Sistem Ekonomi Pancasila Dalam Dinamika Politik Bangsa Dan Negara

Share :

Oleh: Ari Wahyudi Hertanto, S.H., M.H.

Menyikapi kondisi bangsa yang telah sedemikian rupa terpuruknya, dimana
Indonesia telah diberikan label sebagai negara terbesar ke-6 di dunia untuk kasus tindak pidana korupsi, dimana labelisasi tersebut diberikan sebelum merebaknya skandal Bank BNI Tbk., dan Bank BRI Tbk., padahal kedua bank tersebut adalah bank miliki pemerintah dan juga keduanya merupakan perusahaan terbuka. Keterpurukan Indonesia dalam kurun waktu terakhir ini sangat erat kaitannya dengan masalah perekonomian, yang mana ideologi negara dan bangsa Indonesia adalah berpegang teguh pada nilai-nilai yang hidup dan terkandung didalam Pancasila. Oleh karenanya penulis ingin mencoba menggali dalam persepektif sosiologi hukum terkait dengan nilai-nilai yang terkandung dalam sistem ekonomi Pancasila dan aplikasinya dewasa kini.

Sehubungan dengan hal tersebut, maka timbul pertanyaan terhadap penerapan
nilai-nilai Pancasila dalam sistem perekonomian di Indonesia, dan bagaimana seharusnya nilai-nilai tersebut hidup dalam tatanan kemasyarakatan Indonesia yang saat ini terbawa oleh arus derasnya perkembangan teknologi informatika dan globalisasi. Kondisi mana memang idak dapat dipungkiri mengingat Indonesia dan masyarakat Indonesia secara umum mengikuti tren perkembangan yang terjadi, sebagaimana halnya dalam pergaulan yang berskala internasional yang secara tidak langsung menuntut kita untuk dapat terus mengejar globalisasi yang terjadi.

Sebelum diulas lebih dalam tentang sistem perekonomian Pancasila, maka penulis
mengutip tulisan Prof. Soetandyo Wignjosoebroto dalam bukunya Hukum – Paradigma, Metode dan Dinamika Masalahnya yang secara ekslusif membahas tentang hukum dan sistem ekonomi. Melalui tulisan beliau dikutip bahwa perubahan sosial from status to contract dengan sistem hukumnya yang ikut terubah menjadi amat kondisional, sebagaimana halnya dengan perkembangan bisnis liberal di Eropa Barat pada zamannya Henry Maine. Perubahan-perubahan besar di abad 20 sekalipun tetap memperlihatkan arah perkembangan from old communities (yang berskala lokal) ke new state (yang berskala nasional), namun ternyata terlihat tercatat betapa liberalisme di dalam kehidupan bisnis ynag telah memuliakan kebebasan berkontrak telah mengalami kritik yang hebat dan modifikasi yang cukup mendasar. Dibanyak negeri – khususnya di negeri-negeri berkembang yang membangun dirinya di atas puing-puing kekuasaan kolonial – ekonomi nasional tidaklah dikembangkan menurut hukum keniscayaan mekanisme pasar yang impersonal melainkan menurut hukum negara yang berfungsi mengimplementasikan rencana-rencana pembangunan pemerintah. Di sini market economy akan cenderung ditinggalkan dan planned economy akan cenderung dipilih sebagai gantinya.

Fungsi hukum di dalam market economy jelas berbeda sekali dengan fungsi
hukum dalam planned economy. Kebebasan berkontrak tentu saja tak akan dapat lagi
dikukuhi penuh-penuh, sehingga aktivitas ekonomi dan aktivitas bisnis pada dasarnya
lalu tak lagi dikuasai oleh kaidah-kaidah hukum yang privaatrechtelijk, melainkan
publikrechtelijk. Di sini hukum cenderung akan dipakai sebagai pemberi kewenangan- kewenangan baru kepada pemerintah (dan segenap aparatnya), atau juga sebagai pemberi legitimasi-legitimasi pada setiap tindakan pemerintah (dan segenap aparatnya) itu.

