Urgensi Revisi terhadap Undang-undang Persaingan Usaha

Share :

Oleh: Ari Wahyudi Hertanto, S.H., M.H.

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 mengenai Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (“UU No.5/1999”) ini adalah refleksi dari semangat membangun sistem ekonomi pasar yang efisien, terbuka, dan sehat. Bahkan suatu bangsa yang hendak maju menuju sistem ekonomi dan politik yang modern, perlu meletakkan fondasi sistem legalnya di bidang ekonomi dalam bentuk peraturan, yang menjaga agar dunia usaha bersaing secara sehat, jujur dan adil. Kehadiran institusi legal ini merupakan syarat mutlak bagi sistem ekonomi yang modern.

Mengutip dari tulisan yang dimuat oleh bertajuk Peraturan Persaingan Usaha Belum Harmonis pada Kompas online, menyatakan, bahwa – tiga dari empat perkara putusan Komite Pengawas Persaingan Usaha yang diteruskan ke meja hijau dikalahkan keputusan pengadilan tingkat pertama. Penyebabnya antara lain karena belum harmonisnya UU No.5/1999 dengan perundangan lain yang telah ada. putusan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (“KPPU”) gugur di pengadilan bukan karena substansinya, tetapi karena hukum acara yang tidak sesuai. Karena itu, substansi masalah harus dipahami penegak hukum agar tidak merugikan masyarakat. tidak harmonisnya UU No 5/1999 dengan peraturan perundangan lain adalah perkara putusan KPPU selalu dimasukkan dalam pengadilan perdata. Sebabnya, dalam Undang-Undang No 14 Tahun 1970 tentang Kekuasaan Kehakiman hanya ada pengadilan perdata, pidana, militer, dan agama. Padahal, ada unsur pidana juga karena menyangkut kepentingan publik. Dari sisi teknis belum pas. Memang waktu satu-dua tahun tidak cukup untuk mengharmoniskan, perlu amandemen total dalam peraturan yang terkait.

Meskipun sudah lama diundangkan, UU No.5/1999 masih memiliki banyak celah hukum dan punya kompleksitas persoalan dalam hukum acara. Untuk itu diperlukan aturan di bawahnya yang secara detail memperjelas sehingga bisa meminimalisir multitafsir mengenai isi UU No 5/1999 itu.

Mahkamah Agung berencana menerbitkan peraturan MA (perma) khusus untuk meminimalisir penafsiran dan mengatasi kerumitan hukum beracara undang-undang itu serta meminimalisir celah-celah hukum dari UU No 5/1999 itu. Untuk itu, Mahkamah Agung bersama dengan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) melakukan studi banding ke Jerman 1-5 Juli 2003. Hasil dari kunjungan tersebut untuk menyempurnakan draft perma yang saat ini sedang digodok oleh MA. Ide dari UU Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Tidak Sehat berasal dari Jerman sehingga menggunakan prinsip-prinsip yang dijalankan di Jerman.Ketua MA Bagir Manan menjelaskan, ide pembentukan perma ini berawal dari banyaknya keputusan KPPU yang diprotes di mana-mana dan banyaknya pertanyaan soal putusan KPPU, apakah berkekuatan hukum tetap ataukah hanya putusan administratif saja.

Di dalam UU No.5/1999 disebutkan bahwa gugatan atas keputusan KPPU bisa diajukan di Pengadilan Negeri yang dekat dengan domisili pelaku usaha. Nah, akibatnya banyak gugatan kepada KPPU diajukan di mana-mana. Ini tentu saja menimbulkan kerepotan tersendiri karena menyangkut konsistensi putusan.

Dengan kata lain ada diperlukan adanya revisi terhadap UU No.5/1999, seperti dengan timbulnya permasalahan yang muncul dalam upaya penegakan UU No.5/1999, oleh beberapa kalangan dikatakan bahwa biang keladinya adalah UU No.5/1999 itu sendiri. Kemudian ditambahkan bahwa apabila UU No.5/1999 mengatur secara eksplisit mengenai kedudukan KPPU dalam sistem hukum Indonesia (apakah merupakan lembaga judisial ataukah lembaga eksekutif/tata usaha negara?), sudah barang tentu tidak akan muncul porlemik yang berkepanjangan seperti sekarang ini. Meskipun tidak dapat dilakukan secara langsung mengingat tengah berlangsungnya pesta demokrasi, yaitu pemilu 2004 dan rententan pekerjaan rumah DPR. Namun, sebagai jalan tengahnya hal yang masuk akal untuk dapat dilakukan saat ini adalah undang-undang yang sudah ada ini dengan segala kekurangannya dapat dilaksanakan secara baik.

Dengan turut memperhatikan salah satu konsideran UU No.5/1999 menyatakan bahwa undang-undang ini adalah agar terciptanya iklim persaingan usaha yang sehat serta terhindar dari pemusatan kekuatan ekonomi pada perorangan atau kelompok tertentu dalam bentuk praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat yang merugikan masyarakat. Menyimak dari perkembangan perekonomian yang terjadi dan beberapa kasus yang mencuat dan ditangani oleh KPPU, ternyata harapan agar terciptanya suatu sistem ekonomi yang berkeadilan sosial dirasakan tidak semakin dekat justru semakin menjauh.

