Tata Cara dan Akibat Hukum Pengangkatan Anak

Share :

Menurut hukum adat tata cara atau mekanisme pengangkatan anak (adopsi) pada umumnya dilaksanakan dengan beberapa cara. Cara mana yang harus dilakukan sangat tergantung pada tujuan dan akibat hukum dari dilakukannya perbuatan pengangkatan anak tersebut?

  1. Pengangkatan anak secara terang dan tunai

Pada masyarakat hukum adat yang menganut perbuatan hukum pengangkatan anak itu sebagai suatu perbuatan hukum untuk menjadikan anak orang lain sebagai anak kandung bagi orang tua angkatnya. Dengan demikian seorang anak angkat selain dimasukkan ke dalam ikatan somah (rumah tangga) orang tua angkatnya, ia juga secara sosial dimasukkan pula ke dalam ikatan kekerabatan orang tua angkatnya. Anak angkat pada masyarakat ini menduduki posisi sebagai ahli waris dari orang tua angkatnya baik terhadap harta benda yangbersifat materiil maupun benda-benda yang imateriil (gelar-gelar adat dan kebangsawanan). Pengangkatan anak pada masyarakat ini harus dilakukan secara terang dan tunai.

Secara terang artinya bahwa, pengangkatan anak itu dilaksanakan dengan sepengetahuan dan di hadapan kepala persekutuan (kepala adat) dengan melakukan upacara-upacara adat. Hal ini dilakukan dengan maksud agar khalayak ramai dapat mengetahui bahwa telah terjadi tindakan untuk memutuskan hubungan hukum antara anak angkat itu dengan orang tua kandungnya sendiri dan memasukkan anak angkat tersebut ke dalam ikatan hak dan kewajiban orang tua angkat dan kerabat angkatnya (Bali : Siar). Di Bali pemutusan hubungan hukum antara anak angkat itu dengan orang tua kandungnya ditandai dengan adanya upacara pembakaran seutas benang (tali) hingga putus. Di Pasemah (Sumatera Selatan), pengangkatan anak dilakukan dengan terang, dihadapan orang sedusun (laman dusun).

Sementara itu yang dimaksudkan dengan secara tunai artinya bahwa, perbuatan hukum pengangkatan anak tersebut harus disertai dengan pemberian atau pembayaran adat, berupa benda-benda magis, uang, dan pakaian. Dengan adanya pemberian-pemberian tersebut, maka pengangkatan anak itu telah selesai dilakukan. Pada ketika itu juga anak angkat itu beralih hubungan hukumnya dari orang tua biologisnya kepada orang tua angkatnya. Pengangkatan anak selesai ketika itu juga, tak mungkin ditarik kembali (eenmalig, irrevocable). Di Bali terdapat pembayaran adapt berupa 1000 (seribu) kepeng. Sedangkan di Jawa Timur terdapat satu lembaga yang menyatakan adopsi itu suatu perbuatan kontan, yaitu dengan pembayaran mata uang (magis) sejumlah rong wang segobang (17 ½ sen) kepada orang tua kandung sebagai sarana magis untuk memutuskan ikatan anak dengan orang tuanya (pedot).

  1. Pengangkatan anak tidak secara terang dan tunai

Pada perbuatan hukum pengangkatan anak yang tidak bertujuan untuk menjadikannya sebagai anak kandung, maka tidak harus dilakukan secara terang dan tunai. Di Jawa, pengangkatan anak pada umumnya tidak memutuskan pertalian kerabat antara anak angkat itu dengan orang tua kandungnya. Sifat pengangkatan anak pada masyarakat ini pada umumnya hanya untuk memasukkan anak angkat itu ke dalam kehidupan rumah tangga (somah) orang tua angkatnya saja. Dia tidak berkedudukan sebagai anak kandung dengan fungsi untuk meneruskan keturunan orang tua angkatnya itu. Dan kebanyakan anak yang diangkat tersebut adalah anak keponankan sendiri lelaki atau perempuan. Dasar pengangkatan anak tersebut biasanya adalah untuk:

  • Memperkuat pertalian dengan orang tua anak yang diangkat;
  • Kadang-kadang oleh sebab belas kasihan, jadi untuk menolong anak itu;
  • Berhubung dengan kepercayaan, bahwa oleh karena mengangkat anak itu, kemudian akan mendapat anak sendiri;
  • Mungkin pula untuk mendapat bujang di rumah, yang dapat membantu pekerjaan orang tua sehari-hari.