Maka hukum itu kini tidak lagi bisa memperlihatkan sikapnya yang murah hati
untuk selalu berkemampuan menjamin kebebasan-kebebasan individu-individu warga
masyarakat yang penuh prakarsa untuk membuat kontrak-kontrak guna menciptakan
berbagai hubungan baru atau pula untuk memodifikasinya. Kalaupun kebebasan itu toh masih terakui ada, dalam praktik nanti hukum itu akan lebih didayagunakan untuk membuat intervensi-intervensi guna mengubah arah atau efek kegiatan-kegiatan individual itu. Intervensi begini ini bisa dilakukan di bidang apa pun, baik yang bisnis (seperti misalnya di ranah penanam modal) maupun yang non bisnis (seperti misalnya di ranah pembangunan keluarga sejahtera). Dapat dimengerti mengapa dalam kerangka kebijakan dan program-program planned economy inilah dikenalnya doktrin baru dalam ilmu hukum dan ajaran hukum, yaitu doktrin law as a tool of social engineering, sekalipun sebenarnya doktrin ini berasal dari ide liberal Pound, yang mengajari para hakim agar peka pada perubahan-perubahan yang perkembangan-perkembangan (bukan pengembangan-penganbangan alias pembangunan) sosial yang terjadi, dan mampu menyesuaikan keputusan-keputusannya pada perkembangan-perkembangan sosial- ekonomi yang terjadi.

Diterimanya doktrin law as.is a tool of social engineering di negeri-negeri
berkembang yang menganut tradisi civil law (seperti Indonesia dewasa ini) sesungguhnya akan bermakna secara implisit diterimanya ide sentralisasi kontrol terhadap seluruh bidang kehidupan – baik yang bisnis maupun yang non bisnis – berdasarkan hukum. Di sini regulasi akan berganda-ganda, sampai cenderung ke taraf terjadinya over regulation terhadap hampir seluruh aspek kehidupan masyarakat bangsa, sampai-sampai gampang timbul kesan bahwa hukum itu kini tidak lagi memiliki kedudukan supremasi, melainkan sudah terdegradasi cuma sebagai instrumen kontrol di tangan pemerintah (yang sudah terlalu terobsesi pada suksesnya pembangunan). Maka asas rule of the law tak lagi dipahami dalam praktik, dan terdistorsi menjadi suatu realitas rule (of the ruler) by law.

Memasuki millennium ketiga masehi, kehidupan bisnis diramalkan banyak orang
akan tak lagi berluang lingkup cuma sebatas skala dan formatnya yang nasional. Banyak ramalan ramalan memprakirakan bahwasanya kehidupan umat manusia di abad-abad mendatang itu – di bidang apa pun, khususnya di bidang bisnis pascaindustrial – kan terus mengembang dalam skala dan formatnya yang kian regional atau bahkan global. Modal dan informasi, dan bahkan juga manusia-manusia pekerjanya – seperti yang gampang dikatakan oleh Appadurai – akan kian tak lagi gampang dikurung dan dikontrol (dengan regulasi-regulasi hukum nasional apapun) dalam batas-batas suatu negara belaka. Pelaku-pelaku ekonomi dan bisnis akan kian berwawasan professional dan transnasional, dan tidak lagi membatasi diri pada wawasannya yang nasional sebagai warga suatu negara (yang penuh dengan afeksi harus selalu bersedia menaati apa saja yang telah direncanakan dan diperintahkan oleh para pejabat politik, yang minta dikenali sebagai pengemban kekuasaan negara).

Melansir pendapat yang dikemukakan oleh Koento Wibisono Siswomihardjo
yang menulis tentang Revitalisasi Pancasila Sebagai Dasar Negara (Upaya Untuk
Mengatasi Disintegrasi Kehidupan Bangsa), dimana beliau adalah seorang Guru Besar di Universitas Gajah Mada, mencoba untuk melihat latar belakang lahirnya Pancasila,
melihat perkembangan, memaknai ide revitalisasi dan merenungkan hasil tinjauan beliau terhadap kondisi kekinian bangsa dan negara. Yang menarik untuk diungkapkan adalah beliau pada bagian tentang perkembangan Pancasila terhitung sejak tanggal ditetapkannya, yaitu 18 Agustus 1945 hingga kini, ternyata Pancasila itu telah melalui tahap-tahap berdasarkan pembagian periode sebagai berikut:

  1. tahun 1945-1968, merupakan tahap politis;
  2. tahun 1969-1994, merupakan tahap pembangunan ekonomi; dan
  3. tahun 1995-2020, merupakan tahap repositioning Pancasila.

