Tindak Pidana Pelanggaran Hak Cipta Musik dan Lagu di Indonesia

Share :

Apakah unsur-unsur pelanggaran hak cipta di bidang musik, dan apakah teknologi internet seperti situs Napster dapat diklasifikasikan sebagai pembajakan?

Salam,

Ariyanti Bilbina.

Jawaban:

Ariyanti Yth.,

Pembajakan dapat dibagi ke dalam 3 kategori. Pertama, pembajakan sederhana, dimana suatu rekaman asli dibuat duplikatnya untuk diperdagangkan tanpa seizin produser atau pemegang hak yang sah. Rekaman hasil bajakan dikemas sedemikian rupa, sehingga berbeda dengan kemasan rekaman aslinya.

Kedua, rekaman yang dibuat duplikatnya, kemudian dikemas sedapat mungkin mirip dengan aslinya, tanpa seizin dari pemegang hak ciptanya. Logo dan merek ditiru untuk mengelabui masyarakat, agar mereka percaya bahwa yang dibeli itu adalah hasil produksi yang asli.

Ketiga, penggandaan perekaman pertunjukkan artis-artis tertentu tanpa izin dari artis tersebut atau dari komposer atau tanpa persetujuan dari produser rekaman yang mengikat artis yang bersangkutan dalam suatu Perjanjian Kontrak.

Ketiga reproduksi atau penggandaan tersebut di atas pada umumnya ditemukan dalam bentuk-bentuk kaset atau compact, walaupun adakalanya ditemukan dalam bentuk disc.

Selanjutnya akibat kemajuan teknologi internet, bagi sebagian besar kalangan, kehadiran teknologi internet berupa teknologi MP3 (Moving Picture Experts Group Layer 3) dan situs seperti Napster sangat mencemaskan. Perkembangan teknologi internet merupakan ancaman bagi industri rekaman. Artis musik maupun pelaku bisnis industri rekaman musik dunia menyadari bahwa fenomena Napster tidak sesederhana seperti yang diperkirakan, merupakan pembajakan rekaman musik yang rumit tetapi canggih. Ini merupakan kejahatan pada dunia maya (cyber crime).

Unsur-Unsur Pelanggaran Hak Cipta Bidang Musik

Pembajakan hak cipta merupakan suatu pelanggaran. Berdasarkan rumusan Pasal 72 ayat (1), (2), (3) dan Pasal 73 ayat (1) Undang-Undang Hak Cipta Nomor 19 Tahun 2002, maka unsur-unsur pelanggaran, adalah sebagai berikut:

  1. “barangsiapa”;
  2. “dengan sengaja”;
  3. “tanpa hak”;
  4. “mengumumkan”;
  5. “memperbanyak, menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau  menjual”;
  6. “hak cipta” dan “hak terkait”.

Pertama, unsur “barangsiapa”. Ini menandakan yang menjadi subyek delik adalah “siapapun”. Kalau menurut KUH Pidana yang berlaku sekarang, hanya manusia yang menjadi subyek delik, sedangkan badan hukum tidak menjadi subyek delik. Tetapi dalam Undang-Undang khusus seperti Undang-Undang Tindak Pidana Ekonomi, badan hukum atau korporasi juga menjadi subyek delik. Dalam hal ini barangsiapa termasuk pula badan hukum atau korporasi. Dalam Undang-Undang Hak Cipta Nomor 19 Tahun 2002, barangsiapa bisa ditujukan, antara lain kepada “Pelaku” dan “Produser Rekaman Suara”. Pelaku adalah aktor, penyanyi, pemusik, penari, atau mereka yang menampilkan, memperagakan, mempertunjukkan, menyanyikan, menyampaikan, mendeklamasikan, atau memainkan suatu karya musik, drama, tari, sastra, folklore, atau karya seni lainnya. Produser Rekaman Suara adalah orang atau badan hukum yang pertama kali merekam dari suatu pertunjukan maupun perekam suara atau perekam bunyi lainnya.

