menghadap di muka pengadilan tanpa ijin atau bantuan suaminya. Dengan demikian seorang istri dapat dinyatakan cakap untuk melakukan perbuatan hukum. Undang-Undang Perkawinan, Undang-undang No.1 tahun 1974 yang menentukan bahwa seorang isteri cakap untuk melakukan perbuatan hukum. Pada asasnya suami dan isteri mempunyai kedudukan yang seimbang baik dalam keluarga maupun dalam pergaulan kemasyarakatan mereka, isteri cakap untuk melakukan perbuatan hukum.(pasal 31 Undang-Undang No. 1 tahun 1974).
  • Adanya suatu hal tertentu

Maksud dari suatu hal tertentu secara umum adalah hal-hal yang diperjanjikan yang didalamnya meliputi hak-hak dan kewajiban kedua belah pihak jika di kemudian hari timbul sengketa, semisal objek dari persengketaan tersebut adalah berupa barang, maka sudah seharusnya barang yang dimaksudkan tersebut telah disebutkan dalam perjanjian dan setidaknya telah diketahui jenisnya. Bahwa katakan barang tersebut sudah tidak berada di tangannya si berutang pada waktu perjanjian itu dibuat, tidak diharuskan oleh undang-undang. Juga jumlahnya tidak perlu disebutkan, asal saja kemudian dapat dihitung dan ditetapkan. Misalnya suatu perjanjian mengenai panen tembakau dari suatu ladang dalam tahun yang akan datang adalah sah, tetapi suatu perjanjian jual beli teh untuk seratus rupiah dengan tidak memakai penjelasan yang lebih terang lagi, harus dianggap tidak jelas.

  • Adanya sebab yang halal dalam perjanjian

Di dalam perjanjian tersebut harus memuat klausula atau sebab yang halal bahwa isi perjanjian tersebut tidak bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum dan kesusilaan.  Jika terdapat suatu perjanjian tanpa sebab, maka kehendak yang ingin dicapai oleh para pihak tidak ada sehingga perjanjian tersebut akan menimbulkan perjanjian tanpa dasar yang patut.  Misalnya perjanjian yang terjadi karena kekhilafan, dan juga jika suatu perjanjian dibuat dengan sebab yang palsu, artinya sebab yang disimulasi dimana kedua pihak dalam perjanjian dengan sengaja menyebut kausal yang bertentangan dengan kebenaran tujuan dan pihak ketiga percaya akan sebab tersebut.  Dalam hal ini pihak ketiga yang beritikad baik harus dilindungi oleh hukum.  

Untuk sahnya suatu perjanjian harus dipenuhi 4 syarat, yaitu adanya kata sepakat, kecakapan, hal tertentu dan sebab yang halal.antara mereka yang mengikatkan dirinya.

Syarat yang pertama dan kedua yaitu kata sepakat dan kecakapan untuk membuat perjanjian disebut sebagai syarat subyektif karena mengenai para pihak yang mengikatkan diri dalam suatu perjanjian atau subyek dari perbuatan hukum yang dilakukan.  Jika syarat subyektif tidak terpenuhi maka perjanjiannya bukan batal demi hukum melainkan salah satu pihak dalam perjanjian tersebut mempunyai hak untuk meminta perjanjian tersebut dibatalkan.  Salah satu pihak yang dimaksud adalah pihak yang tidak cakap menurut hukum misalnya mereka yang masih di bawah umur atau di bawah pengampuan.  Perjanjian demikian disebut voidable yaitu karena selalu diancam dengan bahaya pembatalan. 

Sedangkan suatu hal tertentu dan suatu sebab yang halal disebut sebagai syarat obyektif. Jika syarat obyektif tidak terpenuhi maka perjanjian itu batal demi hukum, artinya dari semula perjanjian itu dianggap tidak pernah ada atau tidak pernah dilahirkan, hal ini biasa disebut sebagai null and void. 

Demikian jawaban dari kami, semoga dapat membantu.

Sumber: Hertanto, Ari Wahyudi, Aspek-Aspek Hukum Dalam Praktek Bisnis, Cetakan Pertama, 2010, Penerbit Rizkita.

 

Kategori
Scroll to Top
Open chat
1
Selamat datang di D-LEAD ada yang bisa kami bantu ?