Dari ketiga tahap tersebut di atas Penulis sangat tertarik pada poin 3, dimana
beliau mengungkapkan bahwa berbeda dengan 54 tahun yang lalu, dunia pada masa kini sedang dihadapkan pada gelombang perubahan secara cepat, mendasar, spektakuler, sebagai implikasi arus globalisasi yang melanda diseluruh dunia. Implikasi globalisasi menunjukkan berkembangnya satu standardisasi dalam kehidupan diberbagai bidang di negara atau pemerintahan dimanapun. Terlepas dari sistem ideologi atau sistem sosial yang dimilikinya.

Globalisasi sebagai suatu proses pada hakikatnya telah berlangsung jauh sebelum
abad ke-20 sekarang ini. Globalisasi dalam arti pembentukan suatu sistem global yang mencakup kehidupan dibidang politik, ekonomi dan sosial-budaya telah berlangsung secara bertahap, berawal secara “embrional” di abad ke-15 yang ditandai dengan munculnya negara-negara kebangsaan, munculnya gagasan kebebasan individu yang dipacu oleh jiwa dan semangat renaissance dan aufklarung.

Sebelum berbicara lebih jauh lagi perlu dipahami tentang hakikat globalisasi,
dimana menurut Koento Wibisono, dipaparkan sebagai kenyataan subyektif yang
menunjukkan suatu proses dalam kesadaran manusia yang melihat dirinya sebagai
partisipan dalam masyarakat dunia yang semakin menyatu, sedangkan sebagai kenyaraan objektif globalisasi merupakan proses penyempitan ruang dan waktu, “menciutnya” dunia yang berkembang dalam kondisi yang penuh paradoks. Paradoks antara universalisasi versus prulalisas, integrasi versus fragmentasi, sentralisasi versus otonomisasi, kompetisi versus kooperasi, dan lain sebagainya sebagaimana gejalanya ditafsirkan oleh John Naisbitt.

Menyadari adanya kecenderungan dalam kehidupan umat manusia dewasa ini
dimana globalisasi telah merombak semua segi dan segi kehidupan secara mendasar,
maka menjadi semakin terasalah urgensi untuk menjadikan Pancasila sebagai dasar
negara untuk mempertahankan diri kira sebagai suatu kesatuan bangsa.

Perlu disadari bahwa Pancasila sebagai dasar negara dengan nilai-nilai luhurnya
yang telah dibuktikan oleh sejarah akan kebenarannya mempunyai arti dan makna yang lebih luas dan lebih mendalam daripada apa yang secara harafiah dituliskan dalam kata- kata untuk merumuskannya, dan lebih luas dan mendalam dari sekedar fakta yang dapat kita simak secara indrawi.

Pancasila sebagai dasar negara mengandung komitmen-komitmen transenden
yang memiliki “mitosnya” tersendiri, yaitu sebagai sesuatu yang “mitis kharismatis” dan “irasional” yang tidak akan tertangkap arti-maknanya bagi mereka yang sudah terbiasa berpikir secara teknis-positivistik.

Melalui begitu banyaknya tindak kejahatan ekonomi yang merebak di bumi
pertiwi Indonesia ini menunjukkan bahwa telah terjadi suatu degradasi yang signifikan terhadap nilai-nilai luhur yang dirintis dan telah dipupuk melalui tradisi pergerakan nasional semenjak 1908, kini relevan apabila dikatakan telah tersapu habis dilanda arus kekuasaan selama baik Orde Lama maupun Orde Baru. Lama mengembangkan Pancasila sebagi dasar negara tidak sebagai sesuatu yang substantif, melainkan di-instrumentalisasi- kan untuk mendukung kepentingan politik semata, karena di Era Orde Lama politik memang dijadikan ”panglima”. Demikian pula di Era Orde Baru dimana ekonomi dijadikan ”ideologi pembangunan” dan Pancasila dijadikan mitos sebagai asas tunggal yang secara manipulatif diritualisasikan untuk mengembangkan kolusi, korupsi, nepotisme dan kroni-isme di bawah kekuasaan tunggal dengan mengatasnamakan diri sebagai mandataris MPR.

Kini pembangunan menghadapi jalan buntu yang diawali dari krisis ekonomi dan
krisis politik, maka dengan ambruknya pembangunan ekonomi, menjadi ambruk pula
seluruh kehidupan politik dengan berbagai kondisi yang ”semrawut”.