Kedua, unsur “dengan sengaja”. Kebanyakan tindak pidana. Kebanyakan tindak pidana mempunyai unsur kesengajaan atau “opzet” bukan unsur culpa (kelalaian). Ini adalah layak, oleh karena biasanya yang pantas mendapat hukuman pidana itu ialah orang yang melakukan sesuatu dengan sengaja:

Kesengajaan yang bersifat tujuan (oogmerk)

Bahwa dengan kesengajaan yang bersifat tujuan (oogmerk), pelaku dapat dipertanggungjawabkan , mudah dimengerti oleh khalayak ramai. Maka apabila kesengajaan semacam ini ada pada suatu tindak pidana, tidak ada yang menyangkal, bahwa pelaku layak dikenakan hukuman pidana. Ini lebih nampak apabila dikemukakan, bahwa dengan adanya kesengajaan yang bersifat tujuan ini, dapat dikatakan pelaku benar-benar menghendaki pencapaian akibat yang menjadi pokok alasan diadakan ancaman hukuman pidana (constitutief gevolge).

Kesengajaan secara keinsafan kepastian (opzet bij zekerheidsbewustzijn)

Kesengajaan seperti ini adalah apabila pelaku, dengan perbuatannya, tidak bertujuan untuk mencapai akibat yang menjadi dasar dari delik, tetapi ia tahu benar, bahwa sebagai konsekuensinya pasti mengikuti perbuatan itu. Kalau ini terjadi, maka teori kehendak (wilstheorie), menganggap akibat tersebut sebagai yang dikehendaki oleh pelaku, berarti juga ada kesamaan.

Kesengajaan secara Keinsafan kemungkinan (opzet bij mogelijk heidsbewustzjin)

Lain halnya dengan kesengajaan yang terang-terangan tidak disertai bayangan mengenai suatu kepastian akan terjadi akibat, melainkan hanya dibayangkan kemungkinan akan adanya akibat itu.

Ketiga, unsur tanpa hak. Mengenai arti tanpa hak dari sifat melanggar hukum, dapat dikatakan, bahwa mungkin seseorang tidak mempunyai hak untuk melakukan suatu perbuatan, yang sama sekali tidak dilarang oleh suatu peraturan hukum.

Menurut Pasal 1 ayat 4 Undang-Undang Hak Cipta Nomor 19 Tahun 2002, pemegang hak cipta adalah pencipta sebagai Pemilik Hak Cipta atau pihak yang menerima hak tersebut dari pencipta.

Pemilik hak cipta dapat mengalihkan atau menguasakan sebagian atau keseluruhan haknya kepada orang/badan hukum baik melalui perjanjian, surat kuasa maupun dihibahkan atau diwariskan. Tanpa pengalihan atau kuasa tersebut, maka tindakan itu merupakan tindakan “tanpa hak”.

Keempat, unsur “perbuatan” dapat diklasifikasikan dalam bentuk “mengumumkan”, menurut Pasal 1 ayat (5) Undang-Undang Hak Cipta Nomor 19 Tahun 2002, pengumuman adalah pembacaan, penyiaran, pameran, penjualan, pengedaran, atau penyebaran suatu ciptaan dengan menggunakan alat apapun, termasuk media internet, atau melakukan cara apapun, sehingga suatu ciptaan dapat dibaca, didengar, atau dilihat orang lain; dan unsur “memperbanyak” (perbanyakan), menurut Pasal 1 ayat (6) Undang-Undang Hak Cipta Nomor 19 Tahun 2002, adalah penambahan jumlah sesuatu ciptaan, baik secara keseluruhan maupun sebagian yang sangat substansial dengan menggunakan bahan-bahan  yang sama atupun tidak sama, termasuk mengalihwujudkan secara permanen atau temporer.

Kelima, “Hak Cipta”, menurut Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Hak Cipta Nomor 19 Tahun 2002, adalah hak ekslusif bagi Pencipta atau penerima hak untuk mengumumkan atau memperbanyak Ciptaannya atau memberi izin untuk itu, dengan tidak mengurangi pembatasan-pembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. “Hak Terkait” Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Hak Cipta Nomor 19 Tahun 2002, adalah hak yang berkaitan dengan Hak Cipta, yaitu hak ekslusif bagi Pelaku untuk memperbanyak atau menyiarkan petunjuknya; Bagi produser Rekaman Suara untuk memperbanyak atau menyewakan karya rekaman suara atau rekaman bunyinya; dan bagi Lembaga Penyiaran untuk membuat, memperbanyak, atau menyiarkan karya siarannya.

 

HENDRA TANU ATMADJA

Scroll to Top
Open chat
1
Selamat datang di D-LEAD ada yang bisa kami bantu ?