Pada bentuk pengangkatan anak pada masyarakat Jawa dan – juga di Sulawesi- seperti tersebut di atas, perbuatan hukum pengangkatan anak itu tidak dilakukan secara terang dan tunai. Bahwa hal tersebut tidak harus dilakukan di hadapan dan sepengetahuan kepala adatnya untuk keabsahannya. Dan pula tidak ada keharusan untuk melakukan pemberian-pemberian atau pembayaran adat kepada orang tua biologis anak angkat tersebut. Pengangkatan anak pada masyarakat tidak untuk memutuskan hubungan hukum antara anak angkat itu dengan orang tua biologisnya. Dengan demikian ia tetap akan bertindak sebagai ahli waris dari orang  tua biologisnya itu. Sementara itu dari orang tua angkatnya dia juga berhak memperoleh bagian dari harta gono-gini mereka sebagai anggota rumah tangga dari orang tua angkatnya tersebut.

Akibat dari tidak dilakukannya pengangkatan anak itu secara terang dan tunai maka pada masyarakat ini sering terjadi keragu-raguan apakah terhadap anak tersebut telah diangkat sebagai anak dari orang tua angkatnya itu sehingga ia mempunyai hak-hak tertentu terhadap harta peninggalan orang tua angkatnya itu kelak, ataukah ia hanya sebagai anak yang dipelihara saja sehingga tidak mempunyai hak-hak tersebut. Namun demikian di dalam bukunya Soepomo menyatakan bahwa, “bagaimanapun juga, dengan mengambil anak sebagai anak angkat dan memelihara anak itu hingga menjadi dewasa yang kuat gawe, maka timbul dan berkembangkah hubungan rumah tangga (gezinsverhouding) antara bapak dan ibu angkat di satu pihak dan anak angkat di lain pihak. Hubungan rumah tangga ini menimbulkan hak-hak dan kewajiban antara kedua pihak, yang mempunyai konsekuensi terhadap harta benda rumah tangga tersebut.

  1. Pengangkatan anak secara tunai saja

Secara terbatas perbuatan pengangkatan anak yang hanya dilakukan secara tunai saja dapat ditemui di masyarakat kita. Misalnya pada masyarakat suku bangsa Rejang (Bengkulu), dimana seorang ayah yang karena perkawinannya tidak berhak atas seorang anak pun yang lahir dari perkawinannya. Karena si ayah hanya mampu membayar kurang dari separo uang adapt (pelapik) yang disyaratkan oleh pihak keluarga istrinya pada waktu perkawinannya(perkawinan Semendo kurang beradat). Maka secara adat semua anak yang lahir akan masuk Klen (Tobo) ibunya dan si ayah tidak berhak untuk itu. Namun demikian, hukum adatnya masih memberikan kesempatan kepada si ayah itu untuk mengambil seorang anak saja dari perkawinannya itu untuk masuk ke dalam klennya sendiri. Untuk itu si ayah (keluarga ayah) tersebut harus melakukan pembayaran uang adat yang disebut dengan uang pedaut kepada istrinya. Uang pedaut adalah besanya uang yang tergantung kepada anak yang diminta, jika ia seorang laki-laki, maka uang pedaut itu berjumlah 10 rial dan jika seorang perempuan berjumlah 20 rial, yang harus diserahkan kepada orang tua si anak yang diminta.

Adanya pemberian uang pedaut dari si ayah kepada keluarga istrinya tersebut, dimana kemudian si ayah dapat memasukkan anak itu ke dalam klen (tobo)nya itu dan pada saat yang bersamaan memutuskan hubungan anak itu dengan ibu (istrinya) dan kerabat ibunya itu dipandang sebagai suatu perbuatan hukum pengangkatan anak (adopsi) pula. Hanya saja pada bentuk adopsi semacam ini tidak perlu dilakukan secara terang dimana harus dilakukan dengan upacara adat dan dengan bantuan oleh kepala persekutuan (pasirah) sehingga semua orang sedesa mengetahuinya. Karena pada dasarnya hanya terjadi pergerseran hubungan hukum terhadap orang-orang yang telah hidup sekeluarga (serumah tangga) tersebut.

 

Sumber:

AFDOL, S.H., M.H. (Staf Pengajar pada kelompok mata kuliah hukum adat di Fakultas Hukum UI Depok)

Judul: Pengangkatan Anak dan Aspek Hukumnya Menurut Hukum Adat.

Disampaikan dalam Seminar Nasional “Pengangkatan Anak dan Pencatatannya Menurut Hukum Indonesia”

Scroll to Top
Open chat
1
Selamat datang di D-LEAD ada yang bisa kami bantu ?