Krisis ekonomi dan krisis politik yang akar-akarnya tertanam dalam krisis moral
dan menjalar kedalam krisis budaya, menjadikan masyarakat telah kehilangan orientasi nilai, hancur dalam suasana bathinnya. Arena kehidupan menjadi hambar, kejam, dan kasar, gersang dalam kemiskinan budaya dan kekeringan spritual. Nilai-nilai luhur sebagaimana yang diajarkan oleh para budayawan kita seperti Ronggowarsito atau Ki Hajar Dewantara, juga Pancasila sebagai dasar negara diplesetkan menjadi suatu satir, ejekan dan sindiran dalam kehidupan yang penuh paradoks.

Pada akhirnya konteks revitalisasi Pancasila sebagai dasar negara mengandung
makna bahwa Pancasila harus diletakn dalam keadaan keutuhannya dengan Pembukaan, di-eksplorasikan dimensi-dimensi yang melekat padanya, yaitu:

Realitasnya : dalam arti bahwa nilai-nilai yang terkandung di dalamnya
dikonkretisasikan sebagai cerminan kondisi objektif yang tumbuh
dan berkembang dalam masyarakat, suatu rangkaian nilai-nilai
yang bersifat sein im sollen dan sollen im sein.

Idealitasnya : dalam arti bahwa idealisme yang terkandung di dalamnya bukanlah
sekedar utopi tanpa makna, melainkan di objektivasikan sebagai”kata kerja” untuk membangkitkan gairah dan optimisme para warga masyarakat guna melihat hari depan secara prospektif, menuju hari esok yang lebih baik.


Fleksbilitasnya : dalam arti bahwa Pancasila bukanlah barang jadi yang sudah
selesai dan mandeg dalam kebekuan dogmatis dan normatif, melainkan terbuka bagi tafsir-tafsir baru untuk memenuhi kebutuhan zaman yang terus menerus berkembang. Dengan demikian tanpa kehilangan nilai hakikinya Pancasila menjadi tetap aktual, relevan serta fungsional sebagai tiang-tiang penyangga bagi kehidupan bangsa dan negara dengan jiwa dan semangat ”Bhinneka Tunggal Ika”.

Revitalisasi Pancasila sebagai dasar negara pada gilirannya harus diarahkan juga
pada pembinaan dan pengembangan moral, sedemikian rupa sehingga moralitas Pancasila dapat dijadikan dasar dan arah dalam upaya mengatasi krisis dan disintegrasi yang cenderung sudah menyentuh ke semua segi dan sendi kehidupan, meskipun harus kita sadari bahwa moralitas Pancasila akan menjadi tanpa makna, menjadi sebuah ”karikatur” apabila tidak disertai dukungan suasana kehidupan di bidang hukum secara kondusif.

Antara moralitas dan hukum memang terdapat korelasi yang sangat erat, dalam
arit bahwa moralitas yang tidak didukung oleh kehidupan hukum yang kondusif akan
menjadikan subjektivitas yang satu sama lain akan saling berbenturan; sebaliknya
ketentuan hukum yang disusun tanpa disertai dasar dan alasan moral akan melahirkan suatu legalisme yang represif, kontraproduktif dan bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila itu sendiri.

Selanjutnya beranjak dari pemikiran mengenai konsep revitalisasi tersebut dalam
konteks aktualisasi dan implementasinya, maka akan semakin komprehensif menurut
hemat penulis untuk juga mengulas tentang sistem ekonomi Pancasila. Mengadaptasi dari tulisan Nopirin tentang Nilai-Nilai Pancasila sebagai Strategi Pengembangan Ekonomi di Indonesia, dimana dikatakan bahwa seyogyanya setiap sistem pengelolaan ekonomi nasional selalu mempunyai kelemahan dan kekuatannya. Dalam sistem yang mengandalkan mekanisme pasar biasanya efisiensi akan semakin tinggi serta mudah menyesuaikan diri dengan perubahan yang terjadi, terutama perubahan ekonomi dunia. Namun pada umumnya dapat menimbulkan kesenjangan yang semakin lebar. Sebaliknya sistem yang terkendali pemerataannya (baik antar daerah, golongan maupun sektor) dapat lebih baik, tetapi efisiensi agak sedikit lebih rendah. Tidak ada satu negarapun yang menganut sistem tersebut secara ekstrim yang banyak digunakan semacam kombinasi keduanya.