Sebagaimana yang dinyatakan oleh Insan Budi Maulana, bahwa salah satu penyebab mengapa keadaan itu dapt terjadi karena UU No.5/1999 telah mengalami cacat lahir sejak saat diundangkannya. Para perancang undang-undang itu tidak memahami bagaimana cara menyusun dan mensistematisir perundang-undangan antimonopoli dan pencegahan persaingan usaha curang. Sebagai contoh adalah pada kasus transaksi divestasi Indomobil di tingkat Pengadilan Negeri bukan merupakan kesalahan 100% KPPU. Hal mana dikarenakan penjelasan pasal 22 UU No.5/1999 yang mendefinisikan tender sebagai tawaran mengajukan harga untuk memborong suatu pekerjaan, untuk mengadakan barang-barang atau menyediakan jasa-jasa (yang dalam perspektif ini membatasi definisi pengertian tender pada pasal 22). Kemudian berakibat terhadap tender penjualan saham (divestasi) yang dilakukan oleh BPPN, tidak dapat dikategorikan sebagai tender yang telah dirumuskan dalam penjelasan pasal 22 UU No.5/1999.

Jadi dengan demikian tampak bahwa kegagalanm KPPU dalam mempertahankan putusannya di tingkat Pengadilan Negeri juga merupakan sumbangan dari UU No.5/1999 yang telah mempersempit definisi tender, sehingga pihak yang terlibat dalam persekongkolan divestasi Indomobil tidak dapat dihukum oleh UU No.5/1999.

Selain itu pemakaian istilah yang tidak lazim dalam bidang hukum, misalnya penggunaan kata persaingan usaha tidak sehat yang sebenarnya bisa dipilih kata persaingan usaha curang. Atau pengecualian perjanjian lisensi di bidang hak kekayaan intelektual pada pasal 50b merupakan kesalahan, karena tindakan persaingan usaha curang dan monopoli sering terjadi pada lisensi itu.

Sebagaimana yang telah dikemukakan di atas, kelemahan lain adalah menempatkan posisi KPPU sebagai instansi independen yang berfungsi sebagai polisi (penyidik), jaksa (penuntut), dan hakim (pemutus perkara) tetapi tidak didukung dengan landasan hukum yang memadai. Namun, tidak sepatutnya jika dalam UU No.5/1999, baik dalam pertimbangan maupun dalam ketentuan pasal-pasalnya tidak terdapat satu kalimat pun yang menyatakan secara eksplisit bahwa KPPU merupakan suatu lembaga peradilan, lantas hal yang sedemikian itu dinyatakan sudah cukup untuk menjadi dasar untuk menyebutkan KPPU sebagai lembaga eksekutif/tata usaha negara. Seharusnya tugas dan wewenang yang dimiliki oleh KPPU (pasal 35 dan pasal 36 UU No.5/1999) yang antara lain menerima laporan, melakukan penyelidikan, menyimpulkan hasil penyelidikan atas dugaan terjadinya praktek monompoli dan persaingan usaha tidak sehat, memanggil saksi, meminta keterangan dari instansi pemerintah, bahkan sampai menjatuhkan sanksi berupa sanksi tindakan administratif kepada pelaku usaha yang melanggar UU No.5/1999. Misalnya undang-undang tidak mencantumkan hukum acara persidangan, dan kewenangan mencantumkan irah-irah ‘Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa’, yang secara notabene berakibat pelaksanaan undang-undang itu akan sangat tergantung pada selera KPPU dan arogansi kekuasaan.

Dan sebagaimana diketahui bersama bahwa dasar pembentukan KPPU (pasal 30 ayat (1) UU No.5/1999), dimana lembaga ini dibentuk untuk mengawasi pelaksanaan undang-undang, serta pasal 30 ayat (2) UU No.5/1999, yang antara lain menyebutkan KPPU adalah suatu lembaga independen yang yerlepasdari pengaruh dan kekuasaan pemerintah dan pihak lainnya, seharusnya tetap diperhatikan dan dijunjung tinggi, karena KPPU juga merupakan salah satu ujung tombak penegakan supremasi hukum di Indonesia.

Untuk menghindari ketidakjelasan dalam implementasi dan totalitas UU No.5/1999 dengan mengulas sedikit peristiwa-peristiwa tersebut di atas, maka sudah waktunya UU No.5/1999 direvisi dan demi penegakkan kewibaan undang-undang dan KPPU. Yang perlu diperhatikan dalam merevisi UU No.5/1999 salah satunya adalah mengenai pembagian departemen atau divisi dalam KPPU atas tiga macam, yaitu penyidikan, penuntut dan pemutus dengan orang-orang yang berbeda. Selain itu persidangan KPPU harus dinyatakan terbuka untuk umum agar masyarakat dapat mengetahui dan mengontrol kinerjanya.

Jika UU No.5/1999 akan direvisi, KPPU sebagai pelaksana undang-undang itu selayaknya merupakan bagian dari sistem badan peradilan sebagaimana diatur dalam undang-undng tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman. Dalam undang-undang hasil revisi nanti, KPPU selayaknya pengadilan khusus yang merupakan bagian dari badan peradilan umum, dan bermuara pada Mahkamah Agung.

Pengadilan khusus ini dimungkinkan untuk dibentuk sebagaimana pada pengadilan niaga yang menangani perkara perdata dibidang hak kekayaan intelektual dan kepailitan, atau peradilan pajak yang khusus menangani sengketa pajak antara pemerintah dan wajib pajak. Hanya saya, untuk KPPU sebagai lembaga peradilan khusus memiliki pula kewenangan penyidikan, dan penuntutan.

Scroll to Top
Open chat
1
Selamat datang di D-LEAD ada yang bisa kami bantu ?