Indonesia yang mendasarkan pada sistem mekanisme pasar terkelola berharap
dapat mencapai tujuan pembangunan nasional yaitu Trilogi pembangunan. Terkelola
disinmi mempunyai makna adanya campur tangan pemerintah. Masalahnya adalah
bagaimanakah campur tangan yang optimal? Campur tangan ini seyogynya lebih sersifat penciptaan sistem yang kondusif untuk pembangunan, bersifat komplementer bukan mengganti peran swasta, mengarahkan bukan melaksanakan (steering bukan rowing).

Satu sistem ekonomi selalu mempunyai unsur-unsur filosofi, seperangkat nilai
(values), tujuan serta pelaku. Sistem liberal-kapitalis berdasar pada idea dasar ahli
ekonomi klasik (mekanisme pasar) sedang sistem ekonomi sosialis-komunis berdasar
pada idea Marxisme.

Sistem ekonomi Indonesia mendasarkan pada falsafah Pancasila serta secara
konstitusional berlandaskan UUD 45 (sehingga sering disebut ”Sistem Ekonomi
Pancasila”) dan operasional berdasarkan GBHN – REPELITA – APBN. Pada dasarnya
Sistem Ekonomi Pancasila adalah sistem ekonomi yang berlandaskan (berorientasi) pada:

  1. Ke-Tuhan-an Yang Maha Esa, yakni mengenal etik dan moral agama, bukan
    bersifat materialistik;
  2. Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, artinya tidak mengenal
    pemerasan/exploitasi manusia;
  3. Persatuan, yakni kebersamaan, kekeluargaan dan kemitraan;
  4. Kerakyatan, yakni yang mengutamakan ekonomi rakyat serta hajat hidup orang
    banyak. Ini mencerminkan adanya demokrasi ekonomi (dari kita, oleh kita, dan
    untuk kita bukan dari kita, oleh kita dan untuk kamu);
  5. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, yakni yang menitik beratkan pada
    kemakmuran masyarakat bukan individu.

Kelima sila dalam Pancasila merupakan rambu-rambu dalam kita melakukan
kegiatan ekonomi. Semua kegiatan ekonomi harus mengacu pada Sila-Sila di dalam
bisnis. Didalam melakukan bisnis sebagai warga negara Indonesia harus menjunjung
tinggi moral dan etika bisnis tidak semata-mata mengejar keuntungannya. Tidak
diperkenankan juga apabila misalnya membayar upah karyawan terlalu rendah sehingga ada eksploitasi. Kemitraan/partnership baik antara pemerintah dan swasta, pengusaha besar dan kecil, di wilayah Pulau Jawa dan di luar Pulau Jawa perlu terus diupayakan karena ini merupakan amalan dari Sila Persatuan. Perlu kita hindarkan sektor ekonomi yang menguasai hajad hidup orang banyak dikuasai oleh orang perorangan, apalagi di monopoli. Oleh karena itu kepentingan bersama lebih diutamakan bukan kepentingan individu. Bahwasanya saat ini sistem tersebut belum seperti apa yang kita harapkan, itu hanya sementara, namun masyarakat Indonesia sedianya akan menuju kepada idealisme yakni pelaksanaan Sila-Sila Pancasila dalam kegiatan ekonomi.

Seandainya prinsip-prinsip ekonomi Pancasila diterapkan, pertanyaannya apakah
krisis ekonomi akan lebih parah ataukah sebaliknya menjadi lebih ringan? Sebenarnya kebijakan ekonomi pada masa lalu itu dapat mendorong pertumbuhan ekonomi yang tinggi, namun sayangnya tidak dapat berkelanjutan (suistainable). Hal ini dikarenakan pengembangan institusinya tidak baik (misalnya monopoli, korupsi, kolusi, nepotisme dan sebagainya) serta ketidak merataan. Ini semua merupakan salah satu indikasi adanya kegagalan pasar. Oleh penerapan Pancasila seyogyanya memperhatikan kembali penerapan prinsip-prinsip ekonomi Pancasila yang lebih mengedepankan moral, etik serta prinsip-prinsip, kemerataan sosial, kegotong royongan dan kerakyatan dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Program-program seperti IDT, kemitraan serta penanggulan kelompok miskin sebagai akibat krisis, serta mempersempit ketidakmerataan adalah upaya reformasi mengarah pada penerapan sistem ekonomi Pancasila.

Menciptakan rasa keadilan (equity) serta meningkatkan efisiensi (tidak boros)
pada hakekat upaya reformasi yang dijiwai oleh Pancasila Prof. Mubyarto mengatakan
aturan main keadilan ekonomi pada gilirannya bersumber pada setiap sila Pancasila:

  1. Roda kegiatan ekonomi bangsa digerakkan oleh rangsangan-rangsangan ekonomi,
    sosial dan moral;
  2. Seluruh warga masyarakat bertekad untuk mewujudkan kemerataan sosial yaitu
    tidak membiarkan adanya ketimpangan ekonomi dan kesenjangan sosial;
  3. seluruh pelaku ekonomi yaitu produsen, konsumen, dan pemerintah (yang bisa
    bertindak baik sebagai produsen maupun konsumen), selalu bersemangat
    nasionalistik, yaitu dalam setiap putusan-putusan ekonominya menomor satukan
    tujuan terwujudnya perekonomian nasional yang kuat dan tangguh;
  4. koperasi dan bekerja secara kooperatif selalu menjiwai pelaku ekonomi warga
    masyarakat. Demokrasi ekonomi atau ekonomi kerakyatan dipimpin oleh khidmat
    kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan;
  5. dalam perekonomian nasional yang amat luas, terus menerus diupayakan adanya
    keseimbangan antara perencanaan ekonomi nasional dengan peningkatan
    disentralisasi serta otonomi daerah. Hanya melalui partisipasi daerah secara aktif
    aturan main keadilan ekonomi bisa berjalan yang selanjutnya menghasilkan suatu
    keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Dengan berpegang pada prinsip ekonomi Pancasila tersebut diharapkan akan
diperoleh pembangunan ekonomi yang suistainable. Sebaliknya harus dihindarkan
timbulnya ciri-ciri negatif sebagai berikut:

  1. Sistem free fight liberalism yang menumbuhkan eksploitasi terhadap manusia dan
    bangsa lain yang dalam sejarahnya di Indonesia telah menimbulkan dan
    mempertahankan kelemahan struktural posisi Indonesia dalam ekonomi dunia.
  2. Sistem etatisme dalam mana Negara beserta aparatur Ekonomi Negara bersifat
    dominan serta mendesak dan mematikan potensi dan daya kreasi unit-unit
    ekonomi di luar sektor Negara.
  3. Pemusatan kekuatan ekonomi pada satu kelompok dalam bentuk monopoli yang
    merugikan masyarakat

Berdasarkan prinsip Demokrasi Ekonomi terdapat tiga unsur penting dalam tata
perekonomian yang disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan yaitu sektor negara, sektor swasta dan sektor koperasi. Ketiga sektor ini harus dikembangkan secara serasi dan mantap.

Konsep yang dielaborasikan dalam sistem ekonomi Pancasila merupakan suatu
pemikiran yang berupaya untuk menembus batas pemikiran pada umumnya dengan
berdaya upaya agar tercipta suatu kemajuan perekonomian bangsa dan negara yang tidak luput dari nilai-nilai dan semangat hidup serta identitas bangsa Indonesia. Namun, realitanya suatu hal yang luhur dapat dimanipulasikan sedemikian rupa selayaknya pelaksanaan sistem perekonomian Pancasila dilaksanakan dengan semangat demokrasi ekonomi dan kekeluargaan. Namun, interpretasi negatif dari konsepsi dimaksud mengakibatkan kerugian yang berdampak signifikan, layaknya semangat kekeluargaan dijadikan ajang korupsi, kolusi dan nepotisme dan lain sebagainya. Tidak hanya pandangan hidup saja yang disimpangi secara mata telanjang, namun para sarjana telah melansir bahwa kondisi semacam ini turut menjangkiti bidang hukum, sebagaimana dinyatakan dalam modul bahan perkuliahan Politik Hukum yang disusun oleh Satya Arinanto, dimana didalamnya disampaikan tentang adanya beberapa asumsi tentang intervensi politik terhadap hukum, bahwa:

  1. Hukum bukanlah merupakan suatu subsistem yang steril dari subsistem
    kemasyarakatan lainnya;
  2. Politik kerapkali melakukan intervensi terhadap pembentukan dan pelaksanaan
    hukum, sehingga muncul permasalahan subsistem manakah yang lebih suprematif
    antara sub sistem hukum dan sub sistem politik?
  3. Permasalahan-permasalahan yang lebih spesifik adalah:
  • Bagaimanakan pengaruh politik kepada hukum?
  • Mengapa politik banyak mengintervensi hukum?
  • Apakah suatu konfigurasi politik tertentu menghasilkan suatu karakter produk hukum yang tertentu pula?
  • Dan sebagainya.

Sebelum dilanjutkan mengutip dari modul perkuliahan politik hukum yang sama,
dimana Ralf Dahrendorf memberikan beberapa ciri tentang kelompok dominan atau
kelompok pemegang kekuasaan politik:

  1. Jumlahnya selalu lebih kecil daripada jumlah kelompok yang dikuasai.
  2. Memiliki kelebihan kekayaan khusus untuk tetap memelihara dominasinya, yang
    berupa kekayaan material, intelektual, dan kehormatan moral.
  3. Dalam pertentangan selalu terorganisir lebih baik dari kelompok yang
    ditundukkan.
  4. Kelas penguasa hanya terdiri dari orang-orang yang memegang posisi dominan
    dalam bidang politik, sehingga elit penguasa diartikan sebagai elit penguasa
    dalam bidang politi.
  5. Kelas penguasa selalu berupaya memonopoli dan mewariskan kekuasaan
    politiknya kepada kelas/kelompoknya sendiri. 6. Ada reduksi perubahan sosial terhadap perubahan komposisi kelas penguasa.

Titik berat dari tulisan ini tidak lain adalah pada para politisi yang semestinya
digugu dan dicontoh namun pada aktualisasinya justru menggunakan konsep-konsep
yang ideal tersebut tidak pada tempatnya, atau bahkan sama sekali mengabaikan. Hal ini tidak lain dikarenakan dominasi yang mereka miliki terhadap masyarakat yang begitu luas dan menjadikan mereka lupa bahwa pada dasarnya mereka adalah wakil masyarakat yang diberikan kepercayaan dan tanggungjawab yang tidak kepalang main-main. Tetapi meskipun tidak diungkapkan dalam tulisan ini, fakta telah banyak berbicara dan menunjukkan apakah para politisi yang notabene menjabat sebagai wakil rakyat telah secara arif dan bijaksana menyikapi amanat yang diembannya tersebut. Gagasan sistem ekonomi Pancasila baik secara langsung maupun tidak langsung luluh lantak, dan kemudian pola-pola laiknya anasir tersebut menjadi budaya masyarakat Indonesia yang padahal hal tersebut bukan cerminan sesungguhnya dari masyarakat Indonesia.

Konteks pemikiran yang sangat sempit itu tidak memperhitungkan bahwa pada
akhirnya ideologi yang telah dirancang bangun sedemikian rupa dan memiliki nilai
sejarah yang sangat luhur akan menjadi tidak memiliki arti sama sekali di mata generasi penerus. Bahkan mereka dengan tidak mengetahui hal-hal umum sebagaimana diungkap pada paragraf ini secara lugas dan lantang mengatakan bahwa baik ideologi maupun sistem ekonomi Pancasila tersebut adalah barang bekas, usang dan tidak memiliki relevansi sama sekali terhadap kemajuan zaman. Janganlah terjadi pemutusan benang merah sejarah.

Pemikiran masyarakat yang dinamis yang sangat mempengaruhi pola organisir
kehidupannya dan dengan derasnya arus keterbukaan informasi, membentuk perubahan karakter suatu masyarakat dan oleh karenanya akan sangat berpengaruh pada komunitas masyarakat tersebut. Jika dinamika tersebut berakibat eliminasi terhadap sejarah kebangsaan, maka telah terjadi perubahan nilai dalam kehidupan masyarakat secara signifikan. Padahal adagium bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai sejarahnya, relevan untuk dipertanyakan terhadap diri kita selaku warga negara Indonesia.

Scroll to Top
Open chat
1
Selamat datang di D-LEAD ada yang bisa kami bantu ?